BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Sifat-sifat kenabian Nabi Muhammad
bukanlah sesuatu yang dicitrakan oleh Nabi itu sendiri, tapi merupakan
perasaan-perasaan yang diakumulasikan oleh orang-orang yang berada di
sekitarnya atau orang-orang yang mengenal diri Nabi walaupun mereka hidup jauh
dari masa Nabi. Hal
ini penting, agar kita memahami bahwa sifat-sifat kenabian merupakan buah
prestasi bukan buah doktrinasi. Maka untuk mengikuti langkah fase sifat
kenabian, yang terpenting adalah taburkan prestasi dan biarkan orang sekitar
kita untuk menilai bagaimana kita. Selain itu, seluruh kebaikan yang dilakukan
oleh Nabi Muhammad, digerakkan oleh keimanannya yang kuat, keimanan yang
bersumber dari wahyu Allah, keimanan yang membuahkan optiomisme yang
kuat. Maka lingkungan di sekitarnya, baik yang positif maupun yang negatif, tidak membuatnya berubah
pendirian.
Salah satu sifat yang dimiliki Nabi saw
sehinggah Nabi saw sukses dalam menyampaikan wahyu Allah saw kepada ummanya,
yaitu sifat Al-Tabligh (Menyampaikan/Transparan) lawan dari sifat Al-Khianat
(Berhianat). Sifat ini
muncul karena masyarakat merasa bahwa segala hak kehidupannya terpenuhi oleh
pola hidup Nabi. Ini merupakan
sifat yang dibutuhkan oleh siapapun. Bila saja sifat itu dapat dimilki oleh
seseorang, maka alam sekitarnya, terutama orang-orang yang berada di sekitarnya
akan merasa tentram dan damai.
Di dalam makalah ini kami akan memaparkan tentang
hadits yang berkenaan dengan tabligh serta makna yang terkandung dalam hadits tersebut. Kami
menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu, kritik dan
saran yang membangun yang kami harapkan dari pembaca, agar lebih baik untuk
yang akan datang, Semoga tulisan ini bermanfaat bagi kita semuanya, Amin.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas maka dapat dirumuskan beberapa masalah
yang menjadi acuan pembahasan dalam makalah ini, yaitu:
1. Bagaimana Redaksi Dan Terjemah Hadits Tentang Tabligh ?
2. Apa Pengertian Tabligh ?
3. Apa Isi Kandungan Dari Hadits Tersebut ?
4. Bagaimana Metode Tabligh ?
5. Bagaimanakah tabligh dalam kepemerintahan ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Matan Dan Terjemah Hadits
عن عبد الله بن عمرى بن العاص رضي الله عنهما :
ان النبي صلى الله عليه وسلم قال : بلغوا عني ولو اية – رواه البخارى
Artinya
:
Dari Abdullāh
bin ‘Amr bi ‘Āsh ra. Bahwasanya Rasulullāh saw bersabda : “Sampaikanlah
dariku walau hanya satu ayat” ( HR. Al-Bukhari 3/1275/No 3274)
B. Pengertian Tablig
Secara bahasa,
Tabligh berasal dari kata ballaga, yuballigu, tablīgan, yang berarti menyampaikan. Tabigh adalah kata kerja
transtif, yang berarti membuat seseorang sampai, menyampaikan, atau melaporkan,
dalam arti menyampaikan sesuatu kepada orang lain. Dalam bahasa Arab, orang
yang menyampaikan disebut Mubaligh.
Dalam pandangan Muḥammād ‘Ala Ṭanvi,
membahas Tabligh sebagai sebuah istilah ilmu dalam retorika, yang didefinisikan
sebagai sebuah pernyataan kesastraan yang secara fisik maupun logis mungkin.
Bagaimana orang yang diajak bicara bisa terpengaruh, terbuai, atau terbius,
serta yakin dengan untaian kata-kata atau pesan yang disampaikan. Jadi menurut
pendapat ini, dalam Tabligh ada aspek yang berhubungan dengan kepiawaian
penyampai pesan dalam merangkai kata-kata yang indah yang mampu membuat lawan
bicara terpesona.
Sedangkan menurut Dr.
Ibrahīm, Tabligh
adalah, “Memberikan informasi yang benar, pengetahuan yang faktual, dan hakkat pasti yang bisa menolong
dan membantu manusia untuk membentuk pendapat yang tepat dalam suatu kejadian
atau dari berbagai kesulitan.
Sedangkan dalam
koteks ajaran Islam, tabligh adalah penyampaian dan pemberitaaan tentang
ajaran-ajaran Islam kepada umat manusia, yang dengan penyampaian dan
pemberitaan tersebut, pemberita menjadi terlepas dari beban kewajiban
memberitakan dan pihak
penerima berita menjadi terikat dengannya.
Dalam konsep Islam,
tabligh merupakan salah satu perintah yang dibebankan kepada para utusan-Nya.
Nabi Muhammad sebagai utusan Allah beliau menerima risalah dan diperintahkan
untuk menyampaikannya kepada seluruh umat manusia, yang selanjutnya tugas ini
diteruskan oleh pegikut dan umatnya.
C. Isi Kandungan Hadits
Pertama:
Nabi saw memerintahkan untuk menyampaikan
perkara agama dari beliau, karena Allah swt telah menjadikan agama ini sebagai satu-satunya agama bagi
manusia dan jin (yang artinya), “Pada hari ini telah kusempurnakan bagimu
agamamu dan telah kusempurnakan bagimu nikmat-Ku dan telah aku ridhai Islam
sebagai agama bagimu” (QS. Al Maidah : 3). Tentang sabda beliau, “Sampaikan
dariku walau hanya satu ayat”, Al-Ma’afi An-Nahrawani mengatakan, “Hal ini agar setiap
orang yang mendengar suatu perkara dari Nabi saw bersegera untuk menyampaikannya,
meskipun hanya sedikit. Tujuannya agar nukilan dari Nabi saw dapat segera tersambung dan
tersampaikan seluruhnya.” Hal ini sebagaimana sabda beliau saw, “Hendaklah yang hadir
menyampaikan pada yang tidak hadir”. Bentuk perintah dalam hadits ini
menunjukkan hukum fardhu kifayah.
Kedua:
Tabligh, atau menyampaikan ilmu dari
Rasulullah saw
terbagi dalam dua bentuk :
- Menyampaikan dalil dari Al Qur’an atau sebagiannya dan dari As Sunnah, baik sunnah yang berupa perkataan (qauliyah), perbuatan (amaliyah), maupun persetujuan (taqririyah), dan segala hal yang terkait dengan sifat dan akhlak mulia Nabi saw. Cara penyampaian seperti ini membutuhkan hafalan yang bagus dan mantap. Juga cara dakwah seperti ini haruslah disampaikan dari orang yang jelas Islamnya, baligh (dewasa) dan memiliki sikap ‘adalah (sholeh, tidak sering melakukan dosa besar, menjauhi dosa kecil dan menjauhi hal-hal yang mengurangi harga diri/ muru’ah, ed).
- Menyampaikan secara makna dan pemahaman terhadap nash-nash yang ada. Orang yang menyampaikan ilmu seperti ini butuh kapabilitas dan legalitas tersendiri yang diperoleh dari banyak menggali ilmu dan bisa pula dengan mendapatkan persaksian atau izin dari para ulama. Hal ini dikarenakan memahami nash-nash membutuhkan ilmu-ilmu lainnya, di antaranya bahasa, ilmu nahwu (tata bahasa Arab), ilmu-ilmu ushul, musthalah, dan membutuhkan penelaahan terhadap perkataan-perkataan ahli ilmu, mengetahui ikhtilaf (perbedaan) maupun kesepakatan yang terjadi di kalangan mereka, hingga ia mengetahui mana pendapat yang paling mendekati dalil dalam suatu masalah khilafiyah. Dengan bekal-bekal ilmu tersebut akhirnya ia tidak terjerumus menganut pendapat yang ‘nyleneh’.
Ketiga:
Sebagian orang yang mengaku sebagai
da’i, pemberi wejangan, dan pengisi ta’lim, padahal nyatanya ia tidak memiliki
pemahaman (ilmu mumpuni) dalam agama, berdalil dengan hadits “Sampaikan
dariku walau hanya satu ayat”. Mereka beranggapan bahwasanya tidak
dibutuhkan ilmu yang banyak untuk berdakwah (asalkan hafal ayat atau hadits,
boleh menyampaikan semau pemahamannya). Bahkan mereka berkata bahwasanya
barangsiapa yang memiliki satu ayat maka ia telah disebut sebagai pendakwah,
dengan dalil hadits Nabi saw tersebut. Menurut mereka, tentu yang
memiliki hafalan lebih banyak dari satu ayat atau satu hadits lebih layak jadi
pendakwah.
Pernyataan di atas jelas keliru dan
termasuk pengelabuan yang tidak samar bagi orang yang dianugerahi ilmu oleh
Allah. Hadits di atas tidaklah menunjukkan apa yang mereka maksudkan, melainkan
di dalamnya justru terdapat perintah untuk menyampaikan ilmu dengan pemahaman
yang baik, meskipun ia hanya mendapatkan satu hadits saja. Apabila seorang
pendakwah hanya memiliki hafalan ilmu yang mantap, maka ia hanya boleh
menyampaikan sekadar hafalan yang ia dengar. Adapun apabila ia termasuk ahlul
hifzh wal fahm (punya hafalan ilmu dan pemahaman yang bagus), ia dapat
menyampaikan dalil yang ia hafal dan pemahaman ilmu yang ia miliki. Demikianlah
sabda Nabi saw,
“Terkadang orang yang disampaikan ilmu itu lebih paham dari yang mendengar
secara langsung. Dan kadang pula orang yang membawa ilmu bukanlah orang yang
faqih (bagus dalam pemahaman)”. Bagaimana seseorang bisa mengira bahwa Nabi
shallallaahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan orang yang tidak paham
agama untuk mengajarkan berdasarkan pemahaman yang ia buat asal-asalan (padahal
ia hanya sekedar hafal dan tidak paham).
D.
Penetapan metode Tabligh
Dari segi metode
tabligh, apabila mengacu kepada definisi dan contoh tabligh yang dilakukan oleh
Rasulullah SAW, dapat dibagi menjadi dua, yaitu tabligh melalui lisan (khitabah),
dan tabligh melalui tulisan (kitabah)
1. Khitabah
Khitabah menurut
Harun Nasution adalah ceramah atau pidato yang mengandung penjelasan-penjelasan
tentang sesuatu atau beberapa masalah yang disampaikan seseorang dihadapan
sekelompok orang atau khalayak. Dengan demikian, khitabah dapat diartikan
sebagai upaya sosialisasi nilai-nilai Islam melalui media lisan baik yang
terkait langsung dengan pelaksanaan ibadah mahdhoh, maupun yang tidak berkait
dengan ibadah mahdhoh.
2.
Kitabah
Tabligh melalui
media tulisan disebut dengan kitabah, yaitu proses penyampaian ajaran Islam
melalui bahasa tulisan bisa berupa buku, majalah, jurnal, surat kabar, brosur,
dan lain sebagainya. Yang berisi pesan-pesan ke-Islaman. Termasuk dalam
katagori ini bentuk-bentuk media cetak lain berupa lukisan, kaligrafi, photo
yang mengandung pesan-pesan ke-Islaman.
E.
Tabligh pada pemerintahan
Tabligh memiliki hubungan yang erat sekali
dengan kepemimpinan, bahkan dapat dikatakan bahwa tiada kepemimpinan tanpa tabligh. Kemampuan bertabligh akan menentukan berhasil
tidaknya seorang pemimpin dalam melaksanakan tugasnya. Setiap pemimpin memiliki
pengikut guna merealisir gagasannya dalam rangka mencapai tujuan tertentu.
Disinilah pentingnya kemampuan bertabligh
bagi seorang pemimpin, khususnya dalam usaha untuk mempengaruhi perilaku orang
lain. Inilah hakekatnya dari suatu manajemen dalam organisasi.
Melalui sejarah,
kita banyak mendengar kisah sukses para pemimpin pada masa lalu dan masa kini. Kesuksesan mereka tidak terlepas dari
kemampuan para pemimpinnya bertabligh serta menyampaikan informasi
secara benar, terbuka, transpran dan akuntabel. Ia tidak ada rahasia, tidak
pura-pura membantu rakyat, dan tidak menyalahgunakan proyek pembangunan.
Sifat
tabligh harus dimiliki oleh
seorang pemimpin Islam dalam menjalankan tugasnya sebagai khalifah Allah swt di dunia ini. Pemimpin harus selalu menyampaikan
tentang kebenaran yang seharusnya disampaikan kepada orang yang dipimpinnya.
Dia harus komunikatif dan tidak boleh menyembunyikan hal-hal yang seharusnya
disampikan. Setiap informasi yang
menyangkut dan berpotensi berimbas positif ataupun negatif terhadap
institusinya hendaknya terserap dengan baik oleh seorang pemimpin. Perkembangan
dan perubahan interen institusi pun tak boleh luput dari pantaunnya. Semua
informasi tersebut hendaknya disaring dengan bawahannya untuk dengar pendapat
dan diskusi terbuka sebagai masukan dan bahan pertimbangan untuk mengambil
kebijakan setelahnya.
Pemimpin yang
punya sifat tabligh tak segan untuk berbagi kepada rakyat yang dipimpinnya dan
mendengarkan setiap nasehat ulama dan cendikia yang berguna bagi kemaslahatan
mereka. Pemimpin seperti ini akan
menjadi sosok pemimpin yang disegani, dihormati dan dicintai.
Sifat tabligh pada sebuah kepemimpinan meliputi
beberapa hal, yaitu sebagai berikut :
1. Mampu berkomunikasi efektif
2. Lebih banyak mendengar aspirasi orang-orang yang dipimpinnya
3. Bahasa komunikasinya bisa dimengerti oleh orang-orang yang
dipimpinnya
4. Mudah dihubungi dan juga mudah untuk dekat dengan siapapun
5. Ramah tamah, selalu respek terhadap orang-orang yang dipimpinnya
6. Mempunyai perimbangan yang bijak serta selalu bersahabat
kepada setiap
orang.
7. Sifat tabligh dalam memimpin juga menuntut untuk selalu berusaha
memahami keinginan orang-orang yang dipimpinnya serta mengetahui kebutuhan
orang-orang yang dipimpinnya.
BAB III
PENUTUP
Secara bahasa,
Tabligh berasal dari kata balagha, yuballighu, tablighan, yang berarti
menyampaikan. Tabigh adalah kata kerja transtif, yang berarti membuat seseorang
sampai, menyampaikan, atau melaporkan, dalam arti menyampaikan sesuatu kepada
orang lain. Dalam bahasa Arab, orang yang menyampaikan disebut Mubaligh.
Isi kandungan hadits diatas terdiri atas tiga
bagian, yaitu sebagai berikut :
1.
Setiap orang yang mendengar suatu perkara
dari Nabi saw bersegera untuk
menyampaikannya, meskipun hanya sedikit.
2.
Tabligh, atau menyampaikan ilmu dari Rasulullah saw terbagi dalam dua bentuk.
Pertama: Menyampaikan dalil dari Al Qur’an atau sebagiannya dan dari
As Sunnah, baik sunnah yang berupa perkataan, perbuatan, maupun persetujuan,
dan segala hal yang terkait dengan sifat dan akhlak mulia Nabi saw. Kedua: Menyampaikan secara makna dan
pemahaman terhadap nash-nash yang ada.
3.
Hadits di atas tidaklah menunjukkan serta merta
menyampaikan dengan begitu saja,
melainkan di dalamnya justru terdapat perintah untuk menyampaikan ilmu dengan
pemahaman yang baik, meskipun ia hanya mendapatkan satu hadits saja.
Dari segi metode
tabligh, apabila mengacu kepada definisi dan contoh tabligh yang dilakukan oleh
Rasulullah SAW, dapat dibagi menjadi dua, yaitu tabligh melalui lisan
(khitabah), dan tabligh melalui tulisan (kitabah).
Sifat tabligh harus dimiliki oleh seorang pemimpin Islam dalam menjalankan
tugasnya sebagai khalifah Allah swt
di dunia ini, yaitu menyampaikan informasi secara
benar, terbuka, transpran dan akuntabel. Ia tidak ada rahasia, tidak pura-pura
membantu rakyat, dan tidak menyalahgunakan proyek pembangunan.
Daftar Pustaka
Pusat
bahasa departemen pendidikan nasional, kamus bahasa Indonesia.
Munawir, Ahmad warson Al-Munawir kamus besar Arab-Indonesia
(Yogyakarta: ponpes al-Munawir, 1984)
Imam, Ibrahim Ushul al-‘Ilam
al-Islamy (Mesir:kairo,
dar el-fikr al-‘arabiy,
1985)
Ejang,
Aliyudin Dasar-Dasar Ilmu Dakwah, widya padjajaran, 2009
Shaleh, Abd Rasyad Manajemen
da’wah islam, PT Bulan bintang, Jakarta, 1993
Tidak ada komentar:
Posting Komentar