Kamis, 08 Desember 2016

WAHDATUL WUJUD



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Wahdatul wujud adalah istilah kontroversial diantara kaum muslimin. Bagi sebagian mereka wahdatul wujud, khususnya, dan tasawuf pada umumnya, adalah sebentuk penyimpangan dari ajaran Islam yang murni. Yang lain menolak wahdatul wujud dan menganggapnya sebagian sesuatu yang berbahaya bagi umat Islam, khususnya mereka yang awam, seraya menerima tasawuf sebagian bagian integral dari Islam. Tapi bagi yang lainwahdatul wujud adalah kulminasi dari pengalaman mistik dalam Islam yang dalam beberapa hadis Nabi saw. disebut sebagai ihsan.
Makalah ini mencoba untuk menganalisis makna wahdatul wujud, kemudian memaparkan beberapa pandangan tradisi-tradisi diluar Islam yang dapat dikategorikan sebagai wahdatul wujud, dalam pengertian yang luas. Selanjutnya akan dipaparkan penjelasan ulama tentang konsep wahdatul wujud dalam Islam.

B.     Rumusan Masalah
            Berdasarkan uraian diatas maka dapat dirumuskan beberapa masalah yang menjadi acuan pembahasan dalam makalah ini, yaitu:
  1. Apa pengertian wahdatul wujud ?
  2. Siapakah tokoh pengembang wahdatul wujud dalam Islam ?
  3. Bagaimana analisi tentang konsep wahdatul wujud ?

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Wahdatul Wujud
Wahdat al-wujud adalah ungkapan yang terdiri dari dua kata yaitu wahdat dan al-wujud. Wahdat artinya sendiri, tunggal atau kesatuan sedang al-wujud artinya ada. Dengan demikian wahdat al-wujud berarti kesatuan wujud.
            Harun nasution lebih lanjut menjelaskan paham ini dengan mengatakan bahwa paham wahdat al-wujud nasut yang sudah ada dalam hulul diubah maejadi khalq (makhluk) dan lahut menjadi haq (tuhan). Aspek yang sebelah luar disebut khalq dan aspek yang di sebelah dalam disebut haq.
            Paham ini selanjutnya membawa keoada timbulnya paham bahwa diantara makhluk dan tuhan sebenarnya satu kesatuan dari wujud tuhan dan yang sebenarnya ada adalah wujud tuhan itu, sedangkan wujud makhluk hanya bayang atau foto copy dari wujud tuhan. Dengan demikian alam ini  merupakan cermin dari Allah. Pada saat Dia ingin melihat diri-Nya, Ia cukup melihat alam ini.
            Dalam fushush al-hikam sebagai dijelaskan oleh al-Qashini dan di kutip Harun Nasution, fana wahdul wujud ini antara lain terlihat dalam ungkapan.
Wajah sebenarnya satu tetapi jika engkau perbanyak cermin ia menjadi banyak.
Tuhanlah sebenarnya yang mempunyai wujud hakiki atau wajibul wujud. Sementara itu makhluk sebagai yang di ciptakan-Nya hanya mempunyai wujud yang bergantung kepada wujud yang berada dirinya yaitu Tuhan. Yang mempunyai wujud sesungguhnya hanyalah Allah. Dengan demikian yang sebenarnya hanya satu wujud yaitu wujud Tuhan.
Hal yang demikian itu lebih lanjut dikatakan Ibn Arabi sebagai berikut.
“sudah menjadi kenyataan bahwa makhluk adalah dijadikan dan bahwa ia berharap kepada khalik yang menjadikannya karena ia hanya mempunyai sifat mungkin dan dengan demikian wujudnya bergantung pada sesuatu yang lain.
            Paham tersebut mengisyaratkan bahwa pada manusia ada unsur lahir dan batin, dan pada tuhan pun ada unsur lahir dan batin. Unsur lahir manusia adalah fisiknya, sedangkan batinnya adalah roh atau jiwanya yang hal ini merupakan pancaran, bayangan atau foto copy Tuhan. Kemudian unsur lahir-lahir pada tuhan adalah sifat-sifat ketuhanannya yang tampak dialam ini dan unsur batinnya adalah dzat Tuhan. Bersatunya unsur lahut yang ada pada manusia dengan unsur nasut yang ada pada Tuhan.
            Selanjutnya dalam Al-Qur’an akan kita jumpai ayat-ayat yang memberikan petunjuk bahwa Tuhan memiliki unsur lahir dan batin sebagaimana dalam faham wahdat al-wujud:
وَأَسْبَغَ عَلَيْكُمْ نِعْمَهُ ظَاهِرًا وَباَطِنَةً
Dengan menyempurnakan untukmu niatnya lahir dan batin (QS: Luqman, 31;20)
            Dalam Al-Qur’an dan terjemahannya terbitan Departemen Agama tahun 1984, hal 90, kata al-awwal pada surat al-hadid ayat 3 diartikan yang telah ada sebelum sesuatu yang ada. Al-akhir artinya yang nyata adanya karena banyak bukti-buktinya dan yang batin adalah yang tidak dapat digambarkan hakikar dzatnya oleh akal. Namun menurut para sufi yang dimaksud zahir adalah sifat-sifat Allah yang tampak, sedang batin adalah dzat-dzatnya. Manusia dianggap mempunyai kedua unsur tersebut karena manusia berasal dari pancaran tuhan. Sehingga antara manusia dengan Tuhan pada hakekatnya satu wujud.
B.     Tokoh wahdatul wujud
Wahdatul al-wujud adalah wujus yang sejati adalah satu,tokoh yang mengajarkan tentang wahdatul al-wujud adalah Ibn Arabi, nama lengkapnya Muhammad bin ali bin ahmad bin Abdullah ath-tha’i al-haitami. Dia lahir di Murcia, Andalusia tengah, Spanyol  tahun 560 H. Di Seville (spanyol) dia mempelajari al-Qur’an, Hadist serta fikih pada sejumlah murid seorang faqih Andalusia terkenal yakni ibnu hazm al-zhahiri. Ia pindah ke Tunis di tahun 1145 dan masuk aliran sufi.
            Ketika ia berusia 30 tahun ia mulai berkelana ke berbagai kawasan Andalusia dan kawasan islam bagian barat. Diantara guru-gurunya adalah Abu madyan al-Ghoust al-Talimsari dan Yasmin musaniyah. Keduanya banyak dipengaruhi ajaran-ajaan Ibn Arabi. Dikabarkan juga bahwa dia pernah ketemu dengan Ibn Rusyd. Filosof murni dan tabib istana dynasty barbar dari Alomohad Dikordora. Ia juga telah dikabarkan mengunjungi Al-mariyyah yang menjadi pusat madrasah ibn Masarrah seorang sufi falsafi yang cukup berpengaruh dan mempunyai banyak masalah di Andalusia, di antara karya monumenalnya yaitu al-futuhat al-makkiyah yg ditulis pada tahun 1201 H. Tatkala ia sedang menunaikan ibadah haji. Karya lainnya yaitu tarjuman al-Asyuwaq yang ditulisnya untuk mengenang kecantikan, ketakwaan, dan kepintaran seorang gadis cantik dari keluarga seorang sufi dari Persia.
            Ibn arabi dikenal sebagai penulis yang produktif. Jumlah buku yang kurangnya menurut perhitungan mencapai lebih dari 200 diantaranya ada yang cuma 10 halaman tetapi ada juga yang beberapa ensiklopedia tentang sufisme seperti kitab futuha al-mekkah dan bukunya yang termasyhur adalah tsus al-hikam yang juga tasawuf.
Menurut Hamka, ibn arabi dapat disebut sebagai orang yang telah sampai pada puncak wahdatul wujud. Dia telah menegakkan pahamnya dengan berdasarkan renungan fikir, filsafat, dan tasawuf
            Menyajikan ajaran tasawufnya dengan bahasa agak berbelit belit dengan tujuan, untuk menghindari tuduhan fitnah dan ancaman kaum awam sebagaimana dialami Al-hallaj. Wujudnyaair adalah air wujud, pada hakikatnya tidaklah ada pemisah antara manusia dan Tuhan kalau dikatakan berlainan.
C.    Analisis wahdatul al-wujud
Pembahasan tentang wahdatul wujud erat terkait dengan tauhid yang merupakan inti ajaran Islam. Al-Ghazali membagi tauhid menjadi empat tingkatan. Pertama, tauhid yang hanya diucapkan oleh lidah tapi diingkari oleh hati; ucapan orang munafik. Kedua, tauhid yang diucapkan lidah sekaligus diyakini hati; tauhid muslim awam. Ketiga, tauhid yang dibarengi dengan penyaksian melalui penyingkapan (kasyf) bahwa yang beragam dan banyak berasal dari Yang Esa; tauhid orang yang didekatkan (muqarrabin). Keempat, tauhid shiddiqin yang melihat dalam wujud hanya satu, yang oleh para Sufi disebut sirna dalam tauhid (fana’ fi al-tauhid), yang rahasia ilmu ini tidak seharusnya ditulis dalam buku.
Dalam memahami wahdatul wujud, para ulama tidak bergantung pada penalaran rasional semata, untuk memahami doktrin ini secara intelektual seseorang juga memerlukan kecerdasan intuitif-kontemplatif; dan untuk sepenuhnya mengalaminya seseorang haruslah menjadi Sufi.i
Bentuk penjelasan rasional yang dipilih, misalnya, oleh Mulla Sadra untuk menerangkan wahdatul wujud tidak dapat menyembunyikan fakta bahwa sumber dari pengetahuan ini adalah pengalaman.
Dalam Islam pengetahuan tentang hakikat sesuatu diperoleh melalui sarana intuisi yang dipahami tidak terbatas hanya pada pengalaman inderawi. Pada tingkatan nalar dan pengalaman awam, manusia melihat dunia sebagai sesuatu yang banyak, beragam, terpisah, berdiri sendiri dan untuk memahaminya dibutuhkan pembedaan subjek-objek. Kondisi ini disebut keterpisahan pertama (al-farq al-awwal) yang merujuk pada dunia yang dipahami sebagai sesuatu yang beragam dan terpisah. Penyebutan keterpisahan ini sebagai ’yang pertama’ mengisyaratkan kemungkinan terjadinya keterpisahan kedua (al-farq al-tsani) yang dialami setelah seseorang mengalami transformasi dimana seseorang melampaui keragaman dan dia mampu melihat hakikat dunia. Transformasi tersebut bisa dicapai melalui serangkaian disiplin yang memungkinkan seseorang untuk melampaui dunia keragaman dan mencapai keadaan fana’ dan baqa’ dimana dia memeroleh visi tentang ke-satu-an segala sesuatu dalam Asal transendennya. Keterpisahan kedua yang dialami oleh seseorang berarti bahwa dia melihat dunia yang beragam dan terpisah dengan cara berbeda dengan yang dialaminya pada keterpisahan pertama yang dimiliki semua orang.
Keterpisahan disini memiliki dua konotasi. Yang pertama merujuk pada keterpisahan antara yang Mutlak dari ciptaan dengan cerapan manusia. Istilah keterpisahan pertama (al-farq al-awwal) juga menyiratkan bahwa sebelumnya tidak ada keterpisahan, yang merujuk pada ’manusia’ sebelum dia menjadi manusia.
Makna kedua dari konotasi terkait dengan kesadaran dan pengalaman akan keterpisahan dalam segala hal di dunia. Dalam melihat dunia yang terbentuk dari keragaman, orang awam melihatnya sebagai kenyataan yang saling terpisah, beragam, dan berdiri sendiri dan meyakini bahwa tidak ada sesuatu dibalik keragaman itu. Tingkatan yang lebih tinggi adalah mereka, yang sekalipun pandangannya terhadap realitas tidak dapat menjangkau diluar keragaman, mengakui bahwa apa yang dapat mereka jangkau dengan nalar dan pengalaman mereka, yakni inderawi-rasional, bukanlah satu-satunya realitas. Mereka mengakui Realitas diluar yang dapat mereka jangkau yang sama sekali berbeda dengan jangkauan nalar dan pengalaman mereka dan secara teologis disebut Tuhan. Pandangan dunia yang bersifat dualistik ini kemudian berkembangdalam tataran saintifik, filosofis, dan teologis menjadi apa yang kemudian dikenal sebagai pembedaan antara esensi dan eksistensi. Menurut pandangan ini, sesuatu memiliki esensi yakni kuiditas yang secara ontologis merupakan substansinya dan eksistensi yang dipandang sebagai aksiden dari esensi. Pandangan semacam ini didasarkan pada perkembangan saintifik dan filosofis yang didasarkan hanya pada nalar dan pengalaman awam.
Menurut perspektif metafisika Islam yang didasarkan pada hikmah al-Quran, tidak terdapat pembedaan antara esensi dan eksistensi dalam realitas eksternal, pembedaan itu hanya ada dalam pikiran. Dalam realitas eksternal, apa yang dipandang sebagai penyifatan esensi-esensi yang beragam dengan eksistensi adalah pengungkapan-pengungkapan dan pembatasan-pembatasan dari Eksistensi yang mencakup semua menjadi bentuk-bentuk partikular. Jadi, hakikat segala sesuatu adalah realitas Eksistensi yang mencakup semua yang mewujudkan bentuk-Nya yang beragam dan berbeda dalam tindakan perluasan dan penyusutan berkesinambungan dalam gradasi, dari tingkatan kemutlakan pada tingkatan pengungkapan yang beraneka ragam hingga mencapai wilayah inderawi. ’Sesuatu’ dalam dirinya sendiri, yang dipahami dalam keterpisahannya dari Realitas.
Konsep wahdatul wujud dalam Islam dapat dilacak dasar-dasarnya dalam Al-Quran yang berpengaruh terhadap terhadap setiap aspek kehidupan Muslim.

BAB III
PENUTUP
Wahdatul Wujud mempunyai pengertian secara yaitu; bersatunya Tuhan dengan manusia yang telah mencapai hakiki atau dipercaya telah suci. Pengertian sebenarnya adalah merupakan penggambaran bahwa Tuhan-lah yang menciptakan alam semesta beserta isinya. Allah adalah sang Khalik, Dia-lah yang telah menciptakan manusia, Dia-lah Tuhan dan kita adalah bayangannya.
Dalam mencapai Wahdatul Wujud tidak dapat ditempuh dangan logika manusia, karena unuk mencapai wahdatul wujud, seseorang harus menjadi Sufi terlebih dahulu.
Tokoh pengembang Wahdatul Maujud adalah Muhyiddin Ibn Al Arabi, yang di dalam pahamnya menyatakan bahwa; semua yang ada adalah zat tunggal, zat tunggal tidak terpecah ke dalam bagiannya, tidaklah ada berlebih di sini atau juga tidak kekurangan di sana.


DAFTAR PUSTAKA
Nasution, Harun. Filsafat Mistisisme dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1978)
Muhammad Abd, Haq Ansari. Merajut tradisi Syari’ah Sufisme (Jakarta: Grafindo Persada, 1997)
Rosihon, Anwar. Ilmu Tasawuf (Bandung : CV. Pustaka Setia, 2007)
Mahmud, Abdul Qodir. Falsafat Ash-shuffiyyah fi Al Islam, (Kairo: Dar al-fikr al arab, 1996)
Abdullah, Hawasali. Perkembangan Ilmu Tasawuf dan tokoh-tokohnya di nusantara, (Surabaya: Al-ikhlas, 1930)
Abuddin, Nata. Akhlak Tasawuf. (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996)




Tidak ada komentar:

Posting Komentar