Malu secara bahasa ialah perubahan dan
peralihan sikap manusia karena takut atau khawatir terhadap sesuatu perbuatan
yang menyebabkan dirinya dicela orang lain. Sedangkan menurut istilah yang disebut
dengan malu adalah sifat yang mendorong seseorang untuk menjauhi
perbuatan-perbuatan buruk dan mencegah dirinya dari kelengahan terhadap hak
yang menjadi milik orang lain. Malu ini termasuk ke dalam golongan kesempurnaan
ahklak dan kegemaran kepada sebutan baik. Orang yang tidak mempunyai rasa malu
pasti rendah ahlaknya dan tak mampu mengendalikan hawa nafsunya.
Malu adalah akhlak yang mulia yang mencegah seseorang dari perbuatan yang
haram dan mungkar, serta dapat menjaga seseorang agar tidak terjerumus kedalam
lembah nista yang penuh dengan dosa. Namun sesuatu yang kita
dapati sekarang tidak seperti apa yang diinginkan oleh Islam. Kita sering
keliru meletakkan kata malu, atau malah memang rasa malu itu telah sirna
dari dalam diri kita. Sering kita dengar kata “malu” dari orang lain yang tidak
pantas untuk dikatakan malu dalam persepsi Islam. Seperti malu untuk berbusana
muslimah, malu untuk menghadiri sholat berjamaah. Malu seperti ini merupakan
malu yang bersifat negatif dalam persepsi Islam. Karena mereka malu untuk
melakukan kebajikan.
Sekarang kita telah tertipu dengan sebuah paradigma, yaitu modernisasi.
Moderniasi telah mencampakan rasa malu kita jauh-jauh. Dan anehnya lagi, kita
tidak ingin dikatakan sebagai orang yang tidak mempunyai rasa malu. Maka kalau
sudah seperti ini, tugas kita sekarang adalah menumbuhkan kembali rasa malu
tersebut, yaitu dengan meluruskan arti malu yang sesunguhnya terlebih dahulu.
Bisa
dibayangkan jika rasa malu itu hilang, maka segala perilakunya tidak akan
terkontrol. Mempertontonkan aurat dianggap trend bahkan menjadi tontonan
sehari-hari keluarga kita. Begitu hebatnya bencana yang muncul akibat hilangnya
rasa malu hingga Rasulullah saw pun menyindir, "Jika rasa malu hilang,
maka lakukanlah apa saja oleh kalian sesuka nafsu kalian." Hal ini
mengandung pengertian, jika menimbang mana halal dan mana haram atau hak dan
batal suatu perbuatan.
Kalau ini telah
demikian adanya, apa bedanya dengan binatang, mereka hidup hanya bermodalkan
hawa nafsu tanpa berlandaskan akal sehat. Bahkan manusia akan lebih rakus dan
kejam dari binatang. Hilangnya rasa malu adalah awal suatu bencana.
Perlu di ingat bahwa sifat malu, bukan berarti pemalu. Pemalu adalah penyakit jiwa dan lemah kepribadian akibat rasa malu yang berlebihan. Sebab, sifat malu tidaklah menghalangi seorang muslim untuk tampil menyuarakan kebenaran. Sifat malu juga tidak menghambat seorang muslim untuk menyeru kepada yang ma’ruf.
Perlu di ingat bahwa sifat malu, bukan berarti pemalu. Pemalu adalah penyakit jiwa dan lemah kepribadian akibat rasa malu yang berlebihan. Sebab, sifat malu tidaklah menghalangi seorang muslim untuk tampil menyuarakan kebenaran. Sifat malu juga tidak menghambat seorang muslim untuk menyeru kepada yang ma’ruf.
Pada umumnya sifat malu di bagi menjadi tiga bagian di antaranya
sebagai berikut:
1.
Malu kepada diri sendiri.
Orang yang mempunyai malu terhadap dirinya
sendiri, saat melihat dirinya sangat sedikit sekali amal ibadah dan ketaatannya
kepada Allah swt. serta kebaikannya kepada masyarakat di lingkungannya, maka
rasa malunya akan mendorongnya untuk meningkatkan amal ibadah dan ketaatan
kepada Allah swt. Orang yang mempunyai rasa malu terhadap dirinya sendiri, saat
melihat orang lain lebih berprestasi darinya, dia akan malu, dan dia akan
mendorong dirinya untuk menjadi orang yang berpresetasi.
2.
Malu kepada manusia.
Orang yang merasa malu terhadap manusia akan
malu berbuat kejahatan dan maksiat. Dia tidak akan menganiaya dan mengambil hak
orang lain. Walaupun malu yang seperti ini bukan didasari karena Allah SWT
melainkan karena dorongan rasa malu terhadap orang lain, tapi insyaAllah orang
tersebut mendapat ganjaran dari Allah SWT dari sisi yang lain. Tapi perlu
dicatat, orang yang merasa malu karena dorongan adanya orang lain yang
memperhatikan, sementara ketika sendiri dia tidak malu, maka sama artinya orang
itu merendahkan dan tidak menghargai dirinya.
3.
Malu kepada Allah SWT.
Malu seperti ini akan menimbulkan kesan yang
baik. Orang yang memiliki rasa malu terhadap Allah SWT akan tampak dalam sikap
dan tingkah lakunya, karena ia yakin bahwa Allah SWT senantiasa melihatnya.
Rasa
malu semestinya merupakan budaya yang lazim “dianut” oleh karakter
bangsa-bangsa timur. Kenyataannya, budaya malu perlahan-lahan mulai menghilang
dengan proses pembauran yang global. Tanpa malu-malu, karakter budaya ketimuran
mulai mengadopsi karakter budaya kebaratan yang kadang-kadang “tidak tahu
malu”, semisal pergaulan bebas dan cara berpakaian. Hal ini tentu tidak
dibenarkan dalam ajaran Islam di mana umat Islam diharuskan untuk memiliki rasa
malu.
Di sulawesi
selatan sendiri, rasa malu merupakan budaya yang sangat di tekankan dan di perhatikan.
Budaya malu di sulawsi selatan biasa di sebut dengan siri’, akan tetapi
pada masa globalisasi saat ini, siri’ sudah mulai perlahan di tinggalkan bahkan
pada generasi muda di Sulawesi selatan kebanyakan tidak mengenal budaya siri’
padahal ini merupakan budaya yang harus di lestarikan.
Siri’
merupakan kata sifat dan bila ditambah awalan dan akhiran menjadi kata sifat, contoh Masirika ( Saya malu ) yang berarti seseorang memiliki rasa malu. namun bila sudah menjadi
sebuah sifat moral dari sebuah konsep (adat) memiliki makna yg mendalam. Pengertian
siri’ tidak terlalu jauh tetap dikatakan sebuah kata sifat yaitu sifat malu.
sehingga pengertian siri’ itu tercermin sebagai sebuah sifat yang menonjol
selama ini dalam masyarakat Sulawesi selatan.
Semoga kita senantiasa mengedepankan rasa malu
yang benar dan baik bagi kehidupan ini. Sebagai wujud cinta yang sesungguhnya.
Sebuah cinta yang agung dan mendatangkan ridha Allah SWT.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar