BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam
memahami hadis, terkadang dipahami secara tekstual dan terkadang dipahami
secara kontekstual. Namun dikalangan masyarakat rata-rata memahami hadis dengan
cara tekstual hingga mereka harus meneladani semua apa-apa yang pernah
dikerjakan oleh Nabi yang disampaikan melalui sabdanya ataupun yang disaksikan
oleh sahabat-sahabat beliau. Padahal
perlu diketahui posisi Nabi,
ketika mengatakan sesuatu ataupun mengerjakan sesuatu. Misalnya, apakah
posisi Nabi pada waktu itu kapasitasnya sebagai Rasul atau sebagai manusia
biasa ataupun sebagai pribadi Nabi sendiri. Karena ada diantara perkataan atau
perbuatan Nabi tidak semestinya diteladani jika dilihat dari posisi Nabi pada
saat itu.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Nabi
sebagai Rasulullah
2.
Nabi
sebagai kepala negara atau pemimpin masyarakat
3.
Nabi
sebagai hakim
4.
Nabi
sebagai pribadi
5.
Nabi
sebagi rasul dan sebagai manusia biasa
6.
Nabi
sebagai manusia biasa
BAB II
PEMBAHASAN
Menurut
Mahmud Syaltud, mengetahui tingkah laku Nabi Saw. dengan mengaitkan pada fungsi
Nabi tatkala beliau lakukan sangat besar manfaatnya. Ulama yang pertama kali
yang memahami kandungan hadis Nabi dengan menghubungkan fungsi Nabi Saw. adalah
Imam Syihab al-Din al-Qarafi (w. 694 H.) dalam kitabnya yang berjudul: al-Furu>q
dan kitab al-Ihka>m fi Tamyi>z Fata>wa> min al-Ahka>m. Dalam
kitab tersebut, al-Qara>fi> melakukan kajian tentang ucapan dan perbuatan
Rasulullah Saw. beserta perbedaan kondisinya, antara beliau sebagai pemimpin,
hakim dan pemberi fatwa atau penyampai ajaran
dari Allah Swt. Hal itu berpengaruh pada keumuman hukum dan
kekhususannya serta universalnya atau temporernya.[1]
1.
Sebagai Rasulullah
Ada banyak
hadis Nabi, bahkan kalangan umat Islam berpendapat bahwa keseluruhan hadis Nabi
adalah berkaitan dengan kedudukan Nabi Saw. sebagai Rsulullah antara lain:
أخبرنا جابر بن عبد الله : أن النبي
صلى الله عليه و سلم قال ( أعطيت خمسا لم يعطهن أحد قبلي نصرت بالرعب مسيرة شهر
وجعلت لي الأرض مسجدا وطهورا فأيما رجل من أمتي أدركته الصلاة فليصل وأحلت لي
المغانم ولم تحل لأحد قبلي وأعطيت الشفاعة وكان النبي يبعث إلى قومه خاصة وبعثت
إلى الناس عامة[2]
Artinya:
“Jabir telah menceritakan bahwasanya
Rasulullah Saw. bersabda: “saya dikaruniai (oleh Allah) lima macam hal, yang
(kelimanya) tidak pernah dikaruniakan kepada selain saya. Saya ditolong (dalam
peperangan), sehingga perasaan musuh (dalam peperangan) menjadi gentar
(menghadapi saya) dalam masa peperangan yang memakan waktu sekitar sebulan,
bumi dijadikan sebagai tempat shalat dan suci bagi saya dan karenya, siapa saja
dari umatku mendapatkan waktu shalat, maka hendaklah dia shalat (di bumi mana
saja ia berada); dihalalkan bagi saya harta rampasan perang, sedang sebelum
saya harta tersebut diharamkan; saya dikaruniai kemampuan memberi syafaat; dan
Nabi (sebelum saya) dibangkit untuk kaum (bangsa) tertentu, sedangkan saya
dibangkit untuk manusia secara umum (seluruhnya).”
Secara
tekstual, hadis tersebut memberi informasi tentang 5 keutamaan Nabi Muhammad
dibandingkan dengan para Nabi sebelumnya. Pernyataan itu bersiifat universal.
Nabi Muhammad tatkala menyampaikan pernyataan itu berada pada kapasitasnya
sebagai Rasulullah sebab informasi yang beliau sampaikan tidak mungkin
didasarkan pada pertimbangan akal, tetapi didasarkan atas petunjuk wahyu Allah.
Pertimbangan yang demikian itu tidaklah berarti bahwa dalam fungsi Nabi Saw.
sebagai Rasulullah pertimbangan rasio tidak dikenal sama sekali. Dengan
demikian, salah satu indikator sebuah hadis Nabi dinyatakan oleh Nabi Saw.
dalam kapasitasnya sebagai Rasulullah adalah hadis bersangkutan tidak mungkin
atau sulit didasarkan atas pertimbangan rasio, tetapi semata-mata atas
pentunjuk wahyu Allah Swt.[3]
Hadis nabi
tentang pelukis :
عَنْ
عَبْدِ اللَّهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم: إِنَّ أَشَدَّ
النَّاسِ عَذَابًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ الْمُصَوِّرُونَ[4]
Artinya :
“(Hadis riwayat) dari Abdullah bin
Mas’u>d, Rasulullah Saw. telah bersabda: “sesungguhnya orang-orang yang
menerima siksaan paling dahsyat di hadirat Allah pada hari kiamat kelak ialah
para pelukis” (HR. Bukhari, Muslim dan Ahmad).
Berbagai hadis
Nabi yang berisi larangan melukis dan memajang lukisan makhluk bernyawa itu
dinyatakan dalam kapasitas beliau sebagai Rasulullah. Dikatakan demikian,
tegasnya, karena hadis itu dikemukakan berita tentang nasib masa depan para
pelukis dihari kiamat kelak. Dengan demikian, hadis yang mengndung berita
masa depan dihari kiamat dapat dijadikan sebagai salah satu indikator sebuah
hadis dinyatakan oleh Nabi Saw. dalam kapasitas beliau sebagai Rasulullah.
bemakhluk yang
bernyawa (yakni manusia dan hewan), maka tidak mengherankan bila pemahaman
secara tekstual cukup banyak pendukungnya, khususnya pada zaman klasik.dengan
demikian dapat pula dipahami latar belakang yang menjadikan para pelukismuslim
zaman klasik mengarahkan karya-karya lukis mereka kedalam bentuk kaligrafi,
obyek tumbuh-tumbuhan, dan pemandangan alam.[5]
Larangan
melukis dan memajang lukisan yang dikemukakan oleh Nabi itu mempunyai latar
belakang hukum (‘illat al-Hukum). Pada zaman Nabi, masyarakat
belum lama terlepas dari kepercayaan menyekutukan Allah, yakni penyembahan
kepada patung dan yang semacamnya. Dalam kapasitasnya sebagai Rasulullah, Nabi
Muhammad berusaha keras agar umat Islam terlepas dari kemusyrikan tersebut.
Salah satu cara yang ditempuh ialah dengan mengeluarkan larangan dalam
pembuatan dan pemajangan lukisan. Yang diancam sikasaan berat tidak hanya yang
membuat lukisan saja, tetapi juga yang memajangnya.[6]
Jika ‘illat
al-Hukum-nya memang demikian, maka pada saat umat Islam tidak lagi khawatir
terjerumus kedalam kemusyrikan, khususnya kedalam bentuk penyembahan terhadap
lukisan, maka membuat dan memajang lukisan dibolehkan. Kaidah usul fiqih
menyatakan:
الحكم
يدور مع علته وجودا وعدما[7]
Artinya:
“Hukum
itu berputar pada ‘illat-nya, keberadaan dan ketiadaannya.”
Maksudnya,
hukum itu ditentukan oleh ‘illat-nya. Bila ‘illat-nya ada, maka
hukumnya tetap; dan bila ‘iilat-nya tidak ada, maka hukumnya pun
brubah.[8]
Nabi Saw. yang
paling bertaqwa:
إن
أتقاكم لله وأعلمكم بالله أنا
Artinya:
“sesungguhnya
yang paling bertaqwa di antara kalian dan yang paling mengetahui Allah adalah
aku.”
Karena
berdasarkan latar belakang ayat ini Aisya menceritakan bahwa pada waktu itu
Rasulullah memerintahkan para sahabat, mereka memerintah melaksanakan perbuatan
yang sanggup mereka kerjakan. Kemudian ada orang yang berkata kepada Nabi,
“sesungguhnya keadaan kami tiadalah seperti engkau wahai Rasulullah.
Sesungguhnya Allah telah Mengampuni dosamu yang terdahulu dan dosamu yang akan
datang. Mendengar ucapannya itu Rasulullah marah sehingga terlihat kemarahan
itu pada wajahnya. Kemudian Rasulullah mengatakan hal yang demikian.[9]
Melihat hadis di atas, hadis
tersebut kelihatan sangat jelas bahwa ketika Nabi mengucapkan hal yang demikian
maka posisi Nabi pada waktu itu jelas sebagai Rasul.
2. Sebagai
kepala negara atau pemimpin masyarakat
Contoh hadis
Nabi dalam kaitannya dengan kedudukan Nabi sebagai kepala negara atau pemimpin
masyarakat adalah :
a.
Dari Abdulla
Bin Umar
عَنْ
عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم لاَ يَزَالُ هَذَا الأَمْرُ فِى قُرَيْشٍ مَا
بَقِىَ مِنَ النَّاسِ اثْنَان[10]
Artinya:
“Dari Abdullah bin Umar, Rasulullah
Saw. bersabda: ‘Dalam urusan (beragama, bermasyarakat dan bernegara) ini, orang
Quraisy selalu menjadi pemimpinnya) selama mereka masih ada walaupun tinggal
dua orang saja.”
b.
Hadis Nabi dari
Abu Barzah
أَبَا
بَرْزَةَ يَرْفَعُهُ إِلَى النَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: الأَئِمَّةُ مِنْ قُرَيْشٍ إِذَا اسْتُرْحِمُوا
رَحِمُوا وَإِذَا عَاهَدُوا وَفَوْا وَإِذَا حَكَمُوا عَدَلُوا فَمَنْ لَمْ
يَفْعَلْ ذَلِكَ مِنْهُمْ فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللَّهِ وَالْمَلاَئِكَةِ
وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ[11]
Artinya :
“Abu Barzah memarfu’kan hadis kepada Rasulullah
Saw., sabdanya: “ Pemimpin itu dari suku Quraisy. Pada segi-segi mereka
dituntut untuk berlaku santun, maka mereka berlaku santun; dan kalau mereka
menjadi hakim, maka mereka berlaku adil; kalau mereka berjanji, mereka penuhi.
Kalau ada dari kalangan mereka yang tidak berlaku demikian, maka orang itu
memperoleh laknat dari Allah, para malaikat, dan umat manusia seluruhnya.
Apabila kandungan hadis-hadis di atas
dihubungkan dengan fungsi Nabi, maka dapat dinyatakan bahwa pada saat
hadis-hadis itu dinyatakan , Nabi berada dalam fungsinya sebagai kepala negara
atau pemimpin masyarakat. Yang menjadi indikasi (qarinah) antara lain
adalah ketetapan yang bersifat primordial, sangat mengutamakan suku Quraisy.
Hal itu tidak sejalan dengan, misalnya, petunjuk al-Quran yang menyatakan bahwa`\yang paling utama di sisi Allah adalah yang paling bertaqwa.
Mengutamakan suku Quraisy memang bukan ajaran dasar dari agama Islam yang
dibawa oleh Nabi.Hadis itu dikemukakan sebagai ajaran yang bersifa temporal.[12]
Menurut ibnu Khadum hak kepemimpinan bukan pada etnisquraisynya, melainkan kepada
kemampuannya kewibawaannya.Pada masa Nabi, orang yang memenuhi syarat sebagai seorang pemimpin dan dipatuhi oleh masyarakat yang di pimpinnya adalah dari kalangan Quraisy
dan pantas diangkat sebagai pemimpin pada waktu itu adalah orang dari kalangan
Quraisy.[13]Apabila suatu masa ada
orang bukan suku quraisy memiliki kewibawaan dan kemampuan untuk menjadi seorang
pemimpin, maka dia dapat ditetapkan sebagai
pemimpin termasuk kepala negara.[14]
Dalam sejarah,
pemahaman secara tekstual terhadap hadis-hadis di atas dan semakna dengannya
telah menjadi pendapat umum dan karenanya menjadi pegangan para penguasa dan
ummat Islam selama berabad-abad.Mereka memandang bahwa hadis-hadis tersebut di
kemukakan oleh Nabi dalam kapasitas beliau sebagai Rasulullah dan berlaku
universal.Misalnya al-qurtubi berpendapat bahwa kepala Negara di isyaratkan
harus dari suku quraisy.Sekiranya pada suatu saat orang bersuku quraisy tinggal
seorang saja, maka dialah yang berhak menjadi kepala Negara.[15]
Ibnu Hajar, dengan mengutip pandangan ulama menepis kenyataan sejarah bahwa telah ada penguasa yang menyebut diri mereka sebagai khalifah, padahal mereka
bukanlah dari suku Quraisy, mengatakan bahwa sebutan khalifah tersebut
tidak dapat diartikan sebagai kepala Negara (al-imamah al-‘uzhma). Bahkan, tidak
seorang pun, kecuali dari kalangan Muktazilah dan Khawarij, yang membolehkan
jabatan Negara diduduku oleh orang yang tidak berasal dari seku Quraisy.[16]
Dengan demikian, pemahaman terhadap hadis yang
dinyatakan oleh Nabi dalam kapasitas beliau sebagai kepala Negara atau pemimpin
masyarakat, seperti contoh hadis di
atas, cenderung dipahami secara kontentestual.
3.
Sebagai Hakim
Adakalanya suatu hadis dinyatakan Nabi Saw.dalam
kapasitasnya sebagai hakim atau manusia biasa. Sebagai contoh adalah hadis Nabi
tentang keterbatasan pengetahuan hakim, berbunyi:
أن أم سلمة زوج النبي صلى الله عليه
و سلم أخبرتها : عن رسول الله صلى الله
عليه و سلم أنه سمع خصومة بباب حجرته فخرج إليهم فقال: إنما
أنا بشر وإنه يأتيني الخصم فلعل بعضكم أن يكون أبلغ من بعض فأحسب أنه صادق فأقضي
له بذلك فمن قضيت له بحق مسلم فإنما هي قطعة من النار فليأخذها أو ليتركها [17]
Artinya:
“bahwasanya Ummu Salamah ra., istri Nabi Saw., bahwasanya beliau mendengarkan
pentengkaran di (muka) pintu kamar beliau. Maka beliau keluar (dari kamar
untuk) menemui mereka, kemudian belau bersabda: “Sesungguhnya saya ini manusia
biasa. Sesungguhnya orang yang terlibat pertengkaran mendatangi saya, maka
mungkin saja sebagian dari kamu (orang yang bertengkar) lebih mampu
(berargumentasi) dari pada pihak lainnya, sehingga saya menduga bahwa dialah
yang benar, lalu saya putuskan (perkara itu) dengan memenangkannya. Barang
siapa yang saya menangkan (perkaranya) dengan mengambil hak saudaranya sesama Muslim, maka sesungguhnya keputusan itu adalah potongan bara api neraka
yang saya berikan kepadanya; (terserah apakah) dia harus mengambilnya atau
menolaknya.”
Hadis tersebut memberi petunjuk atas pengakuan Nabi
Saw.sebagaai manusia biasa dan sebagai hakim. Dalam melaksanakan kedua fungsi
itu, nabi mengaku memiliki kekurangan, munkin saja dapat dikelabui oleh
kepintaran pihak yang berperkara dalam mengemukakan argument-argumen untu
memenangkan perkaranya, walaupun sesungguhnya apa yang dikatannya itu tidak
benar. Dalam mengadili perkara, pengetahuan Nabi terbatas pada apa yang
dinyatan oleh pihak-pihak yang berperkara beserta alat-alat bukti yang mereka
ajukan. Bila keputusan Nabi ternyata salah sebagai akibat dari kepintaran pihak
yang berperkara, maka dosanya ditanggung oleh pihak yang telah berhasil
mengelabui Nabi terswebut.Keterangan ini sekaligus menepis anggapan bahwa Nabi
Saw.tidak perna salah. Hanya saja, kesalahan yang dilakukan oleh Nabi
Saw.senantiasa mendapt teguran dan petunjuk dari Allah Swt.[18]
Apa yang berlaku bagi hakim sebagaimana yang
dikemukakan oleh hadis Nabi tersebut bersifat universal. Akan tetapi, keputusan
yanh ditetapkan oleh hakimdisatu segi mungkin bersifat universal, temporal
ataupun local, sedang disegi yang lain, keputusan hakim itu mungkin benar dan
mungkin tidak benar.Kesalahan keputusan hakim terjadi mungkin karena keterangan
yang disampaikan oleh pihak yang berperkara tidak benar dan mungkin karena
kesalahan hakim dalam berijtihad.Dengan demikian, hadis Nabi di atas dinyatakan
oleh Nabi Saw dalam kapasitas beliau sebagai hakim.[19]
Contoh lain Nabi pernah bersabda:
عَنْ عَائِشَةَأَنَّ
قُرَيْشًا أَهَمَّهُمْ شَأْنُ الْمَخْزُومِيَّةِ الَّتِي سَرَقَتْ فَقَالُوا مَنْ
يُكَلِّمُ فِيهَا قَالُوا مَنْ يَجْتَرِئُ عَلَيْهِ إِلَّا أُسَامَةُ بْنُ زَيْدٍ
حِبُّ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَكَلَّمَهُ أُسَامَةُ
فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّمَا هَلَكَ
الَّذِينَ مَنْ قَبْلِكُمْ أَنَّهُمْ كَانُوا إِذَا سَرَقَ فِيهِمْ الشَّرِيفُ
تَرَكُوهُ وَإِذَا سَرَقَ فِيهِمْ الضَّعِيفُ أَقَامُوا عَلَيْهِ الْحَدَّ وَايْمُ
اللَّهِ لَوْ سرَقَتْ فَاطِمَةُ بِنْتُ مُحَمَّدٍ لَقَطَعْتُ يَدَهَا[20]
Artinya:
“Sesungguhnya bangsa Quraisy
adalah suku yang terpandang yang jika mencuri maka mereka berkata “siapa yang
akan melaporkannya”. Mereka berkata “tidak ada yang memberikan hukuman kecuali
Usamah bin Zaid (Zaid adalah salah seorang, orang yang dicintai oleh Nabi) Maka
Zaid menceritakannya kepada Nabi Saw. dan Nabi Saw. bersabda: “celakalah orang-orang
sebelum kalian, sesungguhnya jika yang mencuri adalah orang-orang yang
terpandang maka dibiarkan begitu saja dan jika yang mencuri adalah orang-orang
lemah maka hukuman itu dilaksanakan, demi Allah sekiranya Fatimah binti
Muhammad mencuri maka aku akan potong tangannya.”
Hadis diatas menjelaskan bahwa
ketika Nabi Saw. bertindak sebagai hakim maka beliau tidak pilih kasih, bahkan
beliau mengatakan “seandainya jika anak saya sendiri Fatimah telah mencuri maka
aku akan potong tangannya”. Seandainya pada waktu itu Nabi Saw. posisinya
sebagai seorang ayah maka Nabi Saw. tak akan berani mengatakan bahwa Nabi akan
potong tangan Fatimah seandainya ia mencuri. Karena sebagai seorang ayah Nabi
Saw. pasti memiliki rasa kasih sayang yang besar bertahadap anaknya
4.
Sebagai Pribadi
Sebagai contoh hadis Nabi yang berpegangan dalam kapasitas beliau sebagai manusia biasa adalah
hadis Nabi tentang cara Nabi Saw. berbaring:
عَنْ عَبَّادِ بْنِ تَمِيمٍ عَنْ
عَمِّهِ أَنَّهُ رَأَى رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
مُسْتَلْقِيًا فِي الْمَسْجِدِ وَاضِعًا إِحْدَى رِجْلَيْهِ عَلَى الْأُخْرَى[21]
Artinya:
Dari ‘Ubaid bin Tami>m dari pamannya (‘Abdullah bin Zaid) bahwasanya
dia telah melihat Rasulullah Saw. berbaring dalam masjid sambil meletakkan kaki
yang satu di atas kaki yang lain. (HR. Bukhari, Muslim dan Ahmad).
Secara
tekstual, hadis diatas menunjukkan bahwa cara Nabi Saw. baring dengan posisi
meletakkan kaki yang satu di atas kaki yang lain. Pada saat itu tampaknya Nabi
sedang merasa nyaman dengan berbaring dengan posisi seperti yang digambarkan
oleh hadis di atas. Perbuatan yang dilakukan oleh Naabi tersebut dalam
kapasitas sebagai pribadi Nabi Saw. [22]
Hadis Nabi
ketika Nabi Saw. shalat hingga kakinya bengkak.
ان كان النبي صلى الله عليه وسلم ليقوم
أو ليصلي حتى ترم قدماه أو ساقاه فيقال له فيقول أفلا أكون عبداً شكوراً[23]
Jika hadis di atas dipahami secara tekstual
maka pemahamannya adalah sestiap umat islam yang ingin mendirikan sunnah Nabi
maka ia harus bangun malam untuk beribadah kepada Allah hingga kakinya bengkak,
namun disisi lain Rasulullah Saw. tidak memperkenankan umatnya memaksakan diri
di dalam beribadah melebihi kemampuannya. Sebagaimana
hadis riwayat al-Bukhari dari Muslim dengan sabdanya :
ما نهيتكم عنه فاجتنبوه و ما امرتكم به فأتوا منه[24]
Artinya:
“apa-apa
yang telah aku larang untukmu maka jauhilah, dan apa-apa yang aku perintahkan
untukmu maka kerjakanlah semampumu.”
Dengan demikian, ibadah yang
dilakukan Nabi Saw. hingga kakinya bengkak merupakan keinginan pribadi Nabi
Saw. sebagai bentuk rasa syukurnya kepada Allah Swt. yang telah memberikan
banyak nikmat dan karunia kepadanya. Sehingga apa yang dilakukan Nabi Saw.
tidak harus ditiru oleh sahabat dan umatnya.[25]
5.
Muhammad sebagai Rasul Saw. dan sebagai manusia biasa
Sebagian hadis Nabi Saw. ada yang berkaitan dengan
kedudukan Nabi Saw. sebagai rasul sekaligus sebagai basyar/manusia
biasa.[26] Di antara hadis Nabi Saw.
yang memposisikannya sebagai rasul dan basyar adalah hadis tentang Nabi juga makan, menikah
dan seterusnya:
حَدَّثَنَا
سَعِيدُ بْنُ أَبِى مَرْيَمَ أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ أَخْبَرَنَا
حُمَيْدُ بْنُ أَبِى حُمَيْدٍ الطَّوِيلُ أَنَّهُ سَمِعَ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ رضى الله عنه - يَقُولُ جَاءَ ثَلاَثَةُ رَهْطٍ
إِلَى بُيُوتِ أَزْوَاجِ النَّبِىِّ صلى
الله عليه وسلم يَسْأَلُونَ عَنْ
عِبَادَةِ النَّبِىِّ صلى الله عليه
وسلم فَلَمَّا أُخْبِرُوا كَأَنَّهُمْ
تَقَالُّوهَا فَقَالُوا وَأَيْنَ نَحْنُ مِنَ النَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم قَدْ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
وَمَا تَأَخَّرَ . قَالَ أَحَدُهُمْ أَمَّا أَنَا فَإِنِّى أُصَلِّى اللَّيْلَ
أَبَدًا . وَقَالَ آخَرُ أَنَا أَصُومُ الدَّهْرَ وَلاَ أُفْطِرُ . وَقَالَ آخَرُ
أَنَا أَعْتَزِلُ النِّسَاءَ فَلاَ أَتَزَوَّجُ أَبَدًا . فَجَاءَ رَسُولُ
اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ : أَنْتُمُ الَّذِينَ قُلْتُمْ كَذَا
وَكَذَا أَمَا وَاللَّهِ إِنِّى لأَخْشَاكُمْ لِلَّهِ وَأَتْقَاكُمْ لَهُ ،
لَكِنِّى أَصُومُ وَأُفْطِرُ ، وَأُصَلِّى وَأَرْقُدُ وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ ،
فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِى فَلَيْسَ مِنِّ[27]
Artinya:
”Ada 3 orang
mendatangi rumah isteri-isteri Nabi Saw.dan bertanya tentang ibadah Nabi Saw.
Dan setelah diberitahukan kepada
mereka, sepertinya mereka merasa hal itu masi sedikit bagi mereka. Mereka
berkata, “ibadah kita tidak ada apa-apanya dibanding Rasulullah Saw., bukankah
beliau sudah diampuni dosa-dosanya yang telah lalu dan yang akan datang?” salah seorang
dari mereka berkata, “sungguh, aku akan shalat malam selama-lamanya”. Kemudian
yang lain berkata, “kalau aku, maka sungguh aku akan berpuasa al-Dahar (setahun penuh) dan aku
yidak akan berbuka”. Dan yang lain lagi berkata, “aku akan menjauhi wanita dan
tidak akan menikah selama-lamanya”. Kemudian datanglah Rasulullah Saw.kepada
mereka seraya bertanya: “kalian berkata begini dan begitu. Adapun aku, demi
Allah, adalah orang paling takut kepada Allah diantara kalian, dan juga paling
bertaqwa.Aku berpuasa dan juga berbuka, aku shalat dan juga tidur serta
menikahi wanita.Barang siapa yang benci sunnahku, maka bukanlah dari golonganku.”
Hadis di atas memberikan pelajaran
bagi siapapun agar senantiasa meningkatkan amal ibadah tanpa harus mengorbankan
hak-haknya sebagai manusia biasa.Karena pada dasarnya Nabi Saw.juga melakukan
hal yang biasa padahal dialah manusia yang paling bertaqwa di sisi Allah Swt.
bahkan dalam Q.S. al-Kahfi: 110 dengan jelas mengungkapkan bahwa Nabi Saw. sama
dengan manusia lainnya. Perbedaannya hanya terletak pada posisi Nabi Saw.yang
menerima wahyu dari Allah Swt.
6.
Nabi Sebagai Manusia Biasa
Daging
kesukaan Nabi Saw.
Diriwayatkan oleh Abu
Nu’aim dari Abdullah bin Ja’far. Demikian pula Thabarani. Kata al-Haitsami di
dalamnya ada Sharm bin Hansyab, seorang yang ditinggalkan riwayatnya.
عَلَيْكُمْ
بِلَحْمِ الظَّهْرِ، فَإِنَّهُ مِنْ أَطْيَبِهِ[28]
“hendaklah (kau makan) daging punggung sebab
daging punggung itu termasuk daging yang paling baik.”
Nabi Saw. mengatakan hal
tersebut ketika Rasulullah dihadiahi daging unta. Kemudian beliau makan
demikian pula para sahabatnya dan disaat itulah Nabi mengatakan bahwa daging
yang paling baik adalah daging punggung.[29]
Nabi mengtakan bahwa
daging punggung itu adalah daging yang paling baik boleh jadi karena alasannya
Nabi suka makan daging punggung. Makanya Nabi mengatakan hal yang demikian yang
pada waktu itu posisi Nabi sebagai manusia biasa sebagai mana lazimnya manusia
yang lain. Jika dilihat posisi Nabi sebagai manusia biasa maka tidak ada
bedanya dengan manusia yang lain pada umumnya. Misalnya, Nabi bisa duduk di
atas tanah, di atas tikar, atau diatas lantai. Ia bisa berjalan dengan
telanjang kaki maupun memakai alas kaki. Ia bisa berjalan dengan menggandeng
tangan sahabatnya. Kalau makan Nabi duduk dengan menekuk kedua lututnya atau
berjongkok. Setiap kali akan makan Nabi mencuci kedua tangannya dan tidak suka
makan yang panas hingga makanan itu tidak terlalu panas. Nabi suka minuman yang
minuman yang manis dan dingin bahkan dikatakan pula kalau ada hidangan kambing
maka ia akan memilih bagian punggungnya. Tak perna ia mengomel dalam persoalan
makanan, kalau suka ia makan, dan kalau tidak suka ia tinggalkan. Contoh yang
disebutkan di atas tidak berbedah sebagai mana yang dilakukan manusia pada
umumnya.[30]
DAFTAR
PUSTAKA
Ahmad,Arifuddin.Paradigma BaruMemahami Hadis Nabi,Cet. I;
Jakarta: Renaisan, 2005.
Ahmad,Arifuddin.Metodologi Pemahaman Hadis, Makassar:
Alauddin UniversityPress, th. 2012.
Anshar,Muhammad
Yusran.Hadis Pilihan Matan Hadis Arba’in, Cet; XV, Semanggi: At-Tibyan,
2010.
al-Bayh}a>qiy,Abu
Bakr Ahman bin al-Husaini bin ‘Aliy.Al-Sunan al-Kubray wa fiy z|i>lih
al-Jawhar al-Naqiy, Juz 2, India: Majlis da>irah al-Ma’a>rif
al-Niz}a>miyyah al-Ka>inah, th. 1344.
al-Damsyiqi,Ibnu
Hamzah al-Husaini al-Hana>fi.Asbabul Wurud, Jilid 2, Cet.; VII,
Jakarta: Kalam Mulia, th. 2009.
al-Hami>diy,Muhammad
bin Fatu>h.Al-Jam’u bayna al-s|ahi>hayn al-Bukha>ri wa Muslim, Juz
3, Bairut: Da>r al-Nasyr, th. 1423.
bin
Hasana,s|a>lih bin Muhammad.Majemu’ah al-Qawa>id al-Bahiyyah ‘alay
manz}u>mah al-Qawa>id al-Bahiyyah, Juz 1, t.t.: Da>r al-Sami>’i,
th. 1420.
Husain,Muhammad.Muhammad
Nabi Segalah Zaman, Cet; I, Jakarta: Grafindo Khazanah Ilmu, th. 2008.
Ismail,Muhammad
Syuhudi.Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual, Cet. 1; Jakarta: PT.
Bulan Bintang, th. 1994.
al-Ja’fay,Muhammad bin Isma>’il abu ‘Abdilla>hi
al-Bukha>riy.Al-Ja>mi’u al-Shahi>h al-Mukhtashar, Jilid I,Bairut:
Da>ru bnu Kas|i>r, th. 1407.
al-Naysa>bu>riy,Abu
al-Husaini Muslim al-Hajja>j bin Muslim al-Qasyi>riy.Ja>mi’u
al-Shi>h, Juz 6, Bairut: Da>ru
al-Afa>qi Al-Jadi>dati, t.th.
al-Nasa>i,Abu
‘Abdu al-Rahman Ahmad bin Syu’aib.Sunan al-Nasa>i bi Syarh al-Syut{iy wa
Hasyiyati al-Sanadiy, Juz 8, Bairut: dar al-Ma’rifah, th. 1420.
al-tami>mi,Muhammad
bin Hibba>n bin Ahmad abu Ha>tim.S|ahih ibnu Hibba>n bi tarti>b
ibnu bi al-Ba>n, Juz 12, Bairut: Muassasah al-Risa>lah, th. 1414.
Al-T}aba>ni,
Al-Mu’jam al-Kabi>r, Juz 19, t.d.
[1]Arifuddin
Ahmad, Paradigma BaruMemahami Hadis Nabi,(Cet. I; Jakarta: Renaisan,
2005 M), h. 177.
[2]Muhammad bin Isma>’il abu ‘Abdilla>hi
al-Bukha>riy al-Ja’fay, Al-Ja>mi’u al-Shahi>h al-Mukhtashar, Jilid
I,( Bairut: Da>ru bnu Kas|i>r, th. 1407 H), h. 128.
[3]Arifuddin
Ahmad,Op. cit; h. 179.
[4] Abu al-Husaini Muslim
al-Hajja>j bin Muslim al-Qasyi>riy al-Naysa>bu>riy, Ja>mi’u
al-Shi>h, Juz 6, (Bairut:
Da>ru al-Afa>qi Al-Jadi>dati, t.th.) h. 161.
[5] Muhammad Syuhudi Ismail, Hadis
Nabi yang Tekstual dan Kontekstual, (Cet. 1; Jakarta: PT. Bulan Bintang,
th. 1994 M), h. 36.
[6]ibid., h. 37.
[7] s|a>lih bin Muhammad bin
Hasana, Majemu’ah al-Qawa>id al-Bahiyyah ‘alay manz}u>mah
al-Qawa>id al-Bahiyyah, Juz 1, (t.t.: Da>r al-Sami>’i, th. 1420).
h. 112.
[9] Ibnu Hamzah al-Husaini
al-Hana>fi al-Damsyiqi, Asbabul Wurud, Jilid 2, ( Cet.; VII, Jakarta:
Kalam Mulia, th. 2009), h. 41.
[10] Abu Bakr Ahman bin al-Husaini
bin ‘Aliy al-Bayh}a>qiy, Al-Sunan al-Kubray wa fiy z|i>lih al-Jawhar
al-Naqiy, Juz 2, (India: Majlis da>irah al-Ma’a>rif
al-Niz}a>miyyah al-Ka>inah, th. 1344). H. 55.
[12]Arifuddin Ahmad,Op. cit; h.
183.
[13] al-Husaini Muslim al-Hajja>j
bin Muslim al-Qasyi>riy al-Naysa>bu>riy, Op. Cit., Juz 5, h.
1451.
[14]Ibid.
[16]Ibid.
[19]Ibid.
[20] Abu ‘Abdu al-Rahman Ahmad bin
Syu’aib al-Nasa>i, Sunan al-Nasa>i bi Syarh al-Syut{iy wa Hasyiyati
al-Sanadiy, Juz 8, (Bairut: dar al-Ma’rifah, th. 1420 H), h. 445.
[21] Muhammad bin Hibba>n bin
Ahmad abu Ha>tim al-tami>mi, S|ahih ibnu Hibba>n bi tarti>b ibnu
bi al-Ba>n, Juz 12, (Bairut: Muassasah al-Risa>lah, th. 1414 H), h.
362.
[23] Muhammad bin Fatu>h
al-Hami>diy, Al-Jam’u bayna al-s|ahi>hayn al-Bukha>ri wa Muslim, Juz
3, (Bairut: Da>r al-Nasyr, th. 1423), h. 318.
[24] Muhammad Yusran Ans|ar, Hadis
Pilihan Matan Hadis Arba’in, (Cet; XV, Semanggi: At-Tibyan, 2010), h. 29.
[25]Arifuddin
Ahmad, Metodologi Pemahaman Hadis, (Makassar: Alauddin UniversityPress,
th. 2012), h. 148.
[28] Al-T}aba>ni, Al-Mu’jam
al-Kabi>r, Juz 19, [t.d.], h. 10.
[29] Ibnu Hamzah al-Husaini
al-Hana>fi al-Damsyiqi, Op. Cit., Jilid 3, h. 24.
[30] Muhammad Husain, Muhammad
Nabi Segalah Zaman, (Cet; I, Jakarta: Grafindo Khazanah Ilmu, th. 2008), h.
79-80.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar