BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bisnis modern merupakan realitas yang amat kompleks.
Banyak faktor turut mempengaruhi dan menentukan kegiatan bisnis, antara lain
faktor organisatorismanajerial, teknologis, dan
politik-sosial-kultural. Al-Quran dan Hadist sebagai pedoman umat islam mengatur kegiatan
berbisnis. Akan tetapi pelaksanaan bisnis secara islami belum terwujud. Jika
kita menelusuri sejarah, perdagangan dan kegiatan ekonomi dalam islam tampak
pandangan positif seperti Nabi Muhammad SAW adalah seorang pedagang dan agama
islam disebarluaskan melalui para pedagang muslim. Allah memperbolehkan
kegiatan perdagang tersebut diantaranya jual beli dalam surat Al Baqarah ayat
275.
“Orang-orang yang Makan (mengambil) riba tidak dapat
berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran
(tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan
mereka berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba,
Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang
yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari
mengambil riba), Maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang
larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil
riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di
dalamnya.(Q.S.Al Baqarah:275)”
B. Rumusan
Masalah
Dari uraian latar belakang diatas
maka dapat dirumuskan beberapa masalah yang menjadi acuan pembahasan dalam
makalah ini yaitu:
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Sumpah palsu
Sejarah perniagaan umat manusia telah membuktikan bahwa
diantara metode yang sering ditempuh oleh banyak pedagang guna mengeruk
keuntungan ialah dengan bersumpah. Sumpah sering kali dijadikan sarana guna
meyakinkan calon pembeli atau penjual.Walau demikian adanya, sikap semacam ini
dalam syari’at islam sungguh tercela.
Sikap seorang pedagang yang banyak bersumpah, itu menunjukkan bahwa ia telah
mengkultuskan keuntungan materi, sampai-sampai nama Allah-pun turut ia jadikan
sebagai sarana untuk
mengeruk keuntungan.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الحَلِفُ مَنَفِّقَةٌ لِلسِّلْعَةِ مُمْحِقَةٌ لِلْبَرَكَةِ. متفق عليه
“Sumpah itu akan menjadikan barang dagangan menjadi laris
manis, (akan tetapi) menghapuskankeberkahan.(Muttafaqun‘alaih)
Adapun bila
ternyata sumpahnya adalah sumpah palsu, tentu dosanya lebih besar. Bukan hanaya
menghapuskan keberkahan rizki, akan tetapi juga menjadi biang turunnya
kemurkaan dan siksa Allah, di dunia dan akhirat.
Rosulullah SAW besabda:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ رضى الله عنه عَنِ النَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم قال من
حلف على يمين يقتطع بها مال امرئ وايمانهم فاجر لقي الله وهو على غضبان ْ . رواه
البخاري
“Sahabat Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu, ia
meriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Barang siapa bersumpah
guna mengambil sebagian harta seseorang, sedangkan sumpahnya itu adalah palsu.
Maka ia akan menghadap kepada Allah, sedangkan Allah murka kep Menyembunyikan
cacat dan kekurangan barang”. (HR. Al-Bukhari)
Bersumpah palsu dengan menyebut nama Allah adalah diharamkan. Pertama : Hal itu termasuk kebohongan, dan kebohongan adalah diharamkan. Kedua : Kebohongan ini disandingkan dengan sumpah, sedangkan sumpah adalah pengagungan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Apabila sumpahnya untuk suatu kebohongan, berarti di dalamnya terkandung sikap tanaqqus (penghinaan) terhadap Allah, karena menjadikan namaNya sebagai penguat kebohongan. Oleh karena itu, bersumpah dengan menyebut nama Allah untuk suatu kebohongan menurut sebagian ulama termasuk sumpah palsu yang menyebabkan pelakunya terjerumus kepada dosa, kemudian ke neraka.
Bersumpah palsu dengan menyebut nama Allah adalah diharamkan. Pertama : Hal itu termasuk kebohongan, dan kebohongan adalah diharamkan. Kedua : Kebohongan ini disandingkan dengan sumpah, sedangkan sumpah adalah pengagungan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Apabila sumpahnya untuk suatu kebohongan, berarti di dalamnya terkandung sikap tanaqqus (penghinaan) terhadap Allah, karena menjadikan namaNya sebagai penguat kebohongan. Oleh karena itu, bersumpah dengan menyebut nama Allah untuk suatu kebohongan menurut sebagian ulama termasuk sumpah palsu yang menyebabkan pelakunya terjerumus kepada dosa, kemudian ke neraka.
B. Menyembunyikan cacat dan
kekurangan barang
Di antara ulah
sebagian pedagang yang tidak mencerminkan akan identitas
selaku seorang mukmin ialah perbuatan menyembunyikan cacat dan kekurangan
barang. Berbagai trik dan
cara ditempuh oleh para pemuja harta kekayaan guna menyembunyikan cacat barang.
Apapun yang di lalukan, selama
itu bertujuan untuk menyembunyikan kekurangan barang dagangan maka itu adalah perbuatan tercela. Rosulullah SAW berabda:
عن أبي هريرة رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه و سلم: مر على صبرة
طعام فادخل يده فيها فنالت أصابعه بللا،
فقال: ما هذا يا صاحب الطعام؟ قال: أصابتهاالسماء قال: أفلا جعلته فوق الطعام كي
يراه الناس، من غش فليس مني رواه مسلم
”Dari sahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu
bahwasannya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada suatu saat melewati
seonggokan bahan makanan, kemudian beliau memasukkan tangannya ke dalam bahan
makanan tersbeut, lalu jari-jemari beliau merasakan sesuatu yang basah, maka
beliau bertanya: “Apakah ini wahai pemilik bahan makanan?” Ia menjawab:
“Terkena hujan, ya Rasulullah!” Beliau bersabda: “Mengapa engkau tidak
meletakkannya dibagian atas, agar dapat diketahui oleh orang, barang siapa yang
mengelabuhi maka bukan dari golonganku.” (Riwayat Muslim)
C. Mengurangi Takaran
Salah satu cermin keadilan adalah menyempurnakan timbangan
dan takaran. Tetapi yang terjadi di
masyarakat kini justru lebih dari itu, bukan hanya mengurangi takaran dan
timbangan namun apa saja yang dapat dicurangi maka dicurangi. Bahkan yang tidak
dapat dicurangi pun dicari jalannya, dikotak-katik agar dapat dicurangi.
Sedangkan ketika masyarakat telah mengurangi takaran dan timbangan (belum yang
lain-lain) saja sudah diancam dalam hadits sebagai berikut:
وَلَمْ يَنْقُصُوا الْمِكْيَالَ
وَالْمِيزَانَ ، إِلَّا أُخِذُوا بِالسِّنِينَ ، وَشِدَّةِ الْمَئُونَةِ ،
وَجَوْرِ السُّلْطَانِ عَلَيْهِمْ
“Dan tidaklah orang-orangmengurangi
takaran dan timbangan kecuali mereka akan disiksa dengan paceklik, sulitnya
(bahan) kebutuhan, dan dhalimnya penguasaatas mereka.” (HR. Ibnu Majah no 4019, hasan menurut
Al-Albani dalam As-Silisilah As-Shohihah 106/ 4009).
Sekali
lagi, di masyarakat ini, yang dicurangi itu bukan hanya takaran dan timbangan,
namun sudah menjalar sampai aneka macam jenis apapun. Dan pelakunya bukan hanya
rakyat tetapi juga pemimpinnya. (Buktinya, betapa banyak pemimpin yang dihukum
penjara karena terbukti korupsi. Itu saja yang ketahuan dan tertangkap. Entah
berapa lagi yang tidak terdeteksi). Sampai di masyarakat ada pemeo: kalau yang
dititipkan itu duit maka bakal berkurang. Tetapi kalau yang dititipkan itu
omongan (perkataan) maka bakal bertambah. Ini artinya, sudah curang masih
bohong pula atau menjilat pula. Dalam kondisi yang masyarakat dan pemimpinnya
seperti itu, tahu-tahu di sana-sini ada yang mati kelaparan. Sementara itu
rumah jabatan yang belum jebol dan atapnya tidak bocor pun direnovasi dengan
menghabiskan ratusan miliar rupiah.
D.
Menyenbunyikan harga kini
Maksud menyembunyikan harga adalah
menyebutkan harga yang tidak sesuai dengan harga yang berlaku secara umum.
Dalam perdagangan sering kita jumpai pedagang yang menyebutkan harga modal yang
tidak sesuai dengan maksud meyakinkan pembeli akan harga yang dia tawarkan,
sehingga dia bisa memperoleh keuntungan yang berlipat ganda. Memperoleh
keuntungan dalam suatu perdagangan memang tidak dilarang, namun keuntungan
tersebut harus sesuai dengan modal. Janganlah seorang pedagang meraup
keuntungan berkali-kali lipat dan tidak wajar dari harga modalnya, sehingga si pembeli
tertipu dengan harga tersebut.
Dalam hal
ini Rasulullah bersabda yang artinya: “Dari Thowus, dari Ibnu Abbas RA berkata:
Bersabda Rasullullah SAW “Janganlah kamu menjemput para pedagang yang
membawa dagangan mereka sebelum diketahui harga pasaran dan janganlah orang
kota menjual barang yang diketahui orang desa”. Aku bertanya kepada Ibnu Abbas:
“Apa yang dimaksud dari sabda Rasulullah tersebut? Jawab Ibnu Abbas,
”Maksudnya, janganlah orang kota menjadi perantara bagi orang desa”.
E. Penundaan
pembayaran hutang
Rasulullah
SAW bersabda:
عن ابي هريرة رضي الله تعالى عنه قال : قال رسول الله صلي الله عليه وسلم ”
مطل
ظلم واذا اتبع احدكم علي ملئ فليتبع (متفق عليه) وفي رواية لاحمد : “ومن احيل فليحتل الغني
ظلم واذا اتبع احدكم علي ملئ فليتبع (متفق عليه) وفي رواية لاحمد : “ومن احيل فليحتل الغني
Artinya : Dari Abu
Hurairah r.a beliau berkata : Rosulullah SAW bersabda “ penundaan pembayaran hutang oleh
orang kaya itu adalah kedzaliman, dan jika seseorang diantara kamu dialihkan
kepada orang yang mudah membayar hutang, maka hendaklah ia beralih. (HR.
MuttafaqAlaih)
Hadist tersebut
mengandung tuntunan untuk menyegerakan pembayaran hutang bagi orang yang mampu
untuk membayarnya. Selain itu pula juga terdapat peringatan bahwa menunda-nunda
pembayaran hutang termasuk perbuatan dzholim. Akan tetapi yang
dimaksud disini ialah penundaan pembayaran yang seharusnya segera dilaksanakan
oleh orang yang mampu melaksanakannya tanpa uzur. Berbeda halnya dengan orang
yang tidak mampu, maka ia boleh menunda pembayaran hutangnya hingga mampu. Sedang perintah mengalihkan pada hadist tersebut
menunjukkan kebolehan aqad hiwalah (pemindahan hutang) menurut pendapat Imam
Zhohiri pengalihan ini wajib hukumnya sedang jumhur ulama menafsirkannya dengan
sunnat saja/lebih baik.
Penundaan pembayaran
hutang yang dilakukan oleh orang yang mampu termasuk dosa besar dan pelakunya
menjadi fasiq karenanya. Ada perbedaan pendapat tentang kefasiqan ini, apakah
fasiq itu jatuh sebelum penagihan hutang atau menjadi fasiq dengan sendirinya
karena penundaan itu. Hal ini disebabkan penafsiran yang timbul dari hadist ini
bahwa orang yang menghutangi harus menagih terlebih dahulu, karena sesungguhnya
penundaan pembayaran hutang tidak akan terjadi kecuali bersama penagihan itu. Jika si penghutang sengaja menunda pembayaran setelah
jatuh tempo, maka ia menjadi fasiq sebelum penagihan hutang itu, dan apabila si
penghutang sengaja menunda pembayaran hutang setelah orang yang berpiutang
menagih, maka ia menjadi fasiq pada saat penagihan, dan apabila si penghutang
memang benar-benar sengaja berniat dari awal akan menunda pembayaran hutang,
maka ia akan menjadi fasiq dengan sendirinya.
F. Riba
Shahabat yg mulia Abdullah bin
Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata:
لَعَنَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ آكِلَ الرِّبَا وَمُؤْكِلَهُ
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
melaknat orang yg memakan riba dan yg memberi riba.” (HR Al-Imam Muslim ra. - kitab Al-Musaqat
bab Lu’ina Akilur Riba wa Mu’kiluhu no. 4068)
Hadits diatas mengabarkan laknat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap orang yg mengambil dan memberi riba mencatat transaksi riba dan menjadi saksinya. Mendapatkan laknat berarti mendapatkan celaan dan terjauhkan dari rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala. Karena laknat memiliki dua makna: Pertama: bermakna celaan dan cercaan. Kedua: bermakna terusir dan terjauhkan dari rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala Dengan demikian pihak-pihak yg bersentuhan dengan muamalah riba ini terjauhkan dari rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala. Padahal seorang hamba amat sangat membutuhkan rahmat-Nya.
Hadits diatas mengabarkan laknat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap orang yg mengambil dan memberi riba mencatat transaksi riba dan menjadi saksinya. Mendapatkan laknat berarti mendapatkan celaan dan terjauhkan dari rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala. Karena laknat memiliki dua makna: Pertama: bermakna celaan dan cercaan. Kedua: bermakna terusir dan terjauhkan dari rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala Dengan demikian pihak-pihak yg bersentuhan dengan muamalah riba ini terjauhkan dari rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala. Padahal seorang hamba amat sangat membutuhkan rahmat-Nya.
Di samping akibat buruk dari perbuatan riba
yg telah disebutkan di atas Rasul yg mulia Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga
telah mengabarkan bahwa mengambil riba termasuk dari tujuh dosa yg membinasakan
pelakunya. Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata mengabarkan sabda Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوْبِقَاتِ.
قُلْنَا: وَمَا هُنَّ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: الشِّرْكُ بِاللهِ، وَالسِّحْرُ،
وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِي حَرَّمَ اللهُ إِلاَّ بِالْحَقِّ، وَأَكْلُ الرِّباَ ،
وَأَكْلُ مَالَ الْيَتِيْمِ، وَالتَّوَلِّي يَوْمَ الزَّحْفِ، وَقَذْفُ
الْمُحْصَنَاتِ الْغَافِلاَتِ الْمُؤْمِنَاتِ
“Jauhilah oleh kalian tujuh perkara yg
membinasakan.” Kami bertanya: “Apakah tujuh perkara itu wahai Rasulullah?”
Beliau menjawab: “Menyekutukan Allah sihir membunuh jiwa yg diharamkan oleh
Allah utk dibunuh kecuali dgn haq memakan riba memakan harta anak yatim
berpaling/lari pada hari bertemu dua pasukan dan menuduh wanita baik-baik yg
menjaga kehormatan diri berzina.”
Di antara sekian hadits yg membicarakan
tentang azab yg diterima “tukang” riba kelak di hari kiamat dibawakan Al-Imam
Bukhari rahimahullahu dlm kitab Shahih- dari shahabat yg mulia Samurah bin
Jundab radhiyallahu ‘anhu dlm hadits yg panjang tentang mimpi Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di antara isi mimpi beliau Shallallahu ‘alaihi
wa sallam dikisahkan:
رَأَيْتُ اللَّيْلَةَ رَجُلَيْنِ أَتَيَانِي،
فَأَخْرَجَانِي إِلَى أَرْضٍ مُقَدَّسَةٍ، فَانْطَلَقْنَا حَتَّى أَتَيْنَا عَلَى
نَهْرٍ مِنْ دَمٍ، فِيْهِ رَجُلٌ قَائِمٌ وعَلَى وَسَطِ النَّهْرِ رَجُلٌ بَيْنَ
يَدَيْهِ حِجَارَةٌ. فَأَقْبَلَ الرَّجُلُ الَّذِي فِي النَّهْرِ،
فَإِذَا أَرَادَ الرَّجُلُ أَنْ يَخْرُجَ رَمَى الرَّجُلُ بِحَجَرٍ فِي فِيْهِ
فَرَدَّهُ حَيْثُ كَانَ، فَجَعَلَ كُلَّمَا جَاءَ لِيَخْرُجَ رَمَى فِي فِيْهِ
بِحَجَرٍ فَيَرْجِعُ كَمَا كَانَ، فَقُلْتُ: مَا هذَا؟ فَقَالَ: الَّذِى
رَأَيْتَهُ فِي النَّهْرِ آكِلُ الرِّبَا
“Aku melihat pada malam itu dua orang
laki-laki mendatangiku. Lalu kedua mengeluarkan aku menuju ke tanah yg
disucikan. Kemudian kami berangkat hingga kami mendatangi sebuah sungai darah.
Di dalam ada seorang lelaki yang sedang berdiri sementara di atas bagian tengah
sungai tersebut ada seorang lelaki yang di hadapan terdapat bebatuan. Lalu
menghadaplah lelaki yang berada di dalam sungai. Setiap kali lelaki itu hendak
keluar dari dalam sungai lelaki yang berada di bagian atas dari tengah sungai
tersebut melempar dagan batu pada bagian mulutnya. maka si lelaki itu pun
tertolak ke tempat semula. Setiap kali ia hendak keluar ia dilempari dangan
batu pada mulut hingga ia kembali pada posisi semula . Aku pun bertanya: ‘Siapa
orang itu ?’ Dijawab: ‘Orang yang engkau lihat di dalam sungai darah tersebut
adalah pemakan riba’.”
G. Najasy
Dalam dunia bisnis komoditas tertentu, ada
sebuah cara yang bisa dilakukan oleh pemilik barang untuk memperoleh keuntungan
dengan menggunakan seseoranga atau sekelompok orang untuk berpura-pura menawar
barang dagangannya dengan harga tinggi dengan maksud untuk memancing keinginan
para calon pembeli barang tersebut untuk menawarnya dengan harga tinggi (atau
bahkan lebih tinggi daripada nilai tawar barang tersebut), yang dalam istilah
fikih dikenal dengan sebutan “najasy” (jual-beli najasy).
Jual-beli dengan pola ini jelas dilarang oleh Islam, karena akan berakibat
merugikan para pembeli. Inilah praktik jual-beli yang berujung pada “riba”.
Rosulullah SAW bersabda:
عَنِ
ابْنِ عُمَرَ : أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- نَهَى عَنِ النَّجْشِ.
وَ فِيْ لَفْظٍ وَ لاَ تَنَاجَشُوْا. رَوَاهُ الْبُخَارِ
Dari
Ibnu ‘Umar r.a.: “Bahwasanya Rasulullah saw melarang jual-beli dengan cara
najasy”. Dan dalam lafazh yang lain dinyatakan: ”Janganlah kamu sekalian
melakukan jual-beli dengan cara najasy”.(HRal-Bukhari)
Rasulullah
s.a.w. pada prinsipnya melarang bai’ an-najasy. An-Najasy
yang dimaksud dalam hadis ini ialah bentuk praktik julal-beli sebagai berikut:
seseorang yang telah ditugaskan menawar barang mendatangi penjual lalu menawar
barang tersebut dengan harga yang lebih tinggi dari yang biasa. Hal itu
dilakukannya dihadapan pembeli dengan tujuan memperdaya si pembeli. Sementara
ia sendiri tidak berniat untuk membelinya, namun tujuannya semata-mata ingin
memperdaya si pembeli dengan tawarannya tersebut. Ini termasuk bentuk penipuan,
dan oleh karenanya disebut sebagai praktik jual-beli yang terlarang.
H.
‘Inah
Jual beli dengan cara Al-‘Inah adalah
seseorang menjual suatu barang dengan harga tertentu secara kredit lalu ia
kembali membelinya dari pembeli dengan harga yang lebih sedikit secara kontan. Hakikatnya
ia tidaklah dianggap sebagai jual beli, melainkan hanya sekedar pinjaman riba
yang disamarkan dalam bentuk jual beli dan termasuk bentuk hilah (tipu daya)
orang-orang yang senang melakukan riba.
Contoh :
Ahmad menjual barang kepada Muhammad dengan harga Rp. 1.000.000,- secara kredit
selama satu bulan, kemudian Ahmad atau yang mewakilinya kembali datang kepada
Muhammad membeli barang tersebut dengan harga Rp. 800.000,- secara kontan.
Rasulullah shollallahu ‘alahi wa ‘ala alihi wa
sallam :
إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِالْعِيْنَةِ وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِ وَرَضِيْتُمْ بِالزَّرْعِ وَتَرَكْتُمُ الْجِهَادَ سَلَّطَ اللهُ عَلَيْكُمْ ذُلاًّ لاَ يَنْزِعُهُ حَتَّى تَرْجِعُوْا إِلَى دِيْنِكُمْ
“Apabila kalian
telah berjual beli dengan cara Al-‘Inah dan kalian telah ridho dengan perkebunan
dan kalian telah mengambil ekor-ekor sapi dan kalian meninggalkan jihad, maka
Allah akan menimpakan kepada kalian suatu kehinaan yang (Allah) tidak akan
mencabutnya sampai kalian kembali kepada agama kalian”. (HR.
Abu Daud dan lain-lainnya dan dishohihkan oleh Syaikh Al-Albany dalam
Ash-Shohihah No. 11).
Hadits diatas adalah ancaman yang sangat keras
dan peringatan yang sangat tegas berupa kehinaan bagi orang yang melakukan
pelanggaran yang tersebut dalam hadits yang diantaranya adalah jual beli dengan
cara Al-‘Inah. Bahkan seakan-akan pelakunya sama kedudukannya dengan orang yang
keluar dari agama sehingga diakhir hadits dikatakan, “maka Allah akan
menimpakan kepada kalian suatu kehinaan yang (Allah) tidak akan mencabutnya
sampai kalian kembali kepada agama kalian”. Semua ini menunjukkan haramnya
jual beli dengan cara Al-‘Inah.
I. Ghoror
Kata Al
Ghoror dalam bahasa Arab bermakna pertaruhan (Al Khathr). Sehingga syeikhul Islam
Ibnu Taimiyah menyatakan: Al-Ghoror adalah yang tidak jelas hasilnya (Majhul Al
‘Aqibah). Sedangkan menurut Syeikh As-Sa’di, Al-Ghoror adalah Al Mukhothorah
(pertaruhan) dan Al Jahalah (ketidak jelasan). Hal ini masuk dalam perjudian. Ghoror
(Adanya Spekulasi yang tinggi) dan jahalah (adanya sesuatu yang tidak jelas).
Menurut keterangan Syeikh Al Sa’di. Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah menyatakan: Semua jual beli ghoror seperti menjual burung diudara, onta dan budak yang kabur, buah-buahan sebelum tampak buahnya dan jual beli Al Hashaah seluruhnya termasuk perjudian yang Allah haramkan dalam Al Qur’an. Ini bisa diliat dalam kitab mukhtashor Al Fatawa Al Mishriyah, Ibnu Taimiyah, Tahqiq Abdulmajid Sulaim, Dar AL Kutub Al Ilmiyah hal 342
Menurut keterangan Syeikh Al Sa’di. Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah menyatakan: Semua jual beli ghoror seperti menjual burung diudara, onta dan budak yang kabur, buah-buahan sebelum tampak buahnya dan jual beli Al Hashaah seluruhnya termasuk perjudian yang Allah haramkan dalam Al Qur’an. Ini bisa diliat dalam kitab mukhtashor Al Fatawa Al Mishriyah, Ibnu Taimiyah, Tahqiq Abdulmajid Sulaim, Dar AL Kutub Al Ilmiyah hal 342
Hukumnya Jenis jual beli ini dilarang dalam syariat Islam dengan
dasar larangan Rasululloh n dalam hadits Abu Hurairoh yang berbunyi :
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الْحَصَاةِ وَعَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ
Rasululloh
melarang jual beli Al Hashah dan jual beli Gharar
J. Tadlis
Para fukaha mengartikan tadlîs
di dalam jual-beli adalah menutupi aib barang. Hanya saja, dari deskripsi nas
yang ada, tadlis tidak selalu dalam bentuk ditutupinya atau tidak dijelaskannya
aib atau cacat barang. Tadlis juga terjadi ketika barang (baik barang yang
dijual atau kompensasinya baik berupa uang atau barang lain) ternyata tidak
sesuai dengan yang dideskripsikan atau yang ditampakkan, meski tidak ada cacat.
Tadlis hukumnya haram.
Siapa saja yang melakukannya berdosa. Sebab, tadlis itu merupakan bagian dari
penipuan dan Rasulullah saw. bersabda:
ليس
منا من غس
“Tidak
termasuk golongan kami orang yang menipu” (HR
Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi dan Ibn Majah).
Rasulullah saw. juga secara
jelas menyatakannya dengan frasa lâ yahillu (tidak halal) dalam hadis
yang mendeskripsikan tadlis. Dari situ jelas bahwa tadlis merupakan tatacara
perolehan harta yang diharamkan. Siapa saja yang memperoleh harta melalui
tadlis, maka harta itu haram baginya dan secara syar’i ia tidak memiliki harta
itu, meski ia kuasai. Allah akan mencabut berkah dari harta hasil tadlis itu.
Rasulullah saw bersabda:
وان كتما وكذبا محقت ركة يتفرقا فان تفرقا
وبينا بورك لهما في بيعهماالبيعان بالخيارمالم بيعها
“Penjual dan pembeli memiliki khiyar
selama belum berpisah. Jika keduanya berpisah dan berlaku transparan
(menjelaskan barang dan harga apa adanya) maka diberikan berkah dalam jual-beli
keduanya. Jika keduanya saling menyembunyikan (cacat) dan berdusta maka itu
menghanguskan berkah jual-belinya” (HR al-Bukhari, Muslim, at-Tirmidzi,
Abu Dawud dan al-Baihaqi).
Jika terjadi tadlis maka
orang yang tertipu (al-mudallas) memiliki khiyar. Ia boleh tetap melanjutkannya
dan mempertahankan barang itu, yang artinya ia ridha dengan barang itu. Ia juga
boleh mem-fasakh (membatalkan) akad jual-beli itu, yakni ia kembalikan barang
tersebut dan meminta kembali secara penuh harga yang telah ia bayarkan. Tidak
ada opsi ketiga selain dua opsi itu.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Bisnis yang
menguntungkan adalah bisnis yang dilakukan dengan investasi yang
sebaik-baiknya, keputusan yang
sehat dan perilaku yang benar. Perilaku bisnis yang dilarang oleh Islam adalah
adanya praktek riba dan penipuan. Langkah yang dapat dilakukan sekaligus solusi
alternatif untuk mewujudkan etika bisnis sesuai dengan sistem ekonomi Islam
adalah menanamkan pemahaman tentang penting etika berbisnis melalui Al Quran maupun Al-Hadits, pencerahan etika
bisnis melalui media dan penggalangan aksi untuk mengarahkan bisnis yang
beretika Islami dan upaya legitimasi melalui ayat-ayat Al-Quran dan Al-Hadits.
Setiap pebisnis tidak dilarang untuk
mengejar atau mendapatkan keuntungan, bahkan dalam dunia bisnis mengejar
keuntungan adalah sebuah keharusan yang diprioritaskan demi kelangsungan bisnis
itu sendiri. Namun demikian, untuk memperoleh keuntungan tersebut haruslah
dilakukan dengan cara-cara yang baik dan dalam suasana yang baik pula. Salah
satu hal yang harus diperhatikan oleh pebisnis muslim adalah menciptakan
suasana lingkungan bisnis yang islami. Adapun hal-hal yang telah penulis
paparkan dalam makalah ini dapat menjadi sedikit modal dan acuan dalam
menjalankan bisnis yang islami.
B. SARAN
Dengan adanya materi etika dalam berbisnis
ini, kami harap akan semakin menambah
wawasan kita tentang prilaku-perilaku bisnis yang tercelah yang sering terjadi
dalam masyarakat sehinggah kita dapat melakukan pengendalian atau mencegah
perilaku tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Syekh
Muhammad Yusuf Qardawi. Halal dan Haram dalam Islam. PT Bina Ilmu, 1993
Henro
Wibowo. Konsep etika bisnis dalam Islam. Bogor 2009
Qomar
Su’aidi Lc, Mulakhos Fiqhi juz II. Jakarta 2007
Abdurrahman
Nasir Al-Sa’adi. Majmu’ Fatwa, Mesir 1992
Merza
Gamal. Konsep bisnis dalam Al-Quran, PT Raja Grafindo, 2009
Ziad
Ghazal. Al-Buyu’ fi Ad-Dawlah Al-Islamiyah, Amman Yordania, 2010
Majalah
As-Sunnah edisi 03/IX/1426H/2005M
Tidak ada komentar:
Posting Komentar