Kamis, 08 Desember 2016

AYAT-AYAT PUASA DAN TAFSIRNYA



BAB I
PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang

Pembahasan Ayat-ayat puasa dan tafsirnya sangat penting untuk dimunculkan. Mengingat banyaknya problematika / permasalahan yang terjadi di masyarakat. Pertama dikalangan sosial yang mempunyai cita-cita modern.
Karena itu kita sebagai generasi muda islam dituntut untuk memahami suatu hukum dengan secara hati-hati karena dewasa ini kita telah tahu non muslim telah menggunakan hal tersebut menjadi senjata ampuh untuk menyesatkan dan mengotori kesucian Al-Qur’an.
Meraka melancarkan tuduhan, pelecehan dan sebagainya terhadap Al-Quran. Sehingga kaum muslim terkecoh terhadap celaan-celaan terhadap ayat-ayat Al-Quran sehingga mengakibatkan banyak yang mengingkari adanya puasa dan membantah terhadap suatu kebenaran. Oleh karena itu, pandang kami perlu untuk menyusun sebuah makalah yang membahas tentang ayat-ayat puasa serta tafsirnya.
Ibadah puasa banyak mengandung aspek sosial, karena lewat ibadah ini kaum muslimin ikut merasakan penderitaan orang lain yang tidak dapat memenuhi kebutuhan pangannya seperti yang lain. Ibadah puasa juga menunjukkan bahwa orang-orang beriman sangat patuh kepada Allah karena mereka mampu menahan makan atau minum dan hal-hal yang membatalkan puasa.

B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas maka dapat dirumuskan beberapa masalah yang menjadi acuan pembahasan dalam makalah ini , yaitu:
1.      Apakah yang dimaksud dengan puasa ?
2.      Apakah diwajibkan berpuasa dibulan ramadhan? (Tafsir surah Al-baqarah ayat 183)
3.      Siapakah orang yang udzur mengerjakan puasa ? (Tafsir surah Al-Baqarah ayat 184)
4.      kapankah batas waktu sahur dan waktu berbuka di Bulan Ramadhan ? (Tafsir surah Al-baqarah ayat 178)
                                        
BAB II
PEMBAHASAN

A.     Pengertia puasa
 Sebelum kita mengkaji lebih jauh materi puasa,terlebih dahulu kita akan mempelajari pengertian puasa menurut bahasa dan menurut istilah. Secara bahasa al-shiyâm, al-shaum, puasa, berarti menahan, al-imsâk. Seperti firman Allah yang mengisahkan Maryam:  "Aku bernadzar puasa kepada Tuhan yang Pemurah" (QS. Maryam/19: 26). Al-shaum, puasa, di sini berarti menahan bicara, diam. Adapun puasa dalam pengertian istilah adalah menahan diri dari makan, minum dan semua perkara yang membatalkan puasa sejak terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari, dengan syarat-syarat tertentu. Sebagian ulama mendefinisikannya sebagai: "penahanan diri dari syahwat perut dan syahwat kelamin sepanjang hari disertai niat sebelum fajar waktu haid, nifas, dan hari-hari raya".

B.     Tentang kewajiban berpuasa (Tafsir surat Al-baqarah ayat 183)

Allah SWA berfirman :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ {183}
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”(Al-Baqarah:183)
Allah Ta’ala mengabarkan tentang segala yang Dia karuniakan kepada hamba-hambaNya dengan cara mewajibkan atas mereka berpuasa sebagaimana Allah telah mewajibkan puasa itu atas umat-umat terdahulu, karena puasa itu termasuk di antara syariat dan perintah yang mengandung kemaslahatan bagi makhluk di setiap zaman, berpuasa juga menambah semangat bagi umat ini yaitu dengan berlomba-lomba dengan umat lain dalam menyempurnakan amal perbuatan dan bersegera menuju kepada kebiasaan-kebiasaan yang baik, dan puasa itu juga bukanlah suatu perkara sulit yang merupakan keistimewaan kalian.
Kemudian Allah Ta’ala menyebutkan hikmah disyariatkannya puasa seraya berfirman, { لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ } “Agar kamu bertakwa,” karena sesungguhnya puasa itu merupakan salah satu faktor penyebab ketakwaan, karena berpuasa adalah merealisasikan perintah Allah dan menjauhi laranganNya. Dan di antara gambaran yang meliputi ketakwaan dalam puasa itu adalah bahwa orang yang berpuasa akan meninggalkan apa yang diharamkan oleh Allah seperti makan, minum, melakukan jima’ dan semacamnya yang sangat diinginkan oleh nafsunya dengan maksud mendekatkan diri kepada Allah seraya mengharapkan pahala dalam meninggalkan hal-hal tersebut, inilah hal yang merupakan ketakwaan, di antaranya juga sebagai gambaran bahwasanya orang yang berpuasa itu melatih dirinya dengan selalu merasa diawasi oleh Allah Ta’ala, maka meninggalkan apa yang diinginkan oleh nafsunya padahal dia mampu melakukannya karena dia tahu bahwa Allah melihatnya.
Gambaran lain dalam puasa adalah bahwasanya puasa itu mempersempit gerakan setan karena setan itu selalu berjalan dalam tubuh manusia seperti jalannya darah, maka puasa akan melemahkan pengaruhnya dan meminimkan kemaksiatan, di antaranya juga bahwa seorang yang berpuasa biasanya akan bertambah ketaatannya, sedang ketaatan itu adalah gambaran dari ketakwaan, yang lainnya lagi adalah bahwa orang yang kaya bila merasakan susahnya kelaparan, pastilah ia menghibur kaum miskin lagi papa, dan ini pun dari gambaran ketakwaan.
C.      Orang yang udzur mengerjakan puasa (Tafsir surat Al-Baqarah ayat 184)
Allah SWA berfirman:

يَّأَامًا مَّعْدُودَاتٍ فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةُ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَن تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرُ لَّهُ وَأَن تَصُومُوا خَيْرُ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ {184}

“(Yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu dia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu), memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (Al-Baqarah:184).
Ketika Allah Ta’ala menyebutkan kewajiban puasa bagi mereka, Dia mengabarkan bahwa puasa itu hanya pada hari-hari yang tertentu atau sedikit sekali dan sangat mudah, kemudian Allah memudahkan puasa itu dengan kemudahan lainnya, Dia berfirman, {فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ } “Maka barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain” pada umumnya hal itu karena adanya kesulitan, sehingga Allah memberikan kemudahan bagi keduanya untuk berbuka, dan ketika menjadi suatu keharusan untuk mewujudkan kemaslahatan puasa bagi setiap orang yang beriman, maka Allah memerintahkan kepada mereka berdua agar mengganti puasanya itu pada hari-hari yang lain apabila penyakitnya telah sembuh atau berakhirnya perjalanan dan adanya istirahat.
Dalam firmanNya, { فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ } “Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain” sebuah dalil bahwa ia harus mengganti sejumlah hari bulan Ramadhan secara sempurna, dan firmanNya, { وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ } “Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa)” maksudnya mereka tidak mampu berpuasa, { فِدْيَةٌ } “membayar fidyah” dari setiap hari yang mereka batalkan, { طَعَامُ مِسْكِينٍ } “memberi makan seorang miskin” hal ini pada awal-awal kewajiban berpuasa ketika mereka belum terbiasa berpuasa dan saat itu kewajiban tersebut adalah suatu yan“memberi makan seorang miskin” hal g harus dilakukan oleh mereka yang akhirnya sangat berat bagi mereka untuk melakukannya, lalu Allah Rabb yang Maha Bijaksana memberikan jalan yang paling mudah bagi mereka, Dia memberikan pilihan bagi orang yang tidak mampu berpuasa antara melakukan puasa dan itulah yang paling baik dan utama atau memberikan makan.
Oleh karena itu Allah berfirman, { وَأَن تَصُومُوا خَيْرٌ لَّكُمْ } “Dan berpuasa lebih baik bagimu” kemudian setelah itu Allah menjadikan puasa itu harus dilakukan oleh orang yang mampu sedangkan orang yang tidak mampu, boleh berbuka lalu menggantinya pada hari yang lain. Dan pendapat lain berbunyi; dan orang-orang yang tidak mampu yaitu terbebani dan merasa sangat berat sekali untuk melaksanakannya seperti orang tua yang renta adalah membayar fidyah untuk tiap hari kepada seorang miskin, dan inilah yang benar.
D.     Batas waktu sahur dan waktu berbuka di Bulan Ramadhan (Tafsir surat Al-Baqarah ayat 187)
Pada ayat ini Allah ta’ala menerangkan tentang hal-hal yang dibolehkan dimalam hari bagi orang yang berpuasa pada bulan Ramadhan, yang merupakan keringanan yang diberikan Allah kepada hamba-hambaNya, di mana sebelumnya (di awal-awal perintah berpuasa) kaum muslimin diperintahkan berpuasa dan mereka dilarang makan, minum dan berjima’ di malam-malam hari berpuasa setelah mereka tidur, lalu diantara mereka ada yang merasa kesulitan sehingga Allah Ta’ala menurunkan FirmanNya.

أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسُُ لَّكُمْ وَأَنتُمْ لِبَاسُُ لَّهُنَّ عَلِمَ اللهُ أَنَّكُمْ كُنتُمْ تَخْتَانُونَ أَنفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنكُمْ فَالْئَانَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَاكَتَبَ اللهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ اْلأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ اْلأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى الَّيْلِ وَلاَ تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللهِ فَلاَ تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللهُ ءَايَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ {187}

“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan istri-istri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam masjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayatNya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.” (Al-Baqarah: 187).
Pada awal-awal diwajibkannya puasa, kaum muslimin dilarang makan, minum dan berjima’ pada malam hari setelah tidur, lalu sebagian mereka merasa kesulitan dengan hal tersebut, kemudian Allah Ta’ala meringankan hal tersebut dengan membolehkan mereka pada malam hari Ramadhan semua perkara itu dari makan, minum maupun berjima’ baik setelah tidur maupun sebelumnya, karena mereka tidak dapat menahan nafsu mereka dengan cara meninggalkan beberapa hal yang mereka diperintahkan kepadanya, maka Allah Ta’ala { تَابَ } “mengampuni” { عَلَيْكُمْ } “kamu, yaitu dengan melapangkan perkara itu bagi kalian dan sekiranya bukan karena kelapangan itu, pastilah akan menimbulkan dosa, [ وَعَفَا عَنكُمْ] “dan memberikan maaf kepadamu”, apa yang telah berlalu dari perkara tidak mampu menahan nafsu tersebut, { فَاْلآنَ } “maka sekarang” setelah adanya keringanan dan kelapangan dari Allah ini, { بَاشِرُوهُنَّ } “campurilah mereka” berjima’, mencium, menyentuh dan sebagainya, { وَابْتَغُوا مَاكَتَبَ اللهُ لَكُمْ} “dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu”, maksudnya, berniatlah untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala ketika mencampuri istri-istri kalian, dan maksud yang paling besar dari adanya jima’ tersebut adalah mendapatkan keturunan, menjaga kemaluannya dan kemaluan istrinya, dan juga memperoleh tujuan nikah.
Dan apa yang telah ditentukan oleh Allah atas kalian pada Lailatul Qadar yang bertepatan dengan malam-malam bulan puasa Ramadhan, maka seharusnya kalian tidaklah disibukkan oleh kenikmatan tersebut dari malam yang mulia itu dan tidak menyia-nyiakan malam tersebut, karena kenikmatan itu masih dapat diperoleh sedangkan Lailatul Qadar tidak diperoleh setiap waktu.
{ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ اْلأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ اْلأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ } “Dan makan dan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar” ini adalah batas waktu bagi makan, minum dan berjima’, juga apabila ia makan atau minum dengan perasaan ragu tentang terbitnya fajar, maka tidak apa-apa baginya, ayat ini juga merupakan sebuah dalil dianjurkannya sahur dengan adanya perintah dan dianjurkan untuk diakhirkan dengan dasar yang diambil dari arti keringanan dari Allah dan kemudahan yang diberikan olehNya untuk hamba-hambaNya, ayat ini juga sebagai dalil bolehnya meneruskan puasa ketika fajar telah datang sedang ia masih junub dari berbuat jima’ sedangkan ia belum mandi dan puasanya tetap sah, karena konsekuensi bolehnya berjima’ hingga terbitnya fajar, ia akan mendapati fajar dalam keadaan masih junub, dan konsekuensi kebenaran adalah benar, { ثُمَّ } “kemudian” apabila fajar telah terbit, maka { أَتِمُّوا الصِّيَامَ } “sempurnakanlah puasa itu”, yakni menahan diri dari hal-hal yang membatalkan, { إِلَى الَّيْلِ } “hingga malam” yaitu terbenamnya matahari. Dan ketika bolehnya berjima’ pada malam-malam puasa bukanlah secara umum bagi setiap orang, maka seorang yang beri’tikaf tidaklah halal baginya melakukan hal itu, yang telah dikecualikan dalam firmanNya, [ وَلاَ باشِرُوهُنَّ وَأَنتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ "Janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf dalam masjid", maksudnya, kalian sedang melakukan hal tersebut.
Ayat ini menunjukkan bahwa i'tikaf itu disyariatkan, dan i'tikaf itu adalah berdiam di masjid dalam rangka ketaatan kepada Allah Ta’ala dan memusatkan perhatian hanya kepadaNya, dan bahwasanya i'tikaf itu tidaklah sah kecuali dalam masjid. Dapat dipahami dari arti masjid di sini adalah masjid yang dipahami oleh mereka, yaitu yang didirikan di dalamnya shalat lima waktu, dan juga bahwa berjima' itu adalah di antara pembatal ibadah i'tikaf.
Hal-hal yang telah disebutkan di atas itu seperti haramnya makan, minum, berjima' dan semacamnya dari pembatal-pembatal puasa, dan haramnya berbuka karena suatu perkara yang bukan alasan syar'i, haramnya berjima' bagi orang yang melakukan i'tikaf dan semacamnya di antara hal-hal yang diharamkan, { حُدُودُ اللهِ } "itulah larangan Allah" yang telah Allah tetapkan bagi hamba-hamba-Nya dan Dia larang darinya, kemudian Dia berfirman, [فَلاَ تَقْرَبُوهَا ] “Maka janganlah kamu mendekatinya” lebih kuat daripada perkataan “maka janganlah kamu melakukannya”, karena kata mendekati itu meliputi larangan dari mengerjakan hal yang diharamkan itu sendiri dan larangan dari sarana-sarana yang menyampaikan kepada hal tersebut.
Seorang hamba itu diperintahkan untuk meninggalkan hal-hal yang diharamkan dan menjauh darinya sejauh mungkin yang ia mampu, dan meninggalkan segala sebab yang mengajak kepadanya. Adapun tentang perintah-perintah, Allah berfirman padanya, “itulah ketentuan-ketentuan Allah, maka janganlah kamu melampaui batasnya”, Allah melarang dari bertindak melampaui batas padanya, {
كَذلِكَ } “demikianlah” maksudnya, Allah menjelaskan kepada hamba-hambaNya berkenaan dengan hukum-hukum yang telah berlalu itu dengan penjelasan yang paling sempurna dan menerangkannya dengan keterangan yang paling jelas, [ يُبَيِّنُ اللهُ ءَ ايَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ] “Allah menerangkan ayat-ayatNya kepada manusia, supaya mereka bertakwa”, apabila kebenaran telah jelas bagi mereka, niscaya mereka akan mengikutinya, dan apabila kebatilan jelas bagi mereka niscaya mereka akan menjauhinya. Manusia terkadang melakukan hal yang diharamkan karena ketidaktahuannya bahwa hal tersebut adalah haram, namun bila ia mengetahui keharamannya pastilah tidak akan dilakukan, apabila Allah telah menjelaskan ayat-ayatNya kepada manusia, maka tidak ada lagi alasan dan hujjah bagi mereka dengan demikian, hal itu adalah faktor penyebab ketakwaan.

BAB III
KESIMPULAN
Berdasarkan uraian makalah kami diatas, maka kami dapat memetik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1.      Puasa adalah menahan diri dari makan dan minum serta segala yang dapat membatalkannya, dimulai dari terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari.
2.      Berpuasa di Bulan Ramadhan adalah merupakan kewajiban guna untuk mencapai takwah.
3.      Orang yang sakit dan orang musafir jika ia tidak berpuasa  maka ia wajib mengganti puasanya sebanyak hari yang ditinggalkan di hari-hari yang lain, kemudian orang yang tidak manpu berpuasa maka ia wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan anak yatim sebagai pengganti dari puasanya.
4.      Bagi seorang suami dihalalkan bercampur dengan istrinya pada malam hari Ramadhan, kemudian di Bulan Ramadhan batas akhir makan sahur yaitu terbitnya fajar dan berbuka pada terbenamnya matahari.

DAFTAR PUSTAKA
Tafsir Al-Misbah oleh M.Qurais Syihab 2002
 Tafsir al-Quran al-Karim oleh Syaikh Muhammad bin Shaleh al-Utsaimin, Dar Ibnul Jauzi.
 Taisir al-Karim ar-Rahman (tafsir as-Sa’di)
Aisar Tafsri oleh Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jazairi,Maktabah al-Ulum wa al-Hikmah
http://alsofwah.or.id/index.php?pilih=lihatquran&id=162

Tidak ada komentar:

Posting Komentar