BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
belakang
Kebudayaan merupakan bagian dan menjadi milik masyarakat
manapun di dunia ini. Dan setiap masyarakat mempunyai kebudayaan sendiri yang
berbeda dari kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat lain. Istilah peradaban (Civilazation)
adalah nama yang diberikan kepada kebudayaan yang telah mencapai taraf
perkembangan teknologi yang sudah tinggi.
Kebudayaan melahirkan kaidah-kaidah untuk melindungi
masyarakat dari kehancuran yang diakibatkan dari kekuatan tersembunyi di
masyarakat. Kaidah ini berupa petunjuk cara bertingkah laku di dalam pergaulan
hidup.
Dewasa ini, kebudayaan diartikan sebagai manifestasi
kehidupan setiap orang dan setiap kelompok orang-orang dalam arti luas. Manusia
berbeda dengan binatang. karena manusia tidak dapat hidup begitu saja di
tengah-tengah alam, melainkan selalu mengubah alam itu.
Kebudayaan dipandang sebagai suatu yang lebih bersifat
dinamis bukan sesuatu yang statis, bukan lagi kata benda tetapi kata kerja.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang
diatas maka yang menjadi rumusan masalah adalah:
1. Bagaimana konsepsi-konsepsi khusus
mengenai pergeseran masyarakat dan kebudayaan ?
2. Bagaimana proses belajar kebudayaan
sendiri ?
3. Bagaimana proses evolusi sosial ?
4. Bagaimana proses difusi ?
5. Apa yang dimaksud dengan akulturasi dan
asimilasi ?
6. Apa yang dimaksud dengan inovasi ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Konsepsi-konsepsi
Khusus mengenai Pergeseran Masyarakat dan Kebudayaan
Dinamika social (social
dynamics) adalah semua konsep yang diperlukan apabila ingin menganalisis
proses-proses pergeseran masyarakat dan kebudayaan, termasuk lapangan
penelitian ilmu antropologi dan sosiologi. Diantara konsep-konsep ada mengenai
proses bbelajar kebudayaan oleh warga masyarakat bersangkutan, yaitu
internalisasi (internalization),sosialisasi
(sosialization), dan enkulturasi (enculturation).ada juga proses
perkembangan kebudayaan umat manusia pada umumnya dan bentuk-bentuk kebudayaan
yang sederhana, hingga bentuk-bentuk yang makin lama makin kompleks, yaituu
evolusi kebudayaan (cultural evolution).
Kemudian ada proses penyebaran kebudayaan secara geografi, terbawa oleh
perpindahan bangsa-bangsa di muka bumi, yaitu proses difusi (diffusion),ada juga proses atau yang berkaitan erat dengan penemuan baru
(discovery dan invention).
B. Proses belajar Kebudayaan Sendiri
1. Proses Internalisasi
Proses internalissi
adalah proses panjang sejak seorang individu dilahirkan sampai ia hampir
meninggal. Individu belajar menanamkan dalam kepribadiannya segala perasaan,
hasrat, napsu, dan emosi yang diperlukan sepanjang hidupnya, tetapi wujud dan
pengaktifan dari berbagai macam isi kepribadiannya itu sangat dipengaruhi oleh
berbagai macam stimulasi yang berada dalam sekitaran alam dan lingkungan social
dan budayanya. Perasaan pertama yang diaktifkan dalam kepribadian seorang bayi
saat dilahirkan adalah perasaan puas dan tidak puas. Lingkungan yabg berbeda
dengan kandungan ibu member pengalaman yng tidak puas yang pertama kepada si individu baru
itu. Baru setelah ia dibungkus selimut dan diberi kesempatan untuk menyusu,
maka rasa tidak puas itu hilang. Kemudian setiap kali ia terkena
pengaruh-pengaruh lingkungan yang menyebabkan rasa tidak puas tadi ia akan
menangis, tetapi setiap kali ia diberi selimut dan susu (yang mendatangkan rasa
puas tadi) ia merasa nyaman. Secara sadar si bayi telah belajar untuk tidak
hanya mengalami, tetapi juga mengetahui cara mendatangkan rasa puas, yaitu
dengan menangis.
Tiap hari dalam hidupnya
berlalu, bertambahlah pengalamannya mengenai bermacam-macam perasaan baru, dan
belajarlah ia merasakan kegembiraan, kebahagiaan,simpati, cinta, benci,
keamanan, harga diri,kebenaran, perasaan bersalah,dosa, malu dan sebagainya.
Juga berbagai macam hasrat, seperti hasrat untuk mempertahankan hidup, bergaul,
meniru, tahu, berbakti, keindahan, dipelajarinya melalui proses internalisasi
menjadi kepribadian individu.
2.
Proses
Sosialisasi
Proses sosialisasi
berkaitan dengan proses belajar kebudayaan dalam hubungan dengan system social.
Dalam proses itu seorang individu dari masa anak-anak sampai hingga masa tuanya
belajar pola-pola tindakan dalam interaksi dengan segala macam individu
sekelilingnya yang menduduki beraneka macam peranan social yang mungkin ada
dalam kehidupan sehari-hari.
Kita dapat mengerti cara
menyelami dan mencoba mencapai pengertian tentang suatu kebudayaan dengan belajar
dari jalannya proses sosialisasi baku yang lazim dialami oleh sebagian individu
dalam kebudayaan bersangkutan. Itulah sebabnya proses sosialisasi.
Ketika seorang anak
mulai sekolah,ia mulai belajar mengenai perbedaan antara jenis kelamin pria dan
wanita. Menginjak usia remaja,hasrat birahinya mulai berkembang. Untuk itu ia
harus menyesuaikan diri dengan segala aturan kebudayaan,adat istiadat yang ada
di masyarakat. Demikian pula aturan-aturan itu dapat kita teliti dan analisis
pengaruhnya pada para individu, dan untuk selanjutnya dapat kita ikuti dengan
teliti segala situasi sekitar individu-individu lain dalam lingkungan
sosialnya, serta unsur-unsur kebudayaan yang lazim mempengaruhi diri orang
Indonesia dalam golongan pegawai yang hidup dalam masyarakat kota.
Proses sosialisasi dalam
golongan-golongan social yang lain (dalam lingkungan social dari berbagai suku
bangsa di Indonesia atau dalam lingkungan social bangsa-bangsa lain di dunia)
dapat menunjukkan proses sosialisasi yang sangat berbeda. Misalnya, bayi yang
diasuh dalam keluarga kaum buruh dalam kota-kota industri besar di Amerika
Serikat akan menghadapi individu-individu yang lain daripada bayi dalam contoh
di atas tadi. Tokoh ayah dalam keluarga kaum buruh di Amerika misalnya tidak
begitu penting dalam proses sosialisasi pertama dari bayi, karena ayah sudah
berangkat ke pabrik pagi-pagi sebelum si bayi bangun, sedangkan siang hari ia
tidak pulang untuk makan, dan baru kembali pada malam hari saat bayi sudah akan
tidur. Hanya pada hari Sabtu dan Minggu bayi mengalami pengaruh kehadiran
ayahnya.
Demikianlah para
individu dalam masyarakat yang berbeda akan mengalami proses sosialisasi yang
berbeda pula karena proses sosialisasi banyak ditentukan oleh susunan
kebudayaan dan lingkungan sosial yang bersangkutan.
Kalau sekarang keadaan
kita balik ;dengan mengikuti secara teliti proses sosialisasi yang lazim
dialami para individu dalam suatu masyarakat,mungkin kita menemukan salah satu
metode lagi yang akan memberikan kepada kita satu pengertian luas tentang
gejalah dan masalah yang hidup dalam masyarakat dan kebudayaan bersangkutan.
Memang
sejak berapa lama,beberapa sarjana ilmu antropologi budaya telah mencoba metode
penelitian tersebut.selama melakukan field
work mereka antara lain mengumpulkan bahan mengenai:
a.
Adat
istiadat [pengasuhan anak,
b.
Tingkah
laku seks yang lazim dilakukan dalam suatu masyarakat,
c.
Riwayat
hidup secara detail dari beberapa individu dalam suatu masyarakat.
Di Indonesia,penelitian
berpusat pada masalah serupa itu pernah dilakukan pula oleh sarjana
antropologi,seperti Margaret mead;dan dua buah karangan hasil penelitian
seperti itu adalah growth and culture yang ditulisnya bersama dengan F.C.
MacGregor (1951), and ritual in bali (1955), sangat terkenal dalam kalangan
antropologi.
3.
Proses
Enkulturasi
Istilah yang sesuai
untuk kata “enkuitrasi “ adalah “pembudayaan” (dalam bahasa inggris digunakan
istilah institutionalization).[1]
Proses enkulturasi adalah proses seorang
individu mempelajari dan menyesuaikan alam pikiran serta sikapnya dengan
adat,system norma,dan peraturan yang hidup dalam kebudayaannya.
Proses enkulturasi sudah
dimulai sejak kecil dari dalam alam pikiran warga suatu masyarakat; mula-mula
dari orang-orang di dalam lingkungan keluarganya,kemudian dari teman-temannya
bermain.sering kali ia belajar dengan meniru berbagai macam tindakan,setelah
perasaan dan nilai budaya pemberi motivasi akan tindakan meniru itu telah
dinternalisasi dalam kepribadiannya. Dengan berkali-kali meniru maka
tindakannya menjadi suatu pola yang mantap, dan norma yang mengatur
tindakannya”di budidayakan”. Kadang-kadang berbagai norma juga dipelajari
seorang individu secara sebagian-sebagian. Caranya mendengar berbagai orang
dalam lingkungan pergaulannya pada saat-saat yang berbeda-beda,menyinggung atau
membicarakan norma tadi. Sudah tentu ada norma yang diajarkan kepadanya dengan
sengaja tidak hanya dalam lingkungan keluarga dan diluar keluarga, tetapi juga
secara normak di sekolah. Di samping aturan-aturan masyarakat dan Negara yang
diajarkan di sekolah melalui berbagai mata pelajaran seperti tata Negara, ilmu
kewarganegaraan dan sebagainya,juga aturan sopan santun bergaul dan
lain-lainnya tetap diajarkan secara formal.
Sebagai contoh dapat
disebut misalnya cara seorang Indonesia mempelajari aturan adat Indonesia yang
mengajarkan agar orang Indonesia yang habis bepergian kesuatu tempat yang jauh,
memberi ”oleh-oleh” kepada kerabatnya yang dekat dan kepada para tetangganya
yang tinggal disuatu rumahnya. Rasa aman karna ia mempunyai banyak hubungan
baik dengan orang-orang sekitarnya di masa susah sehingga perlu untuk membalas
jasanya,dan nilai gotong royong yang mertupakan motivasi dari tindakan yang
membagi-bagi “oleh-oleh” tadi, telah sejak lama, ketika ia masih kecil,
diinternalisasi dalam kepribadiannya.
Sudah
tentu dalam suatu masyarakat ada pula individu yang mengalami berbagai hambatan
dalam proses internalisasi, sosialisasi, dan enkulturasinya, yang menyebabkan
bahwa hasilnya kurang baik. Individu itu tidak dapat menyesuaikan
kepribadiannya dengan lingkungan sosial
sekitarnya, menjadi kaku dalam pergaulannya, dan condong untuk
senantiasa menghindari norma-norma dan aturan-aturan masyarakatnya. Hidupnya
penuh peristiwa konflik dengan orang lain. Individu-individu serupa itu disebut
deviants.
C. Proses Evolusi Sosial
1. Proses Microscopic dan Macroscopic dalam Evolusi Sosial
Proses evolusi
dari suatu masyarakat dan kebudayaan analisis oleh seoran peneliti seolah-olah
dari dekat secara detail (microscopic),atau dapat juga dipandang seolah-olah
dari jauh dengan hanya memperhatikan perubahan-perubahan yang tampak besar saja
(macroscopic). Proses evolusi sosial-budaya yang dianalisis secara detail akan
membuka mata peneliti untuk berbagai macam proses perubahan yang terjadi dalam
dinamika kehidupan sehari-hari tiap masyarakat di dunia. Proses-proses ini
disebut dalam ilmu antropologi “proses-proses berulang” (recurrent processes).
Proses-proses evolusi sosial budaya yang dipandang seolah-olah dari jauh hanya
akan menampakkan kepada peneliti perubahan-perubahan besar yang terjadi dalam
jangka waktu yang panjang. Proses-proses ini disebut dalam ilmu
antropologi”proses-proses menentukan arah” (directional processes).[2]
2.
Proses-proses
Berulang dalam evolusi sosial Budaya
Perhatianyan terhadap
proses-proses berulang dalam evolusi sosial budaya,belum dapat mendapat
perhatian dari ilmu antropologi. Perhatian itu sebenarnya timbul bersama dengan
perhatian ilmu antropologi terhadap factor individu dalam masyarakat,yaitu
sejak masa sekitar 1920. Sebelum tahun 1920, sebagian besar dari para sarjana antropologi
hanya memperhatikan adat istiadat yang lazim berlaku dalam suatu masyarakat
yang menjadi objek penelitiannya. Sikap, perasaan, dan tingkah laku khusus para
individu dalam masyarakat tadi yang mungkin bertentangan dengan adat istiadat
yang lazin, diabaikan saja atau tidak mendapat perhatian layak. Dengan demikian
kalau seorang ahli antropologi misalnya harus menulis tentang adat istiadat
perkawinan orang Bali, ia hanya akan mengumpulkan keterangan tentang hal yang
lazim dilakukan dalam perkawinan-perkawinan orang Bali itu. Upacara, aktivitas,
dan tindakan yang menyimpang dari adat Bali pada umumnya terjadi karena
berbagai situasi atau keadaan khusus, biasanya diabaikan atau kurang
diperhatikan. Tindakan individu warga masyarakatyang menyimpang dari adat
istiadat umum seperti terurai sebelumnya, pada suatu ketika dapat banyak
terjadi dan dapat sering berulang (recurrent) dalam kehidupan sehari-hari di
setiap masyarakat di seluruh dunia.
Sudah tentu masyarakat
pada umumnya tidak membiarkan saja penyimpangan-penyimpangan dari para warganya
itu, dan itulah sebabnya dalam tiap masyarakat ada alat-alat pengendalian
masyarakat yang bertugas untuk mengurangi penyimpangan tadi. Masalah antara
keperluan keperluan individu dan masyarakat selalu akan ada dalam tiap
masyarakat, dan walaupun ada kemungkinan bahwa ada suatu masyarakat yang tenang
untuk suatu jangka waktu tertentu,tetapi pada suatu saat, tentu ada juga
berbagai individu yang membangkang, dan ketegangan-ketegangan masyarakat akan
menjadi recurrent lagi. Akhirnya,
kalau penyimpangan-penyimpangan tadi pada suatu ketika menjadi demikian
recurrent sehingga masyarakat tidak dapat mempertahankan adatnya lagi, maka
masyarakat terpaksa member konsekuensinya, dan adat serta aturan diubah sesuai
dengan desakan keperluan-keperluan baru dari individu-individu dalam
masyarakat.
Faktor ketegangan antara
adat istiadat dari suatu masyarakat dengan keperluan para inidividu di dalamnya
itu menyebabkan perlu adanya dua konsep yang perlu dibedakan dengan tajam oleh
para peneliti masyarakat, terutama para ahli antropologi dan sosiologi.
Konsep antara dua wujud dari tiap
kebudayaan, yaitu: (i) kebudayaan sebagai suatu kompleks dari konsep
norma-norma, pandangan-pandangan dan sebagainya, yang abstrak (yaitu system
budaya) dan (ii) kebudayaan sebagai suatu rangkaian dari tindakan yang konkret
dimana individu saling berinteraksi (yaitu system sosial). Kedua system
tersebut sering ada dalam keadaan konflik satu dengan yang lain, dan suatu
pengertian mengenai konflik antara kedua system yang ada dalam tiap masyarakat
itu menjadi pangkal untuk mencapai penertian mengenai dinamika mayarakat pada
umumnya.
3.
Proses
Mengarah dalam Evolusi Kebudayaan
Kalau evolusi masyarakat
dan kebudayaan kita pandang seolah-olah dari suatu jarak yang jauh, dengan
mengambil interval waktu yang panjang (misalnya beberapa ribu tahun), maka akan
tampak perubahan-perubahan besar yang seolah-olah bersifat menentukan arah (directional) dari sejarah perkembangan
masyarakat dan kebudayaan yang bersangkutan.
Perubahan-perubahan
besar ini dalam abad ke-19 yang lalu telah menjadi perhatian utama para sarjana
ilmu antropologi budaya dalam arti umum. Pada masa sekarang, gejala ini menjadi
perhatian khusus dalam suatu subilmu dalam antropologo,yaitu ilmu prehistori.[3]
Ilmu ini mempelajari sejarah perkembangan kebudayaan manusia dalam jangka waktu
yang panjang dan juga oleh para ilmu sejarah perkembagan seluruh umat manusia
dan juga harus bekerja dengan waktu yang panjang.
D. Proses Difusi
1.
Penyebaran
Manusia
Ilmu paleoantropologi
telah memperkirakan bahwa makhluk manusia pertama hidup di daerah sabana
beriklim tropis di Afrika Timur. Sedangkan sekarang makhluk itu menduduki
hampir seluruh muka bumi ini dalam segala macam lingkungan iklim . hal itu
hanya dapat diterangkan dengan dengan adanya proses pembiakan dan gerak
penyebaran atau migrasi-migrasi yang disertai proses penyesuaian atau adaptasi
fisik dan sosial budaya dari makhluk manusia dalam jangka waktu berates-ratus
ribu tahun lamanya sejak zaman purba.
Ditinjau
secara lebih teliti, maka kita dapat membayangkan berbagai macam sebab dari
migrasi-migrasi itu. Ada hal-hal yang menyebabkan migrasi yang lambat dan
otomatis, ada pula peristiiwa-peristiwa yang menyebabkan migrasi yang cepat dan
mendadak.
Para sarjana prehistori
mencoba merekonstruksikan kembali gerak migrasi kelompok-kelompok manusia di
muka bumi. Selain itu telah memetakan pula dengan garis-garis panah untuk
menunjukkan arah-arah migrasi itu. Di peta 1 yang dibuat berdasarkan buku
W.Howelis, Back of History (1954 :
hlm.177,287,298), tergambar garis-garis migrasi yang terpenting dari makhluk
manusia.
Walaupun demikian, bila
ditinjau dalam waktu yang panjang, suatu kelompok manusia lama-kelamaan akan
pindah wilayah juga, karena wilayah yang lama, binatang perburuan misalnya
sudah mulai berkurang atau karena dalam wilayah yang lama jumlah manusia sudah
mulai terlampau banyak. Namun perpindahan itu berjalan dengan sangat lambat,
dan biasanya tanpa disadari orang-orang yang bbersangkutan. Suatu migrasi
serupa itu sebenarnya tidak harus kita gambarkan sebagai suatu garis lurus (I),
tetapi sebagai garis spiral (II).
2.
Penyebaran
Unsur-unsur Kebudayaan
Penyebaran unsur-unsur
kebudayaan dapat juga terjadi tanpa ada perpindahan kelompok-kelompok manusia
atau bangsa-bangsa dari saru tempat ke tempat lain, tapi oleh karena ada
individu-individu tertentu yang membawa unsur-unsur kebudayaan itu hingga jauh
sekali. Mereka itu terutama pedagang atau pelaut. Pada zaman penyebaran agama
besar, para pendeta agama Budha, para pendeta agama Nasrani, dan kaum Muslimin
mendifusikan berbagai unsur dari kebudayaan-kebudayaan dari mana mereka
berasal, sampai jauh sekali. Terutama ilmu sejarahlah yang telah banyak
memperhatikan cara penyebaran dari unsur-unsur kebudayaan oleh
individu-individu terurai tadi.
Bentuk difusi yang lain
lagi dan mendapat perhatian ilmu antropologi adalah penyebaran unsur-unsur
kebudayaan yang berdasarkan pertemuan-pertemuan antara individu dalam suatu
kelompok manusia dengan individu kelompok tetangga. Pertemuan antara
kelompok-kelompok semacam itu dapat berlangsung dengan berbagai cara.
Cara yang pertama adalah
hubungan di mana bentuk dan kebudayaan itu masing-masing hampir tidak berubah.
Hubungan ini, yaitu hubungan symbiotic,
dapat kita lihat contohnya didaerah pedalaman negara-negara Kongo , Togo, dan
Kamerun di Afrika Tengah dan Barat. Di daerah pedalaman negara-negara tersebut
berbagai suku bangsa Afrika hidup dari bercocok tanam di ladang. Mereka
mempunyai tetangga, kelompok-kelompok kecil yang terdiri dari suku-suku bangsa
Negrito[4]
hidup dari berburu dan mengumpulkan hasil hutan. Hasil berburu dan hasil hutan
itu dibarter dengan hasil pertanian. Hubungan semacam ini telah berlangsung
sejak lama sekali, malahan mungkin sudah sejak berabad-abad lamanya, kedua
belah pihak sudah saling membutuhkan, tetapi hubungan mereka terbatas hanya
pada barter barang-barang itu saja, sedangkan proses saling mempengaruhi tidak
ada.
Cara lain adalah bentuk
hubungan yang disebabkan karena perdagangan, tetapi dengan akibat yang lebih
jauh daripada yang terjadi pada hubungan
symbiotic. Unsur-unsur kebudayaan
asing dibawa oleh para pedagang masuk ke dalam kebudayaan penerima dengan tidak
sengaja atau tanpa paksaan. Hubungan ini, dengan mengambil istilah dari ilmu
sejarah, sering disebut penetration
pasifique, artinya “pemasukan secara damai”
Akhirnya kalau kita perhatikan
suatu proses difusi tidak hanya dari sudut bergeraknya unsur-unsur kebudayaan
dari suatu tempat ke tempat lain di muka bumi saja, tetapi terutama sebagai
prosesdi mana unsur-unsur kebudayaan dibawaoleh individu-individu dari suatu
kebudayaa, dan harus diterima oleh individu-individu dari kebudayaan lain, maka
terbukti bahwa tidak pernah terjadi difusi dari satu unsure kebudayaan.
E.
Akulturasi dan Asimilasi
1.
Akulturasi
Istilah akulturasi,atau acculturation atau culture contact,[5]
mempunyai berbagai arti dari para sarjana antrpologi, tetapi semua sepaham
bahwa konsep itu mengenai proses sosial yang timbul bila suatu kelompok manusia
dengan suatu kebudayaan tertentu dihadapkandengan unsur-unsur dari suatu
kebudayaan asing dengan sedemikian rupa,sehingga unsur-unsur kebudayaan asing
itu lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaan sendiri tanpa
menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan itu sendiri. Terbukti bahwa tidak
pernah terjadi difusi dari satu unnsur kebudayaan. Unsur-unsur itu seperti
termaktub dalam contoh tentang penyebaran mobil tersebut selalu
berpindah-pindah sebagai suatu gabungan atau suatu yang tidak mudah
dipisah-pisahkan.
Proses akulturasi itu
memang ada sejak dulu kala dalam sejarah kebudayaan manusia, tetapi proses
akulturasi yang mempunyai sifat khusus, baru timbul ketika
kebudayaan-kebudayaan bangsa-bangsa di
Eropa Barat mulai menyebar ke semua daerah lain di muka bumi,
dan mulai mempengaruhi masyarakat-masyarakat suku-suku bangsa di Afrika,
Asia,Oseania, Amerika Utara, dan Amerika Latin. Bersama dengan perkembangan
pemerintah-pemerintah jajahan di semua benua dan daerah di luar Eropa
berkembang pula berbagai usaha penyebaran agama Nasrani. Akibat
dari proses yang besar ini adalah hamper tidak ada suku bangsa di muka bumi
lagi yang terhindar dari pengaruh unsur-unsur
kebudayaan Eropa itu (pada masa sekarang di pertengahan abad ke-20 ini). Dipandang
dari sudut individu dalam masyarakat suku-suku bangsa di Afrika, Asia, dan
Oseania itu, pengaruh unsur-unsur kebudayaan Eropa dan Amerika Serikat,
(terutama pada akhir-akhir ini) mereka alami secara sangat
intensif sampai pada sistem norma dan sistem nilai budaya. Proses ini disebut
modernisasi.
Setelah Perang Dunia II,
perhatian pada masalah akulturasi malahan lebih besar lagi, sedangkan
metode-metode untuk meneliti masalah akulturasi menjadi lebih tajam. Proses
akulturasi dalam masyarakat suku bangsa yang tersebar di Benua Asia dan di
daerah pulau-pulau di Laut Teduh misalnya, mendapat perhatian istimewa dari Seventh Pacific Science Congress yang diadakan tahun 1949 di
Auckland (New Zealand) .[6]
kongres itu mempunyai suatu seminar khusus dalam acaranya, untuk mendiskusikan
masalah akulturasi dalam ilmu antropologi.
Kalau masalah-masalah
mengenai akulturasi kita ringkas, akan tampak lima golongan masalah, yaitu :
a.
Mengenai
metode-metode untuk mengobservasi , mencatat, dan melukiskan suatu proses
akulturasi dalam suatu masyarakat;
b.
Mengenai
unsur-unsur kebudayaan asing yang mudah diterima, dan sukar doterima oleh
masyarakat;
c.
Mengenai
unsur-unsur kebudayaan apa yang mudah diganti atau diubah , dan unsur-unsur
yang tidak mudah diganti atau diubah oleh unsur-unsur kebudayaan asing;
d.
Mengenai
individu-individu yang suka atau cepat menerima, dan individu-individu yang
sukar dan lambat menerima unsur-unsur kebudayaan asing;
e.
Mengenai
ketegangan-ketegangan dan krisis-krisis sosial yang timbul sebagai akibat
akulturasi.
Dalam meneliti jalannya suatu proses
akulturasi, seorang peneliti sebaiknya memperhatikan beberapa masalah khusus,
yaitu:
a.
Keadaan
masyarakat penerima sebelum proses akulturasi mulai berjalan;
b.
Individu-individu
dari kebudayaan asing yang membawa unsur-unsur kebudayaan asing;
c.
Saluran-saluran yang dilalui oleh unsur-unsur
kebudayaan asing untuk masuk ke dalam kebudayaan penerima;
d.
Bagian-bagian dari masyarakat penerima yang terkena
pengaruh unsur-unsur kebudayaan asing tadi;
e.
Reaksi para individu yang terkena unsur-unsur
kebudayaan asing.
Dengan demikian, dalam setiap
penelitian terhadap suatu proses akulturasi, sebaiknya diperhatikan kelima hal
tersebut. Begitu pula dengan setiap deskripsi terhadap suatu proses akulturasi
sebaiknya mengandung lima bab yang masing-masing menguraikan hal-hal tersebut.
Memperhatikan individu-individu dari
kebuddayaan asing yang menyebabkan pengaruh unsur-unsur kebudayaa asing sangat
penting, karena dengan pengetahuan tentang mereka ini (dalam ilmu antropologi disebut agent of acculturation) dapat diketahui unsur-unsur kebudayaan apa yang masuk itu. Memang dalam
tiap masyarakat itu, warga masyarakat hanya memahami sebagian dari
kebudayaannya. Lebih-lebih kalau masyarakat itu luas dan kompleks, maka warga
biasanya hanya mengetahui suatu bagian yang sangat kecil saja dari
kebudayaanya.[7]
Dengan demikian, macam dari orang-orang yang menjadi agent of acculturation itu akan menentukan unsur-unsur apa yang
masuk.
Salah satu wujud penolakan terhadap pengaruh
unsur-unsur kebudayaan asing dan pergeseran sosial-budaya yang merupakan akibat
dari peristiwa itu tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga dalam banyak
masyarakat di dunia. Ada gerakan-gerakan kebatinan di mana warga “kolot” dapat mengundurkan diri
dari kenyataan kehidupan masyarakat yang bergeser itu ke alam mimpi mengenai
zaman bahagia dan kejayaan yang kuno. Selain itu reaksi yang berbeda dari
orang-orang yang “ kolot” dari orang-orang yang “progresif” terhadap pengaruh
unsur-unsur kebudayaan asing tidak jarang mengakibatkan perpecahan masyarakat
dengan berbagai konsekuensi konflik sosial politik.
2. Asimilasi
Asimilasi (assimilation)
adalah proses sosial yang timbul bila ada: (a) golongan-golongan manusia dengan
latar belakang kebudayaan yang berbeda-beda, (b) saling bergaul langsung secara
intensif untuk waktu yang lama, sehingga (c) kebudayaan-kebudayaan
golongan-golongan tadi masing-masing berubah sifatnya yang khas , dan juga
unsur-unsurnya masing-masing berubah wujudnya menjadi unsur-unsur kebudayaan
campuran. Biasanya, golongan-golongan yang
tersangkut dalam suatu proses asimilasi adalah suatu golongan mayoritas dan
beberapa golongan minoritas. Dalam hal ini golongan-golongan minoritas mengubah
sifat-sifat khas dari unsur-unsur kebudayaannya dan menyesuaikannya dengan
kebudayaan dari golongan mayoritas. Sedemikian
rupa sehingga lambat laun kehilangan kepribadian kebudayaannya dan masuk
ke dalam kebudayaan mayoritas.
Hal yang penting untuk diketahui adalah
faktor-faktor yang menghambat proses asimilasi. Dari berbagai proses asimilasi
yang pernah diteliti oleh para ahli terbukti bahwa hanya dengan pergaulan
antara kelompok-kelompok secara luas dan intensif saja, belum tentu terjadi
suatu proses asimilasi, kalau diantara kelompok-kelompok yang berhadapan itu
tidak ada suatu sikap toleransi dan simpati satu terhadap yang lain. Orang Cina
misalnya ada di Indonesia, bergaul secara luas dan intensif dengan orang
Indonesia sejak berabad-abad lamanya; namun mereka semua belum terintegrasi ke
dalam masyarakat dan kebudayaan Indonesia, karena selama itu belum cukup ada
sikap saling bertoleransi dan bersimpati.
Sikap bertoleransi dan bersimpati terhadap
kebudayaan lain itu sebaliknya sering terhalang oleh berbagai faktor , dan
fakor-faktor ini sudah tentu juga menjadi penghalang proses asimilasi pada
umumnya. Faktor-faktor itu adalah : (a) kurang pengetahuan mengenai kebudayaan
yang dihadapi; (b) sifat takut terhadap kekuatan dan kebudayaan lain;(c)
perasaan perioritas pada individu dari satu kebudayaan terhadap yang lain.
F. Pembaruan atau Inovasi
1.
Inovasi dan penemuan
Inovasi
adalah suatu proses paembaruan dan penggunaan sumber daya alam, energi, dan
modal,pengaturan baru dari tenaga kerja dan penggunaan teknologi baru yang
semua akan menyebabkan adanya sistem produksi yang menghasilkan produk-produk
baru. Dengan demikian inovasi itu mengenai pembaruan kebudayaan yang khusus
mengenai unsur teknologi dan ekonomi.
Proses inovasi sudah tentu sangat erat
kaitannya dengan penemuan baru dalam teknologi. Suatu penemuan biasanya juga
merupakan suatu proses sosial yang panjang dan melalui dua tahap khusus yaitu discovery dan invention.
Suatu
discovery adalah suatu penemuan dari unsur kebudayaan yang baru, baik
berupa suatu alat yang baru, suatu ide baru, yang diciptakan oleh seorang
individu baru,atau suatu rangkaian dari beberapa individu dalam masyarakat yang
bersangkutan. Discovery baru menjadi invention bila masyarakat sudah
mengakui, menerima, dan menerapkan penemuan baru itu.
Proses dari discovery hingga ke invetion
sering memerlukan tidak hanya seorang individu, yaitu penciptanya saja,tetapi
suatu rangkaian yang terdiri dari beberapa orang pencipta. Penemuan baru misalnya
dimulai dengan aktivitas dari seorang yang berbangsa Amerika bernama S.Marcus,
yang dalam tahun 1875 mengembangkan motor gas pertama. Sebenarnya, sistem motor
gas juga telah merupakan hasil dari suatu rangkaian gagasan yang dikembangkan
selangkah demi selangkah oleh beberapa orang pencipta lain sebelum Marcus.
Walaupun demikian, Marcuslah yang membulatkan penemuan itu dan yang pertama
kali menghubungkan motor gas dengan sebuah kereta dengan cara yang sedemikian
rupa sehingga kereta tadi dapat berjalan tanpa ditarik oleh kuda. Itulah
saatnya mobil menjadi suatu discovery.
Baru lebih dari 30 tahun kemudian, sesudah suatu rangkaian sumbangan pemikiran
dari banyak pencipta lain dari berbagai negara di Eropa maupun Amerika,
menambah pada perbaikan pada alat tadi, maka mobil telah mencapai suatu bentuk.
Lalu dapat dipakai sebagai alat
pengangkut oleh manusia dengan cukup praktis
dan aman. Bentuk mobl semacam itu, yang memperoleh hak paten ddi Amerika
lebih-kurang pada tahun 1911, dapat disebut permulaan dari kendaraan mobil yang
pada masa sekarang menjadi salah satu alat terpenting dalam kehiddupan
masyarakat manusia. Dengan terciptanya bentuk itu, kendaraan mobil menjadi
suatu invention baru.
Pada saat suatu penemuan menjadi suatu invebtion, proses penemuan belum
selesai. Walaupun kira-kira sesudah 1911 produksi mobil dimulai dan menjadi
suatu inovasi teknologi yang ekonomis, namun mobil belum dikenal oleh suatu
masyarakat. Penyebarannya masih harus dipropagandakan kepada khalayak ramai.
Lagipula, waktu itu biaya produksi masih demikian tingginya sehingga hanya
suatu golongan yang sangat kecil saja dapat membelinya. Untuk membuat agar
biaya produksi dapat menjadi serendah mungkin masih diperlukan serangkaian
penemuan perbaikan lagi, dan kemudian penerimaan dari masyarakat juga belum
dapat meluas apabila masyarakat belum siap dan belum matang untuk menerimanya.
2.
Pendorong penemuan
baru
Para sarjana mengatakan bahwa
pendorongpenemuan baru itu adalah: (a) kesadaran para individu akan kekurangan
dalam kebudayaan; (b) mutu dari keahlian dalam suatu kebudayaan; (c) sistem
perangsang bagi aktivitas mencipta dalam masyarakat.
Dalam tiap masyarakat tentu ada
individu-individu yang sadar akan adanya berbagai kekurangan dalam kebudayaan
mereka. Di antara para individu itu banyak yang menerima kekurangan-kekurangan
itu sebagai hal yang memnag harus diterima saja; individu-individu lain mingkin
tidak puas dengan keadaan, tetapi pasif atau hanya menggerutu saja, dan tidak
berani atau tidak mampu untuk berbuat apa-apa; sedangkan ada juga
individu-individu aktif yang berusaha berbuat sesuatu untuk mengisi atau
memperbaiki kekurangan yang mereka sadari itu. Dari kategori individu-individu
tersebut terakhir inilah antara lain muncul para pencipta dari
penemuan-penemuan baru, baik yang bersifat discovery
maupun yang bersifat invention.
Keinginan para ahli dalam suatu masyarakat
akan mutu merupakan dorongan juga akan terjadinya penemuan baru. Kata “ahli” di
sini tentu diambil dalam arti seluas-luasnya, jadi bukan hanya ahli dalam suatu
ilmu, melainkan juga ahli dalam ahli pertukangan, pengrajinan, ahli kesenian
atau seniman; pendeknya ahli dalam segala pekerjaan yang mungkin terdapat dalam
suatu masyarakat.
Keinginan untuk mencapai mutu yang tinggi menyebabkan
bahwa seorang ahli selalu mencoba memperbaiki hasil-hasil karyanya, dan dalam
usaha itu sering tercapai hasil yang sebelumnya belum pernah tercapai oleh ahli
lain. Dengan demikian telah timbul suatu penemuan baru.
3.
Inovasi dan Evolusi
Suatu penemuan baru harus selau dilihat dalam
kebudayaan tempat penemuan tadi terjadi. Hal ini disebabkan karena suatu
penemuan baru jarang merupakan suatu perubahan mendadak dan keadaan tidak ada,
menjadi keadaan ada. Suatu penemuan baru biasanya berupa suatu rangkaian
panjang, dimulai dari penemuan-penemuan kecil secara akumulatif diciptakan oleh
sederet pencipta-pencipta. Dengan demikian , proses inovasi (yaitu proses
pembaruan teknologi ekonomi dan lanjutannya) itu juga merupakan suatu proses
evolusi. Bedanya ialah bahwa dalam proses inovasi individu-individu itu pasif,
bahkan sering bersifat negatif. Karena kegiatan dan usaha individu itulah, maka
suatu inovasi merupakan suatu proses perubahan kebudayaan yang begitu cepat
(artinya lebih cepat keliahatan daripada suatu proses evolusi kebudayaan).
BAB III
PENUTUP
1.
Dinamika
sosial adalah semua konsep yang diperlukan apabila ingin menganalisis
proses-proses pergeseran masyarakat dan kebudayaan.
2.
Proses
belajar Kebudayaan Sendiri terbagi tiga yaitu: Proses internalisasi, proses
sosialisasidan proses enkulturasi.
3.
Proses
Evolusi Sosial terbagi tiga yaitu: Proses Microscopic dan Macroscopic dalam
Evolusi Sosial, Proses-proses Berulang dalam evolusi sosial Budaya dan Proses
Mengarah dalam Evolusi Kebudayaan.
3.
Proses
Difusi Tebagi dua yaitu: Penyebaran Manusia dan Penyebaran Unsur-unsur
Kebudayaan.
4.
Akulturasi
adalah proses sosial yang timbul bila suatu kelompok manusia dengan suatu
kebudayaan tertentu dihadapkandengan unsur-unsur dari suatu kebudayaan asing
dengan sedemikian rupa,sehingga unsur-unsur kebudayaan asing itu lambat laun
diterima dan diolah ke dalam kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan hilangnya
kepribadian kebudayaan itu sendiri.Adapunyang dimaksud asimilasi yaitu Asimilasi adalah proses sosial yang timbul
bila ada: (a) golongan-golongan manusia dengan latar belakang kebudayaan yang
berbeda-beda, (b) saling bergaul langsung secara intensif untuk waktu yang
lama, sehingga (c) kebudayaan-kebudayaan golongan-golongan tadi masing-masing
berubah sifatnya yang khas , dan juga unsur-unsurnya masing-masing berubah
wujudnya menjadi unsur-unsur kebudayaan campuran.
5.
Inovasi adalah suatu proses paembaruan dan
penggunaan sumber daya alam, energi, dan modal,pengaturan baru dari tenaga kerja
dan penggunaan teknologi baru yang semua akan menyebabkan adanya sistem
produksi yang menghasilkan produk-produk baru.
DAFTAR
PUSTAKA
Koentjaranigrat. pengantar ilmu antropologi. Jakarta: Rineka
cipta, 2009.
Ardiwinata, Jajat. dan Ahmad hufad. Sosiologo
Antropologi Pendidikan. Bandung: Upi Press 2007.
Koentjaraningrat. Pengantar Ilmu
Antropologi. Jakarta: Radar Jaya Offset. 2000
Saidang. dkk. Sosiologi Untuk
Sekolah Menengah Atas. Solo: CV Haka mj 2010
[1] Dalam bahasa Indonesia sekarang istilah institutionalization sering
diterjemahkan dengan “pelembagaan”. Hal itu salah, karena “lembaga” adalah
istilah Indonesia untuk institute,
dan bukan untuk institution, yang
mempunyai arti yang lain sama sekali. Istilah Indonesia untuk institution adalah “pranata”
[2] Hal yang
terurai di atas diambil dari karangan E.Z. Vogt, “On the concept of Structure
and Proses in Cultural Antropologi”,
American Anthropologist, LXII, 1960: hlm. 18-33. Istilah directional berarti “yang member arah”.
[3] Mengenai
hubungan antara antropologi budaya dengan ilmu prehistori, lihat hlm 30-31.
[4] Yaitu
manusia-manusia yang umumnya mempunyai cirri-ciri tubuh ras Negroid, tetapi
yang mempunyai badan kecil, serta tinggi tubuh mereka rata-rata tidak melebihi
150 cm. di dalam buku-buku antropologi mereka sering juga disebut orang pygmee.
[5] Istilah culture contact terutama digunakan oleh
sarjana-sarjana antropologi dari inggris.
[6] Pacific Science Congress adalah suatu
pertemuan yang diadakan setiap empat tahun oleh sarjana-sarjana dari berbagai
cabang ilmu pengetahuan yang mempunyai perhatian terhadap daerah sekitar Laut
Pasifik.
[7] Pembaca dapat pula menguji hal ini pada diri sendiri, dan mencoba
memikirkan lapangan-lapangan serta bagian-bagian mana dari kebudayaan sendiri
yang dipahami dan lapangan-lapangan serta bagian-bagian mana yang tidak
dipahami.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar