Kamis, 08 Desember 2016

SUFI DAN SYI’AH DAN SIKAPNYA TERHADAP AL-SUNNAH



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Hampir semua mazhabdalam Islam sepakat akan pentingnya peranan hadissebagai salah satu sumber ajaran Islam. Otoritas Nabi saw dalam hal ini (selain al-Qur’an) tidak terbantahkan dan mendapat legitimasi melalui wahyu juga, sehingga secara faktual, Nabi saw adalah manifestasi al-Qur’an yang pragmatis.[1]
Begitu juga dengan Syi’ah,[2] sebagai salah satu aliran dalam Islam, Syi’ah memiliki pemikiran yang berbeda dengan aliran lainnya.Ia identik dengan konsep kepemimpinan (imamah) yang merupakan tonggak keimanan Syi’ah. Mereka hanya percaya bahwa jabatan ilahiyah yang berhak menggantikan Nabi baik dalam masalah keduniaan maupun keagamaan hanyalah dari kalangan Ahlulbait. Keyakinan tersebut mewarnai karakteristik Syi’ah di samping adanya konsep lain seperti ishmah dan mahdi.
Syiah  sebagai salah satu kelompok terbesar juga memiliki perhatian khusus terhadap hadis. Namun mereka memiliki jalur sanad dan sumber khusus dalam menerima hadis yang berbeda dengan sanad dan sumber Sunni.Ini tentu saja tidak mengherankan, sebab Syiah memiliki pengertian tersendiri tentang hadis.Maka perbedaan ini tidak pelak lagi kemudian memunculkan perbedaan antara Sunnah dengan mereka dalam persoalan keakhidahan maupun kefikihan.[3]
Kajian atas hadis-hadis di kalangan sunni telah banyak dilakukan oleh para pemikir hadis. Sementara dalam khazanah yang sama dalam tradisi Syi’ah juga dikenal berbagai kitab hadis yang disusun dengan berbagai epistemologinya. Rangkaian kitab-kitab hadis dari kalangan Syi’ah disebut dengan al-kutub al-arba’ah (al-Kafi, karya Abu Ja’far Muhammad bin Ya’qub al-Kulaini, al-Istibshar, dan al-Tahdzib, keduanya merupakan karya Muhammad bin Hasan al-thusi, Man La Yahdhuru al-Faqih, karya Muhammad Babawaih al-Qarni,).
Makalah ini akan berupaya menguraikan pemikiran Syi’ah mengenai hadis, dan sekilas menyorot al-Kutub al-arba’ah dengan pembahasan tentang sejarah, karakteristik, isi  kitab, serta berbagai respon umat Islam atas kitab tersebut. Selain itu makalah ini juga akan sedikit menguraikan tentang bagaimana pandangan Sufi terhadap hadis Nabi saw.
B.     Rumusan Masalaha
Berdasarkan uraian diatas maka dapat dirumuskan beberapa masalah yang menjadi acuan pembahasan dalam makalah ini, yaitu:
1.      Bagaimana Pengertian Hadis Menurut Pandangan Syiah?
2.      Bagaimana Sejarah penulisan Hadis Syiah?
3.      Bagaimana Pandangan Sufi Terhadap Hadis Nabi?

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Hadis Menurut Syiah
Definisi hadis versi Syiah adalah “setiap sesuatu yang bersumber dari orang yang ma’shum, baik berupa perkataan, perbuatan atau persetujuan.”[4] Sementara orang yang dimaksud ma’shumitu adalah Rasulullah saw dan Imam Duabelas.Dengan demikian, era wurud hadis tidak berhenti dengan wafatnya Nabi saw seperti kepercayaan Sunni melainkan berlanjut terus hingga masa kegaiban besar Imam Muhammad bin Hasan Al-Askari pada 941 M atau 329 H. Maka sejak dahulu perkataan dan perbuatan mereka seperti halnya perkataan dan perbuatan Rasul saw dapat dijadikan hujjah syar’i dan dijadikan rujukan dalam menegtahui akidah serta hukum-hukum syar’i bagi orang-orang syiah.
Rahasia di balik itu semua adalah karena para Imam dari kalangan Ahlulbait tidaklah sama dengan para perawi dan ahli hadits yang meriwayatkan dari Nabi saw hingga perkataan mereka baru dapat dijadikan hujjah jika mereka tsiqa’dalam periwayatannya. Mereka adalah orang-orang yang ditunjuk oleh Allah swt melalui lisan Nabi-Nya untuk menyampaikan hukum-hukum yang bersifat realita. Maka mereka tidak mungkin menetapkan hukum, kecuali jika hukum-hukum realita itu memang berasal dari Allah swtapa adanya. Dan itu semua (diperoleh) melalui jalur ilham seperti Nabi melalui jalur wahyu, atau melalui periwayatan (imam) ma’shum sebelumnya.Itulah sebabnya, salah seorang ulama kontemporer Syiah mengatakan:
“Sesungguhnya keyakinan akan kema’shuman para Imam telah membuat hadits-hadits yang berasal dari mereka serta-merta menjadi shahih, tanpa harus mempersyaratkan adanya persambungan sanad sampai Rasulullah saw, sebagaimana yang dipersyaratkan dikalangan Sunni.”[5]
Menurut pandangan orang-orang Syiah, dengan adanya hadis Tsaqalain, maka kehujjahan hadis dan sirah Ahl al-Bait telah dipatenkan.Selain itu, kemaksuman dan kelayakan mereka telah dikukuhkan dalam banyak ayat al-Quran, seperti yang jelas-jelas termaktub dalam ayat 33 surah al-Ahzab dan ayat 79 surah al-Waqi’ah.[6]
B.     Sejarah Penulisan Hadis Syiah
Sesungguhnya penulisan hadis Syiah sudah dimulai sejak zaman Nabi saw seperti halnya dalam keilmuan Sunni.  Akan tetapi selanjutnya yang membuat beda adalah bahwa menurut Syiah, orang yang pertama yang melakukan penulisan hadis adalah Imam Ali dengan imla (dikte) Rasullah saw. Tulisan itu disebut dengan namaShaifah.
Selain shaifah yang tampaknya hanya memuat hadis-hadis tentang hukum diyat dan sedikit persoalan lainnya, Syiah juga berpandangan, bahwa Rasulullah saw mendiktekan pada Imam Ali hadis-hadis lain yang disalin dalam lembaran-lembaran yang jauh lebih besar, yang dikenal dengan nama al-Jami’ah. Imam Ja’far Shadiq menyebutkan bahwa al-Jami’ah adalah lembara-lembaran yang mencakup semua persoalan halal dan haram.[7]
Para Imam memerintahkan para pengikutnya agar supaya mencatat hadis-hadis yang didengar dari para Imam agar supaya warisan yang agung itu tidak hilang. Maka ketika kesempatan itu terbuka, misalnya pada masa Imam Ja’far Shadiq sejumlah sahabat dan para pengikut Ahlulbait mulai mengumpulkan hadis-hadis, sehingga terhimpunlah pada masa Imam Ja’far Shadiq, apa yang kemudian dikenal dengan nama Ushulul arba’ah Mi’ahatau empat ratus pokok agama.[8]
Menurut Syiah, penulisan hadis ini, termasuk ucapan dan perbuatan para Imam suci, terus berlansung hingga wafatnya Imam Hasan al-Askari (Imam yang kesebelas). Pada masa Imam Mahdi yang memasuki era kegaiban yang tentunya sulit untuk dapat bertemu dengan beliau secara langsung, sehingga masa-masa selanjutnya pada keadaan tersebut memaksa tokoh-tokoh syiah untuk kemudian menghimpun tulisan-tulisan yang tersebar untuk dibukukan. Hasilnya antara lain adalah al-Kutub al-Arba’ah.[9]
Sesuai dengan sejarah penulisan hadis versi Syiah diatas, maka Syiah juga memiliki kitab hadis induk sebagai pegangan dalam menjalankan agama, menetapkan hukum dan sebagainya. Jika dalam Sunni dikenal al-Kutub al-Sittahsebagai kitab hadis induk, dan al-Bukhari sebagai kitab hadis terbaiknya, maka dalam Syiah terdapat al-Kutub al-Arba’ahsebagai acuan utama mereka yakni al-Kafi, Man la Yahdhuruhual-Faqih, Tahdzib al-Ahkam dan al-Istibshar.
Keempat kitab hadis induk tersebut merupakan rujukan utama Syiah setelah al-Quran, akan tetapi Syiah sama sekali tidak meyakini apa yang terdapat pada kitab-kitab hadis tersebut sebagai kitab hadis yang kualitas keseluruhan hadisnya shahih, berbeda dengan sunni yang meyakini bahwa mereka memiliki beberapa kitab hadisyang isi keseluruhan hadisnya shahih yaitu shahih Bukhari dan shahih Muslim, yang didalamnya sama sekali tidak ada kecacatan dan semuanya murni dari Rasulullah saw.
Syiah yakin bahwa hanya al-Quran yang sangat shahih, dan semua hadis yang berkaitan dengan Nabi dan para Imam harus disesuaikan dengan al-Quran. Apabila hadis-hadis tersebut terbukti bertentangan dengan al-Quran, logika dan fakta sejarah maka hadis-hadis itu harus ditolak.Hal ini disebabkan karena kaum Syiah tidak memberi otoritas mutlak kepada seorang ulama.Otoritas mutlak hanya diberikan kepada al-Quran, Nabi dan para Imam. Apabila Nabi dan para Imam tidak ada, semua hadis yang dinyatakan berasal dari mereka harus disesuaikan dengan al-Quran, logika dan fakta sejarah.[10]
Menurut Syiah, al-Kutub al-Arba’ah disusun oleh ahli-ahli yang tidak diragukan lagi kepiawaiannya dalam berbagai bidang ilmu, terutama dibadang hadis dan keistiqamahannya dalam agama. Sedangkan al-Kafi disusun oleh Syekh al-Kulaini,Man la Yahdhuruhu al-Faqiholeh Syekh Shaduq, Tahdzib al-Ahkam dan al-Istibshar oleh Syekh at-Thusi. Bagi Syiah, ketiga tokoh ini merupakan orang-orang paling terkemuka pada masanya.
1.      Al-Kafi
Dari empat kitab hadis utamaSyiah yang ada, al-Kafi adalah kitab hadis yang pertama kali disusun. Kitab ini tidak sekedar memuat hadis-hadis tentang fikhi, akan tetapi juga mencakup hadis-hadis tentang akidah, sejarah dan lain-lain. Al-Kafi menempati posisi paling istimewa diantara tiga kitab lainnya yang termasuk al-Kutub al-Arba’ah.
Al-Kafi adalah kitab hadis Syiah yang ditulis oleh Syaikh Abu Ja’far Muhammad bin Ya’qub bin Ishaq Al-Kulaini pada abad ke 4 H. Berkaitan dengan tahun kelahirannya, tidak ditemukan data yang jelas, namun beliau wafat pada tahun 329 H.[11]Kitab al-Kafi ditulis selama 20 tahun. Al-Kulaini melakukan perjalanan pengembaraan (rihlah) ilmiah untuk mendapatkan hadis ke berbagai daerah.Daerah-daerah yang pernah dikunjungi al-Kulaini adalah Irak, Damaskus, Ba’albak, dan Taflis.[12]
Di al-Kafi, al-Kulaini menuliskan riwayat apa saja yang dia dapatkan dari orang yang mengaku mengikuti para Imam Ahlul Bait as. Jadi Al-Kulaini hanyalah sebagai pengumpul hadis-hadis dari Ahlulbait as.Tidak ada sedikitpun pernyataan al-Kulaini bahwa semua hadis yang dia kumpulkan adalah otentik.Oleh karena Itulah ulama-ulama sesudah Beliau telah menseleksi hadis ini dan menentukan kedudukan setiap hadisnya.
Al-Kafi terdiri atas 8 jilid, 2 jilid pertama berisi tentang al-Ushul (pokok), yang berkaitan dengan masalah akidah. 5 jilid selanjutnya berbicara tentang al-furu’ (fikih) dan 1 jilid terakhir berbicara tentang al-Raudhah (taman).[13]Juz ini berisi tentang pernyataan tentang Ahlulbait, ajaran para imam, adab orang-orang saleh, mutiara hukum dan ilmu, yang tidak mungkin dibiarkan begitu saja.
Secara keseluruhan, distribusi hadis-hadis dalam tiap jilidnya adalah: jilid I memuat 1437 hadis, jilid II memuat 2346 hadis, jilid III memuat 2049 hadis, jilid IV memuat 2443 hadis, jilid V memuat 2200 hadis, jilid VI memuat 2727 hadis, jilid VII memuat 1704 hadis dan jilid VIII memuat 597 hadis. Dengan demikian jumlah keseluruhan hadis-hadis dalam kitab al-Kafi karya al-Kulaini sebanyak 15.503 hadis.Terdapat selisih 618 hadis dan kemungkinan hadis tersebut tidak terhitung disebabkan matannya satu dan sanadnya berbilang.Hitungan tersebut dilakukan oleh al-Majlisi, ulama yang banyak mengkaji al-Kafi karya al-Kulaini ini.[14]
2.      Man La Yahduruhu al-Faqih
Penyusunan kitab besar ini adalah Syekh Abu Ja’far Muhammad ibnu Ali ibnu Husain, yang lebih dikenal dengan julukan Syekh ash-Shaduq atau ‘maha guru yang jujur’.[15] Syekh Shaduq sangat tekun memburu setiap hadis yang didengarnya, sehingga ia harus mengembara dari satu kota kekota lain, hanya untuk menerima periwayatan sebuah hadis dari seorang Syekh. Ada tidak kurang dari 211 Syekh hadis yang ia terima periwayatannya.[16]
Menurut penuturan orang-orang Syiah, Syekh Shaduq adalah tokoh hadis yang cukup produktif,karya-karyanya, terutama dibidang hadis, cukup dominan dalam khazanah keilmuan Syiah. Bagi kaum Syiah, yang paling monumental tentunya karyanya diatas, yaitu Man La Yahdhurhu al-Faqih. Tapi karya-karyanya yang lain, seperti at-Tauhid, Kamal ad-Din wa tamam an-Ni’mah, ilal asy-Syarayi’, al-Khshal, Uyun Akhbar ar-Rihda dan yang lain, tidak kalah populernya.
Kitab Man La Yahdhurhu al-Faqih adalah karya hadis ahkam atau hadis-hadis mengenai hukum dan furu’ ini.Didalamnya terampung 5963 hadis, sejak awal ditulisnya hingga sekarang menjadi pusat perhatian para para peneliti dan dipredikati sebagai kitab kedua dari empat kitab utama (Kutub al-Arba’ah).
3.      Tahdzib al-Ahkam dan al-Istibshar
Kedua kitab ini disusun oleh tokoh yang dianggap paling utama dalam madrasah (madzhab) Ahlulbait pada zamannya, yakni Syekh Abu Ja’far Muhammad ibnu Hasan at-Thusi atau yang lebih dikenal dengan sebutan at-Thusi. Syekh at-Thusi lahir 385 H. dan meninggal pada tahun 469 H.[17]
Pada zaman terjadinya fitnah besar yang memaksa pengikut-pengikut Ahlulbait meninggalkan halaman mereka di Baghdad, Syekh at-Thusi mengungsi ke Najaf, sebuah kota kecil tempat dimakamkannya Sayyidina Ali Ibnu Abi Thalib. At-Thusi membangun pusat pendidikan ilmu baru, yang kemudian dikenal dengan nama Hauzah ilmiah Najaf.
Dalam pandanga Syiah, Syekh at-Thusi adalah seorang tokoh besar. Bersamaan dengan hal itu , ia pun melahirkan karya-karya yang luar biasa. Selain dua kitab diatas, karya-karya tentang tafsir al-Quran, yakni kitab tafsir at-Tibyan merupakan karya cukup fenomenal bagi orang-orang Syiah. At-Thusi juga masih memiliki karya-karya yang lain, semisal al-Gha’ibah, sebuh buku yang menjelaskan tentang Imam Mahdi, dan Talkhis as-Syafi yang menjelaskan tentang Imamah.
Adapaun kitab Tahdzib al-Ahkam dan al-Istibshar, sebagaimana disinggung diatas, bagi ummat Syiah, merupakan karya besar ilmu hadis dan sejajar dengan kitab Man La Yahdhurhu al-Faqih.Kedua kitab ini lebih bercorak hadis-hadis ahkam.Akan tetapi yang membedakannya dengan kitab Syiah yang serupa, bahwa disamping periwayatan tentang hadis-hadis ahkam.Dalam kaca mata Syiah, kitab Tahdzib al-Ahkam dan al-Istibsharpenuh dengan analisis Fikhi dan visi-visi argumentasi, serta isyarat-isyarat tentang kaidah ushul fikhi dan rijal.Disamping itu, dalam kedua karyanya ini, at-Thusi juga dianggap berhasil menggabungkan hadis-hadis yang saling bertentangan.
Jumlah hadis dalam Tadzhibsebanyak 13590 hadis, sedangkan dalam al-Istibshar sebanyak 5511 hadis. Hadis-hadis di dalam dua buku ini, selain periwayatan yang dilakukan oleh Syekh at-Thusi sendiri, sebagian yang lain merupakan salinan atas hadis-hadis yang terdapat dalam al-Ushul al-Arba’ah dan kitab-kitab hadis kecil yang lain. 

C.    Padangan Sufi Terhadap Hadis
Sebagaimana ahli Fikhi, kaum sufi juga menjadikan hadis sebagai pijakan dalam pendakian spiritual mereka.Hanya saja mereka tidak terlalu fokus melihat kualitas hadis dalam pengamalan spiritual mereka.Karena yang terpenting buat mereka adalah bagaimana supaya agar lebih mendekatkan diri kepada Allah swt.Itulah sebabnya sehinggah pemalsuan hadis juga banyak dikalangan Sufi.
Pertama, dari sisi tujuan.Mereka menganggap, ketika umat sudah bobrok akhlaknya, perlu ada dorongan untuk beramal saleh. Untuk merangsang beramal saleh, mereka membuat hadis-hadis palsuMereka bermaksud baik ingin memotivasi orang untuk beribadah atau menakut-nakuti orang agar tidak berbuat maksiat, kemudian menciptakan seruan-seruan yang dinisbahkan pada Nabi saw. Pemalsuan hadis dari kalangan mereka ini dianggap sebagia cara mendekatkan diri kepada Allah dan menjujung tinggi agama islam karena dapat membangkitkan gairah dan menimbulkan antusiasme untuk beribadah dan taat kepada Allah.  Kedua, dari segi metode. Metode penetapan hadis, orang sufi tidak sama seperti ahli hadis secara umum. Mereka tidak terikat dengan persyaratan hadis.Misalnya, harus sanad-nya terdiri atas orang-orang yang kredibel.Mereka tidak menggunakan seperti itu.
Menerima Hadis Lewat Mimpi
Banyak kaum sufi yang berkeyakinan bahwa seseorang dapat bertemu Nabi saw secara langsung, meskipun Nabi Muhammad saw. telah wafat empat belas abad yang silam. Keyakinan kaum sufi yang seperti ini berdasarkan hadis riwayat al-Bukhari dari Abu Hurairah:
منرآنيفيالمنامفسيرانيفياليقظةولايتمثلالشيطانبي
“Siapa yang melihatku saat mimpi, maka ia akan melihatku dalam keadaan sadar.Dan syetan tidak dapat menyerupai diriku.”[18]
Menurut penafsiran kaum sufi, hadis di atas jelas sekali menunjukkan bahwa Nabi Muhammad saw. masih hidup dan bisa ditemui secara langsung oleh kaum sufi. Apalagi jika didahului mimpi bertemu dengan Nabi Muhammad saw, maka bisa dipastikan orang yang mimpi tersebut akan mengalami pertemuan langsung dengan Nabi Muhammad saw.  Munculnya penafsiran ini, menurut kaum sufi karena dalam hadis tersebut terdapat kata  يقظة yang berarti “bertemu secara langsung”. Oleh karena itu, banyak kaum sufi yang mengklaim pernah bertemu dengan Nabi Muhammad saw. secara langsung dan mendapatkan wirid-wirid tertentu, kitab, ilmu, bahkan diantara mereka ada yang menyatakan bahwa seluruh ucapan yang bersumber dari Nabi Muhammad saw disaat pertemuan dalam mimpi adalah merupakan hadis.[19]Sehingga apapun yang dikatakan oleh para awliya tersebut, walaupun tidak ada disebutkan di dalam al-Quran dan Hadits shahih, mereka meyakininya sebagai hadits yang shahih.
Sehingga tidaklah heran jika kita membaca buku atau mendengar keyakinan dari pengikut-pengikut aliran tasawuf, maka kita akan mendapati keyakinan yang berbeda diantara mereka. Masing-masing menyatakan apa yang didapat dalam Kasyfnya para wali mereka, apa yang tertangkap dalam benaknya para syeikh mereka, apa yang dikatakan Rasulullah saw kepada para awliyanya, atau apa yang diberikan malaikat atau yang dilihat oleh para wali sendiri di Lauhul Mahfudz.
Untuk menentukan derajat keshahihan suatu hadits, mereka lebih mempercayai getaran batin para sufi dari apa yang dikatakan oleh para ulama-ulama hadits.Ilmu-ilmu yang didapat melalui jalan syariat menjadi seperti tidak berguna karena mereka lebih mempercayai apa yang mereka dapat melalui mimpi atau getaran batin. Banyak sekali pendapat-pendapat atau cerita-cerita yang diyakini para pengikut tasawuf sebagai hadits atau atsar, padahal itu semua hanyalah sesuatu yg didapat oleh para sufi melalui mimpi atau bertemu langsung dengan Rasulullah sehingga tidak akan pernah kita temui di dalam kitab-kitab hadits yang shahih.
Dalam hal menetapkan otentisitas hadis, terdapat perbedaan mendasar antara kaum sufi dan ahli hadis. Bagi kaum sufi untuk menetapkan keotentikan hadis tidak hanya terpaku pada ada tidaknya rangkaian sanad pada hadis tersebut. Mereka juga menyatakan bahwa perkataan tertentu dapat dinisbahkan sebagai hadis Nabi saw. Asalkan perkataan tersebut tidak bertentangan dengan al-Quran dan disampaikan oleh orang yang mempunyai tingkat keshalihan yang tinggi
Metodologi tambahan yang digunakan kaum sufi ada 2 yaitu liqa’ al-nabi dan thariq al-kasyf.[20]
1.       Liqa’ al-Nabi
Liqa’ menurut bahasa artinya menghadap, melihat, dan bertemu. Maka kata Liqa’ al-Nabi adalah menghadap Nabi saw, melihat Nabi saw, dan bertemu Nabi saw. Kaum sufi menggunakan Liqa’ al-Nabi sebagai metodologi dalam menetapkan keotentikan suatu hadis. Hal ini dapat kita lihat dari banyak sekali kaum sufi yang mengklaim dirinya pernah bertemu Nabi baik dalam keadaan terjaga maupun dalam keadaan tidur (mimpi) padahal Rasulullah saw. telah wafat. Mereka berpandangan seperti itu karena mereka meyakini bahwa orang saleh yang wafat sejatinya dia masih hidup. Keyakinan kaum sufi ini berdasarkan surat al-Baqarah ayat 154:
وَلَاتَقُولُوالِمَنْيُقْتَلُفِيسَبِيلِاللَّهِأَمْوَاتٌبَلْأَحْيَاءٌوَلَكِنْلَاتَشْعُرُونَ
Artinya:
Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah, (bahwa mereka itu ) mati; bahkan (sebenarnya) mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya” (QS. al-Baqarah:154).
Selain dalam suratal-Baqarah tersebut surat Ali Imran ayat 169 juga menjelaskan adanya kehidupan bagi para syuhada:
وَلَاتَحْسَبَنَّالَّذِينَقُتِلُوافِيسَبِيلِاللَّهِأَمْوَاتًابَلْأَحْيَاءٌعِنْدَرَبِّهِمْيُرْزَقُونَ
Artinya:
Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup disisi Tuhannya dengan mendapat rezki.” (QS. Ali Imran:169).
2.      Thariq al-Kasyf
Al-Kasyf sendiri berdasarkan bahasa berarti keterbukaan.Maksud dari thariq al-Kasyf yaitu tersingkapnya tabir antara kehidupan kaum sufi di dunia dengan alam gaib, sehingga mereka dapat melihat kehidupan di alam ghaib. Jika mereka telah mengalami al-Kasyf maka suatu kali mereka akan merasakan jika mereka akan langsung mendapat ilmu dari Allah atau yang biasa disebut ilmu ladunni.
Kaitannya dengan metodologi dalam penentuan keotentikan hadis yaitu mereka suatu kali akan merasa jika hatinya benar-benar terbuka, kemudiam mereka merasa telah memasuki alam jiwa, dari sinilah disinyalir jika mereka merasa bertemu dengan Rasulullah saw.
Namun kedua metodologi kaum sufi tersebut menuai banyak kritik oleh kalangan ulama ahli hadis. Bagaimanapun juga antara sanad dan matan hadis tidak boleh dipisahkan dan kedua-duanya harus lolos prosedur kriteria otentisitas hadis. Sedangkan menurut metodologi kaum sufi, mereka hanya mementingkan segi matan saja. Ini tidak sesuai dengan kaidah keotentikan hadis.


BAB III
PENUTUP
Definisi hadis versi Syiah adalah “ setiap sesuatu yang bersumber dari orang yang ma’shum, baik berupa perkataan, perbuatan atau persetujuan.”  Sementara orang yang dimaksud ma’shum itu adalah Rasulullah saw dan Imam Duabelas. Dengan demikian, era wurud hadis tidak berhenti dengan wafatnya Nabi saw seperti kepercayaan Sunni melainkan berlanjut terus hingga masa kegaiban besar Imam Muhammad bin Hasan Al-Askari pada 941 M atau 329 H.
Sesungguhnya penulisan hadis Syiah sudah dimulai sejak zaman Nabi saw seperti halnya dalam keilmuan Sunni.  Akan tetapi selanjutnya yang membuat beda adalah bahwa menurut Syiah, orang yang pertama yang melakukan penulisan hadis adalah Imam Ali dengan imla (dikte) Rasullah saw.Tulisan-tulisan tersebut diantaranyaShaifah, al-Jami’ahdan Ushulul arba’ah Mi’ah.Sesuai dengan sejarah penulisan hadis versi Syiah diatas, maka Syiah juga memiliki kitab hadis induk sebagai pegangan dalam menjalankan agama, menetapkan hukum dan sebagainya. Jika dalam Sunni dikenal al-Kutub al-Sittah sebagai kitab hadis induk, dan al-Bukhari sebagai kitab hadis terbaiknya, maka dalam Syiah terdapat al-Kutub al-Arba’ah sebagai acuan utama mereka yakni al-Kafi, Man la Yahdhuruhu al-Faqih, Tahdzib al-Ahkam dan al-Istibshar.
Kaum Sufi meyakini bahwa seluruh ucapan dan pebuatan Nabi saw dalam pertemuan dalam mimpi adalah hadis. Sehingga apapun yang dikatakan oleh para awliya tersebut, walaupun tidak ada disebutkan di dalam al-Quran dan Hadits shahih, mereka meyakininya sebagai "hadits yang shahih".
Dalam hal menetapkan otentisitas hadis, terdapat perbedaan mendasar antara kaum sufi dan ahli hadis. Bagi kaum sufi untuk menetapkan keotentikan hadis metodologi tambahan yang digunakan kaum sufi ada 2 yaitu liqa’ al-nabi dan thariq al-kasyf.

Daftar Pustaka
al-Qardhawi, Yusuf al-Qur’an dan al-Sunnah, Terj. Bahrudin Fanani  (Jakarta: Rabbani Press, 1997)
Khaldun, IbnuMuqaddimah (Beirut: Dar al-Kutub al-’Ilmiyyah, 1978)
al-Amin, HasanDa’irah al-Ma’arif al-Syi’iyyah (Dar al-Ta’aruf li al-Mathbu’at, Beirut. 1989 M)
Baqir al-Majlisy,Muhammad Bihar al-Anwar al-Jami’ah li Durar Akhbar al-A’immah al-Athhar (Beirut: Mua’assasah al-Wafa’. Cetakan kedua 1983 M)
Abu Zahrah,MuhammadAl-Imam al-Shadiq (Kairo: Dar al-Fikr al-‘Araby, 1960 M)
Ma’arif, MajidSejarah Hadis Terj. Abdillah Mustafha (Jakarta: Nur al-Huda 2012)
Majalah waris (Majalah yang diterbitkan oleh kedutaan besar iran), No 14/Tahun IV Muharram-Shafar 1419 H, yang menyadur dari majalah al-Hidayat ath-Thayyibah edisi Ramadhan  1418 H.
Antologi Islam. Terj. “Encyclopedia of shia” (Jakarta: Al-Huda cetakan pertama I. Dzulhijjah 1425/Januari 2005)
Rijal Najasyi, Kulaini, al-Kafi, juz 1(Tehran: Dar al-Kutub al-Islamiyyah, 1363 H)
Al-Habsyi, Ali UmarStudi Analisis tentang al-Kafi dan al-Kulaini (Bangil: YAPI, t.th.)
  Al-Fatih Suryadilaga, ”al-Kafi al-Kulaini” dalam Studi Hadis (Yogyakarta: Teras, 2003), hlm. 313.
Syirazi, Ayatullah RabbaniMuqaddimah Ma’ani al-Akhbar (Qom: Intisyarat Jame’eh Mudarrisin)
  Shaduq,Muhammad bin Ali. Man La Yahduruhu al-Faqih, juz 1 (Beirut: Dar al-Adhwa’, 1405 H )
Abu Abdillah al-Bukhari, Muhammad bin Isma’ilShahîh al-Bukhârî (Beirut: Dâr Ibnu Katsîr, 1407 H/ 1987 M)
Sya’roni, UsmanOtentisitas Hadis Menurut Ahli Hadis dan Kaum Sufi (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008)


[1]Yusuf al-Qardhawi, al-Qur’an dan al-Sunnah, Terj. Bahrudin Fanani  (Jakarta: Rabbani Press, 1997), hlm. 61.
[2]Ibn Khaldun, Muqaddimah (Beirut: Dar al-Kutub al-’Ilmiyyah, 1978), hlm. 196.
[3]Hasan al-Amin.Da’irah al-Ma’arif al-Syi’iyyah(Dar al-Ta’aruf li al-Mathbu’at, Beirut. 1989 M).hlm. 88
[4]Muhammad Baqir al-Majlisy.Bihar al-Anwar al-Jami’ah li Durar Akhbar al-A’immah al-Athhar (Beirut:Mua’assasah al-Wafa’. Cetakan kedua 1983 M), hlm 177.
[5] Muhammad Abu Zahrah.  Al-Imam al-Shadiq (Kairo: Dar al-Fikr al-‘Araby, 1960 M) hlm. 293
[6] Majid Ma’arif, Sejarah Hadis Terj. Abdillah Mustafha (Jakarta: Nur al-Huda 2012) hlm. 277
[7]Majalah waris (Majalah yang diterbitkan oleh kedutaan besar iran), No 14/Tahun IV Muharram-Shafar 1419 H, yang menyadur dari majalah al-Hidayat ath-Thayyibah edisi Ramadhan  1418 H.
[8]Ibid,.                                        
[9]Ibid
[10] Antologi Islam. Terj.“Encyclopedia of shia” (Jakarta: Al-Huda cetakan pertama I. Dzulhijjah 1425/Januari 2005) hlm. 693
[11]Rijal Najasyi, nomor 1026; Kulaini, al-Kafi, juz 1(Tehran: Dar al-Kutub al-Islamiyyah, 1363 H) hlm. 40
[12] Ali Umar al-Habsyi, Studi Analisis tentang al-Kafi dan al-Kulaini (Bangil: YAPI, t.th.), hlm. 3
[13]Al-Fatih Suryadilaga, ”al-Kafi al-Kulaini” dalam Studi Hadis (Yogyakarta: Teras, 2003), hlm. 313.
[14]Ibid
[15] Ayatullah Rabbani Syirazi, Muqaddimah Ma’ani al-Akhbar (Qom: Intisyarat Jame’eh Mudarrisin). h. 76
[16] Syekh Shaduq, Man La Yahduruhu al-Fakih, juz 1 (Beirut: Dar al-Adhwa’, 1405 H)hlm.21
[17] Majid Ma’arif, Sejarah Hadis Terj. Abdillah Mustafha (Jakarta: Nur al-Huda 2012) hlm. 485
[18] Muhammad bin Isma’il Abû ‘Abdillah al-Bukhârî, Shahîh al-Bukhârî (Beirut: Dâr Ibnu Katsîr, 1407 H/ 1987 M), Juz 6, Kitab al-Ta’bîr, Bab 10-Man Ra’a al-Nabi saw fî al-Manâm, no.hadis 6592, h. 2567.
[19] Usman Sya’roni, Otentisitas Hadis Menurut Ahli Hadis dan Kaum Sufi (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008), h. 69-86.
[20]Ibid

Tidak ada komentar:

Posting Komentar