BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Pembahasan Ayat-ayat puasa dan tafsirnya sangat
penting untuk dimunculkan. Mengingat banyaknya problematika / permasalahan yang
terjadi di masyarakat. Pertama dikalangan sosial yang mempunyai cita-cita
modern.
Karena itu kita sebagai generasi muda islam
dituntut untuk memahami suatu hukum dengan secara hati-hati karena dewasa ini
kita telah tahu non muslim telah menggunakan hal tersebut menjadi senjata ampuh
untuk menyesatkan dan mengotori kesucian Al-Qur’an.
Meraka melancarkan tuduhan, pelecehan dan
sebagainya terhadap Al-Quran. Sehingga kaum muslim terkecoh terhadap celaan-celaan
terhadap ayat-ayat Al-Quran sehingga mengakibatkan banyak yang mengingkari
adanya puasa dan membantah terhadap suatu kebenaran. Oleh karena itu, pandang
kami perlu untuk menyusun sebuah makalah yang membahas tentang ayat-ayat puasa
serta tafsirnya.
Ibadah puasa banyak mengandung aspek sosial,
karena lewat ibadah ini kaum muslimin ikut merasakan penderitaan orang lain
yang tidak dapat memenuhi kebutuhan pangannya seperti yang lain. Ibadah puasa
juga menunjukkan bahwa orang-orang beriman sangat patuh kepada Allah karena
mereka mampu menahan makan atau minum dan hal-hal yang membatalkan puasa.
B. Rumusan
Masalah
Berdasarkan uraian diatas maka dapat
dirumuskan beberapa masalah yang menjadi acuan pembahasan dalam makalah ini ,
yaitu:
1. Apakah yang
dimaksud dengan puasa ?
2. Apakah diwajibkan
berpuasa dibulan ramadhan? (Tafsir surah Al-baqarah ayat 183)
3. Siapakah orang
yang udzur mengerjakan puasa ? (Tafsir surah Al-Baqarah ayat 184)
4. kapankah batas
waktu sahur dan waktu berbuka di Bulan Ramadhan ? (Tafsir surah Al-baqarah ayat
178)
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertia
puasa
Sebelum kita mengkaji lebih jauh materi
puasa,terlebih dahulu kita akan mempelajari pengertian puasa menurut bahasa dan
menurut istilah. Secara bahasa al-shiyâm,
al-shaum, puasa, berarti menahan, al-imsâk. Seperti firman Allah yang
mengisahkan Maryam: "Aku bernadzar
puasa kepada Tuhan yang Pemurah" (QS. Maryam/19: 26). Al-shaum, puasa, di
sini berarti menahan bicara, diam. Adapun puasa dalam pengertian istilah adalah
menahan diri dari makan, minum dan semua perkara yang membatalkan puasa sejak
terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari, dengan syarat-syarat tertentu. Sebagian
ulama mendefinisikannya sebagai: "penahanan diri dari syahwat perut dan
syahwat kelamin sepanjang hari disertai niat sebelum fajar waktu haid, nifas,
dan hari-hari raya".
B. Tentang
kewajiban berpuasa (Tafsir surat Al-baqarah ayat 183)
Allah
SWA berfirman :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا
كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ {183}
“Hai
orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan
atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”(Al-Baqarah:183)
Allah Ta’ala mengabarkan tentang segala yang Dia karuniakan kepada
hamba-hambaNya dengan cara mewajibkan atas mereka berpuasa sebagaimana Allah
telah mewajibkan puasa itu atas umat-umat terdahulu, karena puasa itu termasuk
di antara syariat dan perintah yang mengandung kemaslahatan bagi makhluk di
setiap zaman, berpuasa juga menambah semangat bagi umat ini yaitu dengan
berlomba-lomba dengan umat lain dalam menyempurnakan amal perbuatan dan
bersegera menuju kepada kebiasaan-kebiasaan yang baik, dan puasa itu juga bukanlah
suatu perkara sulit yang merupakan keistimewaan kalian.
Kemudian Allah Ta’ala menyebutkan hikmah disyariatkannya puasa
seraya berfirman, { لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ } “Agar kamu bertakwa,” karena sesungguhnya puasa itu
merupakan salah satu faktor penyebab ketakwaan, karena berpuasa adalah
merealisasikan perintah Allah dan menjauhi laranganNya. Dan di antara gambaran
yang meliputi ketakwaan dalam puasa itu adalah bahwa orang yang berpuasa akan
meninggalkan apa yang diharamkan oleh Allah seperti makan, minum, melakukan
jima’ dan semacamnya yang sangat diinginkan oleh nafsunya dengan maksud
mendekatkan diri kepada Allah seraya mengharapkan pahala dalam meninggalkan
hal-hal tersebut, inilah hal yang merupakan ketakwaan, di antaranya juga
sebagai gambaran bahwasanya orang yang berpuasa itu melatih dirinya dengan
selalu merasa diawasi oleh Allah Ta’ala, maka meninggalkan apa yang diinginkan
oleh nafsunya padahal dia mampu melakukannya karena dia tahu bahwa Allah
melihatnya.
Gambaran lain dalam puasa adalah bahwasanya puasa itu mempersempit
gerakan setan karena setan itu selalu berjalan dalam tubuh manusia seperti
jalannya darah, maka puasa akan melemahkan pengaruhnya dan meminimkan
kemaksiatan, di antaranya juga bahwa seorang yang berpuasa biasanya akan bertambah
ketaatannya, sedang ketaatan itu adalah gambaran dari ketakwaan, yang lainnya
lagi adalah bahwa orang yang kaya bila merasakan susahnya kelaparan, pastilah
ia menghibur kaum miskin lagi papa, dan ini pun dari gambaran ketakwaan.
C. Orang
yang udzur mengerjakan puasa (Tafsir surat Al-Baqarah ayat 184)
Allah SWA
berfirman:
يَّأَامًا
مَّعْدُودَاتٍ فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ
أَيَّامٍ أُخَرَ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةُ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَن
تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرُ لَّهُ وَأَن تَصُومُوا خَيْرُ لَّكُمْ إِن
كُنتُمْ تَعْلَمُونَ {184}
“(Yaitu)
dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa di antara kamu ada yang
sakit atau dalam perjalanan (lalu dia berbuka), maka (wajiblah baginya
berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan
wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa)
membayar fidyah, (yaitu), memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan
kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan
berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (Al-Baqarah:184).
Ketika Allah Ta’ala menyebutkan kewajiban puasa bagi mereka, Dia
mengabarkan bahwa puasa itu hanya pada hari-hari yang tertentu atau sedikit
sekali dan sangat mudah, kemudian Allah memudahkan puasa itu dengan kemudahan
lainnya, Dia berfirman, {فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ
أَيَّامٍ أُخَرَ } “Maka
barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia
berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu
pada hari-hari yang lain” pada umumnya hal itu karena adanya kesulitan,
sehingga Allah memberikan kemudahan bagi keduanya untuk berbuka, dan ketika
menjadi suatu keharusan untuk mewujudkan kemaslahatan puasa bagi setiap orang
yang beriman, maka Allah memerintahkan kepada mereka berdua agar mengganti
puasanya itu pada hari-hari yang lain apabila penyakitnya telah sembuh atau
berakhirnya perjalanan dan adanya istirahat.
Dalam firmanNya, { فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ } “Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan
itu pada hari-hari yang lain” sebuah dalil bahwa ia harus mengganti
sejumlah hari bulan Ramadhan secara sempurna, dan firmanNya, { وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ } “Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka
tidak berpuasa)” maksudnya mereka tidak mampu berpuasa, { فِدْيَةٌ } “membayar
fidyah”
dari setiap hari yang mereka batalkan, { طَعَامُ مِسْكِينٍ } “memberi makan seorang miskin” hal ini pada awal-awal kewajiban
berpuasa ketika mereka belum terbiasa berpuasa dan saat itu kewajiban tersebut
adalah suatu yan“memberi makan seorang miskin” hal g harus dilakukan
oleh mereka yang akhirnya sangat berat bagi mereka untuk melakukannya, lalu
Allah Rabb yang Maha Bijaksana memberikan jalan yang paling mudah bagi mereka,
Dia memberikan pilihan bagi orang yang tidak mampu berpuasa antara melakukan
puasa dan itulah yang paling baik dan utama atau memberikan makan.
Oleh karena itu Allah berfirman, { وَأَن تَصُومُوا خَيْرٌ لَّكُمْ } “Dan berpuasa lebih baik bagimu” kemudian setelah itu Allah
menjadikan puasa itu harus dilakukan oleh orang yang mampu sedangkan orang yang
tidak mampu, boleh berbuka lalu menggantinya pada hari yang lain. Dan pendapat
lain berbunyi; dan orang-orang yang tidak mampu yaitu terbebani dan merasa
sangat berat sekali untuk melaksanakannya seperti orang tua yang renta adalah
membayar fidyah untuk tiap hari kepada seorang miskin, dan inilah yang benar.
D. Batas
waktu sahur dan waktu berbuka di Bulan Ramadhan (Tafsir surat Al-Baqarah ayat
187)
Pada
ayat ini Allah ta’ala menerangkan tentang hal-hal yang dibolehkan dimalam hari
bagi orang yang berpuasa pada bulan Ramadhan, yang merupakan keringanan yang
diberikan Allah kepada hamba-hambaNya, di mana sebelumnya (di awal-awal
perintah berpuasa) kaum muslimin diperintahkan berpuasa dan mereka dilarang
makan, minum dan berjima’ di malam-malam hari berpuasa setelah mereka tidur,
lalu diantara mereka ada yang merasa kesulitan sehingga Allah Ta’ala menurunkan
FirmanNya.
أُحِلَّ
لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسُُ لَّكُمْ
وَأَنتُمْ لِبَاسُُ لَّهُنَّ عَلِمَ اللهُ أَنَّكُمْ كُنتُمْ تَخْتَانُونَ
أَنفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنكُمْ فَالْئَانَ بَاشِرُوهُنَّ
وَابْتَغُوا مَاكَتَبَ اللهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ
لَكُمُ الْخَيْطُ اْلأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ اْلأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ
أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى الَّيْلِ وَلاَ تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنتُمْ عَاكِفُونَ
فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللهِ فَلاَ تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ
اللهُ ءَايَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ {187}
“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur
dengan istri-istri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah
pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan
nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka
sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu,
dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu
fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi)
janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam masjid. Itulah
larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan
ayat-ayatNya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.” (Al-Baqarah:
187).
Pada
awal-awal diwajibkannya puasa, kaum muslimin dilarang makan, minum dan berjima’
pada malam hari setelah tidur, lalu sebagian mereka merasa kesulitan dengan hal
tersebut, kemudian Allah Ta’ala meringankan hal tersebut dengan membolehkan
mereka pada malam hari Ramadhan semua perkara itu dari makan, minum maupun
berjima’ baik setelah tidur maupun sebelumnya, karena mereka tidak dapat
menahan nafsu mereka dengan cara meninggalkan beberapa hal yang mereka
diperintahkan kepadanya, maka Allah Ta’ala { تَابَ
} “mengampuni” { عَلَيْكُمْ } “kamu”, yaitu
dengan melapangkan perkara itu bagi kalian dan sekiranya bukan karena
kelapangan itu, pastilah akan menimbulkan dosa, [ وَعَفَا
عَنكُمْ] “dan
memberikan maaf kepadamu”, apa yang telah berlalu dari perkara tidak mampu
menahan nafsu tersebut, { فَاْلآنَ } “maka
sekarang”
setelah adanya keringanan dan kelapangan dari Allah ini, { بَاشِرُوهُنَّ } “campurilah
mereka”
berjima’, mencium, menyentuh dan sebagainya, { وَابْتَغُوا
مَاكَتَبَ اللهُ لَكُمْ} “dan
carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu”,
maksudnya, berniatlah untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala ketika
mencampuri istri-istri kalian, dan maksud yang paling besar dari adanya jima’
tersebut adalah mendapatkan keturunan, menjaga kemaluannya dan kemaluan
istrinya, dan juga memperoleh tujuan nikah.
Dan
apa yang telah ditentukan oleh Allah atas kalian pada Lailatul Qadar yang
bertepatan dengan malam-malam bulan puasa Ramadhan, maka seharusnya kalian
tidaklah disibukkan oleh kenikmatan tersebut dari malam yang mulia itu dan tidak
menyia-nyiakan malam tersebut, karena kenikmatan itu masih dapat diperoleh
sedangkan Lailatul Qadar tidak diperoleh setiap waktu.
{ وَكُلُوا
وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ اْلأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ
اْلأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ } “Dan
makan dan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu
fajar”
ini adalah batas waktu bagi makan, minum dan berjima’, juga apabila ia makan
atau minum dengan perasaan ragu tentang terbitnya fajar, maka tidak apa-apa
baginya, ayat ini juga merupakan sebuah dalil dianjurkannya sahur dengan adanya
perintah dan dianjurkan untuk diakhirkan dengan dasar yang diambil dari arti
keringanan dari Allah dan kemudahan yang diberikan olehNya untuk
hamba-hambaNya, ayat ini juga sebagai dalil bolehnya meneruskan puasa ketika
fajar telah datang sedang ia masih junub dari berbuat jima’ sedangkan ia belum
mandi dan puasanya tetap sah, karena konsekuensi bolehnya berjima’ hingga
terbitnya fajar, ia akan mendapati fajar dalam keadaan masih junub, dan konsekuensi
kebenaran adalah benar, { ثُمَّ } “kemudian”
apabila
fajar telah terbit, maka { أَتِمُّوا
الصِّيَامَ } “sempurnakanlah
puasa itu”,
yakni menahan diri dari hal-hal yang membatalkan, { إِلَى
الَّيْلِ } “hingga
malam”
yaitu terbenamnya matahari. Dan ketika bolehnya berjima’ pada malam-malam puasa
bukanlah secara umum bagi setiap orang, maka seorang yang beri’tikaf tidaklah
halal baginya melakukan hal itu, yang telah dikecualikan dalam firmanNya, [ وَلاَ
باشِرُوهُنَّ وَأَنتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ "Janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf
dalam masjid",
maksudnya, kalian sedang melakukan hal tersebut.
Ayat
ini menunjukkan bahwa i'tikaf itu disyariatkan, dan i'tikaf itu adalah berdiam
di masjid dalam rangka ketaatan kepada Allah Ta’ala dan memusatkan perhatian
hanya kepadaNya, dan bahwasanya i'tikaf itu tidaklah sah kecuali dalam masjid.
Dapat dipahami dari arti masjid di sini adalah masjid yang dipahami oleh
mereka, yaitu yang didirikan di dalamnya shalat lima waktu, dan juga bahwa berjima'
itu adalah di antara pembatal ibadah i'tikaf.
Hal-hal
yang telah disebutkan di atas itu seperti haramnya makan, minum, berjima' dan
semacamnya dari pembatal-pembatal puasa, dan haramnya berbuka karena suatu
perkara yang bukan alasan syar'i, haramnya berjima' bagi orang yang melakukan
i'tikaf dan semacamnya di antara hal-hal yang diharamkan, { حُدُودُ
اللهِ } "itulah
larangan Allah"
yang telah Allah tetapkan bagi hamba-hamba-Nya dan Dia larang darinya, kemudian
Dia berfirman, [فَلاَ
تَقْرَبُوهَا ] “Maka
janganlah kamu mendekatinya” lebih kuat daripada perkataan “maka
janganlah kamu melakukannya”, karena kata mendekati itu meliputi larangan
dari mengerjakan hal yang diharamkan itu sendiri dan larangan dari sarana-sarana yang
menyampaikan kepada hal tersebut.
Seorang hamba itu diperintahkan untuk meninggalkan hal-hal yang diharamkan dan menjauh darinya sejauh mungkin yang ia mampu, dan meninggalkan segala sebab yang mengajak kepadanya. Adapun tentang perintah-perintah, Allah berfirman padanya, “itulah ketentuan-ketentuan Allah, maka janganlah kamu melampaui batasnya”, Allah melarang dari bertindak melampaui batas padanya, {كَذلِكَ } “demikianlah” maksudnya, Allah menjelaskan kepada hamba-hambaNya berkenaan dengan hukum-hukum yang telah berlalu itu dengan penjelasan yang paling sempurna dan menerangkannya dengan keterangan yang paling jelas, [ يُبَيِّنُ اللهُ ءَ ايَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ] “Allah menerangkan ayat-ayatNya kepada manusia, supaya mereka bertakwa”, apabila kebenaran telah jelas bagi mereka, niscaya mereka akan mengikutinya, dan apabila kebatilan jelas bagi mereka niscaya mereka akan menjauhinya. Manusia terkadang melakukan hal yang diharamkan karena ketidaktahuannya bahwa hal tersebut adalah haram, namun bila ia mengetahui keharamannya pastilah tidak akan dilakukan, apabila Allah telah menjelaskan ayat-ayatNya kepada manusia, maka tidak ada lagi alasan dan hujjah bagi mereka dengan demikian, hal itu adalah faktor penyebab ketakwaan.
Seorang hamba itu diperintahkan untuk meninggalkan hal-hal yang diharamkan dan menjauh darinya sejauh mungkin yang ia mampu, dan meninggalkan segala sebab yang mengajak kepadanya. Adapun tentang perintah-perintah, Allah berfirman padanya, “itulah ketentuan-ketentuan Allah, maka janganlah kamu melampaui batasnya”, Allah melarang dari bertindak melampaui batas padanya, {كَذلِكَ } “demikianlah” maksudnya, Allah menjelaskan kepada hamba-hambaNya berkenaan dengan hukum-hukum yang telah berlalu itu dengan penjelasan yang paling sempurna dan menerangkannya dengan keterangan yang paling jelas, [ يُبَيِّنُ اللهُ ءَ ايَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ] “Allah menerangkan ayat-ayatNya kepada manusia, supaya mereka bertakwa”, apabila kebenaran telah jelas bagi mereka, niscaya mereka akan mengikutinya, dan apabila kebatilan jelas bagi mereka niscaya mereka akan menjauhinya. Manusia terkadang melakukan hal yang diharamkan karena ketidaktahuannya bahwa hal tersebut adalah haram, namun bila ia mengetahui keharamannya pastilah tidak akan dilakukan, apabila Allah telah menjelaskan ayat-ayatNya kepada manusia, maka tidak ada lagi alasan dan hujjah bagi mereka dengan demikian, hal itu adalah faktor penyebab ketakwaan.
BAB III
KESIMPULAN
Berdasarkan
uraian makalah kami diatas, maka kami dapat memetik beberapa kesimpulan sebagai
berikut:
1. Puasa adalah
menahan diri dari makan dan minum serta segala yang dapat membatalkannya,
dimulai dari terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari.
2. Berpuasa di
Bulan Ramadhan adalah merupakan kewajiban guna untuk mencapai takwah.
3. Orang yang
sakit dan orang musafir jika ia tidak berpuasa
maka ia wajib mengganti puasanya sebanyak hari yang ditinggalkan di
hari-hari yang lain, kemudian orang yang tidak manpu berpuasa maka ia wajib
membayar fidyah, yaitu memberi makan anak yatim sebagai pengganti dari puasanya.
4. Bagi seorang
suami dihalalkan bercampur dengan istrinya pada malam hari Ramadhan, kemudian
di Bulan Ramadhan batas akhir makan sahur yaitu terbitnya fajar dan berbuka
pada terbenamnya matahari.
DAFTAR
PUSTAKA
Tafsir
Al-Misbah oleh M.Qurais Syihab 2002
Tafsir al-Quran al-Karim oleh Syaikh Muhammad
bin Shaleh al-Utsaimin, Dar Ibnul Jauzi.
Taisir al-Karim ar-Rahman (tafsir as-Sa’di)
Taisir al-Karim ar-Rahman (tafsir as-Sa’di)
Aisar
Tafsri oleh Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jazairi,Maktabah al-Ulum wa al-Hikmah
http://alsofwah.or.id/index.php?pilih=lihatquran&id=162
Tidak ada komentar:
Posting Komentar