Kamis, 08 Desember 2016

KAEDAH TENTANG KEADILAN PERIWAYAT HADIS



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Ilmu hadits merupakan ilmu pengetahuan yang membicarakan cara-cara persambungan hadits sampai pada Rasulullah SAW, dari segi hal ihwal para perawinya, yang menyangkut kedhabitan dan keadilannya dan dari segi bersambung dan terputusnya sanad dan sebagainya.
Tidak semua hadis itu bersifat terpuji perawinya, dan tidak semua hadis-hadis itu bersifat dhaif perawinya.Oleh karena itu para periwayat mulai dari generasi sahabat sampai generasi mukharijul hadis tidak bisa kita jumpai secara fisik karena mereka telah meninggal dunia.Untuk mengenali keadaan mereka, baik kelebihan maupun kekurangan mereka dalam periwayatan, maka diperlukanlah informasi dari berbagai kitab yang ditulis oleh ulama ahli kritik para periwayat hadis.
Kritikan para periwayat hadis itu tidak hanya berkenaan dengan hal-hal yang terpuji saja tetapi juga mengenai hal-hal yang tercela.Hal-hal demikan dapat dikemukakan untuk dijadikan pertimbangan dalam hubungannya dengan dapat atau tidak diterimanya riwayat hadis yang mereka riwayatkan. Untuk itulah lebih jelasnya disini pemakalah akan membahas mengenai kaedah keadilan periwayat hadis.
B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas maka dapat dirumuskan beberapa masalah yang menjadi acuan pembahasan dalam makalah ini , yaitu:
1.      Apakahpengertian keadilan dalam periwayatan hadis?
2.      Bagaimana Tingkatan Ta’dil dan Lafaz-Lafaznya?
3.      Bagaimana Kaedah keadilan periwayat dalam hadis?


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian keadilan dalam periwayatan hadis
Adil ditinjau dari segi etimologinya dalam kamus bahasa Indonesia, kata adil diartikan sebagai: tidak berat sebelah, tidak memihak, tidak berlaku sewenang-wenang.[1] Adapun kata adil berasal dari bahasa arab: al-‘adl. Kata al-‘adl itu sendiri merupakan masdar dari kata kerja ‘adala.Menurutbahasa, kata ‘adl memiliki banyak arti, antara lain: keadilan (al-‘adalat atau al-‘udulat); pertengahan (al’itidal); lurus (al-istiqamat); condong kepada kebenaran (al-mayl ila al-haqq). Orang yang bersifat adil disebut al-‘adil yang kata jamaknya al-‘udul.[2]
Adapu adil ditinjau dari segi terminologinya,  Para ulama berbeda pendapat tentang kriteria-kriteria periwayatan hadis yang disebut sebagai ‘adil. Berbagai ulama telah membahas siapa orang yang dinyatakan bersifat ‘adil.Dalam hal ini, ulama berbeda pendapat.Al-Hakim berpendapat bahwa seorang dikatakan adil apabila beragama islam, tidak berbuat bid’ah dan tidak berbuat maksiat.[3] Ibnu Shaolah menetapkan lima kriteria seorang periwayat disebut ‘adilyaitu apabila beragama Islam, balig, berakal, memelihara muru’ah dan tidak berbuat fasiq.[4]Pendapat serupa dikemukakan oleh Al-Nawawi[5].Sementara itu Ibnu Hajar menyatakan bahwa sifat ‘adiloleh seorang periwat yang takwa.
Menurut Ibnu Sam’ani, keadilan seorang perawi harus mememenuhi empat syarat, yaitu:
a.       Selalu memelihara perbuatan taat dan menjuhi maksiat
b.      Menjauhi dosa-dosa kecil yang dapat menodai agama dan sopan santun
c.       Tidak melakukan perkataan-perkataan mubah yang dapat menggugukan iman kepada qadar dan mengakibatkan penyesalan
d.      Tidak mengikuti pendapat salah satu mazhab yang bertentangan dengan syara’.[6]
Berbeda lagi dengan apa yang dikemukakan oleh Syuhudi Ismail, bahwa menurut Syuhudi Ismail yang dimaksud dengan perawi yang ‘adilberagama islam, berstatus mukallaf, melaksanakan ketentuan agama memelihara murua’ah.[7]Akan tetapi Syuhudi Ismail mencoba untuk menjelaskan lagi secara terperinci satu persatu tentang kriteria periwayat yang adil yang telah dia paparkan.
a.       Beragama Islam
Beragama islam islam adalah merupakan syarat yang paling utama yang harus dimiliki oleh periwayat yang ‘adil. Yakni, ketika periwayat itu menyampaikan riwayat hadis dan bukan ketika menerimanya.
Berkaca pada argumen al-Quran surah al-Hujrat ayat 49 yang menjelaskan bahwa diharuskannya untuk melakukan tabayun ketika mendengarkan informasi dari orang fasik.Dengan merujuk kepada ayat tersebut, maka kebanyakan ulama berpendapat bahwa, orang fasik saja tidak dapat diterima riwayat hadisnya apalagi orang kafir.
Berbeda lagi yang dikemukakan oleh ulama yang lain. Bahwa hadis adalah sumberajaran pokok yang kedua yang tentu saja perlu untuk kehati-hatian dalam menerima sebua hadits yang diriwayakan dari seseorang. Karena hadis berkenaan dengan sumber ajaran islam. Orang yang tidak beragama islam, bagaimana mungkin dapat diterima beritantnya tentang sumber ajaran islam. Hanya orang yang beragama islam saja yang dapat diterima beritantanya tentang sumber ajaran islam.[8]
b.      Berstatus Mukallaf
Argumen yang mendasari unsur berstatus mulkallaf  ini tidak ada dalil naqly yang sharih, dalam arti khusus untuk syarat periwayatan hadis. Ulama dalam hal ini menggunakan dalil naqly yang bersifat umum.Yakni hadis nabi yang menyatakan bahwa orang gila, orang lupa, anak-anak terlepas dari tanggung jawabya.[9]
Terlepas dari dalil diatas, dalam hal ini dapat dinyakan pula, bahwa argument yang mendasari unsur berstatu s mukallaf adalah argument aksioma juga. Karena pihak yang tidak berakal, atau dalam status tiadak berakal, beritanya yang bersifat umum saja tidak dapat dipercaya, apalagi beritanya yang berisi sumber ajaran agama islam.
c.       Melaksanakan Ketentuan Agama
Dimasukkanya Syarat melaksanakan ketentuan agama sebagai kriteria ‘adil dalam periwayatan hadis.Ini juga berdaraskan pada surah al-Hujrat ayat 49 karena orang fasik adalah oarng yang tidak melaksanakanan ketentuan agama.
Orang yang tidak melaksanakan ketentuan agama tidak merasa berat membuat berita bohong, baik berita yang sifatnya umum maupun yang bersifat khusus, dalam hal ini hadis Nabi.Karenanya, orang yang tidak melaksanakan ketentuan agama tidak dapat diterima beritanya, termasuk berita yang disandarkan kepada Nabi.
Orang yang melaksanakan ketentuan agama selalu merasa diawasi oleh Allah swt atas segala perbuatannya dia tidak berani melakukan perbuatan yang dilarang oleh Allah dan Rasulnya. Dengan demikian dapat dinyatakan, bahwa yang mendasari unsur melaksanakan ketentuan agama bukan hanya argument naqly saja, melainkan  juga argumen akly atau logika.[10]
d.      Memelihara Muru’ah
Sebagian ulama, misalnya Ibnu Qudamah, mendasarkan unsur memelihara muru’ah ini pada hadis Nabi yang mengatakn bahwa pernyataan para Nabi yang telah dikenal manusia ialah, “Bila anda tidak malu, berbuatlah apa yang anda mau.”[11] Orang yang tidak memeiliki rasa malu akan bebas melakukan apa saja yang dikehendakinya. Jadi muru’ah oleh Ibnu Qudamah disamakan artinya dengan rasa malu.
Orang yang memelihara rasa malunya berarti orang itu memelihara muru’ahnya. Orang yang memelihara muru’ahnya berarti tidak akan membuat berita bohong. Karena, orang yang memebuat berita bohonga adalah orang yang melakukan perbuatan hina.Perbuatan hina adalah perbuatan yang selalu dihindari oleh orangyang memelihara muru’ahnya.[12]
Jadi argument-argumen yang mendasari unsur memelihara muru’ah selain berupa dalil naqly, juga berupa dalil aqly dan logika.

B.     Tingkatan Ta’dil dan Lafaz-Lafaznya
Untuk mengukur reputasi baik seorang perawi hadits, baik dari sisi kualitas diri  maupun kedhobitan, para ahli hadits sudah membuat rumusan. Rumusan yang diformulasikan dalam bentuk kata-kata tertentu dibuat berdasarkan ranking.Kata-kata yang digunakan sebagai indikator status seorang perawi.Ranking kata-kata yang diformulasikan sangat beragam, para ahli hadits sendiri belum mencapai kesepakatan.Hal ini disebabkan oleh orientasi yang berbeda antara satu ahli hadits dengan yang lainnya. Tapi untuk lebih memudahkan dalam memahami ranking, penulis mencoba mengambil ranking yang dirumuskan oleh Dr. Abdul Muhdi Abdul Qadir yang merupakan hasil analisa beliau dalam beberapa rumusan ahli hadits, sebagai berikut:
Peringkat pertama: kata-kata yang menunjukkan ta’dil tertinggi. Yang menunjukkan kata superlative dalam penta’dilan atau dengan menggunakan wazan af’ala yang menunjukkan arti sangat dalam kepercayaan.Kata-kata yang digunakan diantaranya:

a.       أوثقالناس             : Orang yang paling diprcaya
b.      أثبتالناس            : Orang yang paling teguh
c.       إليهالمنتهىفيالتثبت: Orang yang paling top keteguhan hati dan lidahnya[13]
Tingkatan kedua: Dengan mengulang-ulang ‘adalahdua kali atau lebih baik yang diulangnya itu bentuk lafaznya sendiri seperti:
a.       ثبتثبت      : Orang yang teguh lagi teguh
b.      ثقةثقة        : Orang yang dipercaya lagi dipercaya
c.       حجةحجة    : Orang yang ahli lagi petah lidahnya
d.      ثبتثقة       : Orang yang tegu lagi dipercaya
e.       حافظحجة   : Orang yang hafiz lagi petah lidahnya
Tingkatan ketiga:yaitu lafaz yang menunjukan pada tingkatan rawi yang mencerminkan kedhabitan, atau menunjukan adanya pentsiqahan tanpa adanya penguatan atas hal itu, seperti ucapan:
a.       ثبت:Orang yang teguh (Hati dan lidahnya)
b.      متقن     : Orang yang meyakinkan (ilmunya)
c.       ثقة: Orang yang terpercaya
d.      حافظ: Orang yang kuat hafalnnya
e.       حجة: Orang petah lidahnya
Tingkatan keempat:yaitu lafazyang menunjukka kepada tingkatan perawi yang tidak mencerminkan kedhabitan penuh, atau yang menunjukan adanya keadilan tanpa adanya isyarat akan kekuatan hafalan dan ketelitian. Seperti ucapan:
a.       صدوق: Jujur
b.      لابأسبه:Tidak mengapa dengannya
c.       مأمون: Orang yang sangat memegang amanat
Tingkatan kelima: yaitu lafaz-lafaz yang menunjukan kepada tingkatan perawi yang terlintas pada pensyaratan dhabit, tetapi lebih kecil kedhabitannya daripada tinkatan keempat. Seperti ucapannya:
a.       محملهالصدق: Orang yang berstatus jujur
b.      جيدالحديث: Orang yang baik hadisnya
c.       سنالحديث: Orang yang bagus hadinya
d.      مقاربالحديث  : Orang yang hadisnya berdekatan dengan hadis orang yang lain tsiqa
Status periwayatan perawi pada peringkat ta’dil pertama sampai dengan peringkat keempat adalah sahih, meskipun berjenjang kekuatan kesahihannya sesuai peringkat.Ilustrasinya, bila periwayatan perawi peringkat pertama bertentangan dengan periwayatan perawi tingkat kedua, maka periwayatan peringkat pertama yang didahulukan, begitu seterusnya.Peringkat kelima status periwayatannya adalah hasan. Sedangkan peringkat keenam, status periwayatannya tidak sahih maupun hasan, yaitu dhaif yang masih ringan, bila ditopang dengan sanad yang kualitasnya sama atau lebih baik maka akan menjadi hadits hasan lighoirihi. Atas dasar ini para ulama hadits telah menetapkan bahwa hadits sohih itu bertingkat-tingkat kualitasnya sesuai dengan kualitas perawinya pada sanad.
C.    Kaedah keadilan periwayat dalam hadis
Para ulama ahli kritik hadis telah menetapkan suatu tehnik atau teori agar penelitian terhadap periwayat hadis dapatlebih obyektib, sebagai berikut:
1.      التعديل مقدم على الجرح
Artinya:Al-Ta’dil didahulukan atas al-Jarh[14]
Maksudnya, bila seorang perawi dinilai terpuji seorang kritikus dan dinilai tercelah oleh kritikus yang lain, maka yang lain dipilih ialahkritikan yang bersifat pujian. Alasannya, sifat dasar periwayat hadis adalah terpuji.Sedangkan sifat tercelah adalah sifat yang datang kemudian.Karenanya, kalau sifat dasar berlawanan dengan sifat yang datang kemudian.Maka yang dimenangkan adalah sifat dasarnya.Pendukung teori ini adalah an-Nasa’i (w. 303 H/915 M), namun pada mulanya para ulama tidak menerima teori tersebut, karena kritikus yang memuji tidak mengetahui ketercelaan perawi yang dinilainya.
2.      الجرح مقدم على التعديل
Artinya: Al-Jarh didahulukan atas at-ta’dil[15]
            Maksudnya, bila seorang periwayat dinilai tercelah oleh seorang kritikus dan dinilai terpuji oleh kritikus yang lainnya.Maka yang didahulukan adalah kritikan yang bernilai celaan.
            Alasannya adalah kritikus yang menyatakan celaan lebih paham terhadap pribadi periwayat yang dicelanya.Dan dasar memuji seorang periwayat adalah prangsangka baik dari pribadi kritikus hadis.Dan prasangka baik itu harus dikalahkan bila ternyata ada bukti tentang ketercelaan yang dimiliki oleh periwayat yang bersangkutan.Pendukung teori ini adalah ulama hadis, ulama fiqhi, dan ulama ushul fiqhi.
Dikatakan oleh Imam Ahmad ”setiap rawi yang telah ditetapkan ‘adalahnya tidak akan diterima pentarjihan dari seorang kecuali betul-betul dan terbukti keadaan rawi itu mengandung jarh.”     
3.      اذا تعارض الجرح و التعدل فالحكم للمعدل الا اذا ثبت الجرح الفسر
Artinya: Apabiala terjadi pertentangan antara kritikan yang memuji dan mencela, maka yang harus didahuluakan ialah kritikan yang memuji. Kecuali apabila kritikan yang memuji.Kecuali apabila kritikan yang mencela diiringi tentang penjelasan sebab-sebabnya.[16]
Maksudnya, apabila seorang periwayat dipuji oleh kritikus tertentu dan dicelah oleh kritkus yang lain. Maka pada dasarnya yang harus dimenangkan adalah kritikan yang memuji.Kecuali jika kritikan yang mencela disertai penjelasan tentang bukti-bukti ketercelaan periwayat yang bersangkutan.
Alasannya, kritikus yang mampu menjelaskan sebab-sebab ketercelaan periwayat yang dinilainya lebih mengetahui lebih mengetahui terhadap pribadi periwayat tersebut daripada keritikus yang hanya mengemukakan pujian terhadap periwayat yang sama.
Pendukung teori ini adalah jumhur ulama yang ahli kritik hadis.Namun, sebagian dari mereka ada yang mengatakan bahwa penjelasan ketercelaan yang dijelaskan haruslah relevan dengan upaya penelitian.Dan bila kritikus yang memuji telah mengetahui juga sebab-sebab ketercelaan periwayat hadis.Yang dinilainya itu dan dia memandang bahwa ketercelaanya iru memang relevan, maka kritikannya yang memuji itu yang harus dipilih.
Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa kontradiktif antara jarh dan ta’dilhanya bisa betul-betul terjadi kalau tidak ditemukan jalan keluarnya. Sedangkan kontradiktif yang masih memungkin dihilangkan tidak dikatakn sebagai kontradiktif, bahkan bisa dicari jalan yang lain dengan jalan tarjih.

4.      اذا كان الجرح ضعيفا فلا يقبل جرحه لثقة
Artinya:Apabila kritikus yang mengemukakan ketercelaan adalah orang yang tergolong dhaif, maka kritiknya terhadap orang yang tsiqah tidak diterima.[17]
Maksudnya apabila yang mengkritik adalah adalah orang yang tidak tsiqah, sedangkan orang yang dikritik adalah oarang yang tsiqah, maka kritikan orang yang tidak tsiqah tersebut haruslah ditolak.
Alasannya, orang yang bersifat tsiqahdikenal sebagai orang yang lebih berhati-hati dan lebih cermat daripada orang yang tidak tsiqah, dalam hal ini dapat dikemukakan pernyataaan al-‘Araj (w. 117 H)[18] berkata bahwa Abu Hurairah banyak menerima hadis dari Nabi saw, selalu hadir pada majlis Nabi sawdan tidaka akan pernah lupa akan apa yang pernah didengarnya dari Nabi saw. Pernyataan al-‘Araj menunjukkan bahwa Abu Hurairah merupakan periwayat hadis yang tsiqah karena al-‘Araj merupakan periwayat yang tergolong tsiqah.
5.      لا يقبل الجرح الا بعد التثبيت خثية الا شياه فى الجروحين
Artinya: Al-Jarh diterimah setelah kecuali setelah ditetapkan (diteliti secara cermat) dengan adanya kekhawatiran terjadinya kesamaan tentang oang-orang yang dicelahnya.[19]
Maksudnya, apabila nama periwayat memiliki kesamaan ataupun kemiripan dengan nama periwayat lain. lalu sala satu dari periwayat itu dikritik dengan celaan maka keritikan itu tidak dapat diterimah. Kecuali jika dapat dipastikan bahwa kritikan itu terhindar dari kekeliruan akibat adanya kesamaan atau kemiripan nama tersebut.
Alasannya, suatu kritikan harus jelas sasarannya.Dalam mengkritik pribadi seseorang, maka orang yang dikritik haruslah jelas dan terhindar dari keragu-raguan dan kerancauan.Pendukung teori ini adalah ulama ahli kritik hadis.

6.      الجرح النا شيأعن عداوة دنيو ية لا يعتد به
Artinya:Al-Jarh yang dikemukakan oleh orang yang melakukan permusuhan dalam urusan keduniaan maka itu tidak perlu diperhatikan.[20]
Maksudnya, apabila kritikus yang mencela periwayat tertentu memiliki perasaan bermusuhan  dalam masalah keduniaan dengan pribadi periwayat yang dikritik dan dicelah itu. Maka kritikan itu harus ditolak.
Alasannya, bahwa pertentangan pribadi dalam masalah keduniaan dapat mengeluarkan penilaian yang tidak jujur.Kritikus yang bermusuhan dalam masalah dunia dengan periwayat yang dikritik dengan dicela dapat tidak berlaku jujur karena didorong oleh rasa kebencian.[21]

BAB III
PENUTUP
A.    Pengertian keadilan dalam periwayatan hadis
Al-Hakim berpendapat bahwa seorang adil apabila beragama islam, tidak berbuat bidah dan tidak berbuat maksiat. Ibnu shalah menetapkan kriteria disebut adil, beragama islam, balig, berakal, memelihara muru’ah dan tidak berbuat maksiat. Pendapat serupa dikemukakan An-Nawawi.Sementara itu Ibnu Hajar menyatakan bahwa sifat adil dimiliki oleh seorang perawi yang bertakwa.
B.     Peringkat keadilan perawi
Tingkat pertama: Yang menggunakan bentuk superlative dalam penya’dilan atau yang menggunakan wazan af’ala. Tingkat kedua: dengan mengulang-ngulang lafaz ‘adalahdua kali atau lebuh baik yang diulanginya itu, bentuk lafaznya sendiri. Tingkatan ketiga: yaitau lafaz yang menunjukan kepada tingkatan rawi yang mencerminkan kedhabitan, atau mencerminkan adanya pentsiqahantanpa ada pungutan atas hal itu. Tingkatan keempat: yaitu lafaz-lafaz yang menunjukan kepada tingkatan perawi yang tidak mencerminkan kedhabitan penuh atau yang menunjukan adanya keadilan tanpa adanya isyarat akan kekuatan hafalan dan ketelitian. Tingkat kelima:lafaz-lafaz yang menunjukan kepada tingkatan perawi yang terlintas persyaratan dhabit. Tetapi lebih kecil kedhabitannya.dari tingkatan yang keempat.
C.     Kaedah keadilan dalam periwayatan hadis.
1.      التعديلمقدمعلىالجرح
2.      الجرحمقدمعلىالتعديل
3.      اذاتعارضالجرحوالتعدلفالحكمللمعدلالااذاثبتالجرحالفسر
4.      اذاكانالجرحضعيفافلايقبلجرحهلثقة
5.      لايقبلالجرحالابعدالتثبيتخثيةالاشياهفىالجروحين
6.      الجرحالناشيأعنعداوةدنيويةلايعتدبه



Daftar Pustaka
Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: Cetakan VIII, 1985)
Manzhur,Ibnu al-Munjid fiy lughat (Beirut: Dar al- Masyriq,1879)
An-Naisabury, Al-Hakim Ma’rifatul Ulum al-Hadis (Maktabah al-Mutanabbih: Kairo
Abu Amar Utsman ibnu abad rahman ibnu shalah al-Maktabah Ulumul Hadis (Kairo: Dar al-Ilmi,1972)
Idris, Studi Hadis (Jakarta: Kencana 2010)
Jumantoro, Totok Kamus Ilmu hadis (Jakarta: FF. Bumi Askara, 1997)
Ismail, M. SyuhudiKaedah Kesahihan Sanad Hadis (Jakarta: PT. Bulan Bintang. 1995)
Bustami dan M.Isa H.A Salam Metodologi kritik Hadis(Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 2003)
Abd Mawjud Ilmu Jarh Wa ta’dil (Beirut: al-Maktab al-Islami, 1399 H)


[1]Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: Cetakan VIII, 1985) h. 16
[2]Ibnu Manzhur, al-Munjid fiy lughat (Beirut: Dar al- Masyriq, 1879) h. 470
[3]Al-Hakim an-Naisabury, Ma’rifatul Ulum al-Hadis (Maktabah al-Mutanabbih: Kairo:al-Buhus al-Islamiyah.1991). H. 193
[4]Abu ‘Amar ‘Utsman ibnu ‘abad rahman ibnu shalah al-Maktabah Ulumul Hadis(Kairo: Dar al-Ilmi,1972) h. 53
[5]Idris, Studi Hadis (Jakarta: Kencana 2010).  h. 163
[6] Totok Jumantoro, Kamus Ilmu hadis (FF. Bumi Askara, 1997). h. 11
[7] M. Syuhudi Ismail. Kaedah Kesahihan Sanad Hadis (Jakarta: PT. Bulan Bintang. 1995). h. 45
[8]Ibid, h. 156
[9]Shahih Bukhari (Beirut: Dar Fikr 1989), Juz III h. 272
[10]Op,cit,.h. 159
[11] Ibnu Qudamah 1963 h. 169
[12]Ibid., h. 160
[13] Abd Mawjud.Ilmu Jarh Wa ta’dil(Beirut: al-Maktab al-Islami, 1399 H), h. 123
[14]M.Syuhudi Ismail Op.cit., 59
[15]Ibid, h. 78
[16] M.Syuhudi Ismail, Metodologi penelitian hadis (Jakarta: PT. Bulan Bintang. 1995).h. 79
[17]Abd Mawjud Op.Cit., h. 79
[18]Bustami dan M.Isa H.A Salam Metodologi kritik Hadis(Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 2003)h. 76
[19]M.Syuhudi Ismail, Metodologi penelitian hadis Op.Cit., h. 80
[20]Ibid, h. 81
[21]Ibid

Tidak ada komentar:

Posting Komentar