Kamis, 08 Desember 2016

Tipologi Dan Metodologi Dalam Pembukuan Hadis



BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar belakang
            Al-Qur’an sebagai kalamullah adalah sumber hukum tertinggi umat Islam. Meskipun demikian tanpa pelengkap kalamullah tersebut belum mampu untuk dipahami, dicerna ataupun diamalkan. Dengan kata lain Al-Qur’an belumlah sempurna tanpa bantuan Al-Hadits sebagai salah satu pelengkapnya.
            Jika melihat pada literatur sejarah, kodifikasi Hadis mengalami rentetan peristiwa yang cukup panjang. Saat menyadari kemustahilan untuk melestarikan Hadis dengan hafalan, beberapa ulama Hadis mulai menuliskan apa yang dia hafal. Setelah penulisan dan pembukuan Hadis diizinkan secara resmi pada masa kekhalifahan Umar bin Abdul Aziz, ulama-ulama tersebut mengumpulkan apa yang dia tulis dan membukukannya.
Penulisan kitab-kitab hadits yang dilakukan semenjak abad kedua Hijria mengalami perkembangan yang sangat cukup signifikan, tidak hanya dari segi kandungan hadits-hadits yang didalamnya, tetapi juga tipe-tipepenulisan kitab itu. Dari segi kualitas ada yang mengumpulkan hadits-hadits yang shahih saja dan sebagian berisi hadits-hadits shahih dan tidak shahih Dari segi tipe penulisannya, kitab-kitab hadits itu ada diklasifikasikan menjadi sebelas tipe yaitu juz’, mu’jam, mustakhraj, athraf, muaththa’, mushannaf, sunan, jami’, mu’jam, mustadrakh, dan zawaid. Sebagai pengenalan. Dalam makalah ini penulis sedikit mengulas secara singkat tentang tipologi serta metodologi yang  di pakai dalam pembukuan Hadis. Ini semua adalah hal-hal yang cukup penting untuk diketahui sebelum kita tenggelam lebih dalam saat membaca kitab-kitab ini.

B.    Rumusan Masalah
            Berdasarkan uraian diatas maka dapat dirumuskan beberapa masalah yang menjadi acuan pembahasan dalam makalah ini , yaitu:
1.      Apa yang dimaksud dengan Al-Muaththa’
2.      Apa yang dimaksud dengan Al-Sunan
3.      Apa yang dimaksud dengan Al-Musnad
4.      Apa yang dimaksud dengan Al-Jawami’
5.      Apa yang dimaksud dengan Al-Ajeza’
6.      Apa yang simaksud dengan Al-Mustadrakh
7.      Apa yang dimaksud dengan Al-Mustakhrajat
8.      Apa yang dimaksud dengan Al-Syuruh
9.      Apa yang dimaksud dengan Al-Athraf
1.  Apa yang dimaksud dengan Al-Ma’ajim
 

BAB II
PEMBAHASAN
A.  Al-Muaththa’
            Secarah bahasa, muaththa’ berarti sesuatu yang dipersiapkan (al-muhayya’) dan di mudahkan (al-muyassar). Menurut istilah ulama  hadits, muaththa’ adalah tipe pembukuan kitab hadits yang didasarkan pada klasifikasi hukum islam (abwab al-fiqhiyah) dengan mencantumkan hadits-hadits marfu’, mauquf, dan maqthu’. Dari kata-kata muaththa’ timbul kesan bahwa motivasi pembukuan hadits dengan tipe ini adalah untuk memudahkan orang dalam menemukan hadits. Kandungan kitab ini adalah hadits Nabi, fatwa sahabat, dan pendapat tabiin. Berdasarkan definisi di atas, karateristik tipe muaththa’ adalah:
1.      Disusun berdasarkan bab tertentu, biasanya klasifikasihukum islam;
2.      Mencantuman hadits-hadits marfu’, mauquf, dan maqthu’;
3.      Didalamnya terdapat hadits-hadits shahih, hasan dan dhaif.
            Ada dua kemungkinan latar belakang penyebutan nama muaththa’: Pertama, pengarangnya telah memudahkan dan mempersiapkannya kepada masyaraka, sebagaimana dimaksud dalam pengertian secarah bahasa diatas. Kedua, kitab ini disepakati oleh sebagian ulama. Imam Malik menyebutkan kitabnya dengan muaththa’ sebab ia pernah berkata bahwa kitab yang disususnnyaitu diajukan kepada tujuh puluh ahli fiqhi madianah kemudian mereka berkata, wa athani ‘alayh (dia sependapat denganku)”, kemudian kami menyebutnya denagan muaththa’ (yang disepakati).
            Kitab-kitab yang menggunakan tipe muaththa’ disususn oleh para ulama antara lain Ibnu Abi Dz’ib (w. 158 H), Malik Ibn Anas (w. 179 H), Abu Muhammad al-Mawarzi (w. 293 H), dan lain-lain. Dari sekian banyak kitab al-Muaththa’ itu yang paling dikenal karya Malik ibn Anas sehingga jika disebut al-Muaththa’ yang dimaksudkan adalah kitabnya itu. 
B.  Al-Sunan
Secara etimologi sunan adalah kosa kata bahasa Arab yang merupakan bentuk jamak dari kata sunnah yang berarti jalan, tabiat, atau perilaku hidup, sedangkan menurut terminologi ialah kitab-kitab hadits yang disusun berdasarkan bab-bab fikhi dan hanya memuat hadits-hadits marfu’, kalaupun dalam kitab sunan terdapat hadits yang mauqhuf dan maqthu’, maka jumlahnya hanya sedikit saja, berbeda dengan tipe penyusunan kitab hadits Muaththo’ dan mushannaf yang banyak memuat hadits-hadits mauquf dan maqtu’, meskipun tipe penyusunannya sama berdasarkan bab fikhi,
Menurut Manna’ Al-Qaththan dalam kitabnya Al-Risalah al-Mustahrafah menyatakan tipe kitab sunan merupakan tipe penyusunan kitab hadits berdasarkan bab-bab fikhi yang hanya memuat hadits-hadits marfu’ saja, sebab menurut beliau hadits mauquf dan maqtu’ tidak disebut sunnah  melainkan disebut hadits saja.
Kitab hadits sunan yang tipe penyusunannya berdasarkan bab fikhi yang dimulai dari bab thaharah, shalat, zakat, dan seterusnya, didalamnya tercampur antara hadits shahih, hasan, dan dha’if dengan memberikan penjelasan tentang kualitas hadits tersebut agar supaya para fuqaha muda untuk menjadikan sumber dalam mengambil kesimpulan hukum.
Berikut ini kami kemukakan karakteristik tipe penulisan kitab hadits sunan diantaranya ialah:
1.      Bab-babnya berurutan berdasarkan bab-bab fikhi.
2.      Penyusunan bab-babnya dilakukan secara sistematis.
3.      Hanya memuat hadits-hadits marfu’ saja, kalaupun ada yang mauquf dan maqtu’ jumlahnya sangat sedikit.
4.      Tercampur antara hadits shahih, hasan, dan dha’if dan
5.      Pada sebagian kitab dicantumkan penjelasan tentang kualitas hadits yang bersangkutan.
Kitab yang disusun menggunakan tipe ini cukup banyak diantaranya ialah :
1.      Kitab Sunan Abi Daud karya Abu Daud al-Sijistani (w. 275 H)
2.      Kitab Sunan Ibn Majah karya Ibn Majah al-Qaswayni (w. 275 H)
3.      Kitab Sunan Al-Nasa’i karya al-Nasa’i (w. 303 H)
4.      Kitab Sunan Al-Baihaki Karya Ahmad ibnu Husain al-Baihaki (w. 458 H)
5.      Kitab Sunan Al-Daruquthni karya Ali Ibnu Umar Al-Daruquthni (w. 385 H)
6.      Kitab Sunan Al-Darimi karya Abd Allah Ibn Abd Al-Rahman Al-Darimi (w. 204 H)    
C.  Al-Musnad
            Kitab Hadis yang disusun berdasarkan nama-nama sahabat yang meriwayatkan Hadis. Biasanya dimulai dengan nama shabat yang pertama kali masuk Islam atau menyesuaikan dengan urutan abjad.
            Imam Ahmad yang menulis musnad telah mendahulukan Hadis-hadis Abu Bakar daripada Hadis-hadis sahabat yang lain.
Di antara cara penyusunan musnad adalah:
  1. memuat Hadis-hadis tentang 10 orang sahabat yang dijamin masuk syurga, atau tentang khalifah yang empat.
  2. mengurutkan siapa yang lebih dahulu yang memeluk Islam.
  3. dengan melihat siapakah ahli Badar/ Hudaibiah dahulu.
  4. dengan melihat siapakah yang memeluk Islam terlebih dahulu ketika Pembukaan Mekah.
  5. dengan melihat lelaki dahulu perlu diutamakan. Tetapi dari kalangan wanita pula isteri-isteri nabi diutamakan terlebih dahulu.
  6. atau dengan melihat jenis qabilah (qabilah bani Hasyim didahulukan).
            Di dalam musnad jumlah Hadis tidak dibatasi jumlahnya. Ia cuma mengumpulkan sebanyak mungkin Hadis-hadis yang menerangkan tentang sesuatu perkara. Namun begitu musnad yang paling sahih adalah Musnad Ahmad kerana beliau telah menyaring Hadis-hadisnya. Kebanyakan ulama salaf menulis Hadis-hadis dalam bentuk musnad.
D.  Jami’
            Penulisan kitab Jami` bermaksud menghimpunkan Hadis-hadis berkenaan dengan bidang aqidah, ahkam, riqaq, adab, tafsir, tarikh dan sirah, fitan dan manaqib.
            Kitab Hadis  Sahih Bukhari merupakan salah satu kitab yang digelar kitab Jami’ (atau Jawami’) . Untuk disebut sebuah kitab Hadis  sebagai  Jami’ sebuah kitab hendaklah mengandungi sekurang-kurangnya delapan bidang .
  1. Aqaid (akidah):  Contohnya: Kitab al-Tauhid karangan  Abu Bakar Ibn Abi Khuzaimah, Kitab al-Asma wa al-Sifat oleh al-Baihaqi
  2. Ahkam:  Kitab Hadis  hukum yang disusun seperti  dalam kitab-kitab  fiqh seperti  Bulugh maram dan Umdatul ahkam.
  1. Riqaq ( raqaaiq) : dinamakan juga sebagai Ilmu al-Suluk wa al-Zuhd iaitu  menyebut tentang peringatan di hari akhirat dan  azab kubur yang akan melembutkan hati sesiapa yang mendengarnya dan menjadikannya seorang yang zuhud.
Contohnya:  Kitab Zuhud oleh Abdullah Ibn Mubarak, Imam Ahmad.
  1. Adab: Adab sopan, adab tidur, adab solat, adab makan dan sebagainya. Contohnya kitab al-Adab al-Mufrad oleh al-Bukhari dan Kitab Syamail oleh Tirmizi
  2. Tafsir: Hadis-hadis yang mentafsirkan al-Quran.Contohnya kitab Tafsir ibn Mardawaih, ibn Jarir at-Tabari, Tafsir al-Dailami dan Tafsir Jailani.
  3. Tarikh: Sejarah terbagi kepada dua jenis:
a-      Sejarah tentang kejadian alam ( bada’ al-khalq) seperti kejadian langit dan bumi, syurga, neraka, jin, syaitan, malaikat dan sebagainya
b-      b- Sejarah tentang kehidupan Rasulullah s.a.w. dan para sahabat seperti Sirah Ibn Hisyam, Sirah Mulla Umar,dan sebagainya.
  1. al-Fitan yaitu fitnah-fitnah yang muncul di akhir zaman bermula selepas kewafatan Rasulullah s.a.w.  Contohnya, kitab Muin bin Hammad (guru al-Bukhari) tentang Dajjal, turunnya nabi Isa as, kemunculan Imam Mahdi, dan sebagainya. Beliau telah mencampuradukkan antara yang sahih dan tidak sahih.
  1. Manaqib (tentang kelebihan seseorang seperti Abu Bakar,Umar,Uthman,dan Ali, tabi’in, ahlul bait, isteri-isteri Rasulullah s.a.w., Nawasib dan sebagainya) contohnya, al-Riyadh al-Nadhirah Fi Manaqib al-`Asyarah oleh Muhib al-Tabari, Zakhair al-`Uqba Fi Manaqib Zawi al-Qurba dan lain-lain.
            Antara kitab-kitab Hadis yang termasuk dalam kategori ini ialah Sahih al-Bukhari Jami’ al-Tirmizi, Sahih Muslim, Misykat al-Masabih, Jami` Suyfan al-Thauri, Jami` Abdul Razzaq bin Hammam al-San`ani, Jami’ al-Darimi, dan lain-lain.
E.  Al-Ajza’
            Hadis-hadis yang dikumpulkan berdasarkan suatu perkara tertentu atau tema tertentu seperti Raf` al-Yadaian oleh al-Bukhari. Dalam kitab ini beliau mengemukakan Hadis-hadis tentang mengangkat tangan tanpa membahaskan kedudukan Hadis-hadis tersebut apakah ada yang  mansukh, syaz, atau mujmal dan sebagainya. Contoh-contoh lain seperti Juz al-Niyyah oleh Ibn Abi al-Dunya, Juz al-Qira’ah Khalf al-Imam oleh al-Baihaqi,  Juz Fadhail Ahl al-Bait oleh Abu al-Husin al-Bazzar, Juz al-Munziri Fi Man Ghufira Lah Ma Taqaddama Min Zanbih, Juz Asma al-Mudallisin dan Juz `Amal al-Yaum wa al-Lail.
Tujuan kitab Rasail ini ditulis adalah:
1- Untuk membuktikan sesuatu perkara itu sabit (mendapat ketetapan) daripada Rasulullah s.a.w dengan mengumpulkan pelbagai riwayat tanpa mengira kedudukan Hadis-hadis tersebut.
2- Supaya lebih mudah untuk membuat kajian terhadap sesuatu perkara.
F.   Mustadrak

            Kitab Hadis yang mengumpulkan Hadis-hadis yang tidak disebutkan oleh seseorang pengarang sebelumnya secara sengaja atau tidak. Contohnya kitab Mustadarak al-Hakim setebal 4 jilid di mana Hadis-hadis tersebut dikumpul menepati syarat-syarat yang digunakan oleh Bukhari dan Muslim.
            Kitab ini tidak boleh dibaca begitu saja, tetapi mesti bersama dengan takhrijnya oleh al-Zahabi. Antara contoh kitab-kitab mustadrak yang lain adalah seperti Mustadrak Hafiz Ahmad al-Maliki. Tujuan penyusunan kitab  Mustadarak ialah: Supaya kita tidak menganggap Hadis sahih hanyalah apa yang terkandung di dalam Sahih al-Bukhari dan Muslim sahaja.
G. Ma’ajim

            Mu’jam disusun mengikut tertib huruf ejaan, atau mengikut susunan nama guru-guru mereka. Nama guru-guru mereka juga disusun mengikut ejaan nama atau laqob mereka.
            Mu’jam juga hanya mengumpulkan Hadis-hadis nabi s.a.w tanpa melihat kwalitas Hadis-hadisnya.
Contoh kitab-kitab mu’jam ialah Mu’jam Tabrani, Mu’jam kabir, Mu’jam as-Sayuti, dan Mu’jam as-Saghrir, Mu’jam Abi Bakr, ibn Mubarak, dan sebagainya.
Kitab rijal yang mengumpulkan orang-orang yang tersebut dalam meriwayatkan Hadis-hadis nabi s.a.w. mengikiut ejaan bersama dengan kuniyyahnya. Ini semua adalah untuk memastikan kesahihan sesebuah Hadis.
H.  Al-Athraf
            Disampin penulisan hadits yang menggunakan tipe juz’ pada masa klasik dikenal pula penulisan kitab haditsdengan menggunakan tipe athraf . Kata athraf  merupakan bentuk jamak dari tharaf. Secarah bahasah, athraf berarti pangkal-pangkal atau bagian-bagian, yaitu bagian dari matan hadits yang dapat menunjukkan keseluruhannya. Secarah terminiologis, tipe athraf adalah tipe pembukuan hadits dengan menyebutkan pangkal hadits saja sebagai petunjuk pada matan hadits selengkapnya. Dengan kata lain, tipe athraf adalah tipe penulisan kitab hadits dengan menyebutkan sebagian hadits saja sebagai tanda kelanjutan hadits yang dimaksud , atau tipe penulisan kitab hadits yang menghimpun hadits hanya awal matannya saja tanpa menyebutkan matan hadits seutuhnya.
            Kitab athraf ditulis dengan hanya menyebutkan bagian (athraf) hadits yang dapat menunjukkan pada keseluruhannya, kemudian menyebut sanad-sanadnya, baik secarah menyeluruh atau hanya dinisbahkan pada kitab-kitab tertentu, akan tetapi sebagian pengarang kitab athraf ada yang menyebutkan sanadnya secarah menyeluruh dan ada pula yang hanya menyebutkan gurunya saja.
            Penyusun kitab dengan tipe athraf setidaknya menggunakan dua cara:
1.      Berdasarkan nama-nama sahabat sesuai huruf-huruf hijaiyah, misalnya dimulai dari sahabat yang namanya dimulai dengan huruf Alif kemudian ba’ dan seterunya.   
2.      Berdasarkan huruf awal matan hadits seperti yang dilakukan oleh Abu al-Fadhl ibn Thahir dalam kitabnya Athraf al-Garib wa al-Afrad dan Muhammad ibn al-Husayni dalam kitabnya al-Kasyif fi Ma’rifah al-Athraf yang memuat kitab hadits enam.
            Perluh diketahui bahwa kitab hadits yang menggunakan tipe penulisan athraf tidak memaparkan hadits secarah sempurnah. Jika seseorang ingin mengetahui matan hadits secarah utuh, maka ia dapat merujuk pada sumber yang diisyaratkan oleh kitab athraf itu.
            Penulisan kitab hadits dengan tipe athraf ini tela dilakukan oleh ulama hadits semenjak abad kedua Hijriah sebagaimana dilakukan oleh Auf ibn Abu jamilah al-‘Abadi (w. 146 H). Tipe ini banyak berkembang pada abad keempat dan kelima Hijriah. Dalam menyusun kitab berdasar tupe athraf ini, biasanya para ulama menyusun kitab-kitab mereka berdasarkan nama-nama sahabat yang diurut sesuai huruf hijayah (al-fabetis), mulai dengan hadits yang diriwayatkan oleh sahabat yang awalan namanya alif dn seterusnya,. Sebagian ulama juga menyusun kitabya sesuai dengan redaksi permulaan matan hadits, seperti kitab Athraf al-Gharaib wa al-afrad karya abu fadhl ibn Thahir dan al-Kasyif fi ma’rifah al-Athraf oleh Muhammad ibn Ali al-Khusayni.
            Disamping kedua kitab diatas, kitab-kitab yang ditulis dengan menggunakan tipe ini cukup banyak antara lain:
1)      Athraf al-Shahihayn, kaya Abu Mas’ud Ibrahim ibn Muhammad al-Dimasyqi (w. 104 H)
2)      Athraf al-Shahihayn, karya Abu Muhammad Khalf ibn Muhammad al-Wasithi (w. 104 H)
3)      Al-Asyraf ala Ma’rifah al-Athraf , karya Abu Qasim Ali ibn al-Hasan (w. 175 H)
4)      Tuhfah al-Asyraf bi Ma’rifah al-Athraf , karya al-Hafidz Yusuf  ‘Abd Rahman al-Mizzi (w. 742 H)
5)      Al-Ittihaf al-Mahrah bi athraf al-Asyarah oleh Ahmad ibn Hajar al-Asqalani (w. 852 H)
6)      Athraf al-Masanid al-Asyarah, Oleh Abu al-Abbas Ahmad ibnu Muhammad al-Bushiri (w. 840 H)
7)      Dakhair al-Mawarist fi al-Dilalah ‘ala Mawadhi al-hadits, karya ‘Abd al-Ghani al-Nablasi (w. 1143 H)
I.     Al-Syuruh
            Syarah diambil dari kata “syaraha, yasyrahu, syarh” dimana secara bahasa berarti menguraikan sesuatu da memisahkan bagian sesuatu dari bagian yang lainnya. Dikalangan para penulis kitab berbahasa arab, syarah adalah memberi catatan dan komentar kepada naskah atau matn (matan) suatu kitab.
            Syarah tidak hanya terbatas pada penjelasan naskah kitab yang berkutat dengan eksplanasi, melainkan juga uraian dalam arti interpretasi. Dan kenyatannya syarah tidak hanya berupa uraian dan penjelasan tentang suatu kitab secara keseluruhan, tetapi juga bisa merupakan uraian sebagian kitab, bahkan uraian terhadap suatu kalimat dari sebuah hadist itu juga disebut syarah.
            Maka yang disebut dengan syarah terhadap kitab tertentu, maka itu adalah uraian atau penjelasan satu ktab secara keseluruhan. Sedangkan apabila dikatakan “syarah hadist” secara mutlak, maka yang dimaksud adalah syarah terhadap ucapan, tindakan, dan ketetapan Rosulilah Saw. Beserta sanadnya. Disamping itu, syarah tidak harus selalu berbentuk kitab atau karya tulis lainnya,melainkan bisa juga secara lisan. Oleh karena itu, karya tulis yang menguraikan dan menjelaskan makna hadist, seperti makalah dan artikel dapat disebut sebagai syarah hadist. Demikian juga uraian dan pejelasan hadist secara lisan dalam proes belajar, pengajian, khutbah, ceramah dan sejenisnya bisa juga disebut sebagai meng-syarah hadist5.
            Berberapa hal yang biasanya terdapat pada kitab syarah selain uraian pokok dalam hadist tersebut, diantaranya:
  1. I’rah/nahwu, yaitu penjelasan gramatikal yang meliputi penjelasan mengenai posisi suatu kata tertentu dalam struktur suatu  kalimat dan hubungan satu kalimat dengan kalimat lain sebelumnya.
  2. Balaghah dengan beragai cabangnya, yaitu penjelasan mengenai keindahan suatu kalimat, kedalamnnya, dan keluasan maknanya, serta rahasia makna yang terkandung didalamnya. Penjelasan yang demikian biasanya ditemukan sehubungan dengan ayat al-Quran, matan hadist, kata-kata hikmah dan syair.
  3. Keterangan yang dikutip dari berbagai kitab lain atau pendapat lain yang berfungsi secagai bahan pertimbangan.
  4. Uraian makna kalimat yang disyarah, sesuai dengan disiplin ilmu yang bersangkutan.
  5. Kisah da cerita yang terkait, baik biografi seorang tokoh, maupun kisah klasik yang mengandung pelajaran.
            Muhthaaafa bin Abdullah Al-Qashanthini al-Rumi al-Hanafi mengklasifikaskan teknik penulisan syarah sebagai berikut:
  1. Menandai teks syarah dengan tanda “aqulu”, yakni menyatukan letak teks matan  dengan teks syarah dan membedakannya dengan menyatakan “aqulu” atau “ qala al-mushannif” untuk mengakhiri teks matan atau menjelang teks matan. Dalam teknik ini hadis yang disyarah ditulis lagi secara utuh dengan terpisah, namun kadang juga tidak.
  2. Menandai teks syarah dengan kata “qawluhu”. Yakni memisahkan teks matan dengan teks syarah, seperti teks matan berada di luar garis margin atau diatas garis pemisah, lalu bagian-bagian yang akan disyarah dikutip dan mengawalinya dengan kata “qawluhu”. Dalam teknik ini teks matan yang disyarah ditulis dengan lengkap dan terpisah dengan syarah.
  3. Syarah mamzuj, yaitu menyatukan teks matan dengan teks syarah dan membedakan dengan hurup mim dan syin atau dengan kata …………….. diatas diawal teks matan.Kemudian teknik pemisahan diganti dengan 2 tanda kurung, yaitu teks matan berada di dalam kurung, sedangkan teks syarah berada di dalam kurung.
            Jadi hakikatnya syarah hadist adalah menguraikan ucapan, tindakan, dan ketetapan Rosulillah Saw. Sehingga menjadi lebih jelas, baik menggunakan bahasa arab maupun bahasa lainnya. Bahkan dlaam hal ini syarah adalah menjelaskan sanad yang mengantarkan ucapan, tindakan, dan ketetapan tersebut hingga sampai ketangan para penulis hadist, sehingga jelas identitas dan kulitas moral serta intelektual para rawi yang terangkai di dalamnya. Mengsyarah hadist berarti berkata atas nama Rosulillah Saw. agar ucapan, tindakan, dan ketetapan beliau lebih bisa dimengerti maksudnya dan dapat terhindarkan dari kesalahpahaman terhadapnya6.
  1. Latarbelakang Perlunya Syarah Hadist.
            Kegiatan mensyarah hadist sebenarnya sudah ada sejak zaman Rosulillah, ini terbukti dnegna apa yang sering Rosulillah lakukan yaitu menjelaskan kembali sehubungan dengan pernyataan sebagian sahabat mengenai ucapan maupun tindakan beliau yang belum jelas bagi mereka.
            Dari kejadiakn tersebut bisa dimaklumi jika kemudian generasi setelah para sahabat sangat memerlukan ilmu syarah hadist untuk menjelaskan semua hal yang telah samapi kepada mereka, dimana pada generasi setelah sahabat, Rosulillah sudah wafat.
            Dalam hal ini, ada 4 perkara yang melatarbelakangi perlu adanya sysrah hadist adalah;
  1. Karakter kalimat yang digunakan dalam ucapan Rosulillah banyak yang hal sangat mirip dengan karakterkalimat dalam Allah Swt.
  2. Tidakan Rosupipah Saw yang diriwayatkan dalam kitab-kitab hadist dapat ditinjau dari berbagai sudut pandang dan tidak senantiasa berkaitan dengan petunjuk wahyu.
  3. Hadist merupakan sumber ajaran agama Islam. Maka untuk memahaminya dilakukanlah syarah.
  4. Umat Islam diwajibkan untuk berpegang teguh kepada sunnah Rosulillah Saw, namun  kondisi umat Islam sekarang ini pad aumumnya tidak mampu memahami hadist secara langsung, karena untuk memahami hadist dibutuhkan secara langsung dibutuhkan sejumlah ilmu pendukung
  5. Kegunaan syarah hadist.
            Jika dilihat dari urgensi pemahaman hadist yang benar kepada kalangan umat ssekarang ini, maka keugaan ilmu syarah hadist adalah sebagai berikut:
  1. Menyampaikan amanah dan menyebarluaskan sunnah Rosulillah.
  2. Menghidup-hidupkan dan melestarikan sunnah Rosulillah Saw.
  3. Menghindarkan kesalahpahaman terhadap maksud hadist.
            Dalam mensyarah ada ketentuan-ketentuan yang haus dilakukan oleh semua yang akan mensyarah hadist suatu hadits, baik hadis qawli maupun fi’li, yaitu:
  1. Apabila hadis yang akan disyarah itu diriwiyatkan melalui jalur sanad yang lebih dari satu atau terdapat pada beberapa kitab, maka tidak cukup hanya berpegang kepada satu riwatayat, tanpa memperhatikan riwayat lain sama sekali, melalinkan sedapat mungkin seluruh riwayat tersebut ditelaah untuk kemudian ditetapkan salah satunya sebagai hadis pokok yang disyarah, lalu hadis yang lain disinggung dalam sayarah sebagai data pendukung. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal, yaitu:
  2. Apabila tema hadis-hadis tersebut sama, namun periwayatannya berbeda-beda pada setiap sanad-sanadnya salaing menguatkan.
  3. Apabila tema hadis-hadis tersebut sama, namun namun kata-katanya berbeda, baik dari sisi I’rabnya maupun sharafnya, maka kata-kata yang berbeda dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam memberikan makna dan dalam mensyarahnya.
  4. Apabila tema hadis-hadis tersebut  sama, namun pada sebagian riwayat terdapat tambahan sejumlah kata atau kalimat, atau bahkan dalam sebagian riwayat digabungkan dengan tema-tema lain atau disertai sabab al-wurud, maka kata-kata tambahan tersebut apabila terdapat pada riwayat orang-orang yang paling tsiqat, dapat diterima.
  5. Apabila perbedaan di antara riwayat-riwayat tersebut sangat jauh, hingga tidak dapat dikompromikan, maka hadis-hadis tersebut dinilai mukhtalif dan diselesaikan dengan tarjih, nasakh, atau cara yang lain lagi.
            Oleh karena itu, riwayat-riwayat yang lain perlu disinggung, meskipun tidak dikutip seutuhnya. Langkah ini merupakan tradisi para pensyarah hadis.
  1. Apabila tema hadis yang akan disyarah berkaitan dengan sejumlah hadis yang berlainan bentuknya, yaitu hadis qawli dan hadis fi’li, baik yang searah maupun yang bertentangan, maka teknik pensyarahannya dapat digabungkan dengan penggabungan kedua metodenya. 
  1. Metode Pemahaman Syarah Hadist
  2. Metode syarah Tahliliy (Analisis)
            Secara etimologis kata tahlili berasal dari kata حل (halla) yang berarti menguraikan, membuka Sedangkan kata tahlili sendiri adalah bentuk masdar dari kata حلل (halala), yang secara semantik berearti mengurai, menganalisis, menjelaskan, menjelaskan bagian-bagiannya serta fungsinya masing-masing.
            Adapun pengertian secara terminologis, Metode Syarh Tahlili adalah menjelaskan hadis-hadis Nabi dengan memaparkan segala aspek yang terkandung di dalam hadis tersebut serta menerangkan makna-makna yang tercakup di dalamnya sesuai dengan kecendrungan dan keahlian pensyarah. Model pensyarahan hadis dengan metode Tahlili, seorang pensyarah hadis mengkuti sistematika hadis sesuai dengan urutan hadis yang terdapat dalam sebuah kitab hadis yang dikenal dari al-Kutub al-Sittah. Pensyarah hadis memulai penjelasannya kalimat demi kalimat, hadis demi hadis secara berurutan. Uraian tersebut menyangkut berbagai aspek yang dikandung hadis, seperti kosa kata, konotasi kalimatnya latar belakang turunnya hadis (bila ditemukan), kaitannya dengan hadis lain dan pendapat – pendapat yang beredar di sekitar pemahaman hadis tersebut, baik yang berasal dari sahabat, para tabi’in maupun para ulama hadis
            Ada dua bentuk pensyarahan dengan menggunakan metode tahlili, Pertama, berbentuk ma’sur (riwayat). Syarah yang berbentuk ma’sur ini ditandai dengan banyaknya dominasi riwayat-riwayat yang datang dari sahabat, tabi’in, tabi’ al-tabi’in atau ulama’ hadis dalam penjelasan terhadap hadis yang disyarahi. Kedua, ra’y (pemikiran Rasional). Pensyarahan ini banyak didominasis pemikiran pengsyarahnya.
            Jika kitab-kitab syarah yang menggunakan metode tahlili, baik yang berbentuk ma’sur atau ra’y di cermati dapat diketahui ciri-ciri pensyarahan yang dilakukan mengikuti pola menjelaskan makan yang terkandung dalam hadis secara komprehensif dan menyeluruh yakni mengunakan metode sebagai berikut:
  1. Hadist dijelaskan kata demi kata
  2. Hadist dijelaskan kalimat demi kalimat secara beruntun
  3. Menerangkan sabab al-wurud (latar belakang turunnya sebuah hadis) hadis yang dipahami jika hadist tersebut memiliki sabab al-wurud.
  4. Diuraikan pemahaman-pemahaman yang pernah disampaikan oleh sahabat, tabi’i, tabi al-tabi’in, dan para ahli syarah hadist lainnya dari berbagai displin ilmu.
  5. Dijelaskan munasabah (hubuangan) hadist satu dengan hadist yang lainnya.
  6. Kadangkala pengsyarahan di warnai kecenderunga terhadpa madzhab tertentu.
            Kitab-kitab syarah yang menggunakan metode syarah tahliliy antara lain sebagai berikut;
No
Nama Kitab
Pengarang
1
Fathul al-Bari bi Syarh Sahih al-Bukhari
Ibn Hajar al-Asqalani
2
Irsyad al-Sarili Syarh Sahih al-Bukhari
Al-Abbas Syihab al-Din Ahmad bin Muhammad al-Qastalani
3
Al-Kawakib al-Darari fi Syarh Sahih al-Bukhari
Syams al-Din Muhammad bin Yusuf bin Ali al-Kirmani
4
Syarh al-Zarqani ‘ala Muwatta’ al-Imam Malik
Muhammad bin Abd al-Baqi’ bin Yusuf al-Zarqani
            Metode Syarh Tahlili memiliki kelebihan dibanding metode syarh lainnya, kelebihan yang dimiliki metode ini antara lain:
  1. Ruang lingkup pembahasan metode tahlili sangat luas, karena dapat mencakup berbagai aspek: kata, frasa, kalmat, asbab al-wurud, munasabah, dan lain sebagainya yang dapat digunakan dalam bentuk yang ma’thur.
  2. Metode ini memberikan kesempatan yang sangat longgar kepada pensyarh untuk menuangkan sebanyak mungkin ide atau gagasan yang pernah dikemukakan oleh para ulam’
            Selain memiliki kelebihan dibanding metode lain, ternyata metode ini memiliki kekurangan. Ada pun kekuarangan metode ini adalah:
  1. Metode ini menjadikan seolah-seolah hadis memberikan pedoman yang tidak utuh dan tidak konsisten karena syarah yang dibrikan pada sebuah hadis berbeda dengan syarah yang diberikan pada hadis lain yang sama karena kurang memperhatikan hadis lain yang mirip atau sama redaksinya dengannya.
  2. Dalam kitab syarah yang menggunakan metode ini, pensyarah tidak sadar bahwa dia telah mensyarah hadis secara subyektf, dan tidak mustahil pula ada diantara mereka yang mensyarah hadis sesuai dengan kemauan pribadinya tanpa mengindahkan kaidah-kaidah atau norma yang berlaku. Di dalam pensyarahan al-Asqalani sebagaimana dikutip di atas, misalnya, terkesan dipengaruhi oleh sikap subyektifnya sebagai ulama’ hadis, tanpa memberikan pendapat yang harus dipegang sesuai dengan data yang terdapat dalam kitab yang disyarah. Selain itu pensyarah juga menunjukan kecenderungannya dengan mazhab Syafi’iy
  3. Metode syarah Ijmaliy
            Ijmaliy secara etimologis, berarti global. Sehingga syarh ijmaliy diartikan syarh global. Secara terminologis metode syarh ijmaliy adalah menjelaskan atau menerangkan hadis-hadis sesuai dengan urutan dalam kitab hadis yang ada dalam kutub al-sittah secara ringkas, tetapi dapat merepresentasikan makna literal hadis, dengan bahasa yang mudah dimengerti dan gampang dipahami. Kalau dibandingkan dengan metode tahliliy Metode ini tidak berbeda dalam menjelaskan hadis sesuai dengan sistematika dalam kitab hadis, namun dalam memberikan penjelasan metode ini sangat mudah dipahami oleh pembaca, baik dari kalangan intelek maupun orang awam, karena uraian penjelasanya ringkas dan tidak berbelit-belit.
            ciri-ciri metode ini adalah sebagi berikut:
  1. Pensyarah langsung melakukan penjelasan hadis dari awal sampai akhir tanpa perbandingan dan penetapan judul.
  2. Penjelasan yang diberikan bersifat umum dan sanagt ringkas
  3. Pada hadis tetentu diberikan penjelasan yang luas tapi tidak seluas penjelasan dengan metode tahliliy mengetahui ciri-ciri syarah ijmaliy lebih baik, perhatikan syarah yang terdapat dalam kitab Aun al-Ma’bud Syarh Sunan Abi Dawud karya Muhammad bin Asyraf bin Ali Haidar al-sissiqi al-azim abadi.
            Kelebihan dari metode ini adalah:
  1. yang menggunakan metode ini terasa lebih praktis dan singkat sehingga dapat mudah diserap oleh pembaca.
  2. Pensyarah langsung menjelaskan kata atau maksud hadis dengan tidak mengemukakan ide-ide atau pendapatanya secara pribadi
            Kekurangan metode syarah Ijmaliy diantaranya:
  1. Menjadi petunjuk hadist bersifat parsial Antara hadis satu dengan hadis yang lain kadang-kadang memlki hubungan yang sangat erat sekali, sehingga apabila hadis dipahami secara tersendiri maka mengakibatkan pemahaman yang terpecah, tidak dalam satu pemahaman.
  2. tidak ada ruang untuk melakukan analisis yang memadai
    Metode ini tidak menyediakan ruang yang memuaskan berkenaan dengan waca pluralitas pemahaman suatu hadis. Oleh karena itu metode ijmaliy tidak bisa diandalkan untuk menganalisis pemahaman secara detail.
            Kitab-kitab syarah yang menggunakan metode syarah Ijmaliy antara lain sebagai berikut;
No
Nama Kitab
Pengarang
1
Syarh al-Suyuthi lil Sunan al-Nasa’i
Jalal al-Din al-Suyuthi
2
Qut al-Mughtazi ‘Ala Jami’ al-Turmuzi
Jalal al-Din al-Suyuthi
3
‘Aun al-Ma’bud Syarh Sunan Abi Dawud
Muhammad bin Asyrafbn Ali Haidar Al-Siddiqi al-‘Azim al-Abadi

Metode syarah Muqarin
            Kata Muqarin, secara etimologis, merupakan bentuk isim fa’il dari kata qarana, berarti membandingkan antara dua hal. Dengan demikian Syarah muqarin secara etimologis berarti syarh perbandingan. Adapun pengertian Syarh Muqarin secara terminologis adalah metode memahami hadist dengan cara:
  1. membandingkan hadis yang memiliki redaksi yang sama atau mirip dalam kasus yang sama dan atau memiliki redaksi yang berbeda dalam kasus yang sama.
  2. membandingkan bebagai pendapat ulama’ syarah dalam mensyarah hadis
    Pensyarahan hadis dengan menggunakan metode muqarin ini dimulai dengan menjelaskan pemakaian kosa kata, urutan kata, maupun kemiripan redaksi.
    Jika yang dikehendaki membandingkan kemiripan redaksi, maka langkah yang ditempuh adalah
    1. Mengidentifikasi dan menghimpun hadis yang redaksinya bermiripan
    2. memperbandingkan antara hadis yang redaksinya bermiripan itu, yang membicarakan satu kasus yang sama, atau dua kasus yang berbeda dalam satu redaksi yang sama.
    3. menganalisis perbedaan yang terkandung di dalam berbagai redaksi yang mirip.
    4. Membandingkan pendapat para pensyarahini memiliki beberapa ciri yang membedakan dengan metode Syarah lainnya.
Adapunciri-cirinya sebagai berikut:
  1. Pensyarah menggunakan perbandingan analisis redaksional
  2. Pensyarah menggunakan perbandingan penilaian perawi.
  3. Pensyarah membandingkan kandungan makna dari masing-masing hadis yang dibandingkan.
  4. membandingkan berbagai hal yang yang dibicarakan oleh hadis tersebut.
  5. Pensyarah harus meninjau berbagai aspek yang menyebabkan timbulnya perbedaan tersebut, seperti asbab al-wurud, pemakaian kata dan susunannya, konteks masing-masing hadis tersebut muncul dan sebagainya. Meskipun yang dibandingakan hadis dengan hadis pensyarah perlu pula meninjau pendapat yang dikemukakannya berkenaan dengan hadist itu.
            Adapun aspek kedua, yaitu perbandingan pendapat para pensyarah mencakup ruang lingkup yang sangat luas karena uraiannya membicarakan berbagai aspek , baik menyangkut kandungan kandungan (makna) hadis maupun korelasi (munasabah) hadis dengan hadis
            Untuk lebih mudahnya perhatikan contoh syarah dengan metode Muqorin yang disadur dari kitab ‘Umdat al-Qariy Sharh Sahih al-Bukhari karya Badr al-Din Abu Muhammad Mahmud bin Ahmad al-Aini.
Yang paling identik dari metode ini adalah:
  1. Nuansa perbandingan sangat kental.
  2. Adanya perbandingan dalam matan hadis.
  3. Adanya perbandingan pendapat para ’ulam.
Metode ini memiliki beberapa kelebihan, antara lain :
  1. Memberikan wawasan lebih luas.
  2. Membuka pintu untuk selalu bersikap toleran terhadap pendapat orang lain
  3. Sangat berguna bagi mereka yang ingin mengetahui berbagai pendapat tentang sebuah hadis.
  4. Pensyarah didorong untuk mengkali berbagai hadis serta pendapat-pendapat pensyarah lainnya.
Selain kelebihan, dibawah ini adalah:
  1. Tidak relevan bagi pembaca tingkat pemula. Karena pembahsannya terlalu luas sehinggasulit bagi meraka untuk menentukan pendapat.
  2. Tidak dapat diandalkan untuk mengatasi permasalahan sosial. Karena metode ini lebih mengedapakan pebandingan dari pada perpecahan.
  3. Lebih banyak menelusuri pendapat ulama daripada mengemukakan pendapat baru
            Kitab-kitab syarh hadis yang menggunakan metode Muqarin antara lain sebagai dalam tabel berikut:
No
Nama Kitab
Pengarang
1
Sahih Muslim bi Syarh al-Nawawi
Imam Nawawi
2
‘umdah al-Qari’ Syarh Sahih Bukhari
Badr al-Din  Abu Muhammad Mahmud bin Ahmad al-‘Aini

  1. Metode syarah Mawdhu’iy (tematik)
            Kata Maudhu’Iy dinisbatkan pada kata al-mawdhu’, berarti topik atau materi suatu pembicaraan atau pembahasan. Secara semantik Syarah Mawdhu’I berarti menjelaskan Hadis menurut tema atau topik tertentu. Contoh kitab syarah hadis yang menggunakan metode syarah Mawdhu’I salah satunya adalah bulughu al-maram.
            Ciri-ciri syarah hadis dengan menggunakan Metode Mawdu’iy adalah pensyarah menjelaskan hadist dengan langkah-langkah sebagai berikut:
  1. Menentukan topik bahasan setelah menentukan batasan-batasan dan mengetahui jangkauannya.
  2. Menghimpun dan menetapkan hadis-hadis yang menyangkut masalah tersebut.
  3. Kajian Syarah ini memerlukan kajian syarah analisis, pengetahuan asbabul wurud, dan penegtahuan tentang dilalah suatu lafal dan penggunaannya.
  4. Menyusun tema pembahasan dalam kerangka yang tepat, sistematis, sempurna, dan utuh.
  5. Melengkapi penabahasan dan uraian dengan ayat al-Qur’an yang berhubungan dengan pembahasan
  6. Mempelajari semua hadis yang terpilih dengan jalan menghimpun hadis-hadis yang sama pengertiannya; mengkompromikan antara yang umum dan khusus, mutlaq muqayyad; atau yang kelihatan kontradiktif, sehingga bertemu dalam satu tujuan tanpa ada perbedaan dan pemaksaan dalam pensyarahan hadis.
            Metode Syarah Mawdhu’I ini memiliki kelebihan dibanding metode syarah yang lainnya, antara lain:
  1. Dipridiksi mampu menjawab tantangan zaman. Perubahan zaman merupakan sunnatullah yang tidak dapat dihindari. Seiring dengan berubahnya zaman semakin kompleks pula permasalahan yang dihadapi masyrakat. Dengan model pensyarahan ini, pemahaman tentang suatu permasalahan dapat dipahami secara komprehensif karena seluruh hadis yang berhubungan dengan permasalahan disajikan, sehungga tidak didapatkan kontradiktif dengan hadis lain yang berhubungan dengan permasalahan tersebut.
  2. Praktis dan sistematis Model ini dinilai praktis dan sistematis karena mudah untuk memahami suatu permasalahan dan tersusun sesuai dengan tema-tema permasalahan tertentu
  3. Memunculkan sikap dinamis dalam mensyarahi hadis
    Karena menyajikan hadis-hadis yang berhubungan dengan permaslahan maka dalam pensyarahannya masih terdapat ruang untuk berijtuhad lagi yang sesuai dengan kebutuhan zaman.
  4. Dalam metode ini seluruh hadis yang berhubungan dengan permasalahan disajikan sehingga dapat piperoleh pemahamn yang utuh tidak parsial sebagaimana metode Tahliliy
            Selain memiliki kelebihan sebagaimana uaraian di atas, harus diakui juga, bahwa metode ini juga. Memiliki kekurangan antara lain:
  1. Metode ini banyak melakukan pemenggalan hadis.
  2. Membatasi pemahaman hadist.
BAB III
PENUTUP
Berdasarkan uraian makalah kami diatas, maka kami dapat memetik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1.    Al-Muaththa’ adalah tipe pembukuan kitab hadits yang didasarkan pada klasifikasi hukum islam (abwab al-fiqhiyah) dengan mencantumkan hadits-hadits marfu’, mauquf, dan maqthu’. Dari kata-kata muaththa’ timbul kesan bahwa motivasi pembukuan hadits dengan tipe ini adalah untuk memudahkan orang dalam menemukan hadits. Kandungan kitab ini adalah hadits Nabi, fatwa sahabat, dan pendapat tabiin.
2.    Al-Sunan adalah kitab-kitab hadits yang disusun berdasarkan bab-bab fikhi dan hanya memuat hadits-hadits marfu’, kalaupun dalam kitab sunan terdapat hadits yang mauqhuf dan maqthu’, maka jumlahnya hanya sedikit saja, berbeda dengan tipe penyusunan kitab hadits Muaththa’ dan mushannaf yang banyak memuat hadits-hadits mauquf dan maqtu’, meskipun tipe penyusunannya sama berdasarkan bab fikhi,
3.    Al-Musnad adalah kitab Hadis yang disusun berdasarkan nama-nama sahabat yang meriwayatkan Hadis. Biasanya dimulai dengan nama shabat yang pertama kali masuk Islam atau menyesuaikan dengan urutan abjad.
4.    Penulisan kitab Jami` bermaksud menghimpunkan Hadis-hadis berkenaan dengan bidang aqidah, ahkam, riqaq, adab, tafsir, tarikh dan sirah, fitan dan manaqib.
5.    Al-Ajeza’ adalah hadis-hadis yang dikumpulkan berdasarkan suatu perkara tertentu atau tema tertentu seperti Raf` al-Yadaian oleh al-Bukhari. Dalam kitab ini beliau mengemukakan Hadis-hadis tentang mengangkat tangan tanpa membahaskan kedudukan Hadis-hadis tersebut apakah ada yang  mansukh, syaz, atau mujmal dan sebagainya.
6.    Al-Mustadrakh adalh Kitab Hadis yang mengumpulkan Hadis-hadis yang tidak disebutkan oleh seseorang pengarang sebelumnya secara sengaja atau tidak. Contohnya kitab Mustadarak al-Hakim setebal 4 jilid di mana Hadis-hadis tersebut dikumpul menepati syarat-syarat yang digunakan oleh Bukhari dan Muslim.
7.    Mu’jam adalah kitab yang disusun mengikut tertib huruf ejaan, atau mengikut susunan nama guru-guru mereka. Nama guru-guru mereka juga disusun mengikut ejaan nama atau laqob mereka. Mu’jam juga hanya mengumpulkan Hadis-hadis nabi s.a.w tanpa melihat kwalitas Hadis-hadisnya.
8.    Tipe athraf adalah tipe pembukuan hadits dengan menyebutkan pangkal hadits saja sebagai petunjuk pada matan hadits selengkapnya. Dengan kata lain, tipe athraf adalah tipe penulisan kitab hadits dengan menyebutkan sebagian hadits saja sebagai tanda kelanjutan hadits yang dimaksud , atau tipe penulisan kitab hadits yang menghimpun hadits hanya awal matannya saja tanpa menyebutkan matan hadits seutuhnya.
9.    Al-Syuruh hadist adalah menguraikan ucapan, tindakan, dan ketetapan Rosulillah Saw. Sehingga menjadi lebih jelas, baik menggunakan bahasa arab maupun bahasa lainnya. Bahkan dlaam hal ini syarah adalah menjelaskan sanad yang mengantarkan ucapan, tindakan, dan ketetapan tersebut hingga sampai ketangan para penulis hadist, sehingga jelas identitas dan kulitas moral serta intelektual para rawi yang terangkai di dalamnya.

Daftar Pustaka
Dzulmani. Mengenal kitab-kitab Hadits. Yogyakarta: Pustaka Insan Madani,     2008
Idris. Studi Hadits. Jakarta: Kencana, 2010
As-Shiddiqi, Hasbi. Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadits. Jakarta: 1976
Thalib, Muhammad. Sekitar Kritik Terhadap Hadits dan Sunnah  Dasar Hukum           Islam. Surabaya: Bina Ilmu, 1977
Darmalaksana. Hadits di Mata Orientalis. Bandung: Benang Merah Press, 2004
Azami, Muhammad Musthafa. Hadits Nabi dan Sejarah Kodifikasinya. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994.







           
           
           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar