BAB I
PENDAHULUAN
A.
Pendahuluan
Al-Qur’an adalah firman Allah SWT yang
diturunkan kepada Nabi akhir zaman Muhammad SAW untuk menjadi petunjuk bagi
manusia dalam memperoleh kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Sebagai sebuah
petunjuk, Al-Qur’an mencakup segala aspek kehidupan seperti keimanan, hukum dan
perundang-undangan serta norma-norma kehidupan pribadi, masyarakat, dan
bernegara[1].
Di dalam
Al-Qur’an juga terdapat banyak kisah yang menceritakan tentang peristiwa atau
kejadian masa lalu, seperti kisah para Nabi dan rasul, kisah orang-orang
beriman, kisah orang-orang yang durhaka kepada Allah SWT, dan lain-lain. Allah
SWT menceritakan kisah tersebut untuk dijadikan bahan pelajaran bagi manusia,
sebagaimana firman Allah SWT :
لَقَدْ
كَانَ فِي قَصَصِهِمْ عِبْرَةٌ لأولِي الألْبَابِ مَا كَانَ حَدِيثًا يُفْتَرَى
وَلَكِنْ تَصْدِيقَ الَّذِي بَيْنَ يَدَيْهِ وَتَفْصِيلَ كُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى
وَرَحْمَةً لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ
Artinya : “Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka
itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al Quran itu
bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang
sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi
kaum yang beriman” (Q.S. Yusuf [12] : 111).[2]
Kisah-kisah
di dalam Al-Qur’an merupakan salah satu metode yang digunakan Allah dalam upaya
menanamkan nilai-nilai moral Qur’aniah kepada manusia. Bahasa yang digunakan
Al-Qur’an dalam pengungkapan kisah-kisah dan peristiwa tersebut sangat menarik
sehingga dapat menimbulkan kesan mendalam kepada pembaca dan pendengarnya,
bukan saja untuk mengikuti kisahnya sampai akhir tapi juga akan berusaha
meneladai kisah-kisah tersebut.
Namun
tidak semua orang dapat mengambil i’tibar (pelajaran) dari kisah-kisah Al-Qur’an
tersebut, sebagaimana disebutkan dalam surat Yusuf di atas, hanya orang-orang
yang mau menggunakan akalnya saja yang dapat memetik hikmah dari kisah-kisah
tersebut.
B. Rumusan Masalah
Dari uraian-uraian yang telah disampaikan di
atas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut :
1.
Apakah yang dimaksud dengan kisah-kisah
Al-Qur’an ?
2.
Bagaimana karakteristik kisah-kisah Al-Qur’an
dibandingkan dengan karya-karya ilmiah lainnya ?
3.
Apakah tujuan dari kisah-kisah Al-Qur’an dalam
kaitannya dengan upaya pembentukan insan kamil ?
Dari rumusan masalah di atas maka pada bagian
pembahasan berikut penulis berusaha untuk memaparkan makna (definisi),
karakteristik dan tujuan kisah-kisah Al-Qur’an berdasarkan kajian penulis dari
beberapa referensi yang penulis anggap sesuai.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Qashash
Kisah diambil dari kata dasar bahasa Arab qashah yang
merupakan mashdar dariqhashasha yang
berarti mencari bekasan atau mengikuti bekasan (jejak). Qashah juga
bermakna : urusan, berita, khabar, dan keadaan.[3]
Di samping itu qashash juga
bermakna mengulang kembali hal masa lalu.[4]
Sedangkan secara terminologi kisah Al-Qur’an
adalah: “Kabar-kabar Al-Qur’an tentang keadaan-keadaan umat yang telah lalu dan
kenabian masa dahulu, peristiwa-peristiwa yang telah terjadi”.[5]
Adapun Al-Qaththan mendefinisikan kisah
Al-Qur’an dengan: “Kisah-kisah dalam Al-Qur’an yang yang menceritakan hal ihwal
umat-umat terdahulu dan Nabi-nabi mereka serta peristiwa-peristiwa yang telah
terjadi, yang sedang terjadi dan akan terjadi”.[6]
Jika pada definisi kisah Al-Qur’an yang pertama
hanya mengkhususkan berita-berita atau keadaan yang telah lampau, maka
pada definisi kedua lebih kompleks, baik berita-berita yang telah terjadi
maupun yang sedang dan akan terjadi. Namun, pada intinya kedua definisi
tersebut sama-sama mengungkapkan informasi tentang pengalaman atau keadaan
umat-umat, Nabi, maupun peristiwa yang terdapat dalam Al-Qur’an yang sangat
bermanfaat bagi kehidupan manusia yang akan datang sebagai sebuah bahan pelajaran.
Di dalam Al-Qur’an terdapat bermacam-macam
kisah yang sangat menarik. Kisah-kisah tersebut beraneka-ragam, mulai dari awal
penciptaan manusia, perjalanan hidupnya di dunia hingga perjalanan hidupannya
di akhirat kelak. Namun para ulama berbeda pendapat mengenai pembagian kisah
ini sebagai berikut.
Ash-Shiddieqy yang mengkhususkan kisah
Al-Qur’an pada berita dan peristiwa pada masa lampau membagi kisah dalam
Al-Qur’an mejadi tiga macam yaitu : pertama,
kisah Nabi-nabi (qhashash al-anbiya’) yang menceritakan
tentang dakwah para Nabi, mukjizat-mukjizatnya, sikap umat-umatnya dan
akibatnya. Kedua,
kisah tentang peristiwa-peristiwa yang telah terjadi dan orang-orang yang tidak
dapat dipastikan kenabiannya seperti ashabul Kahfi, Qarun, dan lain-lain. Ketiga, kisah yang berkaitan
dengan peristiwa-peristiwa pada masa Nabi Muhammad SAW, seperti peperangan,
isra’ mikraj, hijrah dan lain-lain.[7]
Adapun Supiani dan Karman membagi kisah dalam
Al-Qur’an menjadi dua macam secara garis besar, yaitu kisah ditinjau dari segi
waktu dan kisah ditinjau dari segi materinya. Kisah-kisah dalam Al-Qur’an jika
ditinjau dari segi waktu dibagi menjadi tiga macam, yaitu : (1) kisah masa
lampau (al-qhashash
al-ghuyub al-madhiyah); (2) kisah masa kini (al-qhashash
al-ghuyub al-hadhirah); dan (3) kisah masa datang (al-qhashash
al-ghuyub al-mustaqbalah). Sedangkan kisah Al-Qur’an ditinjau dari
segi materinya dibagi menjadi tiga, yaitu: (1) kisah para Nabi terdahulu; (2)
kisah orang-orang yang bukan Nabi dan kelompok-kelompok tertentu; dan (3) kisah
tentang peristiwa yang terjadi pada masa Rasulullah SAW.[8]
B.
Karakteristik
Kisah Al-Qur’an
Al-Qur’an merupakan wahyu dari Allah SWT,
kisah-kisah dalam Al-Qur’an berbeda dengan kisah-kisah atau dongeng yang
diciptakan manusia. Al-Qur’an juga bukan merupakan kitab sejarah walaupun di
dalamnya banyak berisi sejarah, dan juga berbeda dengan sistematika penulisan
karya ilmiah. Al-Qur’an memiliki karakteristik dan gaya bahasa sendiri dalam
memaparkan kisah-kisah dan peristriwa sejarah.
Penuturan kisah dalam Al-Qur’an menurut Alwi
tidak berarti Al-Qur’an merupakan buku cerita, namun mempunyai tujuan yang
tinggi, yaitu menanamkan nasihat dan pelajaran yang dipetik dari peristiwa masa
lalu.[9]
Al-Qur’an memiliki keunikan dan keistimewaan dalam memaparkan kisah-kisah atau
peristiwa. Keunikan dan perbedaan tersebut dapat terlihat pada :
a. Kisah
Al-Qur’an dalam waktu relatif singkat dapat menarik perhatian pembaca, sehingga
pembaca tertatik untuk mengikuti peristiwanya, merenungkan maknanya dan
terkesan oleh watak pelaku kisah tersebut. Kisah dalam Al-Qur’an pada umumnya
dimulai dengan tuntutan, ancaman, peringatan akan bahaya sebelum persoalan
dibuka dan dipecahkan sampai pada klimaksnya. Penyajian kisah ini tentu akan
menarik perhatian pembaca maupun pendengarnya untuk mengetahui bagaimana akhir
kisah tersebut.
b. Kisah
Al-Qur’an menyentuh nurani manusia dalam keadaannya yang utuh dan menyeluruh,
sebagai terjelma dalam tokoh utama yang sengaja ditampilkan. Masing-masing
tokoh ditampilkan pada pusat perhatian selaras dengan konteksnya.
c. Kisah
Al-Qur’an memberikan kesempatan kepada pembaca dan pendengarnya untuk
mengembangkan pola pikirnya. Dalam konteks ini, kisah Al-Qur’an ditampilkan
dalam dua bentuk, yaitu : pertama,
kisah itu dilukiskan melalui pengisyaratan, sugesti dan harapan; dan kedua, kisah itu dilukiskan
melalui berpikir dan merenung.[10]
Di
samping itu Al-Qur’an juga sering kali memaparkan kisah atau peristiwa secara
berulang-ulang dalam berbagai surat. Terkadang pada satu surat hanya disebutkan
secara singkat, namun pada surat lain dijelaskan dengan panjang lebar dan lebih
terperinci. Sebagaimana dikemukakan oleh al-Sa’di, bahwa perbedaan-perbedaan
cara Al-Qur’an dalam pemaparan sebuah kisah merupakan sebuah metode pengajaran
yang dilakukan oleh Al-Qur’an kepada para pendengar dan pembacanya.[11]
Lebih
luas lagi al-Qaththan menyatakan bahwa kisah Al-Qur’an secara berulang-ulang
memiliki hikmah tersendiri sebagai berikut :
a. Menandaskan
kebalagahan Al-Qur’an dalam bentuk yang paling tinggi, seperti menerangkan
sebuah makana dalam berbagai macam susunan kalimat yang berbeda dari yang telah
disebutkan, sehingga akan selalu terasa nikmat mendengar dan membacanya.
b. Menampakkan
kekuatan i’jaz (kemukjizatan)
Al-Qur’an dengan menyebut suatu makna dalam berbagai bentuk susunan perkataan
yang tidak dapat disamai oleh siapapun yang menunjukkan bahwasanya Al-Qur’an
adalah benar-benar dari Allah.
c. Mengulang-ulang
sebuah kisah menunjukkan ta’kid (penguatan) yang merupakan tanda
besarnya perhatian terhadap kisah tersebut.
d. Di suatu
tempat terkadang disebutkan singkat saja karena tujuannya hanya sampai itu saja
yang diperlukan, sedang di tempat lain disebutkan secara panjang-lebar dan
terinci karena yang demikianlah tujuan yang dikehendaki.[12]
C. Tujuan Kisah Al-Qur’an
Kisah dalam Al-Qur’an bukan karya seni yang
tanpa tujuan, melainkan salah satu dari metode Al-Qur’an dalam menuntun dan
mewujudkan tujuan keagamaan ketuhanannya dan salah satu cara menyampaikan dan
mengokohkan dakwah Islam.[13]
Dalam menyampaikan maksud dan tujuannnya tersebut Al-Qur’an memiliki gaya
bahasa yang sangat tinggi yang tidak mungkin ditandingi oleh siapapun (baik jin
maupun manusia).
Tujuan utama dari kisah Al-Qur’an tidak
lain adalah agar setiap orang dapat mengambil pelajaran (‘ibrah
wa mau’izah) sebagaimana ditegaskan Allah SWT dalam firman-Nya :
Artinya : “Sesungguhnya pada kisah-kisah
mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al Quran
itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab)
yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat
bagi kaum yang beriman.[14]
Sebagaimana digambarkan oleh firman Allah di
atas bahwa hanya orang-orang yang mau menggunakan akalnya saja yang dapat mengambil
pelajaran dari kisah-kisah yang disampaikan Al-Qur’an yang kemudian secara
sadar dan konsekuen untuk mewujudkannya dalam kehidupan sosial.
Kisah dalam Al-Qur’an memiliki tujuan yang
sangat tinggi yang menunjukkan kesempurnaan Al-Qur’an sebagai sebuah pedoman
hidup bagi manusia. Dengan membaca kisah-kisah dalam Al-Qur’an maka manusia
akan mendapatkan manfaat berupa hakikat peristiwa, kemurnian akidah dan
kesempurnaan sastra, serta meninggalkan selainnya.[15]
Al-Qur’an menempuh berbagai macam cara guna mengantar
manusia kepada kesempurnaan kemanusiaannya antara lain dengan mengemukakan
kisah-kisah faktual dan simbolik.[16]
Adapun tujuan khusus dari kisah Al-Qur’an
sebagaimana dirangkum Supiana dan Karman sebagai berikut :
a.
Mengungkapkan kemantapan wahyu dan risalah
serta mewujudkan rasa puas dalam menerima wahyu bahwa Muhammad yang ummi telah menyampaikan kisah-kisah
tersebut pada umatnya.
b.
Menjelaskan prinsip dakwah kepada agama Allah
dan keterangan pokok-pokok syariat yang dibawa oleh masing-masing Nabi dan
Rasul.
c.
Menjelaskan bahwa Allah menolong dan mengasihi
Rasul beserta orang-orang yang beriman serta menjelaskan bahwa Allah adalah
Tuhan semua ummat (ummah wahidah).
d.
Menetapkan kedudukan kaum mukmin, memantapkan
hati Nabi dan umatnya, menghibur mereka dari kesedihan atas musibah yang
menimpa mereka.
e.
Mengoreksi kebohongan yang dibuat oleh ahlul kitab karena telah menyembunyikan kebenaran
kitab mereka.
f.
Menunjukkan kebenaran Al-Qur’an dan kisah-kisah
yang diceritakan Al-Qur’an.
g.
Menanamkan pendidikan akhlak karimah agar para
para pembaca dan pengkaji Al-Qur’an mampu menghayati dan mengamalkan kandungan
kisah dalam praktek kehidupan mereka.[17]
Sedangkan al-Qaththan memaparkan tujuan
daripada kisah-kisah Al-Qur’an sebagai berikut :
a. Menjelaskan
dasar-dasar dakwah agama Allah dan menerangkan pokok-pokok syariat yang
disampaikan oleh para Nabi.
b. Mengokohkan
hati Rasulullah dan umat beliau dalam beagama dan menguatkan kepercayaan para
mukmin tentang datangnya pertolongan Allah dan hancurnya kebatilan.
c. Mengabadikan
usaha-usaha para Nabi dan pernyataan bahwa Nabi-nabi dahulu adalah benar.
d. Memperlihatkan
kebenaran dakwah Rasulullah SAW dengan menerangkan keadaan-keadaan umat
terdahulu.
e. Menyingkap
kebohongan ahlul
kitab yang telah
menyembunyikan isi kitab mereka yang masih murni.
f. Menarik
perhatian mereka yang diberikan pelajaran.[18]
Senada dengan kedua pendapat di atas
Al-‘Utsaimin[19] juga
mengemukakan hikmah-hikmah atau tujuan kisah dalam Al-Qur’an sebagai berikut:
a. Allah
hendak menampakkan hikmahnya yang terdapat dalam kisah-kisah tersebut (baca
Q.S. 54 : 4-5).
b. Menerangkan
keadilan-Nya dalam menyiksa para pendusta (baca Q.S. 11 : 101).
c. Menerangkan
karunia-Nya dengan memberikan balasan (baca Q.S. 54 : 34-35)
d. Sebagai
pelipur lara Nabi SAW. terhadap sikap para pendusta (baca Q.S. 35 : 25).
e. Sebagai
sugesti untuk orang-orang mukmin agar tetap dan selalu meningkatkan keimanannya
(baca Q.S. 21 : 28, Q.S. 30 : 47)
f. Sebagai
peringatan terhadap orang-orang kafir yang tetap dalam kekafirannya (Q.S. 47 :
10).
g. Sebagai
penetapan risalah Nabi Muhammad SAW., karena berita-berita umat tedahulu tidak
ada yang mengetahuinya selain Allah SWT. (baca Q.S. 11 : 49, Q.S. 14 : 9).
Dari hikmah-hikmah dan tujuan kisah-kisah
Al-Qur’an yang dipaparkan di atas menjadi sangat jelas urgensi kisah-kisah
tersebut dalam pembentukan insan
kamil yaitu
sebagai bahan pelajaran bagi seluruh manusia untuk lebih mengokohkan hubungan
vertikal dengan Allah SWT (habl min Allah) dan senantiasa
juga menjalin hubungan baik dengan sesama manusia (habl min al-nas). Lebih jauh lagi,
pemaparan kisah Al-Qur’an bertujuan untuk menunjukkan jalan yang lurus kepada
manusia dalam rangka mencapai kebahagian hidup di dunia dan akhirat.
Pembentukan insan
kamil melalui
kisah-kisah Al-Qur’an menurut hemat penulis dapat ditempuh dengan dua cara. Pertama, memahami eksistensi
(tujuan) dari penciptaan manusia. Al-Qur’an menginformasikan bahwasanya manusia
diciptakan semata-mata untuk beribadah kepada Allah SWT (‘abd
Allah), sebagaimana firman Allah SWT:
Artinya : “Dan Aku tidak menciptakan jin dan
manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku” (Q.S. al-Dzariyat [51]
: 56).[20]
Disamping
sebagai khalifah, manusia juga diciptakan untuk menjadi pemimpin di muka bumi,
yaitu untuk memakmurkan bumi dan memanfaatkan alam raya guna menunjang
kebutuhan hidupnya di dunia. Hal ini ditegaskan dalam firman Allah SWT :
Artinya : “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman
kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di
muka bumi” (Q.S. al-Baqarah [2] : 30.[21]
Khalifah sebagaimana dikemukakan Quraish adalah
“Menggantikan Allah dalam menegakkan kehendak-Nya dan menerapkan ketetapan-Nya,
tetapi bukan karena Allah SWT tidak mampu tau menjadikan manusia berkedudukan
sebagai tuhan, namun karena Allah SWT bermaksud menguji manusia dan memberi
kehormatan”.[22]
Kedua, meneladani
kisah-kisah Al-Qur’an guna mengantarkan manusia kepada kesempurnaan
kemanusiaannya. Setelah memahami tujuan daripada penciptaan manusia di muka
bumi ini, maka tahap selanjutnya adalah meneladani dan mengambil ‘ibrah(pelajaran) dari kisah-kisah
yang terdapat di dalam Al-Qur’an. Sebagaimana dikemukakan dalam oleh Quraish
bahwasanya pengungkapan peristiwa-peristiwa sejarah merupakan salah satu metode
yang digunakan oleh Al-Qur’an dalam mewujudkan tujuan Al-Qur’an.[23]
Kisah-kisah dalam Al-Qur’an bertujuan untuk
memantapkan keyakinan orang-orang beriman agar senantiasa menjadikan Al-Qur’an
sebagai pedoman hidup, memberikan informasi yang benar tentang peristiwa dan
kejadiaan masa lalu, saat ini dan yang akan datang; dan sebagai bahan pelajaran
agar kesalahan-kesalahan yang
terjadi pada masa lalu tidak berulang kembali kepada manusia.
Sungguh
benar apa-apa yang telah difirmankan Allah SWT. Segala aturan tentang hidup ini
diciptakan tidak lain demi kemaslahatan hidup manusia itu sendiri. Namun,
terkadang manusia bersifat congkak dan sombong sehingga merasa hanya dirinyalah
(akalnya) yang mampu membuat kemaslahatan hidupnya sendiri dan mengingkari
ayat-ayat Allah serta Rasul-rasul yang diutus kepada mereka. Padahal manusia
yang lemah ini, sulit untuk berbuat adil kepada sesamanya, bahkan kepada
dirinya sendiri. Sebagaimana difirmankan Allah SWT:
Artinya : “Dan Apakah mereka tidak
mengadakan perjalanan di muka bumi dan memperhatikan bagaimana akibat (yang
diderita) oleh orang-orang sebelum mereka? orang-orang itu adalah lebih kuat
dari mereka (sendiri) dan telah mengolah bumi (tanah) serta memakmurkannya
lebih banyak dari apa yang telah mereka makmurkan. Dan telah datang kepada
mereka Rasul-rasul mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata. Maka Allah
sekali-kali tidak berlaku zalim kepada mereka, akan tetapi merekalah yang
berlaku zalim kepada diri sendiri” (Q.S. ar-Rum [30] : 9)[24].
BAB III
PENUTUP
Dari
uraian-uraian yang terdapat pada bab-bab sebelumnya, maka dapat ditarik
beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1. Kisah
Al-Qur’an merupakan informasi tentang pengalaman atau keadaan umat-umat, Nabi,
dan peristiwa yang telah lalu, saat ini dan yang akan datang.
2. Kisah-kisah
Al-Qur’an berbeda dengan buku sejarah atau dongeng yang dibuat manusia.
Perbedaan keduanya dapat terlihat pada : gaya bahasa dalam penyampaian kisah
tersebut dan sistematika penulisannya. Yang lebih penting lagi adalah Al-Qur’an
adalah petunjuk hidup yang sangat sempurna karena dibuat oleh Tuhan Yang Maha
Sempurna sedang buku sejarah atau dongeng yang dibuat manusia memiliki banyak
kekurangan dan kekeliruan.
3. Kisah dalam
Al-Qur’an memiliki manfaat yang sangat berharga bagi umat-umat yang hidup
setelahnya terutama bagi kita sebagai umat Nabi Muhammad SAW yang menjadikan
Al-Qur’an sebagai pedoman hidup, yaitu : (1) memantapkan keyakinan kita
untuk senantiasa menjadikan Al-Qur’an sebagai pedoman hidup; (2) memperoleh
informasi yang benar tentang peristiwa dan kejadiaan masa lalu, saat ini dan
yang akan datang; (3) sebagai bahan pelajaran agar kesalahan-kesalahan yang terjadi pada masa lalu tidak berulang kembali
kepada manusia.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qaththan, Manna’, Mabahits fi ‘Ulum Al-Qur’an,
Surabaya, Al-Hidayah, 1973
Al-Sa’di, Abdurrahman Nashir, 70 Kaidah Penafsiran Al-Qur’an, alih
bahasa Marsuni Sasaky & Mustahab Hasbullah, Jakarta, Pustaka Firadaus,
1997.
Al-‘Utsaimin, Muhammad bin Saleh, Dasar-dasar Penafsiran Al-Qur’an,
alih bahasa S. Agil Husin Al-Munawar & Ahmad Rifqi Muchtar, Semarang, Dina
Utama, tth.
Alwi, Sayyid Muhammad al-Maliki, Keistimewaan-keistimewaan Al-Qur’an,
alih bahasa Nur Faizin, Yogyakarta, Mitra Pustaka, 2001.
Ash Shiddieqy, Teuku Muhammad Hasbi, Ilmu-ilmu Al-Qur’an: Ilmu-ilmu Pokok dalam
Menafsirkan Al-Qur’an, Semarang, PT. Pustaka Rizki Putra, cetakan
kedua, 2002.
Depag RI, Al-Qur’an
dan Terjemahannya, Bandung, PT. Syaamil Cipta Media, 2005.
Quraish, Shihab M., Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas
Pelbagai Persoalan Umat, Bandung, Mizan, cet. VIII, 1998.
______, “Membumikan”
Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat,
Bandung, Mizan, cet. XXVIII, 2004.
______, Tafsir
al-Misbah : Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, Jakarta, Lentera
Hati, 2006.
Supiani dan Karman M., Ulumul Quran, Bandung, Pustaka
Islamika, 2002.
Umairah, Abdurrahman, Metode Al-Qur’an dalam Pendidikan,
Surabaya, Mutiara Ilmu, tth.
[1] M. Quraish Shihab, “Membumikan” Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu
dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung,
Mizan, 2004), cet. XXVIII, hlm. 40
[2] Depag RI, Al-Qur’an
dan Terjemahannya, (Bandung: PT.
Syaamil Cipta Media, 2005), hlm. 248.
[3]Ash Shiddieqy, Teuku Muhammad Hasbi, Ilmu-ilmu Al-Qur’an: Ilmu-ilmu Pokok dalam
Menafsirkan Al-Qur’an, (Semarang:
PT. Pustaka Rizki Putra, 2002), cetakan kedua, hlm. 191.
[4] Al-‘Utsaimin, Muhammad bin Saleh, Dasar-dasar Penafsiran Al-Qur’an, alih bahasa, S. Agil Husin Al-Munawar dan Ahmad Rifqi
Muchtar, ( Semarang: Dina Utama, tth), hlm. 70.
[5] Ash Shiddieqy, Teuku Muhammad Hasbi, loc.cit.
[6] Al-Qaththan, Manna’, Mabahits fi ‘Ulum Al-Qur’an, (Surabaya: Al-Hidayah, 1973), hlm. 306.
[7] Ash Shiddieqy, Teuku Muhammad Hasbi, loc.cit. Lihat juga Al-‘Utsaimin, Muhammad bin Saleh, op.cit., hlm. 71
[8] Ibid., 244-245.
[9] Alwi, Sayyid Muhammad al-Maliki, Keistimewaan-keistimewaan Al-Qur’an, alih bahasa Nur Faizin, (Yogyakarta: Mitra Pustaka,
2001), hlm. 46.
[10] Ibid., 246-247.
[11] Al-Sa’di, Abdurrahman Nashir, 70 Kaidah Penafsiran Al-Qur’an, alih
bahasa Marsuni Sasaky & Mustahab Hasbullah, (Jakarta: Pustaka Firadaus, 1997), hlm. 17.
[12] Al-Qaththan, Manna’, op.cit., hlm. 308.
[13] Supiani dan M. Karman, loc.cit. Lihat
pula dalam Umairah, Abdurrahman, Metode
Al-Qur’an dalam Pendidikan, (Surabaya:
Mutiara Ilmu, tth).
[14] Depag RI, loc.cit.
[15] Alwi, Sayyid Muhammad al-Maliki, op.cit., hlm. 47. Lihat Quraish, Shihab M., op.cit., hlm. 61.
[16] Quraish, Shihab M., Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas
Pelbagai Persoalan Umat, (Bandung:
Mizan, 1998), cet. VIII, hlm. 9.
[17] Supiani dan M. Karman, op.cit., hlm. 248-249.
[18] Al-Qaththan,
Manna’, op.cit., hlm. 307.
[19] Al-‘Utsaimin, Muhammad bin Saleh, op.cit., hlm 71-73.
[20] Depag RI, op.cit., hlm. 523.
[21] Ibid., hlm. 6.
[22] Quraish, Shihab M.,Tafsir al-Misbah : Pesan, Kesan dan Keserasian
Al-Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati,
2006), hlm. 142.
[23] Quraish, Shihab M., Membumikan..op.cit., hlm. 61.
[24] Depag RI, op.cit., hlm. 405.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar