Sabtu, 10 Desember 2016

REALITAS TAFSIR ILMI



Disebabkan tafsir ‘ilmi termasuk tafsir maudhu’i, maka sudah menjadi  kewajaran jika sebagian ulama menyatakan bahwa tafsir ‘ilmi dan sejenisnya tidak dapat disebut tafsir Al-Qur’an, terlebih sulitnya menemukan kitab-kitab tafsir maudhu’i. Karena pada umumnya, orang-orang yang menafsirkan al-Qur’an dengan metode tematis hanya ditulis dalam beberapa halaman saja dan masih jarang yang dibukukan. Kendati demikian, tafsir tematis kini menempati posisi teratas dibanding metode lainnya. Kelonggaran persyaratan mufassir menjadi salah satu penyebabnya, dimana seorang yang akan menafsirkan Al-Qur’an dengan metode maudhu’i tidak lagi harus seorang yang menguasai ilmu tata bahasa arab. Akibatnya, seorang ekonom, politisi, saintis dapat dengan bebas menafsirkan Al-Qur’an sesuai keahliann yaitu.
Quraish Shihab pernah mengatakan bahwa menerapkan metode maudhu’i memerlukan keahlian akademis (1998: xiv). Keahlian akademis tentunya meliputi penguasaan ilmu-ilmu Al-Qur’an dan tafsir, ilmu-ilmu hadis, bahasa arab, dan ilmu-ilmu yang sesuai dengan pokok bahasan tafsir yang diambil. Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa menafsirkan  berbeda dengan berdakwah atau berceramah dengan tafsir ayat Al-Qur’an. Seseorang yang tidak memenuhi syarat kelayakan mufassir tidak berarti terlarang untuk menyampaikan uraian tafsir, selama uraian yang dikemukakannya berdasarkan pemahaman para ahli tafsir yang telah memenuhi syarat (1992: 79).
Pernyataan di atas menunjukkan bahwa tidak sembarang orang yang boleh menafsirkan Al-Qur’an. Ia harus seorang yang benar-benar mumpuni. Jika hal itu dilanggar, maka akan terjadi kesalahan penafsiran yang disebabkan: 1) subyektifitas mufassir;  2) kekeliruan penerapan metode atau kaidah; 3) kedangkalan ilmu-ilmu alat (bahasa arab); 4) kedangkalan pengetahuan tentang pokok bahasan; 5) tidak memperhatikan konteks ayat; dan  6) tidak memperhatikan siapa pembicara dan terhadap siapa pembicaraan ditujukan. (Shihab, 1992: 79).
Disadari sepenuhnya, betapa berat syarat  seorang yang akan menafsirkan Al-Qur’an, terutama jika hendak menerapkan metode maudhu’i. Permasalahannya zaman sekarang ini adalah sulitnya menemukan orang yang benar-benar mumpuni dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan. Tidak ada seorang ulama yang juga menguasai ilmu kedokteran, biologi, fisika, geografi, dan lain sebagainya seperti halnya Al-Khawarizmi, Al-Biruni, Ibnu Sina, Ibnu Khaldun, dan lainnya. Sekalipun ada, hanyalah segelintir orang dari sekian banyaknya penduduk di dunia ini.
Dikotomi ilmu pengetahuan dapat menjadi penyebab pertama persoalan di atas. Dewasa ini, banyak orang beranggapan bahwa ilmu pengetahuan agama hanyalah untuk mencapai akhirat, sedangkan untuk kebahagiaan duniawi diperlukan ilmu pengetahuan umum. Menurut mereka, ilmu agama termasuk ilmu Al-Qur’an, hadis, fiqih, tauhid, akhlak, tasawuf. Dan yang dimaksud ilmu umum adalah ilmu alam, sosial, politik, ekonomi, teknologi, dan seterusnya.
Al-Ghazali menyatakan dalam Ihya’ Ulumuddin bahwa hukum mencari ilmu ushul, seperti tata cara wudhu, shalat dan puasa yang benar ialah fardhu ‘ain. Sedangkan mencari ilmu kauniyah, seperti ilmu kedokteran, ilmu hukum, militer, sosial, dan sebagainya mempunyai hukum fardhu kifayah, karena ilmu-ilmu itu diperlukan untuk keselamatan, keamanan, dan tegaknya masyarakat muslim. (Baiquni, 1996: 126-127). Pendapat Al-Ghazali tersebut, meskipun terkesan mendikotomikan ilmu, tetapi pada hakikatnya umat islam wajib mempelajari semua bidang ilmu pengetahuan.
Persoalan dikotomisasi ilmu terhadap metodologi tafsir ‘ilmi, sebenarnya dapat diselesaikan. Yakni dengan cara kerja sama para pakar ilmu pengetahuan untuk bersama-sama mufassir menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an. Dengan begitu, diharapkan tidak lagi dijumpai kekeliruan dalam penafsiran dan tujuan utama diturunkannya Al-Qur’an (hudan) dapat tersampaikan kepada stakeholders dengan baik.
Sayangnya, persoalan tidak selesai sampai disitu. Dikotomisasi ilmu memang dapat diatasi, tetapi mayoritas mufassir yang menafsirkan Al-Qur’an dengan metode tafsir ‘ilmi lebih cenderung sekedar membuktikan bahwa Al-Qur’an memang benar. Ini terlihat ketika mufassir mengangkat suatu tema, misalnya tentang asal-usul manusia, maka ia terlebih dahulu menjelaskan teori-teori tentangnya, baik teori barat maupun teori muslim, kemudian pada akhirnya ia akan mengatakan bahwa teori itu semua telah dijelaskan di dalam Al-Qur’an dalam surat dan ayat sekian.
Budaya demikian tidak hanya menyerang para mufassir modern, tetap ia juga ditemukan pada sebagian besar cendekiawan muslim, dan para khatib atau penceramah. Setiap ada penemuan baru, mereka akan cepat berkata: Al-Qur’an sejak lama, sejak sekian abad lalu, telah menyatakan hal ini; Al-Qur’an sudah lama mendahului ilmu pengetahuan dalam penemuan-penemuan ilmiahnya; dan seterusnya yang semua itu tiada lain adalah kompensasi—meminjam istilah Quraish Shihab—perasaan inferiority complex. Di lain pihak para penemu tadi, yang umumnya para ilmuwan barat/non muslim, hanya tersenyum mengejek melihat keadaan umat islam disertai kata-kata sinis: kalau memang demikian, mengapa kalian (umat muslim) tidak menyampaikan hal ini sebelum kami menghabiskan waktu, tenaga dan dana untuk penelitian?
Tidaklah dapat dipungkiri sebagai fakta sejarah, bahwa setelah mengalami zaman keemasan selama kurang lebih 500 tahun secara berturut-turut umat Islam mulai disisihkan di bidang ilmu pengetahuan kealaman atau kauniah oleh bangsa Eropa, Amerika, Jepang, dan kini menempati posisi yang paling lemah. Sebagai akibatnya, umat Islam lemah dalam bidang sains dan teknologi, sebab sains dan teknologi modern bertumpu pada ilmu kauniah. Sementara orang berpendapat bahwa ilmu kauniah tidak diperlukan karena tidak dapat meningkatkan kesejahteraan umat/bangsa. Bagi mereka, lebih baik kita manfaatkan saja teknologi yang sudah ada tanpa kita harus bersusah payah mempelajari ilmu kauniah. (Baiquni, 1996: 149).
Inilah penyakit umat Islam saat ini yang tampaknya cukup sulit diobati. Mereka cenderung memilih menjadi konsumen ketimbang menjadi produsen. Mereka sudah merasa cukup dengan ilmu ushul tanpa mau peduli terhadap ilmu kauniah. Akibatnya, mereka hanya bisa mengklaim teori-teori ilmu pengetahuan dan teknologi bahwa itu semua sebenarnya milik umat Islam dan sudah lebih dahulu dijelaskan di dalam Al-Qur’an. Padahal, sebagaimana dijelaskan Ahmad Baiquni, apabila seorang muslim menjadi ilmuwan dari spesialisasi ilmu kauniah maka ia akan menjadi pengabdi Tuhan yang taat, dan apabila ia dari spesialisasi ilmu ushul maka akan terpupuk pula pengabdiannya kepada masyarakat dan pandangannya mempunyai cakrawala yang luas. (1996: 153). Alangkah indahnya jka keduanya bersatu sehingga bisa tercipta abdi-abdi Tuhan yang benar-benar taat karena pengetahuannya yang imbang serta dapat secara luas dan meyakinkan masyarakat akan kebesaran Tuhan sang pencipta.

1 komentar: