BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Hampir semua mazhabdalam Islam sepakat akan pentingnya peranan
hadissebagai salah satu sumber ajaran Islam. Otoritas Nabi saw dalam hal ini
(selain al-Qur’an) tidak terbantahkan dan mendapat legitimasi melalui wahyu
juga, sehingga secara faktual, Nabi saw adalah manifestasi al-Qur’an yang
pragmatis.[1]
Begitu juga dengan Syi’ah,[2]
sebagai salah satu aliran dalam Islam, Syi’ah memiliki pemikiran yang berbeda
dengan aliran lainnya.Ia identik dengan konsep kepemimpinan (imamah) yang
merupakan tonggak keimanan Syi’ah. Mereka hanya percaya bahwa jabatan ilahiyah
yang berhak menggantikan Nabi baik dalam masalah keduniaan maupun keagamaan hanyalah
dari kalangan Ahlulbait. Keyakinan tersebut mewarnai karakteristik Syi’ah di
samping adanya konsep lain seperti ishmah dan mahdi.
Syiah sebagai salah satu
kelompok terbesar juga memiliki perhatian khusus terhadap hadis. Namun mereka
memiliki jalur sanad dan sumber khusus dalam menerima hadis yang berbeda dengan
sanad dan sumber Sunni.Ini tentu saja tidak mengherankan, sebab Syiah memiliki
pengertian tersendiri tentang hadis.Maka perbedaan ini tidak pelak lagi
kemudian memunculkan perbedaan antara Sunnah dengan mereka dalam persoalan
keakhidahan maupun kefikihan.[3]
Kajian atas hadis-hadis di kalangan sunni telah banyak dilakukan
oleh para pemikir hadis. Sementara dalam khazanah yang sama dalam tradisi
Syi’ah juga dikenal berbagai kitab hadis yang disusun dengan berbagai
epistemologinya. Rangkaian kitab-kitab hadis dari kalangan Syi’ah disebut
dengan al-kutub al-arba’ah (al-Kafi, karya Abu Ja’far Muhammad
bin Ya’qub al-Kulaini, al-Istibshar, dan al-Tahdzib, keduanya
merupakan karya Muhammad bin Hasan al-thusi, Man La Yahdhuru al-Faqih,
karya Muhammad Babawaih al-Qarni,).
Makalah ini akan berupaya menguraikan pemikiran Syi’ah mengenai
hadis, dan sekilas menyorot al-Kutub al-arba’ah dengan pembahasan
tentang sejarah, karakteristik, isi
kitab, serta berbagai respon umat Islam atas kitab tersebut. Selain itu
makalah ini juga akan sedikit menguraikan tentang bagaimana pandangan Sufi
terhadap hadis Nabi saw.
B.
Rumusan Masalaha
Berdasarkan uraian diatas maka dapat dirumuskan beberapa masalah
yang menjadi acuan pembahasan dalam makalah ini, yaitu:
1.
Bagaimana
Pengertian Hadis Menurut Pandangan Syiah?
2.
Bagaimana
Sejarah penulisan Hadis Syiah?
3.
Bagaimana
Pandangan Sufi Terhadap Hadis Nabi?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Hadis Menurut Syiah
Definisi hadis versi Syiah adalah “setiap sesuatu yang bersumber
dari orang yang ma’shum, baik berupa perkataan, perbuatan atau
persetujuan.”[4]
Sementara orang yang dimaksud ma’shumitu adalah Rasulullah saw dan Imam
Duabelas.Dengan demikian, era wurud hadis tidak berhenti dengan wafatnya Nabi
saw seperti kepercayaan Sunni melainkan berlanjut terus hingga masa kegaiban
besar Imam Muhammad bin Hasan Al-Askari pada 941 M atau 329 H. Maka
sejak dahulu perkataan dan perbuatan mereka seperti halnya perkataan dan
perbuatan Rasul saw dapat dijadikan hujjah syar’i dan dijadikan rujukan dalam
menegtahui akidah serta hukum-hukum syar’i bagi orang-orang syiah.
Rahasia di balik itu semua adalah karena para Imam dari kalangan
Ahlulbait tidaklah sama dengan para perawi dan ahli hadits yang meriwayatkan dari
Nabi saw hingga perkataan mereka baru dapat dijadikan hujjah jika mereka tsiqa’dalam
periwayatannya. Mereka adalah orang-orang yang ditunjuk oleh Allah swt melalui
lisan Nabi-Nya untuk menyampaikan hukum-hukum yang bersifat realita. Maka
mereka tidak mungkin menetapkan hukum, kecuali jika hukum-hukum realita itu
memang berasal dari Allah swtapa adanya. Dan itu semua (diperoleh) melalui
jalur ilham seperti Nabi melalui jalur wahyu, atau melalui periwayatan (imam) ma’shum
sebelumnya.Itulah sebabnya, salah seorang ulama kontemporer Syiah mengatakan:
“Sesungguhnya keyakinan akan kema’shuman para Imam telah membuat
hadits-hadits yang berasal dari mereka serta-merta menjadi shahih, tanpa harus
mempersyaratkan adanya persambungan sanad sampai Rasulullah saw, sebagaimana
yang dipersyaratkan dikalangan Sunni.”[5]
Menurut pandangan orang-orang Syiah, dengan adanya hadis Tsaqalain,
maka kehujjahan hadis dan sirah Ahl al-Bait telah dipatenkan.Selain itu,
kemaksuman dan kelayakan mereka telah dikukuhkan dalam banyak ayat al-Quran,
seperti yang jelas-jelas termaktub dalam ayat 33 surah al-Ahzab dan ayat
79 surah al-Waqi’ah.[6]
B.
Sejarah Penulisan Hadis Syiah
Sesungguhnya penulisan hadis Syiah sudah dimulai sejak zaman Nabi
saw seperti halnya dalam keilmuan Sunni.
Akan tetapi selanjutnya yang membuat beda adalah bahwa menurut Syiah,
orang yang pertama yang melakukan penulisan hadis adalah Imam Ali dengan imla
(dikte) Rasullah saw. Tulisan itu disebut dengan namaShaifah.
Selain
shaifah yang tampaknya hanya memuat hadis-hadis tentang hukum diyat dan
sedikit persoalan lainnya, Syiah juga berpandangan, bahwa Rasulullah saw
mendiktekan pada Imam Ali hadis-hadis lain yang disalin dalam lembaran-lembaran
yang jauh lebih besar, yang dikenal dengan nama al-Jami’ah. Imam Ja’far
Shadiq menyebutkan bahwa al-Jami’ah adalah lembara-lembaran yang mencakup semua
persoalan halal dan haram.[7]
Para
Imam memerintahkan para pengikutnya agar supaya mencatat hadis-hadis yang
didengar dari para Imam agar supaya warisan yang agung itu tidak hilang. Maka
ketika kesempatan itu terbuka, misalnya pada masa Imam Ja’far Shadiq sejumlah
sahabat dan para pengikut Ahlulbait mulai mengumpulkan hadis-hadis, sehingga
terhimpunlah pada masa Imam Ja’far Shadiq, apa yang kemudian dikenal dengan
nama Ushulul arba’ah Mi’ahatau empat ratus pokok agama.[8]
Menurut
Syiah, penulisan hadis ini, termasuk ucapan dan perbuatan para Imam suci, terus
berlansung hingga wafatnya Imam Hasan al-Askari (Imam yang kesebelas). Pada
masa Imam Mahdi yang memasuki era kegaiban yang tentunya sulit untuk dapat
bertemu dengan beliau secara langsung, sehingga masa-masa selanjutnya pada
keadaan tersebut memaksa tokoh-tokoh syiah untuk kemudian menghimpun tulisan-tulisan
yang tersebar untuk dibukukan. Hasilnya antara lain adalah al-Kutub
al-Arba’ah.[9]
Sesuai
dengan sejarah penulisan hadis versi Syiah diatas, maka Syiah juga memiliki
kitab hadis induk sebagai pegangan dalam menjalankan agama, menetapkan hukum
dan sebagainya. Jika dalam Sunni dikenal al-Kutub al-Sittahsebagai kitab
hadis induk, dan al-Bukhari sebagai kitab hadis terbaiknya, maka dalam
Syiah terdapat al-Kutub al-Arba’ahsebagai acuan utama mereka yakni al-Kafi,
Man la Yahdhuruhual-Faqih, Tahdzib al-Ahkam dan al-Istibshar.
Keempat
kitab hadis induk tersebut merupakan rujukan utama Syiah setelah al-Quran, akan
tetapi Syiah sama sekali tidak meyakini apa yang terdapat pada kitab-kitab
hadis tersebut sebagai kitab hadis yang kualitas keseluruhan hadisnya shahih,
berbeda dengan sunni yang meyakini bahwa mereka memiliki beberapa kitab hadisyang
isi keseluruhan hadisnya shahih yaitu shahih Bukhari dan shahih Muslim, yang
didalamnya sama sekali tidak ada kecacatan dan semuanya murni dari Rasulullah
saw.
Syiah
yakin bahwa hanya al-Quran yang sangat shahih, dan semua hadis yang berkaitan
dengan Nabi dan para Imam harus disesuaikan dengan al-Quran. Apabila
hadis-hadis tersebut terbukti bertentangan dengan al-Quran, logika dan fakta
sejarah maka hadis-hadis itu harus ditolak.Hal ini disebabkan karena kaum Syiah
tidak memberi otoritas mutlak kepada seorang ulama.Otoritas mutlak hanya
diberikan kepada al-Quran, Nabi dan para Imam. Apabila Nabi dan para Imam tidak
ada, semua hadis yang dinyatakan berasal dari mereka harus disesuaikan dengan al-Quran,
logika dan fakta sejarah.[10]
Menurut
Syiah, al-Kutub al-Arba’ah disusun oleh ahli-ahli yang tidak diragukan
lagi kepiawaiannya dalam berbagai bidang ilmu, terutama dibadang hadis dan
keistiqamahannya dalam agama. Sedangkan al-Kafi disusun oleh Syekh
al-Kulaini,Man la Yahdhuruhu al-Faqiholeh Syekh Shaduq, Tahdzib
al-Ahkam dan al-Istibshar oleh Syekh at-Thusi. Bagi Syiah, ketiga
tokoh ini merupakan orang-orang paling terkemuka pada masanya.
1.
Al-Kafi
Dari empat kitab hadis utamaSyiah
yang ada, al-Kafi adalah kitab hadis yang pertama kali disusun. Kitab
ini tidak sekedar memuat hadis-hadis tentang fikhi, akan tetapi juga mencakup
hadis-hadis tentang akidah, sejarah dan lain-lain. Al-Kafi menempati
posisi paling istimewa diantara tiga kitab lainnya yang termasuk al-Kutub
al-Arba’ah.
Al-Kafi adalah kitab hadis Syiah yang ditulis oleh Syaikh Abu Ja’far Muhammad
bin Ya’qub bin Ishaq Al-Kulaini pada abad ke 4 H. Berkaitan dengan tahun
kelahirannya, tidak ditemukan data yang jelas, namun beliau wafat pada tahun
329 H.[11]Kitab
al-Kafi ditulis selama 20 tahun. Al-Kulaini melakukan perjalanan pengembaraan
(rihlah) ilmiah untuk mendapatkan hadis ke berbagai daerah.Daerah-daerah yang
pernah dikunjungi al-Kulaini adalah Irak, Damaskus, Ba’albak, dan
Taflis.[12]
Di al-Kafi, al-Kulaini menuliskan
riwayat apa saja yang dia dapatkan dari orang yang mengaku mengikuti para Imam
Ahlul Bait as. Jadi Al-Kulaini hanyalah sebagai pengumpul hadis-hadis dari
Ahlulbait as.Tidak ada sedikitpun pernyataan al-Kulaini bahwa semua hadis yang
dia kumpulkan adalah otentik.Oleh karena Itulah ulama-ulama sesudah Beliau
telah menseleksi hadis ini dan menentukan kedudukan setiap hadisnya.
Al-Kafi terdiri atas 8 jilid, 2 jilid pertama berisi tentang al-Ushul
(pokok), yang berkaitan dengan masalah akidah. 5 jilid selanjutnya berbicara
tentang al-furu’ (fikih) dan 1 jilid terakhir berbicara tentang al-Raudhah
(taman).[13]Juz
ini berisi tentang pernyataan tentang Ahlulbait, ajaran para imam, adab
orang-orang saleh, mutiara hukum dan ilmu, yang tidak mungkin dibiarkan begitu
saja.
Secara keseluruhan, distribusi
hadis-hadis dalam tiap jilidnya adalah: jilid I memuat 1437 hadis, jilid II
memuat 2346 hadis, jilid III memuat 2049 hadis, jilid IV memuat 2443 hadis,
jilid V memuat 2200 hadis, jilid VI memuat 2727 hadis, jilid VII memuat 1704
hadis dan jilid VIII memuat 597 hadis. Dengan demikian jumlah keseluruhan
hadis-hadis dalam kitab al-Kafi karya al-Kulaini sebanyak 15.503
hadis.Terdapat selisih 618 hadis dan kemungkinan hadis tersebut tidak terhitung
disebabkan matannya satu dan sanadnya berbilang.Hitungan tersebut dilakukan
oleh al-Majlisi, ulama yang banyak mengkaji al-Kafi karya al-Kulaini
ini.[14]
2.
Man
La Yahduruhu al-Faqih
Penyusunan kitab besar ini adalah
Syekh Abu Ja’far Muhammad ibnu Ali ibnu Husain, yang lebih dikenal dengan
julukan Syekh ash-Shaduq atau ‘maha guru yang jujur’.[15]
Syekh Shaduq sangat tekun memburu setiap hadis yang didengarnya, sehingga ia
harus mengembara dari satu kota kekota lain, hanya untuk menerima periwayatan
sebuah hadis dari seorang Syekh. Ada tidak kurang dari 211 Syekh hadis yang ia
terima periwayatannya.[16]
Menurut penuturan orang-orang Syiah,
Syekh Shaduq adalah tokoh hadis yang cukup produktif,karya-karyanya, terutama
dibidang hadis, cukup dominan dalam khazanah keilmuan Syiah. Bagi kaum Syiah,
yang paling monumental tentunya karyanya diatas, yaitu Man La Yahdhurhu
al-Faqih. Tapi karya-karyanya yang lain, seperti at-Tauhid, Kamal
ad-Din wa tamam an-Ni’mah, ilal asy-Syarayi’, al-Khshal, Uyun
Akhbar ar-Rihda dan yang lain, tidak kalah populernya.
Kitab Man La Yahdhurhu al-Faqih
adalah karya hadis ahkam atau hadis-hadis mengenai hukum dan furu’ ini.Didalamnya
terampung 5963 hadis, sejak awal ditulisnya hingga sekarang menjadi pusat
perhatian para para peneliti dan dipredikati sebagai kitab kedua dari empat
kitab utama (Kutub al-Arba’ah).
3.
Tahdzib
al-Ahkam dan al-Istibshar
Kedua kitab ini disusun oleh tokoh
yang dianggap paling utama dalam madrasah (madzhab) Ahlulbait pada zamannya,
yakni Syekh Abu Ja’far Muhammad ibnu Hasan at-Thusi atau yang lebih dikenal
dengan sebutan at-Thusi. Syekh at-Thusi lahir 385 H. dan meninggal pada tahun
469 H.[17]
Pada zaman terjadinya fitnah besar
yang memaksa pengikut-pengikut Ahlulbait meninggalkan halaman mereka di
Baghdad, Syekh at-Thusi mengungsi ke Najaf, sebuah kota kecil tempat
dimakamkannya Sayyidina Ali Ibnu Abi Thalib. At-Thusi membangun pusat
pendidikan ilmu baru, yang kemudian dikenal dengan nama Hauzah ilmiah Najaf.
Dalam pandanga Syiah, Syekh at-Thusi
adalah seorang tokoh besar. Bersamaan dengan hal itu , ia pun melahirkan
karya-karya yang luar biasa. Selain dua kitab diatas, karya-karya tentang
tafsir al-Quran, yakni kitab tafsir at-Tibyan merupakan karya cukup fenomenal
bagi orang-orang Syiah. At-Thusi juga masih memiliki karya-karya yang lain,
semisal al-Gha’ibah, sebuh buku yang menjelaskan tentang Imam Mahdi,
dan Talkhis as-Syafi yang menjelaskan tentang Imamah.
Adapaun kitab Tahdzib al-Ahkam
dan al-Istibshar, sebagaimana disinggung diatas, bagi ummat Syiah,
merupakan karya besar ilmu hadis dan sejajar dengan kitab Man La Yahdhurhu
al-Faqih.Kedua kitab ini lebih bercorak hadis-hadis ahkam.Akan tetapi yang
membedakannya dengan kitab Syiah yang serupa, bahwa disamping periwayatan
tentang hadis-hadis ahkam.Dalam kaca mata Syiah, kitab Tahdzib al-Ahkam
dan al-Istibsharpenuh dengan analisis Fikhi dan visi-visi argumentasi,
serta isyarat-isyarat tentang kaidah ushul fikhi dan rijal.Disamping itu, dalam
kedua karyanya ini, at-Thusi juga dianggap berhasil menggabungkan hadis-hadis
yang saling bertentangan.
Jumlah hadis dalam Tadzhibsebanyak
13590 hadis, sedangkan dalam al-Istibshar sebanyak 5511 hadis.
Hadis-hadis di dalam dua buku ini, selain periwayatan yang dilakukan oleh Syekh
at-Thusi sendiri, sebagian yang lain merupakan salinan atas hadis-hadis yang
terdapat dalam al-Ushul al-Arba’ah dan kitab-kitab hadis kecil yang
lain.
C.
Padangan Sufi Terhadap Hadis
Sebagaimana
ahli Fikhi, kaum sufi juga menjadikan hadis sebagai pijakan dalam pendakian
spiritual mereka.Hanya saja mereka tidak terlalu fokus melihat kualitas hadis
dalam pengamalan spiritual mereka.Karena yang terpenting buat mereka adalah
bagaimana supaya agar lebih mendekatkan diri kepada Allah swt.Itulah sebabnya
sehinggah pemalsuan hadis juga banyak dikalangan Sufi.
Pertama, dari sisi
tujuan.Mereka menganggap, ketika umat sudah bobrok akhlaknya, perlu ada
dorongan untuk beramal saleh. Untuk merangsang beramal saleh, mereka membuat hadis-hadis
palsuMereka bermaksud baik ingin memotivasi orang untuk beribadah atau
menakut-nakuti orang agar tidak berbuat maksiat, kemudian menciptakan
seruan-seruan yang dinisbahkan pada Nabi saw. Pemalsuan hadis dari kalangan
mereka ini dianggap sebagia cara mendekatkan diri kepada Allah dan menjujung
tinggi agama islam karena dapat membangkitkan gairah dan menimbulkan antusiasme
untuk beribadah dan taat kepada Allah. Kedua,
dari segi metode. Metode penetapan hadis, orang sufi tidak sama seperti ahli
hadis secara umum. Mereka tidak terikat dengan persyaratan hadis.Misalnya,
harus sanad-nya terdiri atas orang-orang yang kredibel.Mereka tidak menggunakan
seperti itu.
Menerima Hadis Lewat Mimpi
Banyak
kaum sufi yang berkeyakinan bahwa seseorang dapat bertemu Nabi saw secara
langsung, meskipun Nabi Muhammad saw. telah wafat empat belas abad yang silam.
Keyakinan kaum sufi yang seperti ini berdasarkan hadis riwayat al-Bukhari dari
Abu Hurairah:
منرآنيفيالمنامفسيرانيفياليقظةولايتمثلالشيطانبي
“Siapa yang melihatku saat mimpi, maka ia akan melihatku dalam
keadaan sadar.Dan syetan tidak dapat menyerupai diriku.”[18]
Menurut
penafsiran kaum sufi, hadis di atas jelas sekali menunjukkan bahwa Nabi
Muhammad saw. masih hidup dan bisa ditemui secara langsung oleh kaum sufi.
Apalagi jika didahului mimpi bertemu dengan Nabi Muhammad saw, maka bisa
dipastikan orang yang mimpi tersebut akan mengalami pertemuan langsung dengan
Nabi Muhammad saw. Munculnya penafsiran
ini, menurut kaum sufi karena dalam hadis tersebut terdapat kata يقظة yang berarti “bertemu secara langsung”.
Oleh karena itu, banyak kaum sufi yang mengklaim pernah bertemu dengan Nabi
Muhammad saw. secara langsung dan mendapatkan wirid-wirid tertentu, kitab,
ilmu, bahkan diantara mereka ada yang menyatakan bahwa seluruh ucapan yang
bersumber dari Nabi Muhammad saw disaat pertemuan dalam mimpi adalah merupakan
hadis.[19]Sehingga
apapun yang dikatakan oleh para awliya tersebut, walaupun tidak ada disebutkan
di dalam al-Quran dan Hadits shahih, mereka meyakininya sebagai hadits
yang shahih.
Sehingga
tidaklah heran jika kita membaca buku atau mendengar keyakinan dari
pengikut-pengikut aliran tasawuf, maka kita akan mendapati keyakinan yang
berbeda diantara mereka. Masing-masing menyatakan apa yang didapat dalam
Kasyfnya para wali mereka, apa yang tertangkap dalam benaknya para syeikh
mereka, apa yang dikatakan Rasulullah saw kepada para awliyanya, atau apa yang
diberikan malaikat atau yang dilihat oleh para wali sendiri di Lauhul
Mahfudz.
Untuk menentukan derajat keshahihan suatu hadits, mereka lebih
mempercayai getaran batin para sufi dari apa yang dikatakan oleh para
ulama-ulama hadits.Ilmu-ilmu yang didapat melalui jalan syariat menjadi seperti
tidak berguna karena mereka lebih mempercayai apa yang mereka dapat melalui
mimpi atau getaran batin. Banyak sekali pendapat-pendapat atau cerita-cerita
yang diyakini para pengikut tasawuf sebagai hadits atau atsar, padahal itu
semua hanyalah sesuatu yg didapat oleh para sufi melalui mimpi atau bertemu
langsung dengan Rasulullah sehingga tidak akan pernah kita temui di dalam kitab-kitab
hadits yang shahih.
Dalam hal menetapkan otentisitas hadis, terdapat perbedaan mendasar
antara kaum sufi dan ahli hadis. Bagi kaum sufi untuk menetapkan keotentikan
hadis tidak hanya terpaku pada ada tidaknya rangkaian sanad pada hadis
tersebut. Mereka juga menyatakan bahwa perkataan tertentu dapat dinisbahkan
sebagai hadis Nabi saw. Asalkan perkataan tersebut tidak bertentangan dengan
al-Quran dan disampaikan oleh orang yang mempunyai tingkat keshalihan yang
tinggi
Metodologi tambahan yang digunakan kaum sufi ada 2 yaitu liqa’
al-nabi dan thariq al-kasyf.[20]
1.
Liqa’ al-Nabi
Liqa’ menurut bahasa artinya menghadap, melihat, dan bertemu. Maka kata Liqa’
al-Nabi adalah menghadap Nabi saw, melihat Nabi saw, dan bertemu Nabi saw.
Kaum sufi menggunakan Liqa’ al-Nabi sebagai metodologi dalam menetapkan
keotentikan suatu hadis. Hal ini dapat kita lihat dari banyak sekali kaum sufi
yang mengklaim dirinya pernah bertemu Nabi baik dalam keadaan terjaga maupun
dalam keadaan tidur (mimpi) padahal Rasulullah saw. telah wafat. Mereka
berpandangan seperti itu karena mereka meyakini bahwa orang saleh yang wafat
sejatinya dia masih hidup. Keyakinan kaum sufi ini berdasarkan surat al-Baqarah
ayat 154:
وَلَاتَقُولُوالِمَنْيُقْتَلُفِيسَبِيلِاللَّهِأَمْوَاتٌبَلْأَحْيَاءٌوَلَكِنْلَاتَشْعُرُونَ
Artinya:
“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur
di jalan Allah, (bahwa mereka itu ) mati; bahkan (sebenarnya) mereka itu hidup,
tetapi kamu tidak menyadarinya” (QS. al-Baqarah:154).
Selain dalam
suratal-Baqarah tersebut surat Ali Imran ayat 169 juga
menjelaskan adanya kehidupan bagi para syuhada:
وَلَاتَحْسَبَنَّالَّذِينَقُتِلُوافِيسَبِيلِاللَّهِأَمْوَاتًابَلْأَحْيَاءٌعِنْدَرَبِّهِمْيُرْزَقُونَ
Artinya:
“Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan
Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup disisi Tuhannya dengan mendapat rezki.”
(QS. Ali Imran:169).
2.
Thariq
al-Kasyf
Al-Kasyf sendiri berdasarkan bahasa berarti keterbukaan.Maksud dari thariq
al-Kasyf yaitu tersingkapnya tabir antara kehidupan kaum sufi di dunia
dengan alam gaib, sehingga mereka dapat melihat kehidupan di alam ghaib. Jika
mereka telah mengalami al-Kasyf maka suatu kali mereka akan merasakan
jika mereka akan langsung mendapat ilmu dari Allah atau yang biasa disebut ilmu
ladunni.
Kaitannya
dengan metodologi dalam penentuan keotentikan hadis yaitu mereka suatu kali
akan merasa jika hatinya benar-benar terbuka, kemudiam mereka merasa telah
memasuki alam jiwa, dari sinilah disinyalir jika mereka merasa bertemu dengan
Rasulullah saw.
Namun kedua
metodologi kaum sufi tersebut menuai banyak kritik oleh kalangan ulama ahli
hadis. Bagaimanapun juga antara sanad dan matan hadis tidak boleh dipisahkan
dan kedua-duanya harus lolos prosedur kriteria otentisitas hadis. Sedangkan
menurut metodologi kaum sufi, mereka hanya mementingkan segi matan saja. Ini
tidak sesuai dengan kaidah keotentikan hadis.
BAB
III
PENUTUP
Definisi hadis versi Syiah adalah “ setiap sesuatu yang bersumber
dari orang yang ma’shum, baik berupa perkataan, perbuatan atau
persetujuan.” Sementara orang yang
dimaksud ma’shum itu adalah Rasulullah saw dan Imam Duabelas. Dengan demikian,
era wurud hadis tidak berhenti dengan wafatnya Nabi saw seperti kepercayaan
Sunni melainkan berlanjut terus hingga masa kegaiban besar Imam Muhammad bin
Hasan Al-Askari pada 941 M atau 329 H.
Sesungguhnya penulisan hadis Syiah sudah dimulai sejak zaman Nabi
saw seperti halnya dalam keilmuan Sunni.
Akan tetapi selanjutnya yang membuat beda adalah bahwa menurut Syiah,
orang yang pertama yang melakukan penulisan hadis adalah Imam Ali dengan imla (dikte)
Rasullah saw.Tulisan-tulisan tersebut diantaranyaShaifah, al-Jami’ahdan
Ushulul arba’ah Mi’ah.Sesuai dengan sejarah penulisan hadis versi Syiah
diatas, maka Syiah juga memiliki kitab hadis induk sebagai pegangan dalam
menjalankan agama, menetapkan hukum dan sebagainya. Jika dalam Sunni dikenal al-Kutub
al-Sittah sebagai kitab hadis induk, dan al-Bukhari sebagai kitab
hadis terbaiknya, maka dalam Syiah terdapat al-Kutub al-Arba’ah sebagai
acuan utama mereka yakni al-Kafi, Man la Yahdhuruhu al-Faqih, Tahdzib
al-Ahkam dan al-Istibshar.
Kaum Sufi meyakini bahwa seluruh ucapan dan pebuatan Nabi saw dalam
pertemuan dalam mimpi adalah hadis. Sehingga apapun yang dikatakan oleh para
awliya tersebut, walaupun tidak ada disebutkan di dalam al-Quran dan Hadits shahih,
mereka meyakininya sebagai "hadits yang shahih".
Dalam hal menetapkan otentisitas hadis, terdapat perbedaan mendasar
antara kaum sufi dan ahli hadis. Bagi kaum sufi untuk
menetapkan keotentikan hadis metodologi tambahan yang digunakan kaum sufi ada 2
yaitu liqa’ al-nabi dan thariq al-kasyf.
Daftar Pustaka
al-Qardhawi, Yusuf al-Qur’an dan al-Sunnah, Terj. Bahrudin
Fanani (Jakarta: Rabbani Press, 1997)
Khaldun, IbnuMuqaddimah (Beirut: Dar al-Kutub al-’Ilmiyyah,
1978)
al-Amin, HasanDa’irah al-Ma’arif al-Syi’iyyah (Dar
al-Ta’aruf li al-Mathbu’at, Beirut. 1989 M)
Baqir al-Majlisy,Muhammad Bihar al-Anwar al-Jami’ah li Durar
Akhbar al-A’immah al-Athhar (Beirut: Mua’assasah al-Wafa’. Cetakan kedua
1983 M)
Abu Zahrah,MuhammadAl-Imam al-Shadiq (Kairo: Dar al-Fikr
al-‘Araby, 1960 M)
Ma’arif, MajidSejarah Hadis Terj. Abdillah Mustafha (Jakarta:
Nur al-Huda 2012)
Majalah waris (Majalah yang
diterbitkan oleh kedutaan besar iran), No 14/Tahun IV Muharram-Shafar 1419 H,
yang menyadur dari majalah al-Hidayat ath-Thayyibah edisi Ramadhan 1418 H.
Antologi Islam. Terj.
“Encyclopedia of shia” (Jakarta: Al-Huda cetakan pertama I. Dzulhijjah
1425/Januari 2005)
Rijal Najasyi, Kulaini, al-Kafi, juz 1(Tehran: Dar al-Kutub
al-Islamiyyah, 1363 H)
Al-Habsyi, Ali UmarStudi Analisis tentang al-Kafi dan al-Kulaini
(Bangil: YAPI, t.th.)
Al-Fatih Suryadilaga, ”al-Kafi
al-Kulaini” dalam Studi Hadis (Yogyakarta: Teras, 2003), hlm. 313.
Syirazi, Ayatullah RabbaniMuqaddimah Ma’ani al-Akhbar (Qom: Intisyarat
Jame’eh Mudarrisin)
Shaduq,Muhammad bin Ali.
Man La Yahduruhu al-Faqih, juz 1 (Beirut: Dar al-Adhwa’, 1405 H )
Abu Abdillah al-Bukhari, Muhammad bin Isma’ilShahîh al-Bukhârî
(Beirut: Dâr Ibnu Katsîr, 1407 H/ 1987 M)
Sya’roni, UsmanOtentisitas Hadis Menurut Ahli Hadis dan Kaum
Sufi (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008)
[1]Yusuf
al-Qardhawi, al-Qur’an dan al-Sunnah, Terj. Bahrudin Fanani (Jakarta: Rabbani Press, 1997), hlm. 61.
[2]Ibn Khaldun, Muqaddimah
(Beirut: Dar al-Kutub al-’Ilmiyyah, 1978), hlm. 196.
[3]Hasan al-Amin.Da’irah
al-Ma’arif al-Syi’iyyah(Dar al-Ta’aruf li al-Mathbu’at, Beirut. 1989 M).hlm.
88
[4]Muhammad Baqir
al-Majlisy.Bihar al-Anwar al-Jami’ah li Durar Akhbar al-A’immah al-Athhar
(Beirut:Mua’assasah al-Wafa’. Cetakan kedua 1983 M), hlm 177.
[5] Muhammad Abu
Zahrah. Al-Imam al-Shadiq (Kairo:
Dar al-Fikr al-‘Araby, 1960 M) hlm. 293
[6] Majid Ma’arif,
Sejarah Hadis Terj. Abdillah Mustafha (Jakarta: Nur al-Huda 2012) hlm.
277
[7]Majalah waris (Majalah yang
diterbitkan oleh kedutaan besar iran), No 14/Tahun IV Muharram-Shafar 1419 H,
yang menyadur dari majalah al-Hidayat ath-Thayyibah edisi Ramadhan 1418 H.
[8]Ibid,.
[9]Ibid
[10] Antologi Islam. Terj.“Encyclopedia
of shia” (Jakarta: Al-Huda cetakan pertama I. Dzulhijjah 1425/Januari 2005)
hlm. 693
[11]Rijal Najasyi, nomor 1026;
Kulaini, al-Kafi, juz 1(Tehran: Dar al-Kutub al-Islamiyyah, 1363 H) hlm.
40
[12] Ali Umar
al-Habsyi, Studi Analisis tentang al-Kafi dan al-Kulaini (Bangil: YAPI,
t.th.), hlm. 3
[13]Al-Fatih
Suryadilaga, ”al-Kafi al-Kulaini” dalam Studi Hadis (Yogyakarta: Teras,
2003), hlm. 313.
[14]Ibid
[15] Ayatullah
Rabbani Syirazi, Muqaddimah Ma’ani al-Akhbar (Qom: Intisyarat Jame’eh
Mudarrisin). h. 76
[16] Syekh Shaduq, Man
La Yahduruhu al-Fakih, juz 1 (Beirut: Dar al-Adhwa’, 1405 H)hlm.21
[17] Majid Ma’arif,
Sejarah Hadis Terj. Abdillah Mustafha (Jakarta: Nur al-Huda 2012) hlm.
485
[18] Muhammad bin
Isma’il Abû ‘Abdillah al-Bukhârî, Shahîh al-Bukhârî (Beirut: Dâr Ibnu
Katsîr, 1407 H/ 1987 M), Juz 6, Kitab al-Ta’bîr, Bab 10-Man Ra’a al-Nabi saw fî
al-Manâm, no.hadis 6592, h. 2567.
[19] Usman
Sya’roni, Otentisitas Hadis Menurut Ahli Hadis dan Kaum Sufi (Jakarta:
Pustaka Firdaus, 2008), h. 69-86.
[20]Ibid
Tidak ada komentar:
Posting Komentar