Kamis, 08 Desember 2016

MEMEHAMI HADIS DARI SEGI OBYEKNYA



BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Dalam memahami hadis, terkadang dipahami secara tekstual dan terkadang dipahami secara kontekstual. Namun dikalangan masyarakat rata-rata memahami hadis dengan cara tekstual hingga mereka harus meneladani semua apa-apa yang pernah dikerjakan oleh Nabi yang disampaikan melalui sabdanya ataupun yang disaksikan oleh sahabat-sahabat beliau. Padahal  perlu diketahui posisi Nabi,  ketika mengatakan sesuatu ataupun mengerjakan sesuatu. Misalnya, apakah posisi Nabi pada waktu itu kapasitasnya sebagai Rasul atau sebagai manusia biasa ataupun sebagai pribadi Nabi sendiri. Karena ada diantara perkataan atau perbuatan Nabi tidak semestinya diteladani jika dilihat dari posisi Nabi pada saat itu.
B.   Rumusan Masalah
1.      Nabi sebagai Rasulullah
2.      Nabi sebagai kepala negara atau pemimpin masyarakat
3.      Nabi sebagai hakim
4.      Nabi sebagai pribadi
5.      Nabi sebagi rasul dan sebagai manusia biasa
6.      Nabi sebagai manusia biasa


BAB II
PEMBAHASAN
Menurut Mahmud Syaltud, mengetahui tingkah laku Nabi Saw. dengan mengaitkan pada fungsi Nabi tatkala beliau lakukan sangat besar manfaatnya. Ulama yang pertama kali yang memahami kandungan hadis Nabi dengan menghubungkan fungsi Nabi Saw. adalah Imam Syihab al-Din al-Qarafi (w. 694 H.) dalam kitabnya yang berjudul: al-Furu>q dan kitab al-Ihka>m fi Tamyi>z Fata>wa> min al-Ahka>m. Dalam kitab tersebut, al-Qara>fi> melakukan kajian tentang ucapan dan perbuatan Rasulullah Saw. beserta perbedaan kondisinya, antara beliau sebagai pemimpin, hakim dan pemberi fatwa atau penyampai ajaran  dari Allah Swt. Hal itu berpengaruh pada keumuman hukum dan kekhususannya serta universalnya atau temporernya.[1]
1.    Sebagai Rasulullah
Ada banyak hadis Nabi, bahkan kalangan umat Islam berpendapat bahwa keseluruhan hadis Nabi adalah berkaitan dengan kedudukan Nabi Saw. sebagai Rsulullah antara lain:
أخبرنا جابر بن عبد الله : أن النبي صلى الله عليه و سلم قال ( أعطيت خمسا لم يعطهن أحد قبلي نصرت بالرعب مسيرة شهر وجعلت لي الأرض مسجدا وطهورا فأيما رجل من أمتي أدركته الصلاة فليصل وأحلت لي المغانم ولم تحل لأحد قبلي وأعطيت الشفاعة وكان النبي يبعث إلى قومه خاصة وبعثت إلى الناس عامة[2]

Artinya:
“Jabir telah menceritakan bahwasanya Rasulullah Saw. bersabda: “saya dikaruniai (oleh Allah) lima macam hal, yang (kelimanya) tidak pernah dikaruniakan kepada selain saya. Saya ditolong (dalam peperangan), sehingga perasaan musuh (dalam peperangan) menjadi gentar (menghadapi saya) dalam masa peperangan yang memakan waktu sekitar sebulan, bumi dijadikan sebagai tempat shalat dan suci bagi saya dan karenya, siapa saja dari umatku mendapatkan waktu shalat, maka hendaklah dia shalat (di bumi mana saja ia berada); dihalalkan bagi saya harta rampasan perang, sedang sebelum saya harta tersebut diharamkan; saya dikaruniai kemampuan memberi syafaat; dan Nabi (sebelum saya) dibangkit untuk kaum (bangsa) tertentu, sedangkan saya dibangkit untuk manusia secara umum (seluruhnya).”
Secara tekstual, hadis tersebut memberi informasi tentang 5 keutamaan Nabi Muhammad dibandingkan dengan para Nabi sebelumnya. Pernyataan itu bersiifat universal. Nabi Muhammad tatkala menyampaikan pernyataan itu berada pada kapasitasnya sebagai Rasulullah sebab informasi yang beliau sampaikan tidak mungkin didasarkan pada pertimbangan akal, tetapi didasarkan atas petunjuk wahyu Allah. Pertimbangan yang demikian itu tidaklah berarti bahwa dalam fungsi Nabi Saw. sebagai Rasulullah pertimbangan rasio tidak dikenal sama sekali. Dengan demikian, salah satu indikator sebuah hadis Nabi dinyatakan oleh Nabi Saw. dalam kapasitasnya sebagai Rasulullah adalah hadis bersangkutan tidak mungkin atau sulit didasarkan atas pertimbangan rasio, tetapi semata-mata atas pentunjuk wahyu Allah Swt.[3]

Hadis nabi tentang pelukis :
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم: إِنَّ أَشَدَّ النَّاسِ عَذَابًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ الْمُصَوِّرُونَ[4]
Artinya :
“(Hadis riwayat) dari Abdullah bin Mas’u>d, Rasulullah Saw. telah bersabda: “sesungguhnya orang-orang yang menerima siksaan paling dahsyat di hadirat Allah pada hari kiamat kelak ialah para pelukis” (HR. Bukhari, Muslim dan Ahmad).
         
Berbagai hadis Nabi yang berisi larangan melukis dan memajang lukisan makhluk bernyawa itu dinyatakan dalam kapasitas beliau sebagai Rasulullah. Dikatakan demikian, tegasnya, karena hadis itu dikemukakan berita tentang nasib masa depan para pelukis dihari kiamat kelak. Dengan demikian, hadis yang mengndung berita masa depan dihari kiamat dapat dijadikan sebagai salah satu indikator sebuah hadis dinyatakan oleh Nabi Saw. dalam kapasitas beliau sebagai Rasulullah.
bemakhluk yang bernyawa (yakni manusia dan hewan), maka tidak mengherankan bila pemahaman secara tekstual cukup banyak pendukungnya, khususnya pada zaman klasik.dengan demikian dapat pula dipahami latar belakang yang menjadikan para pelukismuslim zaman klasik mengarahkan karya-karya lukis mereka kedalam bentuk kaligrafi, obyek tumbuh-tumbuhan, dan pemandangan alam.[5]
Larangan melukis dan memajang lukisan yang dikemukakan oleh Nabi itu mempunyai latar belakang hukum (‘illat al-Hukum). Pada zaman Nabi, masyarakat belum lama terlepas dari kepercayaan menyekutukan Allah, yakni penyembahan kepada patung dan yang semacamnya. Dalam kapasitasnya sebagai Rasulullah, Nabi Muhammad berusaha keras agar umat Islam terlepas dari kemusyrikan tersebut. Salah satu cara yang ditempuh ialah dengan mengeluarkan larangan dalam pembuatan dan pemajangan lukisan. Yang diancam sikasaan berat tidak hanya yang membuat lukisan saja, tetapi juga yang memajangnya.[6]
Jika ‘illat al-Hukum-nya memang demikian, maka pada saat umat Islam tidak lagi khawatir terjerumus kedalam kemusyrikan, khususnya kedalam bentuk penyembahan terhadap lukisan, maka membuat dan memajang lukisan dibolehkan. Kaidah usul fiqih menyatakan:
الحكم يدور مع علته وجودا وعدما[7]
Artinya:
“Hukum itu berputar pada ‘illat-nya, keberadaan dan ketiadaannya.”
            Maksudnya, hukum itu ditentukan oleh ‘illat-nya. Bila ‘illat-nya ada, maka hukumnya tetap; dan bila ­‘iilat-nya tidak ada, maka hukumnya pun brubah.[8]
Nabi Saw. yang paling bertaqwa:
إن أتقاكم لله وأعلمكم بالله أنا
Artinya:
“sesungguhnya yang paling bertaqwa di antara kalian dan yang paling mengetahui Allah adalah aku.”
            Karena berdasarkan latar belakang ayat ini Aisya menceritakan bahwa pada waktu itu Rasulullah memerintahkan para sahabat, mereka memerintah melaksanakan perbuatan yang sanggup mereka kerjakan. Kemudian ada orang yang berkata kepada Nabi, “sesungguhnya keadaan kami tiadalah seperti engkau wahai Rasulullah. Sesungguhnya Allah telah Mengampuni dosamu yang terdahulu dan dosamu yang akan datang. Mendengar ucapannya itu Rasulullah marah sehingga terlihat kemarahan itu pada wajahnya. Kemudian Rasulullah mengatakan hal yang demikian.[9]
Melihat hadis di atas, hadis tersebut kelihatan sangat jelas bahwa ketika Nabi mengucapkan hal yang demikian maka posisi Nabi pada waktu itu jelas sebagai Rasul.
2.  Sebagai kepala negara atau pemimpin masyarakat
Contoh hadis Nabi dalam kaitannya dengan kedudukan Nabi sebagai kepala negara atau pemimpin masyarakat adalah :
a.     Dari Abdulla Bin Umar
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم  لاَ يَزَالُ هَذَا الأَمْرُ فِى قُرَيْشٍ مَا بَقِىَ مِنَ النَّاسِ اثْنَان[10]
Artinya:
“Dari Abdullah bin Umar, Rasulullah Saw. bersabda: ‘Dalam urusan (beragama, bermasyarakat dan bernegara) ini, orang Quraisy selalu menjadi pemimpinnya) selama mereka masih ada walaupun tinggal dua orang saja.”
b.    Hadis Nabi dari Abu Barzah
أَبَا بَرْزَةَ يَرْفَعُهُ إِلَى النَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ:  الأَئِمَّةُ مِنْ قُرَيْشٍ إِذَا اسْتُرْحِمُوا رَحِمُوا وَإِذَا عَاهَدُوا وَفَوْا وَإِذَا حَكَمُوا عَدَلُوا فَمَنْ لَمْ يَفْعَلْ ذَلِكَ مِنْهُمْ فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللَّهِ وَالْمَلاَئِكَةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ[11]
Artinya :
“Abu Barzah memarfu’kan hadis kepada Rasulullah Saw., sabdanya: “ Pemimpin itu dari suku Quraisy. Pada segi-segi mereka dituntut untuk berlaku santun, maka mereka berlaku santun; dan kalau mereka menjadi hakim, maka mereka berlaku adil; kalau mereka berjanji, mereka penuhi. Kalau ada dari kalangan mereka yang tidak berlaku demikian, maka orang itu memperoleh laknat dari Allah, para malaikat, dan umat manusia seluruhnya.
   Apabila kandungan hadis-hadis di atas dihubungkan dengan fungsi Nabi, maka dapat dinyatakan bahwa pada saat hadis-hadis itu dinyatakan , Nabi berada dalam fungsinya sebagai kepala negara atau pemimpin masyarakat. Yang menjadi indikasi (qarinah) antara lain adalah ketetapan yang bersifat primordial, sangat mengutamakan suku Quraisy. Hal itu tidak sejalan dengan, misalnya, petunjuk al-Quran yang menyatakan bahwa`\yang paling utama di sisi Allah adalah yang paling bertaqwa. Mengutamakan suku Quraisy memang bukan ajaran dasar dari agama Islam yang dibawa oleh Nabi.Hadis itu dikemukakan sebagai ajaran yang bersifa temporal.[12]
   Menurut ibnu Khadum hak kepemimpinan bukan pada etnisquraisynya, melainkan kepada kemampuannya kewibawaannya.Pada masa Nabi, orang yang memenuhi syarat sebagai seorang pemimpin dan dipatuhi oleh masyarakat yang di pimpinnya adalah dari kalangan Quraisy dan pantas diangkat sebagai pemimpin pada waktu itu adalah orang dari kalangan Quraisy.[13]Apabila suatu masa ada orang bukan suku quraisy memiliki kewibawaan dan kemampuan untuk menjadi seorang pemimpin, maka dia dapat ditetapkan sebagai pemimpin termasuk kepala negara.[14]
   Dalam sejarah, pemahaman secara tekstual terhadap hadis-hadis di atas dan semakna dengannya telah menjadi pendapat umum dan karenanya menjadi pegangan para penguasa dan ummat Islam selama berabad-abad.Mereka memandang bahwa hadis-hadis tersebut di kemukakan oleh Nabi dalam kapasitas beliau sebagai Rasulullah dan berlaku universal.Misalnya al-qurtubi berpendapat bahwa kepala Negara di isyaratkan harus dari suku quraisy.Sekiranya pada suatu saat orang bersuku quraisy tinggal seorang saja, maka dialah yang berhak menjadi kepala Negara.[15]
   Ibnu Hajar, dengan mengutip pandangan ulama menepis kenyataan sejarah bahwa telah ada penguasa yang menyebut diri mereka sebagai khalifah, padahal mereka bukanlah dari suku Quraisy, mengatakan bahwa sebutan khalifah tersebut tidak dapat diartikan sebagai kepala Negara (al-imamah al-‘uzhma). Bahkan, tidak seorang pun, kecuali dari kalangan Muktazilah dan Khawarij, yang membolehkan jabatan Negara diduduku oleh orang yang tidak berasal dari seku Quraisy.[16]
Dengan demikian, pemahaman terhadap hadis yang dinyatakan oleh Nabi dalam kapasitas beliau sebagai kepala Negara atau pemimpin masyarakat, seperti contoh hadis di atas, cenderung dipahami secara kontentestual.
3.  Sebagai Hakim
Adakalanya suatu hadis dinyatakan Nabi Saw.dalam kapasitasnya sebagai hakim atau manusia biasa. Sebagai contoh adalah hadis Nabi tentang keterbatasan pengetahuan hakim, berbunyi:
أن أم سلمة زوج النبي صلى الله عليه و سلم أخبرتها  : عن رسول الله صلى الله عليه و سلم أنه سمع خصومة بباب حجرته فخرج إليهم فقال:  إنما أنا بشر وإنه يأتيني الخصم فلعل بعضكم أن يكون أبلغ من بعض فأحسب أنه صادق فأقضي له بذلك فمن قضيت له بحق مسلم فإنما هي قطعة من النار فليأخذها أو ليتركها [17]
Artinya:
“bahwasanya Ummu Salamah ra., istri Nabi Saw., bahwasanya beliau mendengarkan pentengkaran di (muka) pintu kamar beliau. Maka beliau keluar (dari kamar untuk) menemui mereka, kemudian belau bersabda: “Sesungguhnya saya ini manusia biasa. Sesungguhnya orang yang terlibat pertengkaran mendatangi saya, maka mungkin saja sebagian dari kamu (orang yang bertengkar) lebih mampu (berargumentasi) dari pada pihak lainnya, sehingga saya menduga bahwa dialah yang benar, lalu saya putuskan (perkara itu) dengan memenangkannya. Barang siapa yang saya menangkan (perkaranya) dengan mengambil hak saudaranya sesama Muslim, maka sesungguhnya keputusan itu adalah potongan bara api neraka yang saya berikan kepadanya; (terserah apakah) dia harus mengambilnya atau menolaknya.
Hadis tersebut memberi petunjuk atas pengakuan Nabi Saw.sebagaai manusia biasa dan sebagai hakim. Dalam melaksanakan kedua fungsi itu, nabi mengaku memiliki kekurangan, munkin saja dapat dikelabui oleh kepintaran pihak yang berperkara dalam mengemukakan argument-argumen untu memenangkan perkaranya, walaupun sesungguhnya apa yang dikatannya itu tidak benar. Dalam mengadili perkara, pengetahuan Nabi terbatas pada apa yang dinyatan oleh pihak-pihak yang berperkara beserta alat-alat bukti yang mereka ajukan. Bila keputusan Nabi ternyata salah sebagai akibat dari kepintaran pihak yang berperkara, maka dosanya ditanggung oleh pihak yang telah berhasil mengelabui Nabi terswebut.Keterangan ini sekaligus menepis anggapan bahwa Nabi Saw.tidak perna salah. Hanya saja, kesalahan yang dilakukan oleh Nabi Saw.senantiasa mendapt teguran dan petunjuk dari Allah Swt.[18]
Apa yang berlaku bagi hakim sebagaimana yang dikemukakan oleh hadis Nabi tersebut bersifat universal. Akan tetapi, keputusan yanh ditetapkan oleh hakimdisatu segi mungkin bersifat universal, temporal ataupun local, sedang disegi yang lain, keputusan hakim itu mungkin benar dan mungkin tidak benar.Kesalahan keputusan hakim terjadi mungkin karena keterangan yang disampaikan oleh pihak yang berperkara tidak benar dan mungkin karena kesalahan hakim dalam berijtihad.Dengan demikian, hadis Nabi di atas dinyatakan oleh Nabi Saw dalam kapasitas beliau sebagai hakim.[19]
Contoh lain Nabi pernah bersabda:
عَنْ عَائِشَةَأَنَّ قُرَيْشًا أَهَمَّهُمْ شَأْنُ الْمَخْزُومِيَّةِ الَّتِي سَرَقَتْ فَقَالُوا مَنْ يُكَلِّمُ فِيهَا قَالُوا مَنْ يَجْتَرِئُ عَلَيْهِ إِلَّا أُسَامَةُ بْنُ زَيْدٍ حِبُّ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَكَلَّمَهُ أُسَامَةُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّمَا هَلَكَ الَّذِينَ مَنْ قَبْلِكُمْ أَنَّهُمْ كَانُوا إِذَا سَرَقَ فِيهِمْ الشَّرِيفُ تَرَكُوهُ وَإِذَا سَرَقَ فِيهِمْ الضَّعِيفُ أَقَامُوا عَلَيْهِ الْحَدَّ وَايْمُ اللَّهِ لَوْ سرَقَتْ فَاطِمَةُ بِنْتُ مُحَمَّدٍ لَقَطَعْتُ يَدَهَا[20]
Artinya:
“Sesungguhnya bangsa Quraisy adalah suku yang terpandang yang jika mencuri maka mereka berkata “siapa yang akan melaporkannya”. Mereka berkata “tidak ada yang memberikan hukuman kecuali Usamah bin Zaid (Zaid adalah salah seorang, orang yang dicintai oleh Nabi) Maka Zaid menceritakannya kepada Nabi Saw. dan Nabi Saw. bersabda: “celakalah orang-orang sebelum kalian, sesungguhnya jika yang mencuri adalah orang-orang yang terpandang maka dibiarkan begitu saja dan jika yang mencuri adalah orang-orang lemah maka hukuman itu dilaksanakan, demi Allah sekiranya Fatimah binti Muhammad mencuri maka aku akan potong tangannya.”
Hadis diatas menjelaskan bahwa ketika Nabi Saw. bertindak sebagai hakim maka beliau tidak pilih kasih, bahkan beliau mengatakan “seandainya jika anak saya sendiri Fatimah telah mencuri maka aku akan potong tangannya”. Seandainya pada waktu itu Nabi Saw. posisinya sebagai seorang ayah maka Nabi Saw. tak akan berani mengatakan bahwa Nabi akan potong tangan Fatimah seandainya ia mencuri. Karena sebagai seorang ayah Nabi Saw. pasti memiliki rasa kasih sayang yang besar bertahadap anaknya
4.     Sebagai Pribadi
Sebagai contoh hadis Nabi yang berpegangan dalam kapasitas beliau sebagai manusia biasa adalah hadis Nabi tentang cara Nabi Saw. berbaring:
عَنْ عَبَّادِ بْنِ تَمِيمٍ عَنْ عَمِّهِ أَنَّهُ رَأَى رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُسْتَلْقِيًا فِي الْمَسْجِدِ وَاضِعًا إِحْدَى رِجْلَيْهِ عَلَى الْأُخْرَى[21]
Artinya:
Dari ‘Ubaid bin Tami>m dari pamannya (‘Abdullah bin Zaid) bahwasanya dia telah melihat Rasulullah Saw. berbaring dalam masjid sambil meletakkan kaki yang satu di atas kaki yang lain. (HR. Bukhari, Muslim dan Ahmad).
Secara tekstual, hadis diatas menunjukkan bahwa cara Nabi Saw. baring dengan posisi meletakkan kaki yang satu di atas kaki yang lain. Pada saat itu tampaknya Nabi sedang merasa nyaman dengan berbaring dengan posisi seperti yang digambarkan oleh hadis di atas. Perbuatan yang dilakukan oleh Naabi tersebut dalam kapasitas sebagai pribadi Nabi Saw. [22]
Hadis Nabi ketika Nabi Saw. shalat hingga kakinya bengkak.
ان كان النبي صلى الله عليه وسلم ليقوم أو ليصلي حتى ترم قدماه أو ساقاه فيقال له فيقول أفلا أكون عبداً شكوراً[23]
 Jika hadis di atas dipahami secara tekstual maka pemahamannya adalah sestiap umat islam yang ingin mendirikan sunnah Nabi maka ia harus bangun malam untuk beribadah kepada Allah hingga kakinya bengkak, namun disisi lain Rasulullah Saw. tidak memperkenankan umatnya memaksakan diri di dalam beribadah melebihi kemampuannya. Sebagaimana hadis riwayat al-Bukhari dari Muslim dengan sabdanya :
ما نهيتكم عنه فاجتنبوه و ما امرتكم به فأتوا منه[24]
Artinya:
“apa-apa yang telah aku larang untukmu maka jauhilah, dan apa-apa yang aku perintahkan untukmu maka kerjakanlah semampumu.”
Dengan demikian, ibadah yang dilakukan Nabi Saw. hingga kakinya bengkak merupakan keinginan pribadi Nabi Saw. sebagai bentuk rasa syukurnya kepada Allah Swt. yang telah memberikan banyak nikmat dan karunia kepadanya. Sehingga apa yang dilakukan Nabi Saw. tidak harus ditiru oleh sahabat dan umatnya.[25]
5.     Muhammad sebagai Rasul Saw. dan sebagai manusia biasa
Sebagian hadis Nabi Saw. ada yang berkaitan dengan kedudukan Nabi Saw. sebagai rasul sekaligus sebagai basyar/manusia biasa.[26] Di antara hadis Nabi Saw. yang memposisikannya sebagai rasul dan basyar  adalah hadis tentang Nabi juga makan, menikah dan seterusnya:
حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ أَبِى مَرْيَمَ أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ أَخْبَرَنَا حُمَيْدُ بْنُ أَبِى حُمَيْدٍ الطَّوِيلُ أَنَّهُ سَمِعَ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ  رضى الله عنه - يَقُولُ جَاءَ ثَلاَثَةُ رَهْطٍ إِلَى بُيُوتِ أَزْوَاجِ النَّبِىِّ  صلى الله عليه وسلم  يَسْأَلُونَ عَنْ عِبَادَةِ النَّبِىِّ  صلى الله عليه وسلم  فَلَمَّا أُخْبِرُوا كَأَنَّهُمْ تَقَالُّوهَا فَقَالُوا وَأَيْنَ نَحْنُ مِنَ النَّبِىِّ  صلى الله عليه وسلم  قَدْ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَا تَأَخَّرَ . قَالَ أَحَدُهُمْ أَمَّا أَنَا فَإِنِّى أُصَلِّى اللَّيْلَ أَبَدًا . وَقَالَ آخَرُ أَنَا أَصُومُ الدَّهْرَ وَلاَ أُفْطِرُ . وَقَالَ آخَرُ أَنَا أَعْتَزِلُ النِّسَاءَ فَلاَ أَتَزَوَّجُ أَبَدًا . فَجَاءَ رَسُولُ اللَّهِ  صلى الله عليه وسلم  فَقَالَ : أَنْتُمُ الَّذِينَ قُلْتُمْ كَذَا وَكَذَا أَمَا وَاللَّهِ إِنِّى لأَخْشَاكُمْ لِلَّهِ وَأَتْقَاكُمْ لَهُ ، لَكِنِّى أَصُومُ وَأُفْطِرُ ، وَأُصَلِّى وَأَرْقُدُ وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ ، فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِى فَلَيْسَ مِنِّ[27]
Artinya:
”Ada 3 orang mendatangi rumah isteri-isteri Nabi Saw.dan bertanya tentang ibadah Nabi Saw. Dan setelah diberitahukan kepada mereka, sepertinya mereka merasa hal itu masi sedikit bagi mereka. Mereka berkata, “ibadah kita tidak ada apa-apanya dibanding Rasulullah Saw., bukankah beliau sudah diampuni dosa-dosanya yang telah lalu dan yang akan datang?” salah seorang dari mereka berkata, “sungguh, aku akan shalat malam selama-lamanya”. Kemudian yang lain berkata, “kalau aku, maka sungguh aku akan berpuasa al-Dahar (setahun penuh) dan aku yidak akan berbuka”. Dan yang lain lagi berkata, “aku akan menjauhi wanita dan tidak akan menikah selama-lamanya”. Kemudian datanglah Rasulullah Saw.kepada mereka seraya bertanya: “kalian berkata begini dan begitu. Adapun aku, demi Allah, adalah orang paling takut kepada Allah diantara kalian, dan juga paling bertaqwa.Aku berpuasa dan juga berbuka, aku shalat dan juga tidur serta menikahi wanita.Barang siapa yang benci sunnahku, maka bukanlah dari golonganku.”
            Hadis di atas memberikan pelajaran bagi siapapun agar senantiasa meningkatkan amal ibadah tanpa harus mengorbankan hak-haknya sebagai manusia biasa.Karena pada dasarnya Nabi Saw.juga melakukan hal yang biasa padahal dialah manusia yang paling bertaqwa di sisi Allah Swt. bahkan dalam Q.S. al-Kahfi: 110 dengan jelas mengungkapkan bahwa Nabi Saw. sama dengan manusia lainnya. Perbedaannya hanya terletak pada posisi Nabi Saw.yang menerima wahyu dari Allah Swt.
6.     Nabi Sebagai Manusia Biasa
            Daging kesukaan Nabi Saw.
Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dari Abdullah bin Ja’far. Demikian pula Thabarani. Kata al-Haitsami di dalamnya ada Sharm bin Hansyab, seorang yang ditinggalkan riwayatnya.
عَلَيْكُمْ بِلَحْمِ الظَّهْرِ، فَإِنَّهُ مِنْ أَطْيَبِهِ[28]
“hendaklah (kau makan) daging punggung sebab daging punggung itu termasuk daging yang paling baik.”
Nabi Saw. mengatakan hal tersebut ketika Rasulullah dihadiahi daging unta. Kemudian beliau makan demikian pula para sahabatnya dan disaat itulah Nabi mengatakan bahwa daging yang paling baik adalah daging punggung.[29]
Nabi mengtakan bahwa daging punggung itu adalah daging yang paling baik boleh jadi karena alasannya Nabi suka makan daging punggung. Makanya Nabi mengatakan hal yang demikian yang pada waktu itu posisi Nabi sebagai manusia biasa sebagai mana lazimnya manusia yang lain. Jika dilihat posisi Nabi sebagai manusia biasa maka tidak ada bedanya dengan manusia yang lain pada umumnya. Misalnya, Nabi bisa duduk di atas tanah, di atas tikar, atau diatas lantai. Ia bisa berjalan dengan telanjang kaki maupun memakai alas kaki. Ia bisa berjalan dengan menggandeng tangan sahabatnya. Kalau makan Nabi duduk dengan menekuk kedua lututnya atau berjongkok. Setiap kali akan makan Nabi mencuci kedua tangannya dan tidak suka makan yang panas hingga makanan itu tidak terlalu panas. Nabi suka minuman yang minuman yang manis dan dingin bahkan dikatakan pula kalau ada hidangan kambing maka ia akan memilih bagian punggungnya. Tak perna ia mengomel dalam persoalan makanan, kalau suka ia makan, dan kalau tidak suka ia tinggalkan. Contoh yang disebutkan di atas tidak berbedah sebagai mana yang dilakukan manusia pada umumnya.[30]
           
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad,Arifuddin.Paradigma BaruMemahami Hadis Nabi,Cet. I; Jakarta: Renaisan, 2005.
Ahmad,Arifuddin.Metodologi Pemahaman Hadis, Makassar: Alauddin UniversityPress, th. 2012.
Anshar,Muhammad Yusran.Hadis Pilihan Matan Hadis Arba’in, Cet; XV, Semanggi: At-Tibyan, 2010.
al-Bayh}a>qiy,Abu Bakr Ahman bin al-Husaini bin ‘Aliy.Al-Sunan al-Kubray wa fiy z|i>lih al-Jawhar al-Naqiy, Juz 2, India: Majlis da>irah al-Ma’a>rif al-Niz}a>miyyah al-Ka>inah, th. 1344.
al-Damsyiqi,Ibnu Hamzah al-Husaini al-Hana>fi.Asbabul Wurud, Jilid 2, Cet.; VII, Jakarta: Kalam Mulia, th. 2009.
al-Hami>diy,Muhammad bin Fatu>h.Al-Jam’u bayna al-s|ahi>hayn al-Bukha>ri wa Muslim, Juz 3, Bairut: Da>r al-Nasyr, th. 1423.
bin Hasana,s|a>lih bin Muhammad.Majemu’ah al-Qawa>id al-Bahiyyah ‘alay manz}u>mah al-Qawa>id al-Bahiyyah, Juz 1, t.t.: Da>r al-Sami>’i, th. 1420.
Husain,Muhammad.Muhammad Nabi Segalah Zaman, Cet; I, Jakarta: Grafindo Khazanah Ilmu, th. 2008.
Ismail,Muhammad Syuhudi.Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual, Cet. 1; Jakarta: PT. Bulan Bintang, th. 1994.
al-Ja’fay,Muhammad bin Isma>’il abu ‘Abdilla>hi al-Bukha>riy.Al-Ja>mi’u al-Shahi>h al-Mukhtashar, Jilid I,Bairut: Da>ru bnu Kas|i>r, th. 1407.
al-Naysa>bu>riy,Abu al-Husaini Muslim al-Hajja>j bin Muslim al-Qasyi>riy.Ja>mi’u al-Shi>h, Juz  6, Bairut: Da>ru al-Afa>qi Al-Jadi>dati, t.th.
al-Nasa>i,Abu ‘Abdu al-Rahman Ahmad bin Syu’aib.Sunan al-Nasa>i bi Syarh al-Syut{iy wa Hasyiyati al-Sanadiy, Juz 8, Bairut: dar al-Ma’rifah, th. 1420.
al-tami>mi,Muhammad bin Hibba>n bin Ahmad abu Ha>tim.S|ahih ibnu Hibba>n bi tarti>b ibnu bi al-Ba>n, Juz 12, Bairut: Muassasah al-Risa>lah, th. 1414.
Al-T}aba>ni, Al-Mu’jam al-Kabi>r, Juz 19, t.d.
 


[1]Arifuddin Ahmad, Paradigma BaruMemahami Hadis Nabi,(Cet. I; Jakarta: Renaisan, 2005 M), h. 177.
[2]Muhammad bin Isma>’il abu ‘Abdilla>hi al-Bukha>riy al-Ja’fay, Al-Ja>mi’u al-Shahi>h al-Mukhtashar, Jilid I,( Bairut: Da>ru bnu Kas|i>r, th. 1407 H), h. 128.
[3]Arifuddin Ahmad,Op. cit; h. 179.
[4] Abu al-Husaini Muslim al-Hajja>j bin Muslim al-Qasyi>riy al-Naysa>bu>riy, Ja>mi’u al-Shi>h, Juz  6, (Bairut: Da>ru al-Afa>qi Al-Jadi>dati, t.th.) h. 161.
[5] Muhammad Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual, (Cet. 1; Jakarta: PT. Bulan Bintang, th. 1994 M), h. 36.
[6]­ibid., h. 37.
[7] s|a>lih bin Muhammad bin Hasana, Majemu’ah al-Qawa>id al-Bahiyyah ‘alay manz}u>mah al-Qawa>id al-Bahiyyah, Juz 1, (t.t.: Da>r al-Sami>’i, th. 1420). h. 112.
[8]Arifuddin Ahmad,Op. cit; h. 181.
[9] Ibnu Hamzah al-Husaini al-Hana>fi al-Damsyiqi, Asbabul Wurud, Jilid 2, ( Cet.; VII, Jakarta: Kalam Mulia, th. 2009), h. 41.
[10] Abu Bakr Ahman bin al-Husaini bin ‘Aliy al-Bayh}a>qiy, Al-Sunan al-Kubray wa fiy z|i>lih al-Jawhar al-Naqiy, Juz 2, (India: Majlis da>irah al-Ma’a>rif al-Niz}a>miyyah al-Ka>inah, th. 1344). H. 55.

[11]Ibid.,Juz 43, h. 109.
[12]Arifuddin Ahmad,Op. cit; h. 183.
[13] al-Husaini Muslim al-Hajja>j bin Muslim al-Qasyi>riy al-Naysa>bu>riy, Op. Cit., Juz 5, h. 1451.
[14]Ibid.
[15]Arifuddin Ahmad,Op. cit; h. 184.
[16]Ibid.
[17]Muhammad bin Isma>’il abu ‘Abdilla>h al-Bukha>riy al-Ja’fay, Op. Cit., Juz 6, h. 2626.
[18]Arifuddin Ahmad,Op. cit; h. 185-186.
[19]Ibid.
[20] Abu ‘Abdu al-Rahman Ahmad bin Syu’aib al-Nasa>i, Sunan al-Nasa>i bi Syarh al-Syut{iy wa Hasyiyati al-Sanadiy, Juz 8, (Bairut: dar al-Ma’rifah, th. 1420 H), h. 445.

[21] Muhammad bin Hibba>n bin Ahmad abu Ha>tim al-tami>mi, S|ahih ibnu Hibba>n bi tarti>b ibnu bi al-Ba>n, Juz 12, (Bairut: Muassasah al-Risa>lah, th. 1414 H), h. 362.
[22]Arifuddin Ahmad,Op. cit; h. 187.
[23] Muhammad bin Fatu>h al-Hami>diy, Al-Jam’u bayna al-s|ahi>hayn al-Bukha>ri wa Muslim, Juz 3, (Bairut: Da>r al-Nasyr, th. 1423), h. 318.
[24] Muhammad Yusran Ans|ar, Hadis Pilihan Matan Hadis Arba’in, (Cet; XV, Semanggi: At-Tibyan, 2010),  h. 29.
[25]Arifuddin Ahmad, Metodologi Pemahaman Hadis, (Makassar: Alauddin UniversityPress, th. 2012), h. 148.
[26]Ibid., h. 155.
[27]Muhammad bin Isma>il bin Ibra<him bin Mugi>rah al-Bukha>ri,Op. Cit., Juz 17,h. 84.
[28] Al-T}aba>ni, Al-Mu’jam al-Kabi>r, Juz 19, [t.d.], h. 10.
[29] Ibnu Hamzah al-Husaini al-Hana>fi al-Damsyiqi, Op. Cit., Jilid 3, h. 24.
[30] Muhammad Husain, Muhammad Nabi Segalah Zaman, (Cet; I, Jakarta: Grafindo Khazanah Ilmu, th. 2008), h. 79-80.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar