Kamis, 08 Desember 2016

TABLIG DALAM PERSPEKTIF

BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Sifat-sifat kenabian Nabi Muhammad bukanlah sesuatu yang dicitrakan oleh Nabi itu sendiri, tapi merupakan perasaan-perasaan yang diakumulasikan oleh orang-orang yang berada di sekitarnya atau orang-orang yang mengenal diri Nabi walaupun mereka hidup jauh dari masa Nabi. Hal ini penting, agar kita memahami bahwa sifat-sifat kenabian merupakan buah prestasi bukan buah doktrinasi. Maka untuk mengikuti langkah fase sifat kenabian, yang terpenting adalah taburkan prestasi dan biarkan orang sekitar kita untuk menilai bagaimana kita. Selain itu, seluruh kebaikan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad, digerakkan oleh keimanannya yang kuat, keimanan yang bersumber dari wahyu Allah, keimanan yang membuahkan optiomisme  yang kuat. Maka lingkungan di sekitarnya, baik yang positif maupun yang negatif, tidak membuatnya berubah pendirian.
Salah satu sifat yang dimiliki Nabi saw sehinggah Nabi saw sukses dalam menyampaikan wahyu Allah saw kepada ummanya, yaitu sifat Al-Tabligh (Menyampaikan/Transparan) lawan dari sifat Al-Khianat (Berhianat). Sifat ini muncul karena masyarakat merasa bahwa segala hak kehidupannya terpenuhi oleh pola hidup Nabi. Ini merupakan sifat yang dibutuhkan oleh siapapun. Bila saja sifat itu dapat dimilki oleh seseorang, maka alam sekitarnya, terutama orang-orang yang berada di sekitarnya akan merasa tentram dan damai.  
Di dalam makalah ini kami akan memaparkan  tentang hadits yang berkenaan dengan tabligh serta makna yang terkandung dalam hadits tersebut. Kami menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu, kritik dan saran yang membangun yang kami harapkan dari pembaca, agar lebih baik untuk yang akan datang, Semoga tulisan ini bermanfaat bagi kita semuanya, Amin. 

B.  Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas maka dapat dirumuskan beberapa masalah yang menjadi acuan pembahasan dalam makalah ini, yaitu:
1.      Bagaimana Redaksi Dan Terjemah Hadits Tentang Tabligh ?
2.      Apa Pengertian Tabligh ?
3.      Apa Isi Kandungan Dari Hadits Tersebut ?
4.      Bagaimana Metode Tabligh ?
5.      Bagaimanakah tabligh dalam kepemerintahan ?


BAB II
PEMBAHASAN
A.  Matan Dan Terjemah Hadits
عن عبد الله بن عمرى بن العاص رضي الله عنهما : ان النبي صلى الله عليه وسلم قال : بلغوا عني ولو اية – رواه البخارى
Artinya :
Dari Abdullāh bin ‘Amr bi ‘Āsh ra. Bahwasanya Rasulullāh saw bersabda : “Sampaikanlah dariku walau hanya satu ayat” ( HR. Al-Bukhari 3/1275/No 3274)

B.  Pengertian Tablig
Secara bahasa, Tabligh berasal dari kata ballaga, yuballigu, tablīgan, yang berarti menyampaikan. Tabigh adalah kata kerja transtif, yang berarti membuat seseorang sampai, menyampaikan, atau melaporkan, dalam arti menyampaikan sesuatu kepada orang lain. Dalam bahasa Arab, orang yang menyampaikan disebut Mubaligh.
Dalam pandangan Muammād Ala anvi, membahas Tabligh sebagai sebuah istilah ilmu dalam retorika, yang didefinisikan sebagai sebuah pernyataan kesastraan yang secara fisik maupun logis mungkin. Bagaimana orang yang diajak bicara bisa terpengaruh, terbuai, atau terbius, serta yakin dengan untaian kata-kata atau pesan yang disampaikan. Jadi menurut pendapat ini, dalam Tabligh ada aspek yang berhubungan dengan kepiawaian penyampai pesan dalam merangkai kata-kata yang indah yang mampu membuat lawan bicara terpesona.
Sedangkan menurut Dr. Ibrahīm, Tabligh adalah, “Memberikan informasi yang benar, pengetahuan yang faktual, dan hakkat pasti yang bisa menolong dan membantu manusia untuk membentuk pendapat yang tepat dalam suatu kejadian atau dari berbagai kesulitan.
Sedangkan dalam koteks ajaran Islam, tabligh adalah penyampaian dan pemberitaaan tentang ajaran-ajaran Islam kepada umat manusia, yang dengan penyampaian dan pemberitaan tersebut, pemberita menjadi terlepas dari beban kewajiban memberitakan dan pihak penerima berita menjadi terikat dengannya.
Dalam konsep Islam, tabligh merupakan salah satu perintah yang dibebankan kepada para utusan-Nya. Nabi Muhammad sebagai utusan Allah beliau menerima risalah dan diperintahkan untuk menyampaikannya kepada seluruh umat manusia, yang selanjutnya tugas ini diteruskan oleh pegikut dan umatnya.
C.  Isi Kandungan Hadits
Pertama:
Nabi saw memerintahkan untuk menyampaikan perkara agama dari beliau, karena Allah swt telah menjadikan agama ini sebagai satu-satunya agama bagi manusia dan jin (yang artinya), “Pada hari ini telah kusempurnakan bagimu agamamu dan telah kusempurnakan bagimu nikmat-Ku dan telah aku ridhai Islam sebagai agama bagimu” (QS. Al Maidah : 3). Tentang sabda beliau, “Sampaikan dariku walau hanya satu ayat”, Al-Ma’afi An-Nahrawani mengatakan, “Hal ini agar setiap orang yang mendengar suatu perkara dari Nabi saw bersegera untuk menyampaikannya, meskipun hanya sedikit. Tujuannya agar nukilan dari Nabi saw dapat segera tersambung dan tersampaikan seluruhnya.” Hal ini sebagaimana sabda beliau saw, “Hendaklah yang hadir menyampaikan pada yang tidak hadir”. Bentuk perintah dalam hadits ini menunjukkan hukum fardhu kifayah.
Kedua:
Tabligh, atau menyampaikan ilmu dari Rasulullah saw terbagi dalam dua bentuk :
  1. Menyampaikan dalil dari Al Qur’an atau sebagiannya dan dari As Sunnah, baik sunnah yang berupa perkataan (qauliyah), perbuatan (amaliyah), maupun persetujuan (taqririyah), dan segala hal yang terkait dengan sifat dan akhlak mulia Nabi saw. Cara penyampaian seperti ini membutuhkan hafalan yang bagus dan mantap. Juga cara dakwah seperti ini haruslah disampaikan dari orang yang jelas Islamnya, baligh (dewasa) dan memiliki sikap ‘adalah (sholeh, tidak sering melakukan dosa besar, menjauhi dosa kecil dan menjauhi hal-hal yang mengurangi harga diri/ muru’ah, ed).
  2. Menyampaikan secara makna dan pemahaman terhadap nash-nash yang ada. Orang yang menyampaikan ilmu seperti ini butuh kapabilitas dan legalitas tersendiri yang diperoleh dari banyak menggali ilmu dan bisa pula dengan mendapatkan persaksian atau izin dari para ulama. Hal ini dikarenakan memahami nash-nash membutuhkan ilmu-ilmu lainnya, di antaranya bahasa, ilmu nahwu (tata bahasa Arab), ilmu-ilmu ushul, musthalah, dan membutuhkan penelaahan terhadap perkataan-perkataan ahli ilmu, mengetahui ikhtilaf (perbedaan) maupun kesepakatan yang terjadi di kalangan mereka, hingga ia mengetahui mana pendapat yang paling mendekati dalil dalam suatu masalah khilafiyah. Dengan bekal-bekal ilmu tersebut akhirnya ia tidak terjerumus menganut pendapat yang ‘nyleneh’.
Ketiga:
Sebagian orang yang mengaku sebagai da’i, pemberi wejangan, dan pengisi ta’lim, padahal nyatanya ia tidak memiliki pemahaman (ilmu mumpuni) dalam agama, berdalil dengan hadits “Sampaikan dariku walau hanya satu ayat”. Mereka beranggapan bahwasanya tidak dibutuhkan ilmu yang banyak untuk berdakwah (asalkan hafal ayat atau hadits, boleh menyampaikan semau pemahamannya). Bahkan mereka berkata bahwasanya barangsiapa yang memiliki satu ayat maka ia telah disebut sebagai pendakwah, dengan dalil hadits Nabi saw tersebut. Menurut mereka, tentu yang memiliki hafalan lebih banyak dari satu ayat atau satu hadits lebih layak jadi pendakwah.
Pernyataan di atas jelas keliru dan termasuk pengelabuan yang tidak samar bagi orang yang dianugerahi ilmu oleh Allah. Hadits di atas tidaklah menunjukkan apa yang mereka maksudkan, melainkan di dalamnya justru terdapat perintah untuk menyampaikan ilmu dengan pemahaman yang baik, meskipun ia hanya mendapatkan satu hadits saja. Apabila seorang pendakwah hanya memiliki hafalan ilmu yang mantap, maka ia hanya boleh menyampaikan sekadar hafalan yang ia dengar. Adapun apabila ia termasuk ahlul hifzh wal fahm (punya hafalan ilmu dan pemahaman yang bagus), ia dapat menyampaikan dalil yang ia hafal dan pemahaman ilmu yang ia miliki. Demikianlah sabda Nabi saw, “Terkadang orang yang disampaikan ilmu itu lebih paham dari yang mendengar secara langsung. Dan kadang pula orang yang membawa ilmu bukanlah orang yang faqih (bagus dalam pemahaman)”. Bagaimana seseorang bisa mengira bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan orang yang tidak paham agama untuk mengajarkan berdasarkan pemahaman yang ia buat asal-asalan (padahal ia hanya sekedar hafal dan tidak paham).
D.      Penetapan metode Tabligh
Dari segi metode tabligh, apabila mengacu kepada definisi dan contoh tabligh yang dilakukan oleh Rasulullah SAW, dapat dibagi menjadi dua, yaitu tabligh melalui lisan (khitabah), dan tabligh melalui tulisan (kitabah)
1.      Khitabah
Khitabah menurut Harun Nasution adalah ceramah atau pidato yang mengandung penjelasan-penjelasan tentang sesuatu atau beberapa masalah yang disampaikan seseorang dihadapan sekelompok orang atau khalayak. Dengan demikian, khitabah dapat diartikan sebagai upaya sosialisasi nilai-nilai Islam melalui media lisan baik yang terkait langsung dengan pelaksanaan ibadah mahdhoh, maupun yang tidak berkait dengan ibadah mahdhoh.
2.      Kitabah
Tabligh melalui media tulisan disebut dengan kitabah, yaitu proses penyampaian ajaran Islam melalui bahasa tulisan bisa berupa buku, majalah, jurnal, surat kabar, brosur, dan lain sebagainya. Yang berisi pesan-pesan ke-Islaman. Termasuk dalam katagori ini bentuk-bentuk media cetak lain berupa lukisan, kaligrafi, photo yang mengandung pesan-pesan ke-Islaman.
E.       Tabligh pada pemerintahan
Tabligh memiliki hubungan yang erat sekali dengan kepemimpinan, bahkan dapat dikatakan bahwa tiada kepemimpinan tanpa tabligh. Kemampuan bertabligh akan menentukan berhasil tidaknya seorang pemimpin dalam melaksanakan tugasnya. Setiap pemimpin memiliki pengikut guna merealisir gagasannya dalam rangka mencapai tujuan tertentu. Disinilah pentingnya kemampuan bertabligh bagi seorang pemimpin, khususnya dalam usaha untuk mempengaruhi perilaku orang lain. Inilah hakekatnya dari suatu manajemen dalam organisasi.
Melalui sejarah, kita banyak mendengar kisah sukses para pemimpin pada masa lalu dan masa kini. Kesuksesan mereka tidak terlepas dari kemampuan para pemimpinnya bertabligh serta menyampaikan informasi secara benar, terbuka, transpran dan akuntabel. Ia tidak ada rahasia, tidak pura-pura membantu rakyat, dan tidak menyalahgunakan proyek pembangunan.
 Sifat tabligh harus dimiliki oleh seorang pemimpin Islam dalam menjalankan tugasnya sebagai khalifah Allah swt di dunia ini. Pemimpin harus selalu menyampaikan tentang kebenaran yang seharusnya disampaikan kepada orang yang dipimpinnya. Dia harus komunikatif dan tidak boleh menyembunyikan hal-hal yang seharusnya disampikan. Setiap informasi yang menyangkut dan  berpotensi berimbas positif ataupun negatif terhadap institusinya hendaknya terserap dengan baik oleh seorang pemimpin. Perkembangan dan perubahan interen institusi pun tak boleh luput dari pantaunnya. Semua informasi tersebut hendaknya disaring dengan bawahannya untuk dengar pendapat dan diskusi terbuka sebagai masukan dan bahan pertimbangan untuk mengambil kebijakan setelahnya.
Pemimpin yang punya sifat tabligh tak segan untuk berbagi kepada rakyat yang dipimpinnya dan mendengarkan setiap nasehat ulama dan cendikia yang berguna bagi kemaslahatan mereka. Pemimpin seperti ini akan menjadi sosok pemimpin yang disegani, dihormati dan dicintai.
Sifat tabligh pada sebuah kepemimpinan meliputi beberapa hal, yaitu sebagai berikut :
1.      Mampu berkomunikasi efektif
2.      Lebih banyak mendengar aspirasi orang-orang yang dipimpinnya
3.      Bahasa komunikasinya bisa dimengerti oleh orang-orang yang dipimpinnya
4.      Mudah dihubungi dan juga mudah untuk dekat dengan siapapun
5.      Ramah tamah, selalu respek terhadap orang-orang yang dipimpinnya
6.      Mempunyai perimbangan yang bijak serta selalu bersahabat kepada setiap
orang.
7.      Sifat tabligh dalam memimpin juga menuntut untuk selalu berusaha memahami keinginan orang-orang yang dipimpinnya serta mengetahui kebutuhan orang-orang yang dipimpinnya.

BAB III
PENUTUP
Secara bahasa, Tabligh berasal dari kata balagha, yuballighu, tablighan, yang berarti menyampaikan. Tabigh adalah kata kerja transtif, yang berarti membuat seseorang sampai, menyampaikan, atau melaporkan, dalam arti menyampaikan sesuatu kepada orang lain. Dalam bahasa Arab, orang yang menyampaikan disebut Mubaligh.
Isi kandungan hadits diatas terdiri atas tiga bagian, yaitu sebagai berikut :
1.        Setiap orang yang mendengar suatu perkara dari Nabi saw bersegera untuk menyampaikannya, meskipun hanya sedikit.
2.        Tabligh, atau menyampaikan ilmu dari Rasulullah saw terbagi dalam dua bentuk. Pertama:  Menyampaikan dalil dari Al Qur’an atau sebagiannya dan dari As Sunnah, baik sunnah yang berupa perkataan, perbuatan, maupun persetujuan, dan segala hal yang terkait dengan sifat dan akhlak mulia Nabi saw. Kedua: Menyampaikan secara makna dan pemahaman terhadap nash-nash yang ada.
3.        Hadits di atas tidaklah menunjukkan serta merta menyampaikan dengan begitu saja, melainkan di dalamnya justru terdapat perintah untuk menyampaikan ilmu dengan pemahaman yang baik, meskipun ia hanya mendapatkan satu hadits saja.
Dari segi metode tabligh, apabila mengacu kepada definisi dan contoh tabligh yang dilakukan oleh Rasulullah SAW, dapat dibagi menjadi dua, yaitu tabligh melalui lisan (khitabah), dan tabligh melalui tulisan (kitabah).
Sifat tabligh harus dimiliki oleh seorang pemimpin Islam dalam menjalankan tugasnya sebagai khalifah Allah swt di dunia ini,  yaitu menyampaikan informasi secara benar, terbuka, transpran dan akuntabel. Ia tidak ada rahasia, tidak pura-pura membantu rakyat, dan tidak menyalahgunakan proyek pembangunan.
Daftar Pustaka
Pusat bahasa departemen pendidikan nasional, kamus bahasa Indonesia.
Munawir, Ahmad warson Al-Munawir kamus besar Arab-Indonesia
(Yogyakarta: ponpes al-Munawir, 1984)
Imam, Ibrahim Ushul al-‘Ilam al-Islamy (Mesir:kairo, dar el-fikr al-‘arabiy,
1985)
Ejang, Aliyudin Dasar-Dasar Ilmu Dakwah, widya padjajaran, 2009
Shaleh, Abd Rasyad Manajemen da’wah islam, PT Bulan bintang, Jakarta, 1993

Tidak ada komentar:

Posting Komentar