BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Wahdatul
wujud adalah istilah kontroversial diantara kaum
muslimin. Bagi sebagian mereka wahdatul wujud, khususnya, dan
tasawuf pada umumnya, adalah sebentuk penyimpangan dari ajaran Islam yang murni.
Yang lain menolak wahdatul wujud dan menganggapnya sebagian
sesuatu yang berbahaya bagi umat Islam, khususnya mereka yang awam, seraya
menerima tasawuf sebagian bagian integral dari Islam. Tapi bagi yang lainwahdatul
wujud adalah kulminasi dari pengalaman mistik dalam Islam yang dalam
beberapa hadis Nabi saw. disebut sebagai ihsan.
Makalah ini
mencoba untuk menganalisis makna wahdatul wujud, kemudian
memaparkan beberapa pandangan tradisi-tradisi diluar Islam yang dapat
dikategorikan sebagai wahdatul wujud, dalam pengertian yang luas.
Selanjutnya akan dipaparkan penjelasan ulama tentang konsep wahdatul
wujud dalam Islam.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian
diatas maka dapat dirumuskan beberapa masalah yang menjadi acuan pembahasan
dalam makalah ini, yaitu:
- Apa pengertian wahdatul wujud ?
- Siapakah tokoh pengembang wahdatul wujud dalam Islam ?
- Bagaimana analisi tentang konsep wahdatul wujud ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Wahdatul Wujud
Wahdat al-wujud adalah
ungkapan yang terdiri dari dua kata yaitu wahdat dan al-wujud. Wahdat artinya
sendiri, tunggal atau kesatuan sedang al-wujud artinya ada. Dengan demikian wahdat al-wujud berarti kesatuan
wujud.
Harun nasution lebih lanjut
menjelaskan paham ini dengan mengatakan bahwa paham wahdat al-wujud nasut yang
sudah ada dalam hulul diubah maejadi khalq (makhluk) dan lahut menjadi haq
(tuhan). Aspek yang sebelah luar disebut khalq dan aspek yang di sebelah dalam
disebut haq.
Paham ini selanjutnya
membawa keoada timbulnya paham bahwa diantara makhluk dan tuhan sebenarnya satu
kesatuan dari wujud tuhan dan yang sebenarnya ada adalah wujud tuhan itu,
sedangkan wujud makhluk hanya bayang atau foto copy dari wujud tuhan. Dengan demikian alam ini merupakan cermin dari
Allah. Pada saat Dia ingin melihat diri-Nya, Ia cukup melihat alam ini.
Dalam fushush al-hikam
sebagai dijelaskan oleh al-Qashini dan di kutip
Harun Nasution, fana wahdul wujud ini antara lain terlihat dalam ungkapan.
“Wajah sebenarnya satu
tetapi jika engkau perbanyak cermin ia menjadi banyak”.
Tuhanlah sebenarnya yang mempunyai wujud hakiki atau wajibul wujud.
Sementara itu makhluk sebagai yang di ciptakan-Nya hanya mempunyai wujud yang
bergantung kepada wujud yang berada dirinya yaitu Tuhan. Yang mempunyai wujud sesungguhnya hanyalah Allah. Dengan demikian yang
sebenarnya hanya satu wujud yaitu wujud Tuhan.
Hal yang demikian itu lebih lanjut dikatakan Ibn Arabi sebagai berikut.
“sudah menjadi kenyataan
bahwa makhluk adalah dijadikan dan bahwa ia berharap kepada khalik yang menjadikannya
karena ia hanya mempunyai sifat mungkin dan dengan demikian wujudnya bergantung
pada sesuatu yang lain”.
Paham tersebut
mengisyaratkan bahwa pada manusia ada unsur lahir dan batin, dan pada tuhan pun
ada unsur lahir dan batin. Unsur lahir manusia adalah fisiknya, sedangkan
batinnya adalah roh atau jiwanya yang hal ini merupakan
pancaran, bayangan atau foto copy Tuhan. Kemudian unsur
lahir-lahir pada tuhan adalah sifat-sifat ketuhanannya yang tampak dialam ini
dan unsur batinnya adalah dzat Tuhan. Bersatunya unsur lahut
yang ada pada manusia dengan unsur nasut yang ada pada Tuhan.
Selanjutnya dalam
Al-Qur’an akan kita jumpai ayat-ayat yang memberikan petunjuk bahwa Tuhan
memiliki unsur lahir dan batin sebagaimana dalam faham wahdat al-wujud:
وَأَسْبَغَ
عَلَيْكُمْ نِعْمَهُ ظَاهِرًا وَباَطِنَةً
“Dengan menyempurnakan untukmu niatnya lahir dan batin” (QS: Luqman, 31;20)
Dalam Al-Qur’an dan
terjemahannya terbitan Departemen Agama tahun 1984, hal 90, kata al-awwal pada
surat al-hadid ayat 3 diartikan yang telah ada sebelum sesuatu yang ada.
Al-akhir artinya yang nyata adanya karena banyak bukti-buktinya dan yang batin
adalah yang tidak dapat digambarkan hakikar dzatnya oleh akal. Namun menurut
para sufi yang dimaksud zahir adalah sifat-sifat Allah yang tampak, sedang
batin adalah dzat-dzatnya. Manusia dianggap mempunyai kedua unsur tersebut
karena manusia berasal dari pancaran tuhan. Sehingga antara manusia dengan
Tuhan pada hakekatnya satu wujud.
B.
Tokoh wahdatul wujud
Wahdatul al-wujud adalah
wujus yang sejati adalah satu,tokoh yang mengajarkan tentang wahdatul al-wujud adalah Ibn Arabi, nama lengkapnya Muhammad bin ali bin ahmad
bin Abdullah ath-tha’i al-haitami. Dia lahir di Murcia, Andalusia tengah,
Spanyol tahun 560 H. Di Seville (spanyol) dia mempelajari al-Qur’an, Hadist serta fikih pada sejumlah murid seorang faqih Andalusia terkenal
yakni ibnu hazm al-zhahiri. Ia pindah ke Tunis di tahun 1145 dan masuk aliran
sufi.
Ketika ia berusia 30 tahun
ia mulai berkelana ke berbagai kawasan Andalusia dan kawasan islam bagian
barat. Diantara guru-gurunya adalah Abu madyan al-Ghoust al-Talimsari dan
Yasmin musaniyah. Keduanya banyak dipengaruhi ajaran-ajaan Ibn Arabi. Dikabarkan juga bahwa dia pernah ketemu dengan Ibn Rusyd. Filosof murni dan tabib istana dynasty barbar dari Alomohad
Dikordora. Ia juga telah dikabarkan mengunjungi Al-mariyyah yang menjadi
pusat madrasah ibn Masarrah seorang sufi falsafi yang cukup berpengaruh dan
mempunyai banyak masalah di Andalusia, di antara karya monumenalnya yaitu
al-futuhat al-makkiyah yg ditulis pada tahun 1201 H. Tatkala ia sedang
menunaikan ibadah haji. Karya lainnya yaitu tarjuman al-Asyuwaq yang ditulisnya
untuk mengenang kecantikan, ketakwaan, dan kepintaran seorang gadis cantik dari
keluarga seorang sufi dari Persia.
Ibn arabi dikenal sebagai
penulis yang produktif. Jumlah buku yang kurangnya menurut perhitungan mencapai
lebih dari 200 diantaranya ada yang cuma 10 halaman tetapi ada juga yang
beberapa ensiklopedia tentang sufisme seperti kitab futuha al-mekkah dan
bukunya yang termasyhur adalah tsus al-hikam
yang juga tasawuf.
Menurut Hamka, ibn arabi
dapat disebut sebagai orang yang telah sampai pada puncak wahdatul wujud. Dia
telah menegakkan pahamnya dengan berdasarkan renungan fikir, filsafat, dan
tasawuf
Menyajikan ajaran
tasawufnya dengan bahasa agak berbelit belit dengan tujuan, untuk menghindari
tuduhan fitnah dan ancaman kaum awam sebagaimana dialami Al-hallaj. Wujudnyaair
adalah air wujud, pada hakikatnya tidaklah ada pemisah antara manusia dan Tuhan
kalau dikatakan berlainan.
C.
Analisis wahdatul al-wujud
Pembahasan
tentang wahdatul wujud erat terkait dengan tauhid yang
merupakan inti ajaran Islam. Al-Ghazali membagi tauhid menjadi empat tingkatan.
Pertama, tauhid yang hanya diucapkan oleh lidah tapi diingkari oleh hati;
ucapan orang munafik. Kedua, tauhid yang diucapkan lidah sekaligus diyakini
hati; tauhid muslim awam. Ketiga, tauhid yang dibarengi dengan penyaksian
melalui penyingkapan (kasyf) bahwa yang beragam dan banyak berasal dari
Yang Esa; tauhid orang yang didekatkan (muqarrabin). Keempat,
tauhid shiddiqin yang melihat dalam wujud hanya satu, yang
oleh para Sufi disebut sirna dalam tauhid (fana’ fi al-tauhid), yang
rahasia ilmu ini tidak seharusnya ditulis dalam buku.
Dalam
memahami wahdatul wujud, para ulama tidak bergantung pada penalaran
rasional semata, untuk memahami doktrin ini secara intelektual seseorang juga
memerlukan kecerdasan intuitif-kontemplatif; dan untuk sepenuhnya mengalaminya seseorang
haruslah menjadi Sufi.i
Bentuk penjelasan rasional yang dipilih,
misalnya, oleh Mulla Sadra untuk menerangkan wahdatul wujud tidak
dapat menyembunyikan fakta bahwa sumber dari pengetahuan ini adalah pengalaman.
Dalam Islam
pengetahuan tentang hakikat sesuatu diperoleh melalui sarana intuisi yang dipahami
tidak terbatas hanya pada pengalaman inderawi. Pada tingkatan nalar dan
pengalaman awam, manusia melihat dunia sebagai sesuatu yang banyak, beragam,
terpisah, berdiri sendiri dan untuk memahaminya dibutuhkan pembedaan
subjek-objek. Kondisi ini disebut keterpisahan pertama (al-farq al-awwal)
yang merujuk pada dunia yang dipahami sebagai sesuatu yang beragam dan
terpisah. Penyebutan keterpisahan ini sebagai ’yang pertama’ mengisyaratkan
kemungkinan terjadinya keterpisahan kedua (al-farq al-tsani) yang dialami
setelah seseorang mengalami transformasi dimana seseorang melampaui keragaman
dan dia mampu melihat hakikat dunia. Transformasi tersebut bisa dicapai melalui
serangkaian disiplin yang memungkinkan seseorang untuk melampaui dunia
keragaman dan mencapai keadaan fana’ dan baqa’ dimana
dia memeroleh visi tentang ke-satu-an segala sesuatu dalam Asal transendennya. Keterpisahan
kedua yang dialami oleh seseorang berarti bahwa dia melihat dunia yang beragam
dan terpisah dengan cara berbeda dengan yang dialaminya pada keterpisahan
pertama yang dimiliki semua orang.
Keterpisahan
disini memiliki dua konotasi. Yang pertama merujuk pada keterpisahan antara
yang Mutlak dari ciptaan dengan cerapan manusia. Istilah keterpisahan pertama (al-farq
al-awwal) juga menyiratkan bahwa sebelumnya tidak ada keterpisahan, yang
merujuk pada ’manusia’ sebelum dia menjadi manusia.
Makna kedua
dari konotasi terkait dengan kesadaran dan pengalaman akan keterpisahan dalam
segala hal di dunia. Dalam melihat dunia yang terbentuk dari keragaman, orang
awam melihatnya sebagai kenyataan yang saling terpisah, beragam, dan berdiri
sendiri dan meyakini bahwa tidak ada sesuatu dibalik keragaman itu. Tingkatan
yang lebih tinggi adalah mereka, yang sekalipun pandangannya terhadap realitas
tidak dapat menjangkau diluar keragaman, mengakui bahwa apa yang dapat mereka
jangkau dengan nalar dan pengalaman mereka, yakni inderawi-rasional, bukanlah
satu-satunya realitas. Mereka mengakui Realitas diluar yang dapat mereka
jangkau yang sama sekali berbeda dengan jangkauan nalar dan pengalaman mereka
dan secara teologis disebut Tuhan. Pandangan dunia yang bersifat dualistik ini
kemudian berkembangdalam tataran saintifik, filosofis, dan teologis menjadi apa
yang kemudian dikenal sebagai pembedaan antara esensi dan eksistensi. Menurut
pandangan ini, sesuatu memiliki esensi yakni kuiditas yang secara ontologis
merupakan substansinya dan eksistensi yang dipandang sebagai aksiden dari
esensi. Pandangan semacam ini didasarkan pada perkembangan saintifik dan filosofis
yang didasarkan hanya pada nalar dan pengalaman awam.
Menurut
perspektif metafisika Islam yang didasarkan pada hikmah al-Quran, tidak
terdapat pembedaan antara esensi dan eksistensi dalam realitas eksternal,
pembedaan itu hanya ada dalam pikiran. Dalam realitas eksternal, apa yang
dipandang sebagai penyifatan esensi-esensi yang beragam dengan eksistensi
adalah pengungkapan-pengungkapan dan pembatasan-pembatasan dari Eksistensi yang
mencakup semua menjadi bentuk-bentuk partikular. Jadi, hakikat segala sesuatu
adalah realitas Eksistensi yang mencakup semua yang mewujudkan bentuk-Nya yang
beragam dan berbeda dalam tindakan perluasan dan penyusutan berkesinambungan
dalam gradasi, dari tingkatan kemutlakan pada tingkatan pengungkapan yang
beraneka ragam hingga mencapai wilayah inderawi. ’Sesuatu’ dalam dirinya
sendiri, yang dipahami dalam keterpisahannya dari Realitas.
Konsep wahdatul
wujud dalam Islam dapat dilacak dasar-dasarnya dalam Al-Quran yang
berpengaruh terhadap terhadap setiap aspek kehidupan Muslim.
BAB III
PENUTUP
Wahdatul Wujud
mempunyai pengertian secara yaitu; bersatunya Tuhan dengan manusia yang telah
mencapai hakiki atau dipercaya telah suci. Pengertian sebenarnya adalah merupakan penggambaran bahwa
Tuhan-lah yang menciptakan alam semesta beserta isinya. Allah adalah sang
Khalik, Dia-lah yang telah menciptakan manusia, Dia-lah Tuhan dan kita adalah
bayangannya.
Dalam mencapai Wahdatul Wujud tidak
dapat ditempuh dangan logika manusia, karena unuk mencapai wahdatul wujud,
seseorang harus menjadi Sufi terlebih dahulu.
Tokoh pengembang Wahdatul Maujud
adalah Muhyiddin Ibn Al Arabi, yang di dalam pahamnya menyatakan
bahwa; semua yang ada adalah zat tunggal, zat tunggal tidak terpecah
ke dalam bagiannya, tidaklah ada berlebih di sini atau juga tidak
kekurangan di sana.
DAFTAR PUSTAKA
Nasution,
Harun. Filsafat Mistisisme dalam Islam (Jakarta: Bulan
Bintang, 1978)
Muhammad Abd, Haq Ansari. Merajut
tradisi Syari’ah Sufisme (Jakarta: Grafindo Persada, 1997)
Rosihon, Anwar. Ilmu Tasawuf (Bandung : CV. Pustaka Setia, 2007)
Mahmud, Abdul Qodir. Falsafat Ash-shuffiyyah fi Al Islam, (Kairo: Dar al-fikr al arab, 1996)
Abdullah, Hawasali. Perkembangan Ilmu Tasawuf dan tokoh-tokohnya di nusantara,
(Surabaya: Al-ikhlas, 1930)
Abuddin, Nata. Akhlak Tasawuf. (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 1996)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar