BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Pada mulanya, ilmu Hadits memang merupakan beberapa ilmu yang
masing-masing berdiri sendiri, yang
berbicara tentang hadits Nabi SAW dan para perawinya. Dalam perkembangannya
penyebaran Hadits serta peroses klasifikasi Hadits, kita mengenal adanya tiga
trem penting yaitu sanad, matan dan rawi. Perkembangan Ulumul Hadits pada
gilirannya kemudian menyepakati adanya hadits dengan derajat shahih, hasan dan
dhaif. Ulama berusaha keras membandingkan para perawi yang diterima. Dan salah
satu usaha mereka adalah dengan meneliti sanad suatu hadits karna dapat
diterima dan ditolaknya suatu hadits tergantung pada sanad dan matan hadits.
Apabilah sanad suatu hadits telah memenuhi syarat dan kriateria tertentu,
demikian juga matannya, maka hadits
tersebut dapat diterimah sebagai dalil.
Terkait dengan hal tersebut
tulisan ini akan mencoba membahas lebih jauh tentang Al-Isnad atau sanad suatu
hadits, pembahasan tentang sanad meliputi tentang segi persambungan sanad
(Al-Ittisol sanad ), segi keterpercayaan sanad (Tsiqa Al-Sanad), segi
keselamatannya dari kejanggalan ( syadz ), keselamatannya dari cacat ( illat )
dan tinggih rendahnya martabat suatu sanad.
B. Rusan masalah
1.Apakah yang dimaksud
dengan Al-Isnad ?
2. Bagaiman historis timbulnya Al-Isnad ?
3. Apakah yang dimasud komunikator Hadits
?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Al-Isnad
dan Urgensinya
Isnad secara etimologi berarti menyandarkan sesuatu kepada
yang lain sedangkan menurut istilah, isnad
berarti :
رفع
الحديث إلى قائله . أي بيان طريق المن برواية الحديث مسند .
“Mengangkat
Hadis kepada yang mengatakannya (sumbernya), yaitu menjelaskan jalan matan
dengan meriwayatkan Hadis secara musnad”.
Disamping itu, isnad
dapat juga diartikan dengan : حكاية طريقة طريق المن, menceritakan jalannya matan’.
Sistem
penyampaian berita dengan menyebut nara sumbernya seperti itu disebut isnad, yang secara kebahasaan
artinya menyandarkan. Sementara narasumber berita ini disebut rawi (periwayat), karena ia
meriwayatkan berita itu dari orang lain kepada orang lain pula. Dari narasumber
yang pertama – dalam hal ini adalah Nabi saw sendiri–sampai nara sumber
terakhir akan terbentuk silsilah atau jalur periwayatan yang kemudian lazim dikenal
dengan sebutan sanad.
Usaha
seorang ahli hadis dalam menerangkan suatu hadis yang diikutinya dengan
penjelasan kepada siapa hadis itu disandarkan, maka ini disebut mengisnadkan
hadis.
Isnad
diartikan sama dengan sanad, suatu proses penggunaan bentuk mashdar dengan arti
bentuk maf’ul, seperti kata “khalq”, diartikan dengan makhluk. Oleh karena itu,
kita sering mendapatkan para muhaddisin menggunakan kata
sanad dan isnad dengan satu makna.
Menurut
Ath-Thibi, seperti yang dikutip oleh al-qasimi, kata isnad dan al-sanad
mempunyai arti yang sama atau berdekatan. Ibn Jama’ah dalam hal ini lebih tegas
lagi. Menurutnya, ulama muhadditsin memandang kedua
istilah tersebut mempunyai pengertian yang sama, yang keduanya dapat dipakai
secara bergantian.
Lafadz isnad tidak ditasniahkan dan tidak
dijama’kan. Tetapi kalau dimaksudkannya dengan sanad, ditasniahkan dan
dijama’kan. Dikatakanlah hadits ini mempunyai isnadāni (dua sanad) dan dikatakan pula haadits ini mempunyai asanīd (bebrapa
sanad).
Kata
al-isnad berarti menyandarkan, mengasalkan (mengembalikan ke asal), dan
mengangkat. Maksudnya ialah menyandarkan hadits kepada orang yang mengatakannya
(raf’u al-hadits ila qa’ilih atau azwu al-hadits ila qa’ilih).
Jika
Al-Isnad dalam ilmu hadits diartikan sama dengan sanad, itu berarti Al-Isnad
mempunyai pengertian yang sama dengan sanad yaitu: Jalan
matan hadits, yaitu silsilah para rawi yang menukilkan matan hadits dari
sumbernya yang pertama. Sanad terdiri atas seluruh penutur
mulai dari orang yang mencatat
hadits tersebut dalam bukunya (kitab
hadits) hingga mencapai Rasulullah. Sanad, memberikan gambaran keaslian suatu
riwayat.
Sebagai contoh dari sanad adalah seperti yang
terlihat dalam hadis berikut:
حدثنا
محمد بن المثنى قال : حدثنا عبد الوهاب الثقفي قال : حدثنا أيوب. عن أبي قلابة .
عن أنس عن النبي صلى الله عليه وسلم قال : ثلاث من كن فيه وجد حلاوة الإيمان أن
يكون الله ورسوله أحب إليه مما سواهما. وأن يحب المرء لا يحبه إلا لله . وأن
يكره أن يعود في الكفر كما يكره أن يقذف في النار رواه البخاري.
“Telah menceritakan kepada kami Muhammad ibn al-Mutsanna,
ia berkata, “telah menceritakan kepada kami ‘Abd al-Wahhab al-Tsaqafi, ia
berkata, ‘telah menceritakan kepada kami Ayyub, dari Abi Qilabag, dari Anas,
dari Nabi SAW., beliau bersabda, ‘Ada tiga hal yang apabila seseorang
memilikinya maka ia akan memperoleh manisnya iman, yaitu bahwa Allah dan
Rasul-Nya lebih dicintainya daripada selain keduanya, bahwa ia mencintai
seseorang hanya karena Allah SWT, dan bahwa ia benci kembali-kepada kekafiran
sebagaimana ia benci masuk ke dalam api neraka’.” (HR.
Bukhari )
Pada
hadis di atas terlihat adanya silsilah para perawi yang membawa kita sampai
kepada matan hadis, yitu Bukhari. Muhammad ibn al-Mutsanna, ‘Abd
al-Wahhab al-Tsaqafi, Ayyub, Abi Qilabah, dan Anas r.a. Ranggakaian nama-nama
itulah yang disebut dengan sanad dari Hadis tersebut, karena merekalah yang
menjadi jalan bagi kita untuk sampai ke matan hadits.
Isnad
merupakan suatu kekhususan yang utama bagi ummat ini dimana dia tidak ada pada
ummat-ummat terdahulu. Oleh karena itulah hilang atau berubahlahlah kitab-kitab
samawiyah yang ada pada mereka. Sebagaimana telah hilang hadits-hadits (ucapan
dan berita) tentang nabi-nabi mereka dan posisinya digantikan oleh kebohongan
dan kedustaan.
Sebuah hadits dapat memiliki beberapa
sanad dengan jumlah penutur/perawi bervariasi dalam lapisan sanadnya, lapisan
dalam sanad disebut dengan thaqabah. Signifikansi jumlah sanad dan penutur
dalam tiap thaqabah sanad akan menentukan derajat hadits tersebut, hal ini dijelaskan
lebih jauh pada klasifikasi hadits.
Jadi yang perlu dicermati dalam memahami Al Hadits
terkait dengan sanadnya ialah :
·
Keutuhan sanadnya
·
Jumlahnya
·
Perawi akhirnya
Ada dua istilah yang erat hubungannya dengan Al-Isnad yaitu musnad dan musnid.
1. Musnad
Musnad
adalah
bentuk isim maf’ul dari kata kerja asnada, yang berarti sesuatu
yang disandarkan kepada yang lain.
Secara terminologi, musnad mengandung tiga
pengertian, yaitu :
a) الحديث
الذي اتصل سنده من راويه إلى منتهاه
‘Hadis
yang bersambung sanad-nya dari perawinya (dalam contoh sanad di atas adalah
Bukhari) sampai kepada akhir sanadnya 9yang biasanya adalah Sahabat, dan dalam
contoh diatas adalah Anas r.a’.
b) الكتا ب الذي
جمع فيه ما أسنده الصحابة أي رووه
Kitab
yang menghimpun Hadis-hadis Nabi SAW yang diriwayatkan oleh shahabat, seperti
Hadis-hadis yang diriwayatkan oleh Abu Bakar r.a dan lainnya. Contohnya, adalah
kitab Musnad Imam Ahmad.
c) أن
يطلق ويرادبه الإسناد. فيكون مصدرا
Sebagai mashdar (Mashdar mimi) mempunyai arti sama dengan sanad.
2. Musnid
Kata musnid
adalah isim fa’il dari asnada-yusnidu, yang berarti “orang
yang menyadarkan sesuatu kepada yang lainnya”. Sedangkan pengertiannya dalam
istilah Ilmu Hadis adalah :
هو
من يروي الحديث بسنده سواء أكان عنده علم به أم ليس له إلا مجرد الرواية .
“Musnid adalah setiap
perawi hadis yang meriwayatkan Hadis dengan menyebutkan sanadnya, apakah ia
mempunyai pengetahuan tentang sanad tersebut, atau tidak mempunyai pengetahuan
tentang sanad tersebut, tetapi hanya sekadar meriwayatkan saja”.
B. Histori Timbulnya Sanad
Setelah Rasulullah saw wafat, para
shahabat ra. saling meriwayatkan, satu sama lainnya apa yang mereka dengar dari
Nabi saw. Demikian pula, generasi setelah mereka dari kalangan Tabi’in; mereka
meriwayatkan dari para shahabat.
Mereka tidak berhenti dalam
menerima hadits apa saja yang diriwayatkan oleh seorang shahabat dari Rasulullah
saw. Dan kondisinya masih terus seperti itu hingga terjadi fitnah yang
menyebabkan kematian khalifah ar-Rasyid, ‘Utsman bin ‘Affan ra, yang
diikuti terjadinya perpecahan dan perselisihan serta munculnya berbagai
kelompok agama (firqah) dan mazhab-mazhab yang diadakan, sehingga mulailah
as-Sunnah dimasuki ‘virus’ yang sedikit demi sedikit menjadi banyak. Lalu
mulailah pula setiap kelompok mencari pembenaran terhadap bid’ah yang dibuatnya
dengan mencari-cari nash-nash yang dinisbatkan kepada Nabi saw. Ketika itulah,
para ulama dari kalangan para shahabat dan tabi’in mengambil sikap hati-hati
dalam meriwayatkan hadits-hadits. Mereka tidak menerima darinya selain apa yang
mereka ketahui jalurnya dan merasa yakin dengan ke-tsiqah-an
(keterpercayaan) para perawinya dan keadilan mereka, yaitu melalui jalur
Sanad.
Imam Muslim meriwayatkan di dalam muqaddimah Shahihnya dari Ibn Sirin ra, yang berkata, “Dulu mereka tidak pernah mempertanyakan tentang Sanad, namun tatkala terjadi fitnah, mereka mengatakan, ‘Tolong sebutkan kepada kami para perawi kalian.!’ Lalu dilihatlah riwayat Ahlussunnah lantas diterima hadits mereka. Demikian pula, dilihatlah riwayat Ahli Bid’ah, lalu ditolak hadits mereka.”
Imam Muslim meriwayatkan di dalam muqaddimah Shahihnya dari Ibn Sirin ra, yang berkata, “Dulu mereka tidak pernah mempertanyakan tentang Sanad, namun tatkala terjadi fitnah, mereka mengatakan, ‘Tolong sebutkan kepada kami para perawi kalian.!’ Lalu dilihatlah riwayat Ahlussunnah lantas diterima hadits mereka. Demikian pula, dilihatlah riwayat Ahli Bid’ah, lalu ditolak hadits mereka.”
Sejak itu, mulailah sikap Tatsabbut
(cek ricek) dan berhati-hati ditunjukkan oleh para shahabat junior yang masih
hidup saat terjadinya fitnah itu. Di dalam mukaddimah Imam Muslim, dari
Mujahid, ia berkata, “Basyir al-‘Adawi mendatangi Ibn ‘Abbas ra, lalu menyampaikan
hadits dan berkata, ‘Rasulullah saw bersabda ….’ Lalu Ibn ‘Abbas tidak
mengizinkannya menyampaikan hadits itu (tidak mendengarnya) dan tidak
melihatnya. Maka orang itu berkata, ‘Hai Ibn ‘Abbas, kenapa aku tidak melihatmu
mendengarkan haditsku ini? Aku menyampaikan hadits dari Rasulullah saw sedang
engkau
tidak mau mendengarkan.’ Ibn ‘Abbas berkata, ‘Pernah suatu
kali, dulu kami bila mendengar ada orang yang mengatakan,
‘Rasulullah saw bersabda…,’ maka pandangan-pandangan kami
langsung tertuju kepadanya dan telinga-telinga kami khusyu’ mendengarkan
kepadanya. Namun tatkala manusia didera kesulitan dan kehinaan, kami tidak
pernah mengambil dari orang-orang selain apa yang telah kami kenal.’”
Perhatian yang demikian besar terhadap Sanad
ini, menampakkan kepada kita urgensi (pentingnya) dan pengaruhnya dalam ilmu
hadits, yaitu melalui beragam aspek, salah satunya adalah bahwa Sanad
merupakan salah satu karakteristik tersendiri dari umat ini, di mana tidak ada
satu umat manusia pun di muka bumi ini memiliki keistimewaan seperti ini. Tidak
pernah ada riwayat dari salah satu umat terdahulu mengenai perhatian mereka
terhadap para perawi berita dan hadits-hadits para nabi mereka sebagaimana yang
dikenal dari umat ini.
Melalui jalur Sanad, maka
dimungkinkanlah penelitian terhadap kebenaran hadits-hadits dan berita-berita
serta mengenali para perawi. Pencari hadits dapat mengetahui derajat (kualitas)
hadits; mana yang shahih dan mana yang lemah. Dengan dengan Sanad pula,
as-Sunnah ini dijaga dan dipelihara dari pengelabuan, penyimpangan, pemalsuan,
penambahan dan pengurangan. Dengan Sanad juga umat menyadari kedudukan
as-Sunnah dan betapa pentingnya memberikan perhatian terhadapnya, di mana ia
ditetapkan dengan jalur-jalur kritik dan tahqiq (analisis) yang demikian detil,
yang belum pernah dikenal manusia ada sepertinya sepanjang sejarah. Dengan
begitu, klaim orang-orang yang batil dan senang membuat keraguan umat dapat
ditolak, dan syubhat-syubhat yang mereka lontarkan seputar keshahihan hadits
dapat dimentahkan. Karena masalah-masalah tersebut dan masalah lainnya kemudian
banyak sekali berita-berita yang datang dari para imam (tokoh-tokoh ulama)
mengenai pentingnya Sanad dan anjuran terhadapnya. Bahkan mereka
menjadikannya sebagai ibadah dan dien. Abdullah bin al-Mubarak berkata,
“Bagiku, Sanad merupakan bagian dari agama ini.
Andaikata bukan karena Sanad, pastilah orang akan mengatakan
semau-maunya. Bila dikatakan kepadanya, ‘siapa yang menceritakan kepadamu.?’ Ia
diam (yakni diam kebingungan), tidak tahu apa yang harus dikatakannya. Sebab ia
tidak memiliki Sanad yang melaluinya ia dapat mengenali keshahihan atau
kelemahan suatu hadits.” Ia juga mengatakan, “Antara kami dan orang-orang
adalah Qawa`im, yakni Sanad.”
sebagain
akibat dari penegasan tuntutan diadakannya Sanad, dan demikian besar
perhatian terhadapnya, kita mendapati kitab-kitab hadits yang dikarang sejak
paruh pertama dari abad ke-2 H telah berkomitmen dengan hal itu. Buku-buku itu
disebut dengan Masanid (jamak dari musnad), yaitu sebuah nama yang
memiliki hubungan yang jelas dengan masalah Sanad. Di antara
musnad-musnad yang paling masyhur adalah Musnad Ma’mar bin Rasyid (152
H), Musnad ath-Thayalisi (204 H), Musnad al-Humaidi (219 H), Musnad
Ahmad bin Hanbal (241 H), Musnad asy-Syafi’i (204 H) dan buku-buku
Musnad lainnya.
Semua ini menegaskan kepada
kita betapa pentingnya Sanad dalam ilmu hadits, dan betapa perhatian
besar yang diberikan umat terhadapnya, serta betapa Allah menjaga agama ini
dengannya dari upaya menghilangkan dan merubahnya. Hal ini sebagai realisasi
dari janji Allah swt dalam menjaga adz-Dzikr yang diturunkannya,
sebagaimana firmanNya dalam surat al-Hijr, ayat 9. (AH)
C.
KOMUNIKATOR HADITS
Komunikator
hadits adalah orang yang menyampaikan,
memberikan
atau meriwayatkan hadits. Dengan demikian, komunikator hadits adalah sanad dan
rawi.
Sebenarnya
antara sanad dan rawi itu merupakan dua istilah yang hampir sama. Sanad-sanad
hadits pada tiap-tiap thabaqah atau tingkatannya juga disebut rawi, jika yang
dimaksud dengan rawi adalah orang yang yang meriwayatkan dan memindahkan
hadits. Begitu juga, setiap rawi pada tiap-tiap thabaqah-nya merupakan sanad
bagi thabaqah berikutnya.
Jika dilihat
lebih lanjut ada dua hal yang membedakan antara sanad dan rawi, yaitu: pertama,
dalam hal pembukuan hadits. Orang yang menerima hadis-hadis, kemudian
menghimpunnya dalam suatu kitab tadwin disebut dengan rawi. Dengan demikian, rawi dapat disebut mudawwin (orang yang
membukukan dan menghimpun hadis).
Adapun orang
yang menerima hadis dan menyampaikannya kepada orang lain, tanpa membukukannya,
disebut sanad hadis. Berkaitan dengan ini, dapat dikatakan bahwa setiap sanad
adalah rawi pada tiap-tiap thabaqah-nya, tetapi tidak setiap rawi disebut sanad
hadis sebab ada rawi yang membukukan hadis. Kedua, dalam penyebutan silsilah
hadis, untuk sanad, yang disebut sanad pertama adalah orang yang langsung
menyampaikan hadis kepada penerimanya, sedangkan para rawi, yang disebut rawi
pertama, adalah para sahabat Rasul saw.
Dengan
demikian, penyebutan silsilah antara kedua istilah ini merupakan sebaliknya.
Artinya, rawi pertama, adalah sanad terakhir, dan sanad pertama, adalah rawi
terakhir.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian makalah kami diatas,
maka kami dapat memetik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Al-Isnad
pada dasarnya memiliki pengeritan yang sama dengan sanad hadits yaitu sislsilah
orang-orang yang menghubungkan kepada matan hadits, maksudnya adalah susunan
atau rangkaian orang-orang yang menyampaikan materi hadits tersebut, sejak yang
disebut pertama sampai kepada Rasulullah SAW., yang perkataan, pebuatan, taqrir
dan lainnya merupakan materi atau matan hadis.
2. Ada dua
isitlah yang erat hubungannya dengan isnad yaitu musnad dan musnid. Musnad secara terminologi memiliki tiga pengertian,
Yaitu: Pertama hadits yang bersambung sanadnya dari perawinya sampai kepada
akhir sanadnya yang biasanya adalah sahabat. Kedua kitab yang menghimpun
hadits-hadits Nabi SAW. Yang diriwayatkan oleh sahabat. Ketiga sebagai masdar
mimi yang memiliki arti sama dengan sanad. Sedangkan musnid ialah setiap perawi
yang meriwayatkan hadits dengan menyebutkan sanadnya, apakah ia mempunyai
pengetahuan tentang sanad tersebut, tetapi hanya sekedar meriwatkan saja.
3. Dimulainya diadakan
sanad hadits ketika para tabi’in menuntut diadakannya sanad, ketika kedustaan
terhadap Rasulullah SAW merajalela, juga banyaknya fitnah yang mengusung kebohongan
sehingga orang-orang tidak
mau menerima
hadits tanpa isnad agar supaya mereka mengetahui perawi-perawi hadits tersebut
dan mengenali keadaan mereka.
4. Komunikator
hadits ialah orang yang menyanpaikan, memberikan atau meriwayatkan hadits.
Dengan demikian, komunikator hadits adalah sanad dan rawi.
B. Saran
Dengan
adanya materi ilmu hadits ini, kami berharap akan semakin menambah pengetahuan
kita tentang Al-Isnad yang menjadi menjadi salah satu syarat keshahihan hadits.
DAFTAR
PUSTAKA
Syaikh
Manna’ Al-Qaththan. Penerjemah: Mifdhol Abdurrahman. Lc. Pengantar Studi
Ilmu Hadits. Jakarta. Pustaka Al-Kautsar, 200
Syarif Hade
Masyah. Dasar-Dasar Ilmu Hadits . Jakarta. Pustaka Firdaus 2009
Agus Suyadi Raharusun
dan Dede Rodin. Pengantar Studi Hadits. Bandung. CV Pustaka Setia 2007
Munzier
Suparta. Ilmu Hadits. Jakarta. Rajawali Pers 2010
Drs. M. Agus
Solahuddin, M.ag. Dan Agus Suyadi, Lc. M.ag. Ulumul Hadits. Bandung. CV Pustaka
Setia 2009
M. Syuhudi
Ismail Dr. Kaedah Keshahihan Sanad Hadits: Telaah kritis dan tinjauan pendekatan
ilmu sejarah. Jakarta. Bulan Bintang 1988
H. Ridwan
Nasir.Ulumul Hadits dan Musthlah Hadits. Jomang 2008
M. Hasbi
Ash-Shiddieqy. Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadits. Jakarta. Bulan
Bintang 1987
Tidak ada komentar:
Posting Komentar