Kamis, 08 Desember 2016

DINAMIKA MASYARAKAT DAN KEBUDAYAAN



BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar belakang
Kebudayaan merupakan bagian dan menjadi milik masyarakat manapun di dunia ini. Dan setiap masyarakat mempunyai kebudayaan sendiri yang berbeda dari kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat lain. Istilah peradaban (Civilazation) adalah nama yang diberikan kepada kebudayaan yang telah mencapai taraf perkembangan teknologi yang sudah tinggi.
Kebudayaan melahirkan kaidah-kaidah untuk melindungi masyarakat dari kehancuran yang diakibatkan dari kekuatan tersembunyi di masyarakat. Kaidah ini berupa petunjuk cara bertingkah laku di dalam pergaulan hidup.
Dewasa ini, kebudayaan diartikan sebagai manifestasi kehidupan setiap orang dan setiap kelompok orang-orang dalam arti luas. Manusia berbeda dengan binatang. karena manusia tidak dapat hidup begitu saja di tengah-tengah alam, melainkan selalu mengubah alam itu.
Kebudayaan dipandang sebagai suatu yang lebih bersifat dinamis bukan sesuatu yang statis, bukan lagi kata benda tetapi kata kerja.
B.       Rumusan Masalah
            Berdasarkan uraian latar belakang diatas maka yang menjadi rumusan masalah adalah:
1.      Bagaimana konsepsi-konsepsi khusus mengenai pergeseran masyarakat dan kebudayaan ?
2.      Bagaimana proses belajar kebudayaan sendiri ?
3.      Bagaimana proses evolusi sosial ?
4.      Bagaimana proses difusi ?
5.      Apa yang dimaksud dengan akulturasi dan asimilasi ?
6.      Apa yang dimaksud dengan inovasi ?




BAB II
PEMBAHASAN
A.  Konsepsi-konsepsi Khusus mengenai Pergeseran Masyarakat dan Kebudayaan
                                
Dinamika social (social dynamics) adalah semua konsep yang diperlukan apabila ingin menganalisis proses-proses pergeseran masyarakat dan kebudayaan, termasuk lapangan penelitian ilmu antropologi dan sosiologi. Diantara konsep-konsep ada mengenai proses bbelajar kebudayaan oleh warga masyarakat bersangkutan, yaitu internalisasi (internalization),sosialisasi (sosialization), dan enkulturasi (enculturation).ada juga proses perkembangan kebudayaan umat manusia pada umumnya dan bentuk-bentuk kebudayaan yang sederhana, hingga bentuk-bentuk yang makin lama makin kompleks, yaituu evolusi kebudayaan (cultural evolution). Kemudian ada proses penyebaran kebudayaan secara geografi, terbawa oleh perpindahan bangsa-bangsa di muka bumi, yaitu proses difusi (diffusion),ada juga proses  atau yang berkaitan erat dengan penemuan baru (discovery dan invention).

B.  Proses belajar Kebudayaan Sendiri

1.      Proses Internalisasi

                        Proses internalissi adalah proses panjang sejak seorang individu dilahirkan sampai ia hampir meninggal. Individu belajar menanamkan dalam kepribadiannya segala perasaan, hasrat, napsu, dan emosi yang diperlukan sepanjang hidupnya, tetapi wujud dan pengaktifan dari berbagai macam isi kepribadiannya itu sangat dipengaruhi oleh berbagai macam stimulasi yang berada dalam sekitaran alam dan lingkungan social dan budayanya. Perasaan pertama yang diaktifkan dalam kepribadian seorang bayi saat dilahirkan adalah perasaan puas dan tidak puas. Lingkungan yabg berbeda dengan kandungan ibu member pengalaman yng tidak  puas yang pertama kepada si individu baru itu. Baru setelah ia dibungkus selimut dan diberi kesempatan untuk menyusu, maka rasa tidak puas itu hilang. Kemudian setiap kali ia terkena pengaruh-pengaruh lingkungan yang menyebabkan rasa tidak puas tadi ia akan menangis, tetapi setiap kali ia diberi selimut dan susu (yang mendatangkan rasa puas tadi) ia merasa nyaman. Secara sadar si bayi telah belajar untuk tidak hanya mengalami, tetapi juga mengetahui cara mendatangkan rasa puas, yaitu dengan menangis.
                        Tiap hari dalam hidupnya berlalu, bertambahlah pengalamannya mengenai bermacam-macam perasaan baru, dan belajarlah ia merasakan kegembiraan, kebahagiaan,simpati, cinta, benci, keamanan, harga diri,kebenaran, perasaan bersalah,dosa, malu dan sebagainya. Juga berbagai macam hasrat, seperti hasrat untuk mempertahankan hidup, bergaul, meniru, tahu, berbakti, keindahan, dipelajarinya melalui proses internalisasi menjadi kepribadian individu.
2.      Proses Sosialisasi 

                        Proses sosialisasi berkaitan dengan proses belajar kebudayaan dalam hubungan dengan system social. Dalam proses itu seorang individu dari masa anak-anak sampai hingga masa tuanya belajar pola-pola tindakan dalam interaksi dengan segala macam individu sekelilingnya yang menduduki beraneka macam peranan social yang mungkin ada dalam kehidupan sehari-hari.
                        Kita dapat mengerti cara menyelami dan mencoba mencapai pengertian tentang suatu kebudayaan dengan belajar dari jalannya proses sosialisasi baku yang lazim dialami oleh sebagian individu dalam kebudayaan bersangkutan. Itulah sebabnya proses sosialisasi.
                        Ketika seorang anak mulai sekolah,ia mulai belajar mengenai perbedaan antara jenis kelamin pria dan wanita. Menginjak usia remaja,hasrat birahinya mulai berkembang. Untuk itu ia harus menyesuaikan diri dengan segala aturan kebudayaan,adat istiadat yang ada di masyarakat. Demikian pula aturan-aturan itu dapat kita teliti dan analisis pengaruhnya pada para individu, dan untuk selanjutnya dapat kita ikuti dengan teliti segala situasi sekitar individu-individu lain dalam lingkungan sosialnya, serta unsur-unsur kebudayaan yang lazim mempengaruhi diri orang Indonesia dalam golongan pegawai yang hidup dalam masyarakat kota.
                        Proses sosialisasi dalam golongan-golongan social yang lain (dalam lingkungan social dari berbagai suku bangsa di Indonesia atau dalam lingkungan social bangsa-bangsa lain di dunia) dapat menunjukkan proses sosialisasi yang sangat berbeda. Misalnya, bayi yang diasuh dalam keluarga kaum buruh dalam kota-kota industri besar di Amerika Serikat akan menghadapi individu-individu yang lain daripada bayi dalam contoh di atas tadi. Tokoh ayah dalam keluarga kaum buruh di Amerika misalnya tidak begitu penting dalam proses sosialisasi pertama dari bayi, karena ayah sudah berangkat ke pabrik pagi-pagi sebelum si bayi bangun, sedangkan siang hari ia tidak pulang untuk makan, dan baru kembali pada malam hari saat bayi sudah akan tidur. Hanya pada hari Sabtu dan Minggu bayi mengalami pengaruh kehadiran ayahnya.
                        Demikianlah para individu dalam masyarakat yang berbeda akan mengalami proses sosialisasi yang berbeda pula karena proses sosialisasi banyak ditentukan oleh susunan kebudayaan dan lingkungan sosial yang bersangkutan.
                        Kalau sekarang keadaan kita balik ;dengan mengikuti secara teliti proses sosialisasi yang lazim dialami para individu dalam suatu masyarakat,mungkin kita menemukan salah satu metode lagi yang akan memberikan kepada kita satu pengertian luas tentang gejalah dan masalah yang hidup dalam masyarakat dan kebudayaan bersangkutan.
Memang sejak berapa lama,beberapa sarjana ilmu antropologi budaya telah mencoba metode penelitian tersebut.selama melakukan field work mereka antara lain mengumpulkan bahan mengenai:
a.       Adat istiadat [pengasuhan anak,
b.      Tingkah laku seks yang lazim dilakukan dalam suatu masyarakat,
c.       Riwayat hidup secara detail dari beberapa individu dalam suatu masyarakat.
                        Di Indonesia,penelitian berpusat pada masalah serupa itu pernah dilakukan pula oleh sarjana antropologi,seperti Margaret mead;dan dua buah karangan hasil penelitian seperti itu adalah growth and culture yang ditulisnya bersama dengan F.C. MacGregor (1951), and ritual in bali (1955), sangat terkenal dalam kalangan antropologi.
3.      Proses Enkulturasi

                        Istilah yang sesuai untuk kata “enkuitrasi “ adalah “pembudayaan” (dalam bahasa inggris digunakan istilah institutionalization).[1] Proses enkulturasi  adalah proses seorang individu mempelajari dan menyesuaikan alam pikiran serta sikapnya dengan adat,system norma,dan peraturan yang hidup dalam kebudayaannya.
                        Proses enkulturasi sudah dimulai sejak kecil dari dalam alam pikiran warga suatu masyarakat; mula-mula dari orang-orang di dalam lingkungan keluarganya,kemudian dari teman-temannya bermain.sering kali ia belajar dengan meniru berbagai macam tindakan,setelah perasaan dan nilai budaya pemberi motivasi akan tindakan meniru itu telah dinternalisasi dalam kepribadiannya. Dengan berkali-kali meniru maka tindakannya menjadi suatu pola yang mantap, dan norma yang mengatur tindakannya”di budidayakan”. Kadang-kadang berbagai norma juga dipelajari seorang individu secara sebagian-sebagian. Caranya mendengar berbagai orang dalam lingkungan pergaulannya pada saat-saat yang berbeda-beda,menyinggung atau membicarakan norma tadi. Sudah tentu ada norma yang diajarkan kepadanya dengan sengaja tidak hanya dalam lingkungan keluarga dan diluar keluarga, tetapi juga secara normak di sekolah. Di samping aturan-aturan masyarakat dan Negara yang diajarkan di sekolah melalui berbagai mata pelajaran seperti tata Negara, ilmu kewarganegaraan dan sebagainya,juga aturan sopan santun bergaul dan lain-lainnya tetap diajarkan secara formal.
                        Sebagai contoh dapat disebut misalnya cara seorang Indonesia mempelajari aturan adat Indonesia yang mengajarkan agar orang Indonesia yang habis bepergian kesuatu tempat yang jauh, memberi ”oleh-oleh” kepada kerabatnya yang dekat dan kepada para tetangganya yang tinggal disuatu rumahnya. Rasa aman karna ia mempunyai banyak hubungan baik dengan orang-orang sekitarnya di masa susah sehingga perlu untuk membalas jasanya,dan nilai gotong royong yang mertupakan motivasi dari tindakan yang membagi-bagi “oleh-oleh” tadi, telah sejak lama, ketika ia masih kecil, diinternalisasi dalam kepribadiannya.
                        Sudah tentu dalam suatu masyarakat ada pula individu yang mengalami berbagai hambatan dalam proses internalisasi, sosialisasi, dan enkulturasinya, yang menyebabkan bahwa hasilnya kurang baik. Individu itu tidak dapat menyesuaikan kepribadiannya dengan lingkungan sosial  sekitarnya, menjadi kaku dalam pergaulannya, dan condong untuk senantiasa menghindari norma-norma dan aturan-aturan masyarakatnya. Hidupnya penuh peristiwa konflik dengan orang lain. Individu-individu serupa itu disebut deviants.
C.  Proses Evolusi Sosial

1.      Proses Microscopic dan Macroscopic dalam Evolusi Sosial

            Proses evolusi dari suatu masyarakat dan kebudayaan analisis oleh seoran peneliti seolah-olah dari dekat secara detail (microscopic),atau dapat juga dipandang seolah-olah dari jauh dengan hanya memperhatikan perubahan-perubahan yang tampak besar saja (macroscopic). Proses evolusi sosial-budaya yang dianalisis secara detail akan membuka mata peneliti untuk berbagai macam proses perubahan yang terjadi dalam dinamika kehidupan sehari-hari tiap masyarakat di dunia. Proses-proses ini disebut dalam ilmu antropologi “proses-proses berulang” (recurrent processes). Proses-proses evolusi sosial budaya yang dipandang seolah-olah dari jauh hanya akan menampakkan kepada peneliti perubahan-perubahan besar yang terjadi dalam jangka waktu yang panjang. Proses-proses ini disebut dalam ilmu antropologi”proses-proses menentukan arah” (directional processes).[2]
2.      Proses-proses Berulang dalam evolusi sosial Budaya

                        Perhatianyan terhadap proses-proses berulang dalam evolusi sosial budaya,belum dapat mendapat perhatian dari ilmu antropologi. Perhatian itu sebenarnya timbul bersama dengan perhatian ilmu antropologi terhadap factor individu dalam masyarakat,yaitu sejak masa sekitar 1920. Sebelum tahun 1920, sebagian besar dari para sarjana antropologi hanya memperhatikan adat istiadat yang lazim berlaku dalam suatu masyarakat yang menjadi objek penelitiannya. Sikap, perasaan, dan tingkah laku khusus para individu dalam masyarakat tadi yang mungkin bertentangan dengan adat istiadat yang lazin, diabaikan saja atau tidak mendapat perhatian layak. Dengan demikian kalau seorang ahli antropologi misalnya harus menulis tentang adat istiadat perkawinan orang Bali, ia hanya akan mengumpulkan keterangan tentang hal yang lazim dilakukan dalam perkawinan-perkawinan orang Bali itu. Upacara, aktivitas, dan tindakan yang menyimpang dari adat Bali pada umumnya terjadi karena berbagai situasi atau keadaan khusus, biasanya diabaikan atau kurang diperhatikan. Tindakan individu warga masyarakatyang menyimpang dari adat istiadat umum seperti terurai sebelumnya, pada suatu ketika dapat banyak terjadi dan dapat sering berulang (recurrent) dalam kehidupan sehari-hari di setiap masyarakat di seluruh dunia.
                        Sudah tentu masyarakat pada umumnya tidak membiarkan saja penyimpangan-penyimpangan dari para warganya itu, dan itulah sebabnya dalam tiap masyarakat ada alat-alat pengendalian masyarakat yang bertugas untuk mengurangi penyimpangan tadi. Masalah antara keperluan keperluan individu dan masyarakat selalu akan ada dalam tiap masyarakat, dan walaupun ada kemungkinan bahwa ada suatu masyarakat yang tenang untuk suatu jangka waktu tertentu,tetapi pada suatu saat, tentu ada juga berbagai individu yang membangkang, dan ketegangan-ketegangan masyarakat akan menjadi recurrent lagi. Akhirnya, kalau penyimpangan-penyimpangan tadi pada suatu ketika menjadi demikian recurrent sehingga masyarakat tidak dapat mempertahankan adatnya lagi, maka masyarakat terpaksa member konsekuensinya, dan adat serta aturan diubah sesuai dengan desakan keperluan-keperluan baru dari individu-individu dalam masyarakat.
                        Faktor ketegangan antara adat istiadat dari suatu masyarakat dengan keperluan para inidividu di dalamnya itu menyebabkan perlu adanya dua konsep yang perlu dibedakan dengan tajam oleh para peneliti masyarakat, terutama para ahli antropologi dan sosiologi. Konsep  antara dua wujud dari tiap kebudayaan, yaitu: (i) kebudayaan sebagai suatu kompleks dari konsep norma-norma, pandangan-pandangan dan sebagainya, yang abstrak (yaitu system budaya) dan (ii) kebudayaan sebagai suatu rangkaian dari tindakan yang konkret dimana individu saling berinteraksi (yaitu system sosial). Kedua system tersebut sering ada dalam keadaan konflik satu dengan yang lain, dan suatu pengertian mengenai konflik antara kedua system yang ada dalam tiap masyarakat itu menjadi pangkal untuk mencapai penertian mengenai dinamika mayarakat pada umumnya.
3.      Proses Mengarah dalam Evolusi Kebudayaan
                
                        Kalau evolusi masyarakat dan kebudayaan kita pandang seolah-olah dari suatu jarak yang jauh, dengan mengambil interval waktu yang panjang (misalnya beberapa ribu tahun), maka akan tampak perubahan-perubahan besar yang seolah-olah bersifat menentukan arah (directional) dari sejarah perkembangan masyarakat dan kebudayaan yang bersangkutan.
                        Perubahan-perubahan besar ini dalam abad ke-19 yang lalu telah menjadi perhatian utama para sarjana ilmu antropologi budaya dalam arti umum. Pada masa sekarang, gejala ini menjadi perhatian khusus dalam suatu subilmu dalam antropologo,yaitu ilmu prehistori.[3] Ilmu ini mempelajari sejarah perkembangan kebudayaan manusia dalam jangka waktu yang panjang dan juga oleh para ilmu sejarah perkembagan seluruh umat manusia dan juga harus bekerja dengan waktu yang panjang.
D.   Proses Difusi
                       
1.      Penyebaran Manusia

                        Ilmu paleoantropologi telah memperkirakan bahwa makhluk manusia pertama hidup di daerah sabana beriklim tropis di Afrika Timur. Sedangkan sekarang makhluk itu menduduki hampir seluruh muka bumi ini dalam segala macam lingkungan iklim . hal itu hanya dapat diterangkan dengan dengan adanya proses pembiakan dan gerak penyebaran atau migrasi-migrasi yang disertai proses penyesuaian atau adaptasi fisik dan sosial budaya dari makhluk manusia dalam jangka waktu berates-ratus ribu tahun lamanya sejak zaman purba.
Ditinjau secara lebih teliti, maka kita dapat membayangkan berbagai macam sebab dari migrasi-migrasi itu. Ada hal-hal yang menyebabkan migrasi yang lambat dan otomatis, ada pula peristiiwa-peristiwa yang menyebabkan migrasi yang cepat dan mendadak.
                        Para sarjana prehistori mencoba merekonstruksikan kembali gerak migrasi kelompok-kelompok manusia di muka bumi. Selain itu telah memetakan pula dengan garis-garis panah untuk menunjukkan arah-arah migrasi itu. Di peta 1 yang dibuat berdasarkan buku W.Howelis, Back of History (1954 : hlm.177,287,298), tergambar garis-garis migrasi yang terpenting dari makhluk manusia.
                        Walaupun demikian, bila ditinjau dalam waktu yang panjang, suatu kelompok manusia lama-kelamaan akan pindah wilayah juga, karena wilayah yang lama, binatang perburuan misalnya sudah mulai berkurang atau karena dalam wilayah yang lama jumlah manusia sudah mulai terlampau banyak. Namun perpindahan itu berjalan dengan sangat lambat, dan biasanya tanpa disadari orang-orang yang bbersangkutan. Suatu migrasi serupa itu sebenarnya tidak harus kita gambarkan sebagai suatu garis lurus (I), tetapi sebagai garis spiral (II).
2.      Penyebaran Unsur-unsur Kebudayaan

                        Penyebaran unsur-unsur kebudayaan dapat juga terjadi tanpa ada perpindahan kelompok-kelompok manusia atau bangsa-bangsa dari saru tempat ke tempat lain, tapi oleh karena ada individu-individu tertentu yang membawa unsur-unsur kebudayaan itu hingga jauh sekali. Mereka itu terutama pedagang atau pelaut. Pada zaman penyebaran agama besar, para pendeta agama Budha, para pendeta agama Nasrani, dan kaum Muslimin mendifusikan berbagai unsur dari kebudayaan-kebudayaan dari mana mereka berasal, sampai jauh sekali. Terutama ilmu sejarahlah yang telah banyak memperhatikan cara penyebaran dari unsur-unsur kebudayaan oleh individu-individu terurai tadi.
                        Bentuk difusi yang lain lagi dan mendapat perhatian ilmu antropologi adalah penyebaran unsur-unsur kebudayaan yang berdasarkan pertemuan-pertemuan antara individu dalam suatu kelompok manusia dengan individu kelompok tetangga. Pertemuan antara kelompok-kelompok semacam itu dapat berlangsung dengan berbagai cara.
                        Cara yang pertama adalah hubungan di mana bentuk dan kebudayaan itu masing-masing hampir tidak berubah. Hubungan ini, yaitu hubungan symbiotic, dapat kita lihat contohnya didaerah pedalaman negara-negara Kongo , Togo, dan Kamerun di Afrika Tengah dan Barat. Di daerah pedalaman negara-negara tersebut berbagai suku bangsa Afrika hidup dari bercocok tanam di ladang. Mereka mempunyai tetangga, kelompok-kelompok kecil yang terdiri dari suku-suku bangsa Negrito[4] hidup dari berburu dan mengumpulkan hasil hutan. Hasil berburu dan hasil hutan itu dibarter dengan hasil pertanian. Hubungan semacam ini telah berlangsung sejak lama sekali, malahan mungkin sudah sejak berabad-abad lamanya, kedua belah pihak sudah saling membutuhkan, tetapi hubungan mereka terbatas hanya pada barter barang-barang itu saja, sedangkan proses saling mempengaruhi tidak ada.
                        Cara lain adalah bentuk hubungan yang disebabkan karena perdagangan, tetapi dengan akibat yang lebih jauh daripada yang terjadi  pada hubungan symbiotic. Unsur-unsur kebudayaan asing dibawa oleh para pedagang masuk ke dalam kebudayaan penerima dengan tidak sengaja atau tanpa paksaan. Hubungan ini, dengan mengambil istilah dari ilmu sejarah, sering disebut penetration pasifique, artinya “pemasukan secara damai”
                        Akhirnya kalau kita perhatikan suatu proses difusi tidak hanya dari sudut bergeraknya unsur-unsur kebudayaan dari suatu tempat ke tempat lain di muka bumi saja, tetapi terutama sebagai prosesdi mana unsur-unsur kebudayaan dibawaoleh individu-individu dari suatu kebudayaa, dan harus diterima oleh individu-individu dari kebudayaan lain, maka terbukti bahwa tidak pernah terjadi difusi dari satu unsure kebudayaan.

E.  Akulturasi dan Asimilasi

1.      Akulturasi

                        Istilah akulturasi,atau acculturation atau culture contact,[5] mempunyai berbagai arti dari para sarjana antrpologi, tetapi semua sepaham bahwa konsep itu mengenai proses sosial yang timbul bila suatu kelompok manusia dengan suatu kebudayaan tertentu dihadapkandengan unsur-unsur dari suatu kebudayaan asing dengan sedemikian rupa,sehingga unsur-unsur kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan itu sendiri. Terbukti bahwa tidak pernah terjadi difusi dari satu unnsur kebudayaan. Unsur-unsur itu seperti termaktub dalam contoh tentang penyebaran mobil tersebut selalu berpindah-pindah sebagai suatu gabungan atau suatu yang tidak mudah dipisah-pisahkan.
                        Proses akulturasi itu memang ada sejak dulu kala dalam sejarah kebudayaan manusia, tetapi proses akulturasi yang mempunyai sifat khusus, baru timbul ketika kebudayaan-kebudayaan  bangsa-bangsa di Eropa Barat mulai menyebar ke semua daerah lain di muka bumi, dan mulai mempengaruhi masyarakat-masyarakat suku-suku bangsa di Afrika, Asia,Oseania, Amerika Utara, dan Amerika Latin. Bersama dengan perkembangan pemerintah-pemerintah jajahan di semua benua dan daerah di luar Eropa berkembang pula berbagai usaha penyebaran agama Nasrani. Akibat dari proses yang besar ini adalah hamper tidak ada suku bangsa di muka bumi lagi yang terhindar dari pengaruh unsur-unsur kebudayaan Eropa itu (pada masa sekarang di pertengahan abad ke-20 ini). Dipandang dari sudut individu dalam masyarakat suku-suku bangsa di Afrika, Asia, dan Oseania itu, pengaruh unsur-unsur kebudayaan Eropa dan Amerika Serikat, (terutama pada akhir-akhir ini) mereka alami secara sangat intensif sampai pada sistem norma  dan sistem nilai budaya. Proses ini disebut modernisasi.
                        Setelah Perang Dunia II, perhatian pada masalah akulturasi malahan lebih besar lagi, sedangkan metode-metode untuk meneliti masalah akulturasi menjadi lebih tajam. Proses akulturasi dalam masyarakat suku bangsa yang tersebar di Benua Asia dan di daerah pulau-pulau di Laut Teduh misalnya, mendapat perhatian istimewa dari Seventh Pacific Science Congress yang diadakan tahun 1949 di Auckland (New Zealand) .[6] kongres itu mempunyai suatu seminar khusus dalam acaranya, untuk mendiskusikan masalah akulturasi dalam ilmu antropologi.
                        Kalau masalah-masalah mengenai akulturasi kita ringkas, akan tampak lima golongan masalah, yaitu :
a.    Mengenai metode-metode untuk mengobservasi , mencatat, dan melukiskan suatu proses akulturasi dalam suatu masyarakat;
b.    Mengenai unsur-unsur kebudayaan asing yang mudah diterima, dan sukar doterima oleh masyarakat;
c.    Mengenai unsur-unsur kebudayaan apa yang mudah diganti atau diubah , dan unsur-unsur yang tidak mudah diganti atau diubah oleh unsur-unsur kebudayaan asing;
d.   Mengenai individu-individu yang suka atau cepat menerima, dan individu-individu yang sukar dan lambat menerima unsur-unsur kebudayaan asing;
e.    Mengenai ketegangan-ketegangan dan krisis-krisis sosial yang timbul sebagai akibat akulturasi.

      Dalam meneliti jalannya suatu proses akulturasi, seorang peneliti sebaiknya memperhatikan beberapa masalah khusus, yaitu:
a.    Keadaan masyarakat penerima sebelum proses akulturasi mulai berjalan;
b.    Individu-individu dari kebudayaan asing yang membawa unsur-unsur kebudayaan asing;
c.    Saluran-saluran yang dilalui oleh unsur-unsur kebudayaan asing untuk masuk ke dalam kebudayaan penerima;
d.   Bagian-bagian dari masyarakat penerima yang terkena pengaruh unsur-unsur kebudayaan asing tadi;
e.    Reaksi para individu yang terkena unsur-unsur kebudayaan asing.

            Dengan demikian, dalam setiap penelitian terhadap suatu proses akulturasi, sebaiknya diperhatikan kelima hal tersebut. Begitu pula dengan setiap deskripsi terhadap suatu proses akulturasi sebaiknya mengandung lima bab yang masing-masing menguraikan hal-hal tersebut.
            Memperhatikan individu-individu dari kebuddayaan asing yang menyebabkan pengaruh unsur-unsur kebudayaa asing sangat penting, karena dengan pengetahuan tentang mereka ini (dalam ilmu antropologi disebut agent of acculturation) dapat diketahui unsur-unsur kebudayaan apa yang masuk itu. Memang dalam tiap masyarakat itu, warga masyarakat hanya memahami sebagian dari kebudayaannya. Lebih-lebih kalau masyarakat itu luas dan kompleks, maka warga biasanya hanya mengetahui suatu bagian yang sangat kecil saja dari kebudayaanya.[7] Dengan demikian, macam dari orang-orang yang menjadi agent of acculturation itu akan menentukan unsur-unsur apa yang masuk.
            Salah satu wujud penolakan terhadap pengaruh unsur-unsur kebudayaan asing dan pergeseran sosial-budaya yang merupakan akibat dari peristiwa itu tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga dalam banyak masyarakat di dunia. Ada gerakan-gerakan kebatinan  di mana warga “kolot” dapat mengundurkan diri dari kenyataan kehidupan masyarakat yang bergeser itu ke alam mimpi mengenai zaman bahagia dan kejayaan yang kuno. Selain itu reaksi yang berbeda dari orang-orang yang “ kolot” dari orang-orang yang “progresif” terhadap pengaruh unsur-unsur kebudayaan asing tidak jarang mengakibatkan perpecahan masyarakat dengan berbagai konsekuensi konflik sosial politik.
2.      Asimilasi
Asimilasi (assimilation) adalah proses sosial yang timbul bila ada: (a) golongan-golongan manusia dengan latar belakang kebudayaan yang berbeda-beda, (b) saling bergaul langsung secara intensif untuk waktu yang lama, sehingga (c) kebudayaan-kebudayaan golongan-golongan tadi masing-masing berubah sifatnya yang khas , dan juga unsur-unsurnya masing-masing berubah wujudnya menjadi unsur-unsur kebudayaan campuran. Biasanya, golongan-golongan yang tersangkut dalam suatu proses asimilasi adalah suatu golongan mayoritas dan beberapa golongan minoritas. Dalam hal ini golongan-golongan minoritas mengubah sifat-sifat khas dari unsur-unsur kebudayaannya dan menyesuaikannya dengan kebudayaan dari golongan mayoritas. Sedemikian  rupa sehingga lambat laun kehilangan kepribadian kebudayaannya dan masuk ke dalam kebudayaan mayoritas.
Hal yang penting untuk diketahui adalah faktor-faktor yang menghambat proses asimilasi. Dari berbagai proses asimilasi yang pernah diteliti oleh para ahli terbukti bahwa hanya dengan pergaulan antara kelompok-kelompok secara luas dan intensif saja, belum tentu terjadi suatu proses asimilasi, kalau diantara kelompok-kelompok yang berhadapan itu tidak ada suatu sikap toleransi dan simpati satu terhadap yang lain. Orang Cina misalnya ada di Indonesia, bergaul secara luas dan intensif dengan orang Indonesia sejak berabad-abad lamanya; namun mereka semua belum terintegrasi ke dalam masyarakat dan kebudayaan Indonesia, karena selama itu belum cukup ada sikap saling bertoleransi dan bersimpati.
Sikap bertoleransi dan bersimpati terhadap kebudayaan lain itu sebaliknya sering terhalang oleh berbagai faktor , dan fakor-faktor ini sudah tentu juga menjadi penghalang proses asimilasi pada umumnya. Faktor-faktor itu adalah : (a) kurang pengetahuan mengenai kebudayaan yang dihadapi; (b) sifat takut terhadap kekuatan dan kebudayaan lain;(c) perasaan perioritas pada individu dari satu kebudayaan terhadap yang lain.

F.   Pembaruan atau Inovasi

1.      Inovasi dan penemuan
            Inovasi adalah suatu proses paembaruan dan penggunaan sumber daya alam, energi, dan modal,pengaturan baru dari tenaga kerja dan penggunaan teknologi baru yang semua akan menyebabkan adanya sistem produksi yang menghasilkan produk-produk baru. Dengan demikian inovasi itu mengenai pembaruan kebudayaan yang khusus mengenai unsur teknologi dan ekonomi.
Proses inovasi sudah tentu sangat erat kaitannya dengan penemuan baru dalam teknologi. Suatu penemuan biasanya juga merupakan suatu proses sosial yang panjang dan melalui dua tahap khusus yaitu discovery dan invention.
            Suatu discovery adalah suatu penemuan dari unsur kebudayaan yang baru, baik berupa suatu alat yang baru, suatu ide baru, yang diciptakan oleh seorang individu baru,atau suatu rangkaian dari beberapa individu dalam masyarakat yang bersangkutan. Discovery baru menjadi invention bila masyarakat sudah mengakui, menerima, dan menerapkan penemuan baru itu.
Proses dari discovery hingga ke invetion sering memerlukan tidak hanya seorang individu, yaitu penciptanya saja,tetapi suatu rangkaian yang terdiri dari beberapa orang pencipta. Penemuan baru misalnya dimulai dengan aktivitas dari seorang yang berbangsa Amerika bernama S.Marcus, yang dalam tahun 1875 mengembangkan motor gas pertama. Sebenarnya, sistem motor gas juga telah merupakan hasil dari suatu rangkaian gagasan yang dikembangkan selangkah demi selangkah oleh beberapa orang pencipta lain sebelum Marcus. Walaupun demikian, Marcuslah yang membulatkan penemuan itu dan yang pertama kali menghubungkan motor gas dengan sebuah kereta dengan cara yang sedemikian rupa sehingga kereta tadi dapat berjalan tanpa ditarik oleh kuda. Itulah saatnya mobil menjadi suatu discovery. Baru lebih dari 30 tahun kemudian, sesudah suatu rangkaian sumbangan pemikiran dari banyak pencipta lain dari berbagai negara di Eropa maupun Amerika, menambah pada perbaikan pada alat tadi, maka mobil telah mencapai suatu bentuk. Lalu dapat  dipakai sebagai alat pengangkut oleh manusia dengan cukup praktis dan aman. Bentuk mobl semacam itu, yang memperoleh hak paten ddi Amerika lebih-kurang pada tahun 1911, dapat disebut permulaan dari kendaraan mobil yang pada masa sekarang menjadi salah satu alat terpenting dalam kehiddupan masyarakat manusia. Dengan terciptanya bentuk itu, kendaraan mobil menjadi suatu invention baru.
            Pada saat suatu penemuan menjadi suatu invebtion, proses penemuan belum selesai. Walaupun kira-kira sesudah 1911 produksi mobil dimulai dan menjadi suatu inovasi teknologi yang ekonomis, namun mobil belum dikenal oleh suatu masyarakat. Penyebarannya masih harus dipropagandakan kepada khalayak ramai. Lagipula, waktu itu biaya produksi masih demikian tingginya sehingga hanya suatu golongan yang sangat kecil saja dapat membelinya. Untuk membuat agar biaya produksi dapat menjadi serendah mungkin masih diperlukan serangkaian penemuan perbaikan lagi, dan kemudian penerimaan dari masyarakat juga belum dapat meluas apabila masyarakat belum siap dan belum matang untuk menerimanya.
2.   Pendorong penemuan baru
Para sarjana mengatakan bahwa pendorongpenemuan baru itu adalah: (a) kesadaran para individu akan kekurangan dalam kebudayaan; (b) mutu dari keahlian dalam suatu kebudayaan; (c) sistem perangsang bagi aktivitas mencipta dalam masyarakat.
Dalam tiap masyarakat tentu ada individu-individu yang sadar akan adanya berbagai kekurangan dalam kebudayaan mereka. Di antara para individu itu banyak yang menerima kekurangan-kekurangan itu sebagai hal yang memnag harus diterima saja; individu-individu lain mingkin tidak puas dengan keadaan, tetapi pasif atau hanya menggerutu saja, dan tidak berani atau tidak mampu untuk berbuat apa-apa; sedangkan ada juga individu-individu aktif yang berusaha berbuat sesuatu untuk mengisi atau memperbaiki kekurangan yang mereka sadari itu. Dari kategori individu-individu tersebut terakhir inilah antara lain muncul para pencipta dari penemuan-penemuan baru, baik yang bersifat discovery maupun yang bersifat invention.
Keinginan para ahli dalam suatu masyarakat akan mutu merupakan dorongan juga akan terjadinya penemuan baru. Kata “ahli” di sini tentu diambil dalam arti seluas-luasnya, jadi bukan hanya ahli dalam suatu ilmu, melainkan juga ahli dalam ahli pertukangan, pengrajinan, ahli kesenian atau seniman; pendeknya ahli dalam segala pekerjaan yang mungkin terdapat dalam suatu masyarakat.
Keinginan untuk mencapai mutu yang tinggi menyebabkan bahwa seorang ahli selalu mencoba memperbaiki hasil-hasil karyanya, dan dalam usaha itu sering tercapai hasil yang sebelumnya belum pernah tercapai oleh ahli lain. Dengan demikian telah timbul suatu penemuan baru.
3.   Inovasi dan Evolusi
Suatu penemuan baru harus selau dilihat dalam kebudayaan tempat penemuan tadi terjadi. Hal ini disebabkan karena suatu penemuan baru jarang merupakan suatu perubahan mendadak dan keadaan tidak ada, menjadi keadaan ada. Suatu penemuan baru biasanya berupa suatu rangkaian panjang, dimulai dari penemuan-penemuan kecil secara akumulatif diciptakan oleh sederet pencipta-pencipta. Dengan demikian , proses inovasi (yaitu proses pembaruan teknologi ekonomi dan lanjutannya) itu juga merupakan suatu proses evolusi. Bedanya ialah bahwa dalam proses inovasi individu-individu itu pasif, bahkan sering bersifat negatif. Karena kegiatan dan usaha individu itulah, maka suatu inovasi merupakan suatu proses perubahan kebudayaan yang begitu cepat (artinya lebih cepat keliahatan daripada suatu proses evolusi kebudayaan).





BAB III
PENUTUP
1.      Dinamika sosial adalah semua konsep yang diperlukan apabila ingin menganalisis proses-proses pergeseran masyarakat dan kebudayaan.
2.      Proses belajar Kebudayaan Sendiri terbagi tiga yaitu: Proses internalisasi, proses sosialisasidan proses enkulturasi.
3.      Proses Evolusi Sosial terbagi tiga yaitu: Proses Microscopic dan Macroscopic dalam Evolusi Sosial, Proses-proses Berulang dalam evolusi sosial Budaya dan Proses Mengarah dalam Evolusi Kebudayaan.
3.      Proses Difusi Tebagi dua yaitu: Penyebaran Manusia dan Penyebaran Unsur-unsur Kebudayaan.
4.      Akulturasi adalah proses sosial yang timbul bila suatu kelompok manusia dengan suatu kebudayaan tertentu dihadapkandengan unsur-unsur dari suatu kebudayaan asing dengan sedemikian rupa,sehingga unsur-unsur kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan itu sendiri.Adapunyang dimaksud asimilasi yaitu Asimilasi adalah proses sosial yang timbul bila ada: (a) golongan-golongan manusia dengan latar belakang kebudayaan yang berbeda-beda, (b) saling bergaul langsung secara intensif untuk waktu yang lama, sehingga (c) kebudayaan-kebudayaan golongan-golongan tadi masing-masing berubah sifatnya yang khas , dan juga unsur-unsurnya masing-masing berubah wujudnya menjadi unsur-unsur kebudayaan campuran.
5.      Inovasi adalah suatu proses paembaruan dan penggunaan sumber daya alam, energi, dan modal,pengaturan baru dari tenaga kerja dan penggunaan teknologi baru yang semua akan menyebabkan adanya sistem produksi yang menghasilkan produk-produk baru.













DAFTAR PUSTAKA
Koentjaranigrat. pengantar ilmu antropologi. Jakarta: Rineka cipta, 2009.
Ardiwinata, Jajat. dan Ahmad hufad. Sosiologo Antropologi Pendidikan. Bandung: Upi Press 2007.
Koentjaraningrat. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Radar Jaya Offset. 2000
Saidang. dkk. Sosiologi Untuk Sekolah Menengah Atas. Solo: CV Haka mj 2010


[1]  Dalam bahasa Indonesia sekarang istilah institutionalization sering diterjemahkan dengan “pelembagaan”. Hal itu salah, karena “lembaga” adalah istilah Indonesia untuk institute, dan bukan untuk institution, yang mempunyai arti yang lain sama sekali. Istilah Indonesia untuk institution adalah “pranata”
[2] Hal yang terurai di atas diambil dari karangan E.Z. Vogt, “On the concept of Structure and Proses in Cultural Antropologi”, American Anthropologist, LXII, 1960: hlm. 18-33. Istilah directional berarti “yang member arah”.
[3] Mengenai hubungan antara antropologi budaya dengan ilmu prehistori, lihat hlm 30-31.
[4] Yaitu manusia-manusia yang umumnya mempunyai cirri-ciri tubuh ras Negroid, tetapi yang mempunyai badan kecil, serta tinggi tubuh mereka rata-rata tidak melebihi 150 cm. di dalam buku-buku antropologi mereka sering juga disebut orang pygmee.
[5] Istilah culture contact terutama digunakan oleh sarjana-sarjana antropologi dari inggris.
[6] Pacific Science Congress adalah suatu pertemuan yang diadakan setiap empat tahun oleh sarjana-sarjana dari berbagai cabang ilmu pengetahuan yang mempunyai perhatian terhadap daerah sekitar Laut Pasifik.
[7] Pembaca dapat pula menguji hal ini pada diri sendiri, dan mencoba memikirkan lapangan-lapangan serta bagian-bagian mana dari kebudayaan sendiri yang dipahami dan lapangan-lapangan serta bagian-bagian mana yang tidak dipahami.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar