Kamis, 08 Desember 2016

PERILKU-PERILAKU YANG TERCELAH DALAM BERBISNIS



BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Bisnis modern merupakan realitas yang amat kompleks. Banyak faktor turut mempengaruhi dan menentukan kegiatan bisnis, antara lain faktor organisatorismanajerial, teknologis, dan politik-sosial-kultural. Al-Quran dan Hadist sebagai pedoman umat islam mengatur kegiatan berbisnis. Akan tetapi pelaksanaan bisnis secara islami belum terwujud. Jika kita menelusuri sejarah, perdagangan dan kegiatan ekonomi dalam islam tampak pandangan positif seperti Nabi Muhammad SAW adalah seorang pedagang dan agama islam disebarluaskan melalui para pedagang muslim. Allah memperbolehkan kegiatan perdagang tersebut diantaranya jual beli dalam surat Al Baqarah ayat 275.
Orang-orang yang Makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.(Q.S.Al Baqarah:275)”
B. Rumusan Masalah
            Dari uraian latar belakang diatas maka dapat dirumuskan beberapa masalah yang menjadi acuan pembahasan dalam makalah ini yaitu:
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Sumpah palsu
                Sejarah perniagaan umat manusia telah membuktikan bahwa diantara metode yang sering ditempuh oleh banyak pedagang guna mengeruk keuntungan ialah dengan bersumpah. Sumpah sering kali dijadikan sarana guna meyakinkan calon pembeli atau penjual.Walau demikian adanya, sikap semacam ini dalam syari’at islam sungguh tercela. Sikap seorang pedagang yang banyak bersumpah, itu menunjukkan bahwa ia telah mengkultuskan keuntungan materi, sampai-sampai nama Allah-pun turut ia jadikan sebagai sarana untuk mengeruk keuntungan.                                                                               
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الحَلِفُ مَنَفِّقَةٌ لِلسِّلْعَةِ مُمْحِقَةٌ لِلْبَرَكَةِ. متفق عليه
“Sumpah itu akan menjadikan barang dagangan menjadi laris manis, (akan tetapi) menghapuskankeberkahan.(Muttafaqun‘alaih)                                                                                                                      Adapun bila ternyata sumpahnya adalah sumpah palsu, tentu dosanya lebih besar. Bukan hanaya menghapuskan keberkahan rizki, akan tetapi juga menjadi biang turunnya kemurkaan dan siksa Allah, di dunia dan akhirat.
 Rosulullah SAW besabda:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ رضى الله عنه عَنِ النَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم قال من حلف على يمين يقتطع بها مال امرئ وايمانهم فاجر لقي الله وهو على غضبان ْ . رواه البخاري
“Sahabat Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu, ia meriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Barang siapa bersumpah guna mengambil sebagian harta seseorang, sedangkan sumpahnya itu adalah palsu. Maka ia akan menghadap kepada Allah, sedangkan Allah murka kep Menyembunyikan cacat dan kekurangan barang. (HR. Al-Bukhari)
                Bersumpah palsu dengan menyebut nama Allah adalah diharamkan. Pertama : Hal itu termasuk kebohongan, dan kebohongan adalah diharamkan. Kedua : Kebohongan ini disandingkan dengan sumpah, sedangkan sumpah adalah pengagungan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Apabila sumpahnya untuk suatu kebohongan, berarti di dalamnya terkandung sikap tanaqqus (penghinaan) terhadap Allah, karena menjadikan namaNya sebagai penguat kebohongan. Oleh karena itu, bersumpah dengan menyebut nama Allah untuk suatu kebohongan menurut sebagian ulama termasuk sumpah palsu yang menyebabkan pelakunya terjerumus kepada dosa, kemudian ke neraka.
B.     Menyembunyikan cacat dan kekurangan barang
            Di antara ulah sebagian pedagang yang tidak mencerminkan akan identitas selaku seorang mukmin ialah perbuatan menyembunyikan cacat dan kekurangan barang. Berbagai trik dan cara ditempuh oleh para pemuja harta kekayaan guna menyembunyikan cacat barang. Apapun yang  di lalukan, selama itu bertujuan untuk menyembunyikan kekurangan barang dagangan  maka itu adalah perbuatan tercela. Rosulullah SAW berabda:
عن أبي هريرة رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه و سلم: مر على صبرة طعام فادخل يده فيها فنالت  أصابعه بللا، فقال: ما هذا يا صاحب الطعام؟ قال: أصابتهاالسماء قال: أفلا جعلته فوق الطعام كي يراه الناس، من غش فليس مني  رواه مسلم
Dari sahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu bahwasannya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada suatu saat melewati seonggokan bahan makanan, kemudian beliau memasukkan tangannya ke dalam bahan makanan tersbeut, lalu jari-jemari beliau merasakan sesuatu yang basah, maka beliau bertanya: “Apakah ini wahai pemilik bahan makanan?” Ia menjawab: “Terkena hujan, ya Rasulullah!” Beliau bersabda: “Mengapa engkau tidak meletakkannya dibagian atas, agar dapat diketahui oleh orang, barang siapa yang mengelabuhi maka bukan dari golonganku.” (Riwayat Muslim)
C.    Mengurangi Takaran
Salah satu cermin keadilan adalah menyempurnakan timbangan dan takaran. Tetapi yang terjadi di masyarakat kini justru lebih dari itu, bukan hanya mengurangi takaran dan timbangan namun apa saja yang dapat dicurangi maka dicurangi. Bahkan yang tidak dapat dicurangi pun dicari jalannya, dikotak-katik agar dapat dicurangi. Sedangkan ketika masyarakat telah mengurangi takaran dan timbangan (belum yang lain-lain) saja sudah diancam dalam hadits sebagai berikut:
        وَلَمْ يَنْقُصُوا الْمِكْيَالَ وَالْمِيزَانَ ، إِلَّا أُخِذُوا بِالسِّنِينَ ، وَشِدَّةِ الْمَئُونَةِ ، وَجَوْرِ السُّلْطَانِ عَلَيْهِمْ
“Dan tidaklah orang-orangmengurangi takaran dan timbangan kecuali mereka akan disiksa dengan paceklik, sulitnya (bahan) kebutuhan, dan dhalimnya penguasaatas mereka.” (HR. Ibnu Majah no 4019, hasan menurut Al-Albani dalam As-Silisilah As-Shohihah 106/ 4009).

Sekali lagi, di masyarakat ini, yang dicurangi itu bukan hanya takaran dan timbangan, namun sudah menjalar sampai aneka macam jenis apapun. Dan pelakunya bukan hanya rakyat tetapi juga pemimpinnya. (Buktinya, betapa banyak pemimpin yang dihukum penjara karena terbukti korupsi. Itu saja yang ketahuan dan tertangkap. Entah berapa lagi yang tidak terdeteksi). Sampai di masyarakat ada pemeo: kalau yang dititipkan itu duit maka bakal berkurang. Tetapi kalau yang dititipkan itu omongan (perkataan) maka bakal bertambah. Ini artinya, sudah curang masih bohong pula atau menjilat pula. Dalam kondisi yang masyarakat dan pemimpinnya seperti itu, tahu-tahu di sana-sini ada yang mati kelaparan. Sementara itu rumah jabatan yang belum jebol dan atapnya tidak bocor pun direnovasi dengan menghabiskan ratusan miliar rupiah.
D.    Menyenbunyikan harga kini
Maksud menyembunyikan harga adalah menyebutkan harga yang tidak sesuai dengan harga yang berlaku secara umum. Dalam perdagangan sering kita jumpai pedagang yang menyebutkan harga modal yang tidak sesuai dengan maksud meyakinkan pembeli akan harga yang dia tawarkan, sehingga dia bisa memperoleh keuntungan yang berlipat ganda. Memperoleh keuntungan dalam suatu perdagangan memang tidak dilarang, namun keuntungan tersebut harus sesuai dengan modal. Janganlah seorang pedagang meraup keuntungan berkali-kali lipat dan tidak wajar dari harga modalnya, sehingga si pembeli tertipu dengan harga tersebut.
Dalam hal ini Rasulullah bersabda yang artinya: “Dari Thowus, dari Ibnu Abbas RA berkata: Bersabda Rasullullah SAW “Janganlah kamu menjemput para pedagang yang membawa dagangan mereka sebelum diketahui harga pasaran dan janganlah orang kota menjual barang yang diketahui orang desa”. Aku bertanya kepada Ibnu Abbas: “Apa yang dimaksud dari sabda Rasulullah tersebut? Jawab Ibnu Abbas, ”Maksudnya,  janganlah orang kota menjadi perantara bagi orang desa”.
E.     Penundaan pembayaran hutang
Rasulullah SAW bersabda:
عن ابي هريرة رضي الله تعالى عنه قال : قال رسول الله صلي الله عليه وسلم ” مطل
ظلم واذا اتبع احدكم علي ملئ فليتبع (متفق عليه) وفي رواية لاحمد : “ومن احيل فليحتل  الغني
Artinya : Dari Abu Hurairah r.a beliau berkata : Rosulullah SAW bersabda “ penundaan pembayaran hutang oleh orang kaya itu adalah kedzaliman, dan jika seseorang diantara kamu dialihkan kepada orang yang mudah membayar hutang, maka hendaklah ia beralih. (HR. MuttafaqAlaih)
Hadist tersebut mengandung tuntunan untuk menyegerakan pembayaran hutang bagi orang yang mampu untuk membayarnya. Selain itu pula juga terdapat peringatan bahwa menunda-nunda pembayaran hutang termasuk perbuatan dzholim. Akan tetapi yang dimaksud disini ialah penundaan pembayaran yang seharusnya segera dilaksanakan oleh orang yang mampu melaksanakannya tanpa uzur. Berbeda halnya dengan orang yang tidak mampu, maka ia boleh menunda pembayaran hutangnya hingga mampu. Sedang perintah mengalihkan pada hadist tersebut menunjukkan kebolehan aqad hiwalah (pemindahan hutang) menurut pendapat Imam Zhohiri pengalihan ini wajib hukumnya sedang jumhur ulama menafsirkannya dengan sunnat saja/lebih baik.
Penundaan pembayaran hutang yang dilakukan oleh orang yang mampu termasuk dosa besar dan pelakunya menjadi fasiq karenanya. Ada perbedaan pendapat tentang kefasiqan ini, apakah fasiq itu jatuh sebelum penagihan hutang atau menjadi fasiq dengan sendirinya karena penundaan itu. Hal ini disebabkan penafsiran yang timbul dari hadist ini bahwa orang yang menghutangi harus menagih terlebih dahulu, karena sesungguhnya penundaan pembayaran hutang tidak akan terjadi kecuali bersama penagihan itu. Jika si penghutang sengaja menunda pembayaran setelah jatuh tempo, maka ia menjadi fasiq sebelum penagihan hutang itu, dan apabila si penghutang sengaja menunda pembayaran hutang setelah orang yang berpiutang menagih, maka ia menjadi fasiq pada saat penagihan, dan apabila si penghutang memang benar-benar sengaja berniat dari awal akan menunda pembayaran hutang, maka ia akan menjadi fasiq dengan sendirinya.
F.     Riba
Shahabat yg mulia Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata:
لَعَنَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ آكِلَ الرِّبَا وَمُؤْكِلَهُ
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yg memakan riba dan yg memberi riba.” (HR Al-Imam Muslim ra. - kitab Al-Musaqat bab Lu’ina Akilur Riba wa Mu’kiluhu no. 4068)
                 Hadits diatas mengabarkan laknat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap orang yg mengambil dan memberi riba mencatat transaksi riba dan menjadi saksinya. Mendapatkan laknat berarti mendapatkan celaan dan terjauhkan dari rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala. Karena laknat memiliki dua makna: Pertama: bermakna celaan dan cercaan. Kedua: bermakna terusir dan terjauhkan dari rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala Dengan demikian pihak-pihak yg bersentuhan dengan muamalah riba ini terjauhkan dari rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala. Padahal seorang hamba amat sangat membutuhkan rahmat-Nya.
Di samping akibat buruk dari perbuatan riba yg telah disebutkan di atas Rasul yg mulia Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga telah mengabarkan bahwa mengambil riba termasuk dari tujuh dosa yg membinasakan pelakunya. Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata mengabarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوْبِقَاتِ. قُلْنَا: وَمَا هُنَّ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: الشِّرْكُ بِاللهِ، وَالسِّحْرُ، وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِي حَرَّمَ اللهُ إِلاَّ بِالْحَقِّ، وَأَكْلُ الرِّباَ ، وَأَكْلُ مَالَ الْيَتِيْمِ، وَالتَّوَلِّي يَوْمَ الزَّحْفِ، وَقَذْفُ الْمُحْصَنَاتِ الْغَافِلاَتِ الْمُؤْمِنَاتِ
“Jauhilah oleh kalian tujuh perkara yg membinasakan.” Kami bertanya: “Apakah tujuh perkara itu wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Menyekutukan Allah sihir membunuh jiwa yg diharamkan oleh Allah utk dibunuh kecuali dgn haq memakan riba memakan harta anak yatim berpaling/lari pada hari bertemu dua pasukan dan menuduh wanita baik-baik yg menjaga kehormatan diri berzina.”      
Di antara sekian hadits yg membicarakan tentang azab yg diterima “tukang” riba kelak di hari kiamat dibawakan Al-Imam Bukhari rahimahullahu dlm kitab Shahih- dari shahabat yg mulia Samurah bin Jundab radhiyallahu ‘anhu dlm hadits yg panjang tentang mimpi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di antara isi mimpi beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dikisahkan:
رَأَيْتُ اللَّيْلَةَ رَجُلَيْنِ أَتَيَانِي، فَأَخْرَجَانِي إِلَى أَرْضٍ مُقَدَّسَةٍ، فَانْطَلَقْنَا حَتَّى أَتَيْنَا عَلَى نَهْرٍ مِنْ دَمٍ، فِيْهِ رَجُلٌ قَائِمٌ وعَلَى وَسَطِ النَّهْرِ رَجُلٌ بَيْنَ يَدَيْهِ حِجَارَةٌ. فَأَقْبَلَ الرَّجُلُ الَّذِي فِي النَّهْرِ، فَإِذَا أَرَادَ الرَّجُلُ أَنْ يَخْرُجَ رَمَى الرَّجُلُ بِحَجَرٍ فِي فِيْهِ فَرَدَّهُ حَيْثُ كَانَ، فَجَعَلَ كُلَّمَا جَاءَ لِيَخْرُجَ رَمَى فِي فِيْهِ بِحَجَرٍ فَيَرْجِعُ كَمَا كَانَ، فَقُلْتُ: مَا هذَا؟ فَقَالَ: الَّذِى رَأَيْتَهُ فِي النَّهْرِ آكِلُ الرِّبَا
“Aku melihat pada malam itu dua orang laki-laki mendatangiku. Lalu kedua mengeluarkan aku menuju ke tanah yg disucikan. Kemudian kami berangkat hingga kami mendatangi sebuah sungai darah. Di dalam ada seorang lelaki yang sedang berdiri sementara di atas bagian tengah sungai tersebut ada seorang lelaki yang di hadapan terdapat bebatuan. Lalu menghadaplah lelaki yang berada di dalam sungai. Setiap kali lelaki itu hendak keluar dari dalam sungai lelaki yang berada di bagian atas dari tengah sungai tersebut melempar dagan batu pada bagian mulutnya. maka si lelaki itu pun tertolak ke tempat semula. Setiap kali ia hendak keluar ia dilempari dangan batu pada mulut hingga ia kembali pada posisi semula . Aku pun bertanya: ‘Siapa orang itu ?’ Dijawab: ‘Orang yang engkau lihat di dalam sungai darah tersebut adalah pemakan riba’.”
G.    Najasy
Dalam dunia bisnis komoditas tertentu, ada sebuah cara yang bisa dilakukan oleh pemilik barang untuk memperoleh keuntungan dengan menggunakan seseoranga atau sekelompok orang untuk berpura-pura menawar barang dagangannya dengan harga tinggi dengan maksud untuk memancing keinginan para calon pembeli barang tersebut untuk menawarnya dengan harga tinggi (atau bahkan lebih tinggi daripada nilai tawar barang tersebut), yang dalam istilah fikih dikenal dengan sebutan “najasy” (jual-beli najasy). Jual-beli dengan pola ini jelas dilarang oleh Islam, karena akan berakibat merugikan para pembeli. Inilah praktik jual-beli yang berujung pada “riba”.
Rosulullah SAW bersabda:
عَنِ ابْنِ عُمَرَ : أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- نَهَى عَنِ النَّجْشِ. وَ فِيْ لَفْظٍ وَ لاَ تَنَاجَشُوْا. رَوَاهُ الْبُخَارِ
Dari Ibnu ‘Umar r.a.: “Bahwasanya Rasulullah saw melarang jual-beli dengan cara najasy”. Dan dalam lafazh yang lain dinyatakan: ”Janganlah kamu sekalian melakukan jual-beli dengan cara najasy”.(HRal-Bukhari)
            Rasulullah s.a.w.  pada prinsipnya  melarang bai’ an-najasy. An-Najasy yang dimaksud dalam hadis ini ialah bentuk praktik julal-beli sebagai berikut: seseorang yang telah ditugaskan menawar barang mendatangi penjual lalu menawar barang tersebut dengan harga yang lebih tinggi dari yang biasa. Hal itu dilakukannya dihadapan pembeli dengan tujuan memperdaya si pembeli. Sementara ia sendiri tidak berniat untuk membelinya, namun tujuannya semata-mata ingin memperdaya si pembeli dengan tawarannya tersebut. Ini termasuk bentuk penipuan, dan oleh karenanya disebut sebagai praktik jual-beli yang terlarang.
H.    Inah
Jual beli dengan cara Al-‘Inah adalah seseorang menjual suatu barang dengan harga tertentu secara kredit lalu ia kembali membelinya dari pembeli dengan harga yang lebih sedikit secara kontan. Hakikatnya ia tidaklah dianggap sebagai jual beli, melainkan hanya sekedar pinjaman riba yang disamarkan dalam bentuk jual beli dan termasuk bentuk hilah (tipu daya) orang-orang yang senang melakukan riba.
Contoh : Ahmad menjual barang kepada Muhammad dengan harga Rp. 1.000.000,- secara kredit selama satu bulan, kemudian Ahmad atau yang mewakilinya kembali datang kepada Muhammad membeli barang tersebut dengan harga Rp. 800.000,- secara kontan.
          Rasulullah shollallahu ‘alahi wa ‘ala alihi wa sallam :
إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِالْعِيْنَةِ وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِ وَرَضِيْتُمْ بِالزَّرْعِ وَتَرَكْتُمُ الْجِهَادَ سَلَّطَ اللهُ عَلَيْكُمْ ذُلاًّ لاَ يَنْزِعُهُ حَتَّى تَرْجِعُوْا إِلَى دِيْنِكُمْ
“Apabila kalian telah berjual beli dengan cara Al-‘Inah dan kalian telah ridho dengan perkebunan dan kalian telah mengambil ekor-ekor sapi dan kalian meninggalkan jihad, maka Allah akan menimpakan kepada kalian suatu kehinaan yang (Allah) tidak akan mencabutnya sampai kalian kembali kepada agama kalian”. (HR. Abu Daud dan lain-lainnya dan dishohihkan oleh Syaikh Al-Albany dalam Ash-Shohihah No. 11).                
 Hadits diatas adalah ancaman yang sangat keras dan peringatan yang sangat tegas berupa kehinaan bagi orang yang melakukan pelanggaran yang tersebut dalam hadits yang diantaranya adalah jual beli dengan cara Al-‘Inah. Bahkan seakan-akan pelakunya sama kedudukannya dengan orang yang keluar dari agama sehingga diakhir hadits dikatakan, “maka Allah akan menimpakan kepada kalian suatu kehinaan yang (Allah) tidak akan mencabutnya sampai kalian kembali kepada agama kalian”. Semua ini menunjukkan haramnya jual beli dengan cara Al-‘Inah.
I.       Ghoror
Kata Al Ghoror dalam bahasa Arab bermakna pertaruhan (Al Khathr). Sehingga syeikhul Islam Ibnu Taimiyah menyatakan: Al-Ghoror adalah yang tidak jelas hasilnya (Majhul Al ‘Aqibah). Sedangkan menurut Syeikh As-Sa’di, Al-Ghoror adalah Al Mukhothorah (pertaruhan) dan Al Jahalah (ketidak jelasan). Hal ini masuk dalam perjudian. Ghoror (Adanya Spekulasi yang tinggi) dan jahalah (adanya sesuatu yang tidak jelas).
          
   Menurut keterangan Syeikh Al Sa’di. Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah menyatakan: Semua jual beli ghoror seperti menjual burung diudara, onta dan budak yang kabur, buah-buahan sebelum tampak buahnya dan jual beli Al Hashaah seluruhnya termasuk perjudian yang Allah haramkan dalam Al Qur’an. Ini bisa diliat dalam kitab mukhtashor Al Fatawa Al Mishriyah, Ibnu Taimiyah, Tahqiq Abdulmajid Sulaim, Dar AL Kutub Al Ilmiyah hal 342
Hukumnya Jenis jual beli ini dilarang dalam syariat Islam dengan dasar larangan Rasululloh n dalam hadits Abu Hurairoh yang berbunyi :
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الْحَصَاةِ وَعَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ
Rasululloh melarang jual beli Al Hashah dan jual beli Gharar
J.      Tadlis
Para fukaha mengartikan tadlîs di dalam jual-beli adalah menutupi aib barang. Hanya saja, dari deskripsi nas yang ada, tadlis tidak selalu dalam bentuk ditutupinya atau tidak dijelaskannya aib atau cacat barang. Tadlis juga terjadi ketika barang (baik barang yang dijual atau kompensasinya baik berupa uang atau barang lain) ternyata tidak sesuai dengan yang dideskripsikan atau yang ditampakkan, meski tidak ada cacat.
Tadlis hukumnya haram. Siapa saja yang melakukannya berdosa. Sebab, tadlis itu merupakan bagian dari penipuan dan Rasulullah saw. bersabda:
ليس منا من غس
“Tidak termasuk golongan kami orang yang menipu” (HR Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi dan Ibn Majah).
Rasulullah saw. juga secara jelas menyatakannya dengan frasa lâ yahillu (tidak halal) dalam hadis yang mendeskripsikan tadlis. Dari situ jelas bahwa tadlis merupakan tatacara perolehan harta yang diharamkan. Siapa saja yang memperoleh harta melalui tadlis, maka harta itu haram baginya dan secara syar’i ia tidak memiliki harta itu, meski ia kuasai. Allah akan mencabut berkah dari harta hasil tadlis itu. Rasulullah saw bersabda:
وان كتما وكذبا محقت ركة يتفرقا فان تفرقا وبينا بورك لهما في بيعهماالبيعان بالخيارمالم بيعها
“Penjual dan pembeli memiliki khiyar selama belum berpisah. Jika keduanya berpisah dan berlaku transparan (menjelaskan barang dan harga apa adanya) maka diberikan berkah dalam jual-beli keduanya. Jika keduanya saling menyembunyikan (cacat) dan berdusta maka itu menghanguskan berkah jual-belinya”  (HR al-Bukhari, Muslim, at-Tirmidzi, Abu Dawud dan al-Baihaqi).
Jika terjadi tadlis maka orang yang tertipu (al-mudallas) memiliki khiyar. Ia boleh tetap melanjutkannya dan mempertahankan barang itu, yang artinya ia ridha dengan barang itu. Ia juga boleh mem-fasakh (membatalkan) akad jual-beli itu, yakni ia kembalikan barang tersebut dan meminta kembali secara penuh harga yang telah ia bayarkan. Tidak ada opsi ketiga selain dua opsi itu.


BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Bisnis yang menguntungkan adalah bisnis yang dilakukan dengan investasi yang sebaik-baiknya, keputusan yang sehat dan perilaku yang benar. Perilaku bisnis yang dilarang oleh Islam adalah adanya praktek riba dan penipuan. Langkah yang dapat dilakukan sekaligus solusi alternatif untuk mewujudkan etika bisnis sesuai dengan sistem ekonomi Islam adalah menanamkan pemahaman tentang penting etika berbisnis melalui Al Quran maupun Al-Hadits, pencerahan etika bisnis melalui media dan penggalangan aksi untuk mengarahkan bisnis yang beretika Islami dan upaya legitimasi melalui ayat-ayat Al-Quran  dan Al-Hadits.
Setiap pebisnis tidak dilarang untuk mengejar atau mendapatkan keuntungan, bahkan dalam dunia bisnis mengejar keuntungan adalah sebuah keharusan yang diprioritaskan demi kelangsungan bisnis itu sendiri. Namun demikian, untuk memperoleh keuntungan tersebut haruslah dilakukan dengan cara-cara yang baik dan dalam suasana yang baik pula. Salah satu hal yang harus diperhatikan oleh pebisnis muslim adalah menciptakan suasana lingkungan bisnis yang islami. Adapun hal-hal yang telah penulis paparkan dalam makalah ini dapat menjadi sedikit modal dan acuan dalam menjalankan bisnis yang islami.
B. SARAN
Dengan adanya materi etika dalam berbisnis ini, kami harap akan semakin  menambah wawasan kita tentang prilaku-perilaku bisnis yang tercelah yang sering terjadi dalam masyarakat sehinggah kita dapat melakukan pengendalian atau mencegah perilaku tersebut.


DAFTAR PUSTAKA
Syekh Muhammad Yusuf Qardawi. Halal dan Haram dalam Islam. PT Bina Ilmu, 1993
Henro Wibowo. Konsep etika bisnis dalam Islam. Bogor 2009
Qomar Su’aidi Lc, Mulakhos Fiqhi juz II. Jakarta 2007
Abdurrahman Nasir Al-Sa’adi. Majmu’ Fatwa, Mesir 1992
Merza Gamal. Konsep bisnis dalam Al-Quran, PT Raja Grafindo, 2009
Ziad Ghazal. Al-Buyu’ fi Ad-Dawlah Al-Islamiyah, Amman Yordania, 2010
Majalah As-Sunnah edisi 03/IX/1426H/2005M   




Tidak ada komentar:

Posting Komentar