Disebabkan tafsir ‘ilmi termasuk tafsir maudhu’i, maka sudah
menjadi kewajaran jika sebagian ulama menyatakan bahwa tafsir ‘ilmi dan
sejenisnya tidak dapat disebut tafsir Al-Qur’an, terlebih sulitnya menemukan
kitab-kitab tafsir maudhu’i. Karena pada umumnya, orang-orang yang menafsirkan
al-Qur’an dengan metode tematis hanya ditulis dalam beberapa halaman saja dan
masih jarang yang dibukukan. Kendati demikian, tafsir tematis kini menempati
posisi teratas dibanding metode lainnya. Kelonggaran persyaratan mufassir
menjadi salah satu penyebabnya, dimana seorang yang akan menafsirkan Al-Qur’an
dengan metode maudhu’i tidak lagi harus seorang yang menguasai ilmu tata bahasa
arab. Akibatnya, seorang ekonom, politisi, saintis dapat dengan bebas menafsirkan Al-Qur’an
sesuai keahliann yaitu.
Quraish Shihab pernah mengatakan bahwa menerapkan metode maudhu’i
memerlukan keahlian akademis (1998: xiv). Keahlian akademis tentunya meliputi
penguasaan ilmu-ilmu Al-Qur’an dan tafsir, ilmu-ilmu hadis, bahasa arab, dan
ilmu-ilmu yang sesuai dengan pokok bahasan tafsir yang diambil. Lebih lanjut ia
menjelaskan bahwa menafsirkan berbeda dengan berdakwah atau berceramah
dengan tafsir ayat Al-Qur’an. Seseorang yang tidak memenuhi syarat kelayakan
mufassir tidak berarti terlarang untuk menyampaikan uraian tafsir, selama
uraian yang dikemukakannya berdasarkan pemahaman para ahli tafsir yang telah
memenuhi syarat (1992: 79).
Pernyataan di atas menunjukkan bahwa tidak sembarang orang yang boleh
menafsirkan Al-Qur’an. Ia harus seorang yang benar-benar mumpuni. Jika hal itu
dilanggar, maka akan terjadi kesalahan penafsiran yang disebabkan: 1)
subyektifitas mufassir; 2) kekeliruan penerapan metode atau kaidah; 3)
kedangkalan ilmu-ilmu alat (bahasa arab); 4) kedangkalan pengetahuan tentang
pokok bahasan; 5) tidak memperhatikan konteks ayat; dan 6) tidak
memperhatikan siapa pembicara dan terhadap siapa pembicaraan ditujukan.
(Shihab, 1992: 79).
Disadari sepenuhnya, betapa berat syarat seorang yang akan
menafsirkan Al-Qur’an, terutama jika hendak menerapkan metode maudhu’i.
Permasalahannya zaman sekarang ini adalah sulitnya menemukan orang yang
benar-benar mumpuni dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan. Tidak ada seorang
ulama yang juga menguasai ilmu kedokteran, biologi, fisika, geografi, dan lain
sebagainya seperti halnya Al-Khawarizmi, Al-Biruni, Ibnu Sina, Ibnu Khaldun,
dan lainnya. Sekalipun ada, hanyalah segelintir orang dari sekian banyaknya
penduduk di dunia ini.
Dikotomi ilmu pengetahuan dapat menjadi penyebab pertama persoalan
di atas. Dewasa ini, banyak orang beranggapan bahwa ilmu pengetahuan agama
hanyalah untuk mencapai akhirat, sedangkan untuk kebahagiaan duniawi diperlukan
ilmu pengetahuan umum. Menurut mereka, ilmu agama termasuk ilmu Al-Qur’an,
hadis, fiqih, tauhid, akhlak, tasawuf. Dan yang dimaksud ilmu umum adalah ilmu
alam, sosial, politik, ekonomi, teknologi, dan seterusnya.
Al-Ghazali menyatakan dalam Ihya’
Ulumuddin bahwa hukum
mencari ilmu ushul,
seperti tata cara wudhu, shalat dan puasa yang benar ialah fardhu ‘ain. Sedangkan mencari
ilmu kauniyah,
seperti ilmu kedokteran, ilmu hukum, militer, sosial, dan sebagainya mempunyai
hukum fardhu kifayah, karena ilmu-ilmu
itu diperlukan untuk keselamatan, keamanan, dan tegaknya masyarakat muslim.
(Baiquni, 1996: 126-127). Pendapat Al-Ghazali tersebut, meskipun terkesan
mendikotomikan ilmu, tetapi pada hakikatnya umat islam wajib mempelajari semua
bidang ilmu pengetahuan.
Persoalan dikotomisasi ilmu terhadap metodologi
tafsir ‘ilmi, sebenarnya dapat diselesaikan. Yakni dengan cara kerja sama para
pakar ilmu pengetahuan untuk bersama-sama mufassir menafsirkan ayat-ayat
al-Qur’an. Dengan begitu, diharapkan tidak lagi dijumpai kekeliruan dalam
penafsiran dan tujuan utama diturunkannya Al-Qur’an (hudan) dapat tersampaikan
kepada stakeholders dengan baik.
Sayangnya, persoalan tidak selesai sampai
disitu. Dikotomisasi ilmu memang dapat diatasi, tetapi mayoritas mufassir yang
menafsirkan Al-Qur’an dengan metode tafsir ‘ilmi lebih cenderung sekedar
membuktikan bahwa Al-Qur’an memang benar. Ini terlihat ketika mufassir
mengangkat suatu tema, misalnya tentang asal-usul manusia, maka ia terlebih
dahulu menjelaskan teori-teori tentangnya, baik teori barat maupun teori
muslim, kemudian pada akhirnya ia akan mengatakan bahwa teori itu semua telah
dijelaskan di dalam Al-Qur’an dalam surat dan ayat sekian.
Budaya demikian tidak hanya menyerang para
mufassir modern, tetap ia juga ditemukan pada sebagian besar cendekiawan
muslim, dan para khatib atau penceramah. Setiap ada penemuan
baru, mereka akan cepat berkata: Al-Qur’an sejak lama, sejak sekian abad lalu,
telah menyatakan hal ini; Al-Qur’an sudah lama mendahului ilmu pengetahuan
dalam penemuan-penemuan ilmiahnya; dan seterusnya yang semua itu tiada lain
adalah kompensasi—meminjam istilah Quraish Shihab—perasaan inferiority complex. Di lain pihak
para penemu tadi, yang umumnya para ilmuwan barat/non muslim, hanya tersenyum
mengejek melihat keadaan umat islam disertai kata-kata sinis: kalau memang demikian,
mengapa kalian (umat muslim) tidak menyampaikan hal ini sebelum kami
menghabiskan waktu, tenaga dan dana untuk penelitian?
Tidaklah dapat dipungkiri sebagai fakta
sejarah, bahwa setelah mengalami zaman keemasan selama kurang lebih 500 tahun
secara berturut-turut umat Islam mulai disisihkan di bidang ilmu pengetahuan
kealaman atau kauniah oleh bangsa Eropa, Amerika, Jepang,
dan kini menempati posisi yang paling lemah. Sebagai akibatnya, umat Islam
lemah dalam bidang sains dan teknologi, sebab sains dan teknologi modern
bertumpu pada ilmu kauniah.
Sementara orang berpendapat bahwa ilmu kauniah tidak diperlukan karena tidak dapat
meningkatkan kesejahteraan umat/bangsa. Bagi mereka, lebih baik kita manfaatkan
saja teknologi yang sudah ada tanpa kita harus bersusah payah mempelajari ilmu kauniah. (Baiquni, 1996: 149).
Inilah penyakit umat Islam saat ini yang
tampaknya cukup sulit diobati. Mereka cenderung memilih menjadi konsumen
ketimbang menjadi produsen. Mereka sudah merasa cukup dengan ilmu ushul tanpa mau peduli terhadap ilmu kauniah. Akibatnya, mereka hanya
bisa mengklaim teori-teori ilmu pengetahuan dan teknologi bahwa itu semua
sebenarnya milik umat Islam dan sudah lebih dahulu dijelaskan di dalam
Al-Qur’an. Padahal, sebagaimana dijelaskan Ahmad Baiquni, apabila seorang
muslim menjadi ilmuwan dari spesialisasi ilmu kauniah maka ia akan menjadi pengabdi Tuhan
yang taat, dan apabila ia dari spesialisasi ilmu ushul maka akan terpupuk pula pengabdiannya
kepada masyarakat dan pandangannya mempunyai cakrawala yang luas. (1996: 153).
Alangkah indahnya jka keduanya bersatu sehingga bisa tercipta abdi-abdi Tuhan
yang benar-benar taat karena pengetahuannya yang imbang serta dapat secara luas
dan meyakinkan masyarakat akan kebesaran Tuhan sang pencipta.
Terima kasih ilmunya.
BalasHapushttps://oakunambahilmu.wordpress.com/