Sabtu, 10 Desember 2016

KISAH DALAM AL-QURAN



BAB I
PENDAHULUAN
A.      Pendahuluan
Al-Qur’an adalah  firman Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi akhir zaman Muhammad SAW untuk menjadi petunjuk bagi manusia dalam memperoleh kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Sebagai sebuah petunjuk, Al-Qur’an mencakup segala aspek kehidupan seperti keimanan, hukum dan perundang-undangan serta norma-norma kehidupan pribadi, masyarakat, dan bernegara[1].
Di dalam Al-Qur’an juga terdapat banyak kisah yang menceritakan tentang peristiwa atau kejadian masa lalu, seperti kisah para Nabi dan rasul, kisah orang-orang beriman, kisah orang-orang yang durhaka kepada Allah SWT, dan lain-lain. Allah SWT menceritakan kisah tersebut untuk dijadikan bahan pelajaran bagi manusia, sebagaimana firman Allah SWT :
لَقَدْ كَانَ فِي قَصَصِهِمْ عِبْرَةٌ لأولِي الألْبَابِ مَا كَانَ حَدِيثًا يُفْتَرَى وَلَكِنْ تَصْدِيقَ الَّذِي بَيْنَ يَدَيْهِ وَتَفْصِيلَ كُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ
Artinya : “Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al Quran itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman” (Q.S. Yusuf  [12] : 111).[2]
Kisah-kisah di dalam Al-Qur’an merupakan salah satu metode yang digunakan Allah dalam upaya menanamkan nilai-nilai moral Qur’aniah kepada manusia. Bahasa yang digunakan Al-Qur’an dalam pengungkapan kisah-kisah dan peristiwa tersebut sangat menarik sehingga dapat menimbulkan kesan mendalam kepada pembaca dan pendengarnya, bukan saja untuk mengikuti kisahnya sampai akhir tapi juga akan berusaha meneladai kisah-kisah tersebut.
Namun tidak semua orang dapat mengambil i’tibar (pelajaran) dari kisah-kisah Al-Qur’an tersebut, sebagaimana disebutkan dalam surat Yusuf di atas, hanya orang-orang yang mau menggunakan akalnya saja yang dapat memetik hikmah dari kisah-kisah tersebut.
B.       Rumusan Masalah
Dari uraian-uraian yang telah disampaikan di atas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut :
1.      Apakah yang dimaksud dengan kisah-kisah Al-Qur’an ?
2.      Bagaimana karakteristik kisah-kisah Al-Qur’an dibandingkan dengan karya-karya ilmiah lainnya ?
3.      Apakah tujuan dari kisah-kisah Al-Qur’an dalam kaitannya dengan upaya pembentukan insan kamil ?
Dari rumusan masalah di atas maka pada bagian pembahasan berikut penulis berusaha untuk memaparkan makna (definisi), karakteristik dan tujuan kisah-kisah Al-Qur’an berdasarkan kajian penulis dari beberapa referensi yang penulis anggap sesuai.
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Qashash
Kisah diambil dari kata dasar bahasa Arab qashah yang merupakan mashdar dariqhashasha yang berarti mencari bekasan atau mengikuti bekasan (jejak). Qashah juga bermakna : urusan, berita, khabar, dan keadaan.[3] Di samping itu qashash juga bermakna mengulang kembali hal masa lalu.[4]
Sedangkan secara terminologi kisah Al-Qur’an adalah: “Kabar-kabar Al-Qur’an tentang keadaan-keadaan umat yang telah lalu dan kenabian masa dahulu, peristiwa-peristiwa yang telah terjadi”.[5]
Adapun Al-Qaththan mendefinisikan kisah Al-Qur’an dengan: “Kisah-kisah dalam Al-Qur’an yang yang menceritakan hal ihwal umat-umat terdahulu dan Nabi-nabi mereka serta peristiwa-peristiwa yang telah terjadi, yang sedang terjadi dan akan terjadi”.[6]
Jika pada definisi kisah Al-Qur’an yang pertama hanya mengkhususkan berita-berita  atau keadaan yang telah lampau, maka pada definisi kedua lebih kompleks, baik berita-berita yang telah terjadi maupun yang sedang dan akan terjadi. Namun, pada intinya kedua definisi tersebut sama-sama mengungkapkan informasi tentang pengalaman atau keadaan umat-umat, Nabi, maupun peristiwa yang terdapat dalam Al-Qur’an yang sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia yang akan datang sebagai sebuah bahan pelajaran.
Di dalam Al-Qur’an terdapat bermacam-macam kisah yang sangat menarik. Kisah-kisah tersebut beraneka-ragam, mulai dari awal penciptaan manusia, perjalanan hidupnya di dunia hingga perjalanan hidupannya di akhirat kelak. Namun para ulama berbeda pendapat mengenai pembagian kisah ini sebagai berikut.
Ash-Shiddieqy yang mengkhususkan kisah Al-Qur’an pada berita dan peristiwa pada masa lampau membagi kisah dalam Al-Qur’an mejadi tiga macam yaitu : pertama, kisah Nabi-nabi (qhashash al-anbiya’) yang menceritakan tentang dakwah para Nabi, mukjizat-mukjizatnya, sikap umat-umatnya dan akibatnya. Kedua, kisah tentang peristiwa-peristiwa yang telah terjadi dan orang-orang yang tidak dapat dipastikan kenabiannya seperti ashabul Kahfi, Qarun, dan lain-lain. Ketiga, kisah yang berkaitan dengan peristiwa-peristiwa pada masa Nabi Muhammad SAW, seperti peperangan, isra’ mikraj, hijrah dan lain-lain.[7]
Adapun Supiani dan Karman membagi kisah dalam Al-Qur’an menjadi dua macam secara garis besar, yaitu kisah ditinjau dari segi waktu dan kisah ditinjau dari segi materinya. Kisah-kisah dalam Al-Qur’an jika ditinjau dari segi waktu dibagi menjadi tiga macam, yaitu : (1) kisah masa lampau (al-qhashash al-ghuyub al-madhiyah); (2) kisah masa kini (al-qhashash al-ghuyub al-hadhirah); dan (3) kisah masa datang (al-qhashash al-ghuyub al-mustaqbalah). Sedangkan kisah Al-Qur’an ditinjau dari segi materinya dibagi menjadi tiga, yaitu: (1) kisah para Nabi terdahulu; (2) kisah orang-orang yang bukan Nabi dan kelompok-kelompok tertentu; dan (3) kisah tentang peristiwa yang terjadi pada masa Rasulullah SAW.[8]
B.       Karakteristik Kisah Al-Qur’an
Al-Qur’an merupakan wahyu dari Allah SWT, kisah-kisah dalam Al-Qur’an berbeda dengan kisah-kisah atau dongeng yang diciptakan manusia. Al-Qur’an juga bukan merupakan kitab sejarah walaupun di dalamnya banyak berisi sejarah, dan juga berbeda dengan sistematika penulisan karya ilmiah. Al-Qur’an memiliki karakteristik dan gaya bahasa sendiri dalam memaparkan kisah-kisah dan peristriwa sejarah.
Penuturan kisah dalam Al-Qur’an menurut Alwi tidak berarti Al-Qur’an merupakan buku cerita, namun mempunyai tujuan yang tinggi, yaitu menanamkan nasihat dan pelajaran yang dipetik dari peristiwa masa lalu.[9] Al-Qur’an memiliki keunikan dan keistimewaan dalam memaparkan kisah-kisah atau peristiwa. Keunikan dan perbedaan tersebut dapat terlihat pada :
a.    Kisah Al-Qur’an dalam waktu relatif singkat dapat menarik perhatian pembaca, sehingga pembaca tertatik untuk mengikuti peristiwanya, merenungkan maknanya dan terkesan oleh watak pelaku kisah tersebut. Kisah dalam Al-Qur’an pada umumnya dimulai dengan tuntutan, ancaman, peringatan akan bahaya sebelum persoalan dibuka dan dipecahkan sampai pada klimaksnya. Penyajian kisah ini tentu akan menarik perhatian pembaca maupun pendengarnya untuk mengetahui bagaimana akhir kisah tersebut.
b.    Kisah Al-Qur’an menyentuh nurani manusia dalam keadaannya yang utuh dan menyeluruh, sebagai terjelma dalam tokoh utama yang sengaja ditampilkan. Masing-masing tokoh ditampilkan pada pusat perhatian selaras dengan konteksnya.
c.    Kisah Al-Qur’an memberikan kesempatan kepada pembaca dan pendengarnya untuk mengembangkan pola pikirnya. Dalam konteks ini, kisah Al-Qur’an ditampilkan dalam dua bentuk, yaitu : pertama, kisah itu dilukiskan melalui pengisyaratan, sugesti dan harapan; dan kedua, kisah itu dilukiskan melalui berpikir dan merenung.[10]
Di samping itu Al-Qur’an juga sering kali memaparkan kisah atau peristiwa secara berulang-ulang dalam berbagai surat. Terkadang pada satu surat hanya disebutkan secara singkat, namun pada surat lain dijelaskan dengan panjang lebar dan lebih terperinci. Sebagaimana dikemukakan oleh al-Sa’di, bahwa perbedaan-perbedaan cara Al-Qur’an dalam pemaparan sebuah kisah merupakan sebuah metode pengajaran yang dilakukan oleh Al-Qur’an kepada para pendengar dan pembacanya.[11]
Lebih luas lagi al-Qaththan menyatakan bahwa kisah Al-Qur’an secara berulang-ulang memiliki hikmah tersendiri sebagai berikut :
a.       Menandaskan kebalagahan Al-Qur’an dalam bentuk yang paling tinggi, seperti menerangkan sebuah makana dalam berbagai macam susunan kalimat yang berbeda dari yang telah disebutkan, sehingga akan selalu terasa nikmat mendengar dan membacanya.
b.      Menampakkan kekuatan i’jaz (kemukjizatan) Al-Qur’an dengan menyebut suatu makna dalam berbagai bentuk susunan perkataan yang tidak dapat disamai oleh siapapun yang menunjukkan bahwasanya Al-Qur’an adalah benar-benar dari Allah.
c.       Mengulang-ulang sebuah kisah menunjukkan ta’kid (penguatan) yang merupakan tanda besarnya perhatian terhadap kisah tersebut.
d.      Di suatu tempat terkadang disebutkan singkat saja karena tujuannya hanya sampai itu saja yang diperlukan, sedang di tempat lain disebutkan secara panjang-lebar dan terinci karena yang demikianlah tujuan yang dikehendaki.[12]
C.    Tujuan Kisah Al-Qur’an
Kisah dalam Al-Qur’an bukan karya seni yang tanpa tujuan, melainkan salah satu dari metode Al-Qur’an dalam menuntun dan mewujudkan tujuan keagamaan ketuhanannya dan salah satu cara menyampaikan dan mengokohkan dakwah Islam.[13] Dalam menyampaikan maksud dan tujuannnya tersebut Al-Qur’an memiliki gaya bahasa yang sangat tinggi yang tidak mungkin ditandingi oleh siapapun (baik jin maupun manusia).
Tujuan utama dari kisah Al-Qur’an  tidak lain adalah agar setiap orang dapat mengambil pelajaran (‘ibrah wa mau’izah) sebagaimana ditegaskan Allah SWT dalam firman-Nya :

Artinya : “Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al Quran itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.[14]
Sebagaimana digambarkan oleh firman Allah di atas bahwa hanya orang-orang yang mau menggunakan akalnya saja yang dapat mengambil pelajaran dari kisah-kisah yang disampaikan Al-Qur’an yang kemudian secara sadar dan konsekuen untuk mewujudkannya dalam kehidupan sosial.
Kisah dalam Al-Qur’an memiliki tujuan yang sangat tinggi yang menunjukkan kesempurnaan Al-Qur’an sebagai sebuah pedoman hidup bagi manusia. Dengan membaca kisah-kisah dalam Al-Qur’an maka manusia akan mendapatkan manfaat berupa hakikat peristiwa, kemurnian akidah dan kesempurnaan sastra, serta meninggalkan selainnya.[15]      Al-Qur’an menempuh berbagai macam cara guna mengantar manusia kepada kesempurnaan kemanusiaannya antara lain dengan mengemukakan kisah-kisah faktual dan simbolik.[16]
Adapun tujuan khusus dari kisah Al-Qur’an sebagaimana dirangkum Supiana dan Karman sebagai berikut :
a.       Mengungkapkan kemantapan wahyu dan risalah serta mewujudkan rasa puas dalam menerima wahyu bahwa Muhammad yang ummi telah menyampaikan kisah-kisah tersebut pada umatnya.
b.      Menjelaskan prinsip dakwah kepada agama Allah dan keterangan pokok-pokok syariat yang dibawa oleh masing-masing Nabi dan Rasul.
c.       Menjelaskan bahwa Allah menolong dan mengasihi Rasul beserta orang-orang yang beriman serta menjelaskan bahwa Allah adalah Tuhan semua ummat (ummah wahidah).
d.      Menetapkan kedudukan kaum mukmin, memantapkan hati Nabi dan umatnya, menghibur mereka dari kesedihan atas musibah yang menimpa mereka.
e.       Mengoreksi kebohongan yang dibuat oleh ahlul kitab karena telah menyembunyikan kebenaran kitab mereka.
f.       Menunjukkan kebenaran Al-Qur’an dan kisah-kisah yang diceritakan Al-Qur’an.
g.      Menanamkan pendidikan akhlak karimah agar para para pembaca dan pengkaji Al-Qur’an mampu menghayati dan mengamalkan kandungan kisah dalam praktek kehidupan mereka.[17]
Sedangkan al-Qaththan memaparkan tujuan daripada kisah-kisah Al-Qur’an sebagai berikut :
a.       Menjelaskan dasar-dasar dakwah agama Allah dan menerangkan pokok-pokok syariat yang disampaikan oleh para Nabi.
b.      Mengokohkan hati Rasulullah dan umat beliau dalam beagama dan menguatkan kepercayaan para mukmin tentang datangnya pertolongan Allah dan hancurnya kebatilan.
c.       Mengabadikan usaha-usaha para Nabi dan pernyataan bahwa Nabi-nabi dahulu adalah benar.
d.      Memperlihatkan kebenaran dakwah Rasulullah SAW dengan menerangkan keadaan-keadaan umat terdahulu.
e.       Menyingkap kebohongan ahlul kitab yang telah menyembunyikan isi kitab mereka yang masih murni.
f.       Menarik perhatian mereka yang diberikan pelajaran.[18]
Senada dengan kedua pendapat di atas Al-‘Utsaimin[19]  juga mengemukakan hikmah-hikmah atau tujuan kisah dalam Al-Qur’an sebagai berikut:
a.       Allah hendak menampakkan hikmahnya yang terdapat dalam kisah-kisah tersebut (baca Q.S. 54 : 4-5).
b.      Menerangkan keadilan-Nya dalam menyiksa para pendusta (baca Q.S. 11 : 101).
c.       Menerangkan karunia-Nya dengan memberikan balasan (baca Q.S. 54 : 34-35)
d.      Sebagai pelipur lara Nabi SAW. terhadap sikap para pendusta (baca Q.S. 35 : 25).
e.       Sebagai sugesti untuk orang-orang mukmin agar tetap dan selalu meningkatkan keimanannya (baca Q.S. 21 : 28, Q.S. 30 : 47)
f.       Sebagai peringatan terhadap orang-orang kafir yang tetap dalam kekafirannya (Q.S. 47 : 10).
g.      Sebagai penetapan risalah Nabi Muhammad SAW., karena berita-berita umat tedahulu tidak ada yang mengetahuinya selain Allah SWT. (baca Q.S. 11 : 49, Q.S. 14 : 9).
Dari hikmah-hikmah dan tujuan kisah-kisah Al-Qur’an yang dipaparkan di atas menjadi sangat jelas urgensi kisah-kisah tersebut dalam pembentukan insan kamil yaitu sebagai bahan pelajaran bagi seluruh manusia untuk lebih mengokohkan hubungan vertikal dengan Allah SWT (habl min Allah) dan senantiasa juga menjalin hubungan baik dengan sesama manusia (habl min al-nas). Lebih jauh lagi, pemaparan kisah Al-Qur’an bertujuan untuk menunjukkan jalan yang lurus kepada manusia dalam rangka mencapai kebahagian hidup di dunia dan akhirat.
Pembentukan insan kamil melalui kisah-kisah Al-Qur’an menurut hemat penulis dapat ditempuh dengan dua cara. Pertama, memahami eksistensi (tujuan) dari penciptaan manusia. Al-Qur’an menginformasikan bahwasanya manusia diciptakan semata-mata untuk beribadah kepada Allah SWT (‘abd Allah), sebagaimana firman Allah SWT:

Artinya : “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku” (Q.S. al-Dzariyat [51] : 56).[20]
Disamping sebagai khalifah, manusia juga diciptakan untuk menjadi pemimpin di muka bumi, yaitu untuk memakmurkan bumi dan memanfaatkan alam raya guna menunjang kebutuhan hidupnya di dunia. Hal ini ditegaskan dalam firman Allah SWT :
Artinya : “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi” (Q.S. al-Baqarah [2] : 30.[21]
Khalifah sebagaimana dikemukakan Quraish adalah “Menggantikan Allah dalam menegakkan kehendak-Nya dan menerapkan ketetapan-Nya, tetapi bukan karena Allah SWT tidak mampu tau menjadikan manusia berkedudukan sebagai tuhan, namun karena Allah SWT bermaksud menguji manusia dan memberi kehormatan”.[22]
Kedua, meneladani kisah-kisah Al-Qur’an guna mengantarkan manusia kepada kesempurnaan kemanusiaannya. Setelah memahami tujuan daripada penciptaan manusia di muka bumi ini, maka tahap selanjutnya adalah meneladani dan mengambil ‘ibrah(pelajaran) dari kisah-kisah yang terdapat di dalam Al-Qur’an. Sebagaimana dikemukakan dalam oleh Quraish bahwasanya pengungkapan peristiwa-peristiwa sejarah merupakan salah satu metode yang digunakan oleh Al-Qur’an dalam mewujudkan tujuan Al-Qur’an.[23]
Kisah-kisah dalam Al-Qur’an bertujuan untuk memantapkan keyakinan orang-orang beriman agar senantiasa menjadikan Al-Qur’an sebagai pedoman hidup, memberikan informasi yang benar tentang peristiwa dan kejadiaan masa lalu, saat ini dan yang akan datang; dan sebagai bahan pelajaran agar  kesalahan-kesalahan yang terjadi pada masa lalu tidak berulang kembali kepada manusia.
Sungguh benar apa-apa yang telah difirmankan Allah SWT. Segala aturan tentang hidup ini diciptakan tidak lain demi kemaslahatan hidup manusia itu sendiri. Namun, terkadang manusia bersifat congkak dan sombong sehingga merasa hanya dirinyalah (akalnya) yang mampu membuat kemaslahatan hidupnya sendiri dan mengingkari ayat-ayat Allah serta Rasul-rasul yang diutus kepada mereka. Padahal manusia yang lemah ini, sulit untuk berbuat adil kepada sesamanya, bahkan kepada dirinya sendiri. Sebagaimana difirmankan Allah SWT:
Artinya : “Dan Apakah mereka tidak mengadakan perjalanan di muka bumi dan memperhatikan bagaimana akibat (yang diderita) oleh orang-orang sebelum mereka? orang-orang itu adalah lebih kuat dari mereka (sendiri) dan telah mengolah bumi (tanah) serta memakmurkannya lebih banyak dari apa yang telah mereka makmurkan. Dan telah datang kepada mereka Rasul-rasul mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata. Maka Allah sekali-kali tidak berlaku zalim kepada mereka, akan tetapi merekalah yang berlaku zalim kepada diri sendiri” (Q.S. ar-Rum [30] : 9)[24].


BAB III
PENUTUP
Dari uraian-uraian yang terdapat pada bab-bab sebelumnya, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1.      Kisah Al-Qur’an merupakan informasi tentang pengalaman atau keadaan umat-umat, Nabi, dan peristiwa yang telah lalu, saat ini dan yang akan datang.
2.      Kisah-kisah Al-Qur’an berbeda dengan buku sejarah atau dongeng yang dibuat manusia. Perbedaan keduanya dapat terlihat pada : gaya bahasa dalam penyampaian kisah tersebut dan sistematika penulisannya. Yang lebih penting lagi adalah Al-Qur’an adalah petunjuk hidup yang sangat sempurna karena dibuat oleh Tuhan Yang Maha Sempurna sedang buku sejarah atau dongeng yang dibuat manusia memiliki banyak kekurangan dan kekeliruan.
3.      Kisah dalam Al-Qur’an memiliki manfaat yang sangat berharga bagi umat-umat yang hidup setelahnya terutama bagi kita sebagai umat Nabi Muhammad SAW yang menjadikan Al-Qur’an sebagai pedoman hidup, yaitu : (1) memantapkan keyakinan kita untuk senantiasa menjadikan Al-Qur’an sebagai pedoman hidup; (2) memperoleh informasi yang benar tentang peristiwa dan kejadiaan masa lalu, saat ini dan yang akan datang; (3) sebagai bahan pelajaran agar  kesalahan-kesalahan yang terjadi pada masa lalu tidak berulang kembali kepada manusia.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qaththan, Manna’, Mabahits fi ‘Ulum Al-Qur’an, Surabaya, Al-Hidayah, 1973
Al-Sa’di, Abdurrahman Nashir, 70 Kaidah Penafsiran Al-Qur’an, alih bahasa Marsuni Sasaky & Mustahab Hasbullah, Jakarta, Pustaka Firadaus, 1997.
Al-‘Utsaimin, Muhammad bin Saleh, Dasar-dasar Penafsiran Al-Qur’an, alih bahasa S. Agil Husin Al-Munawar & Ahmad Rifqi Muchtar, Semarang, Dina Utama, tth.
Alwi, Sayyid Muhammad al-Maliki, Keistimewaan-keistimewaan Al-Qur’an, alih bahasa Nur Faizin, Yogyakarta, Mitra Pustaka, 2001.
Ash Shiddieqy, Teuku Muhammad Hasbi, Ilmu-ilmu Al-Qur’an: Ilmu-ilmu Pokok dalam Menafsirkan Al-Qur’an, Semarang, PT. Pustaka Rizki Putra, cetakan kedua, 2002.
Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Bandung, PT. Syaamil Cipta Media, 2005.
Quraish, Shihab M., Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat, Bandung, Mizan, cet. VIII, 1998.
______, “Membumikan” Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung, Mizan, cet. XXVIII, 2004.
______,  Tafsir al-Misbah : Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, Jakarta, Lentera Hati, 2006.
Supiani dan Karman M., Ulumul Quran, Bandung, Pustaka Islamika, 2002.
Umairah, Abdurrahman, Metode Al-Qur’an dalam Pendidikan, Surabaya, Mutiara Ilmu, tth.


[1] M. Quraish Shihab, “Membumikan” Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung, Mizan, 2004), cet. XXVIII, hlm. 40
[2] Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Bandung: PT. Syaamil Cipta Media, 2005), hlm. 248.
[3]Ash Shiddieqy, Teuku Muhammad Hasbi, Ilmu-ilmu Al-Qur’an: Ilmu-ilmu Pokok dalam Menafsirkan Al-Qur’an, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2002), cetakan kedua, hlm. 191.
[4] Al-‘Utsaimin, Muhammad bin Saleh, Dasar-dasar Penafsiran Al-Qur’an, alih bahasa, S. Agil Husin Al-Munawar dan Ahmad Rifqi Muchtar, ( Semarang: Dina Utama, tth), hlm. 70.
[5] Ash Shiddieqy, Teuku Muhammad Hasbi, loc.cit.
[6] Al-Qaththan, Manna’, Mabahits fi ‘Ulum Al-Qur’an, (Surabaya: Al-Hidayah, 1973), hlm. 306.
[7] Ash Shiddieqy, Teuku Muhammad Hasbi, loc.cit. Lihat juga Al-‘Utsaimin, Muhammad bin Saleh, op.cit., hlm. 71
[8] Ibid., 244-245.
[9] Alwi, Sayyid Muhammad al-Maliki, Keistimewaan-keistimewaan Al-Qur’an, alih bahasa Nur Faizin, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2001), hlm. 46.
[10] Ibid., 246-247.
[11] Al-Sa’di, Abdurrahman Nashir, 70 Kaidah Penafsiran Al-Qur’an, alih bahasa Marsuni Sasaky & Mustahab Hasbullah, (Jakarta: Pustaka Firadaus, 1997), hlm. 17.
[12] Al-Qaththan, Manna’, op.cit., hlm. 308.
[13] Supiani dan M. Karman, loc.cit. Lihat pula dalam Umairah, Abdurrahman, Metode Al-Qur’an dalam Pendidikan, (Surabaya: Mutiara Ilmu, tth).
[14] Depag RI, loc.cit.
[15] Alwi, Sayyid Muhammad al-Maliki, op.cit., hlm. 47. Lihat Quraish, Shihab M., op.cit., hlm. 61.
[16] Quraish, Shihab M., Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat, (Bandung: Mizan, 1998), cet. VIII, hlm. 9.
[17] Supiani dan M. Karman, op.cit.,  hlm. 248-249.
[18]  Al-Qaththan, Manna’, op.cit., hlm. 307.
[19] Al-‘Utsaimin, Muhammad bin Saleh, op.cit., hlm 71-73.
[20] Depag RI, op.cit., hlm. 523.
[21] Ibid., hlm. 6.
[22] Quraish, Shihab M.,Tafsir al-Misbah : Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati, 2006), hlm. 142.
[23] Quraish, Shihab M., Membumikan..op.cit., hlm. 61.
[24]  Depag RI, op.cit., hlm. 405.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar