BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang
Al-Qur’an
sebagai kalamullah adalah sumber hukum tertinggi umat Islam. Meskipun demikian
tanpa pelengkap kalamullah tersebut belum mampu untuk dipahami, dicerna ataupun
diamalkan. Dengan kata lain Al-Qur’an belumlah sempurna tanpa bantuan Al-Hadits
sebagai salah satu pelengkapnya.
Jika
melihat pada literatur sejarah, kodifikasi Hadis mengalami rentetan peristiwa
yang cukup panjang. Saat menyadari kemustahilan untuk melestarikan Hadis dengan
hafalan, beberapa ulama Hadis mulai menuliskan apa yang dia hafal. Setelah
penulisan dan pembukuan Hadis diizinkan secara resmi pada masa kekhalifahan
Umar bin Abdul Aziz, ulama-ulama tersebut mengumpulkan apa yang dia tulis dan
membukukannya.
Penulisan
kitab-kitab hadits yang dilakukan semenjak abad kedua Hijria mengalami
perkembangan yang sangat cukup signifikan, tidak hanya dari segi kandungan
hadits-hadits yang didalamnya, tetapi juga tipe-tipepenulisan kitab itu. Dari
segi kualitas ada yang mengumpulkan hadits-hadits yang shahih saja dan sebagian
berisi hadits-hadits shahih dan tidak shahih Dari segi tipe penulisannya,
kitab-kitab hadits itu ada diklasifikasikan menjadi sebelas tipe yaitu juz’,
mu’jam, mustakhraj, athraf, muaththa’, mushannaf, sunan, jami’, mu’jam,
mustadrakh, dan zawaid. Sebagai pengenalan. Dalam makalah ini penulis sedikit
mengulas secara singkat tentang tipologi serta metodologi yang di pakai dalam pembukuan Hadis. Ini semua
adalah hal-hal yang cukup penting untuk diketahui sebelum kita tenggelam lebih
dalam saat membaca kitab-kitab ini.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas maka dapat
dirumuskan beberapa masalah yang menjadi acuan pembahasan dalam makalah ini ,
yaitu:
1.
Apa
yang dimaksud dengan Al-Muaththa’
2.
Apa yang
dimaksud dengan Al-Sunan
3.
Apa
yang dimaksud dengan Al-Musnad
4.
Apa
yang dimaksud dengan Al-Jawami’
5.
Apa
yang dimaksud dengan Al-Ajeza’
6.
Apa
yang simaksud dengan Al-Mustadrakh
7.
Apa
yang dimaksud dengan Al-Mustakhrajat
8.
Apa
yang dimaksud dengan Al-Syuruh
9.
Apa
yang dimaksud dengan Al-Athraf
1. Apa yang dimaksud dengan Al-Ma’ajim
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Al-Muaththa’
Secarah bahasa,
muaththa’ berarti sesuatu yang dipersiapkan (al-muhayya’) dan di mudahkan
(al-muyassar). Menurut istilah ulama
hadits, muaththa’ adalah tipe pembukuan kitab hadits yang didasarkan
pada klasifikasi hukum islam (abwab al-fiqhiyah) dengan mencantumkan
hadits-hadits marfu’, mauquf, dan maqthu’. Dari kata-kata muaththa’ timbul
kesan bahwa motivasi pembukuan hadits dengan tipe ini adalah untuk memudahkan
orang dalam menemukan hadits. Kandungan kitab ini adalah hadits Nabi, fatwa
sahabat, dan pendapat tabiin. Berdasarkan definisi di atas, karateristik tipe
muaththa’ adalah:
1.
Disusun
berdasarkan bab tertentu, biasanya klasifikasihukum islam;
2.
Mencantuman
hadits-hadits marfu’, mauquf, dan maqthu’;
3.
Didalamnya
terdapat hadits-hadits shahih, hasan dan dhaif.
Ada dua kemungkinan
latar belakang penyebutan nama muaththa’: Pertama, pengarangnya telah
memudahkan dan mempersiapkannya kepada masyaraka, sebagaimana dimaksud dalam
pengertian secarah bahasa diatas. Kedua, kitab ini disepakati oleh
sebagian ulama. Imam Malik menyebutkan kitabnya dengan muaththa’ sebab ia
pernah berkata bahwa kitab yang disususnnyaitu diajukan kepada tujuh puluh ahli
fiqhi madianah kemudian mereka berkata, wa athani ‘alayh (dia sependapat
denganku)”, kemudian kami menyebutnya denagan muaththa’ (yang disepakati).
Kitab-kitab yang
menggunakan tipe muaththa’ disususn oleh para ulama antara lain Ibnu Abi Dz’ib
(w. 158 H), Malik Ibn Anas (w. 179 H), Abu Muhammad al-Mawarzi (w. 293 H), dan
lain-lain. Dari sekian banyak kitab al-Muaththa’ itu yang paling dikenal karya
Malik ibn Anas sehingga jika disebut al-Muaththa’ yang dimaksudkan adalah
kitabnya itu.
B.
Al-Sunan
Secara etimologi sunan adalah kosa kata bahasa Arab yang merupakan
bentuk jamak dari kata sunnah yang berarti jalan, tabiat, atau perilaku hidup,
sedangkan menurut terminologi ialah kitab-kitab hadits yang disusun berdasarkan
bab-bab fikhi dan hanya memuat hadits-hadits marfu’, kalaupun dalam kitab sunan
terdapat hadits yang mauqhuf dan maqthu’, maka jumlahnya hanya sedikit saja,
berbeda dengan tipe penyusunan kitab hadits Muaththo’ dan mushannaf yang banyak
memuat hadits-hadits mauquf dan maqtu’, meskipun tipe penyusunannya sama
berdasarkan bab fikhi,
Menurut Manna’ Al-Qaththan dalam kitabnya Al-Risalah al-Mustahrafah
menyatakan tipe kitab sunan merupakan tipe penyusunan kitab hadits berdasarkan
bab-bab fikhi yang hanya memuat hadits-hadits marfu’ saja, sebab menurut beliau
hadits mauquf dan maqtu’ tidak disebut sunnah
melainkan disebut hadits saja.
Kitab hadits sunan yang tipe penyusunannya berdasarkan bab fikhi yang
dimulai dari bab thaharah, shalat, zakat, dan seterusnya, didalamnya tercampur
antara hadits shahih, hasan, dan dha’if dengan memberikan penjelasan tentang
kualitas hadits tersebut agar supaya para fuqaha muda untuk menjadikan sumber
dalam mengambil kesimpulan hukum.
Berikut ini kami kemukakan karakteristik tipe penulisan kitab
hadits sunan diantaranya ialah:
1.
Bab-babnya
berurutan berdasarkan bab-bab fikhi.
2.
Penyusunan
bab-babnya dilakukan secara sistematis.
3.
Hanya
memuat hadits-hadits marfu’ saja, kalaupun ada yang mauquf dan maqtu’ jumlahnya
sangat sedikit.
4.
Tercampur
antara hadits shahih, hasan, dan dha’if dan
5.
Pada
sebagian kitab dicantumkan penjelasan tentang kualitas hadits yang
bersangkutan.
Kitab yang disusun menggunakan tipe ini cukup banyak diantaranya
ialah :
1.
Kitab
Sunan Abi Daud karya Abu Daud al-Sijistani (w. 275 H)
2.
Kitab
Sunan Ibn Majah karya Ibn Majah al-Qaswayni (w. 275 H)
3.
Kitab
Sunan Al-Nasa’i karya al-Nasa’i (w. 303 H)
4.
Kitab
Sunan Al-Baihaki Karya Ahmad ibnu Husain al-Baihaki (w. 458 H)
5.
Kitab
Sunan Al-Daruquthni karya Ali Ibnu Umar Al-Daruquthni (w. 385 H)
6.
Kitab
Sunan Al-Darimi karya Abd Allah Ibn Abd Al-Rahman Al-Darimi (w. 204 H)
C.
Al-Musnad
Kitab Hadis yang disusun berdasarkan
nama-nama sahabat yang meriwayatkan Hadis. Biasanya dimulai dengan nama shabat
yang pertama kali masuk Islam atau menyesuaikan dengan urutan abjad.
Imam Ahmad yang menulis musnad telah
mendahulukan Hadis-hadis Abu Bakar daripada Hadis-hadis sahabat yang lain.
Di
antara cara penyusunan musnad adalah:
- memuat Hadis-hadis tentang 10 orang sahabat yang dijamin masuk syurga, atau tentang khalifah yang empat.
- mengurutkan siapa yang lebih dahulu yang memeluk Islam.
- dengan melihat siapakah ahli Badar/ Hudaibiah dahulu.
- dengan melihat siapakah yang memeluk Islam terlebih dahulu ketika Pembukaan Mekah.
- dengan melihat lelaki dahulu perlu diutamakan. Tetapi dari kalangan wanita pula isteri-isteri nabi diutamakan terlebih dahulu.
- atau dengan melihat jenis qabilah (qabilah bani Hasyim didahulukan).
Di dalam musnad jumlah Hadis tidak
dibatasi jumlahnya. Ia cuma mengumpulkan sebanyak mungkin Hadis-hadis yang
menerangkan tentang sesuatu perkara. Namun begitu musnad yang paling sahih
adalah Musnad Ahmad kerana beliau telah menyaring Hadis-hadisnya.
Kebanyakan ulama salaf menulis Hadis-hadis dalam bentuk musnad.
D.
Jami’
Penulisan kitab Jami` bermaksud
menghimpunkan Hadis-hadis berkenaan dengan bidang aqidah, ahkam, riqaq, adab,
tafsir, tarikh dan sirah, fitan dan manaqib.
Kitab Hadis Sahih Bukhari
merupakan salah satu kitab yang digelar kitab Jami’ (atau Jawami’) .
Untuk disebut sebuah kitab Hadis sebagai Jami’ sebuah kitab
hendaklah mengandungi sekurang-kurangnya delapan bidang .
- Aqaid (akidah): Contohnya: Kitab al-Tauhid karangan Abu Bakar Ibn Abi Khuzaimah, Kitab al-Asma wa al-Sifat oleh al-Baihaqi
- Ahkam: Kitab Hadis hukum yang disusun seperti dalam kitab-kitab fiqh seperti Bulugh maram dan Umdatul ahkam.
- Riqaq ( raqaaiq) : dinamakan juga sebagai Ilmu al-Suluk wa al-Zuhd iaitu menyebut tentang peringatan di hari akhirat dan azab kubur yang akan melembutkan hati sesiapa yang mendengarnya dan menjadikannya seorang yang zuhud.
Contohnya:
Kitab Zuhud oleh Abdullah Ibn Mubarak, Imam Ahmad.
- Adab: Adab sopan, adab tidur, adab solat, adab makan dan sebagainya. Contohnya kitab al-Adab al-Mufrad oleh al-Bukhari dan Kitab Syamail oleh Tirmizi
- Tafsir: Hadis-hadis yang mentafsirkan al-Quran.Contohnya kitab Tafsir ibn Mardawaih, ibn Jarir at-Tabari, Tafsir al-Dailami dan Tafsir Jailani.
- Tarikh: Sejarah terbagi kepada dua jenis:
a-
Sejarah tentang kejadian alam ( bada’ al-khalq)
seperti kejadian langit dan bumi, syurga, neraka, jin, syaitan, malaikat dan
sebagainya
b-
b- Sejarah tentang kehidupan Rasulullah s.a.w. dan para
sahabat seperti Sirah Ibn Hisyam, Sirah Mulla Umar,dan
sebagainya.
- al-Fitan yaitu fitnah-fitnah yang muncul di akhir zaman bermula selepas kewafatan Rasulullah s.a.w. Contohnya, kitab Muin bin Hammad (guru al-Bukhari) tentang Dajjal, turunnya nabi Isa as, kemunculan Imam Mahdi, dan sebagainya. Beliau telah mencampuradukkan antara yang sahih dan tidak sahih.
- Manaqib (tentang kelebihan seseorang seperti Abu Bakar,Umar,Uthman,dan Ali, tabi’in, ahlul bait, isteri-isteri Rasulullah s.a.w., Nawasib dan sebagainya) contohnya, al-Riyadh al-Nadhirah Fi Manaqib al-`Asyarah oleh Muhib al-Tabari, Zakhair al-`Uqba Fi Manaqib Zawi al-Qurba dan lain-lain.
Antara kitab-kitab Hadis yang
termasuk dalam kategori ini ialah Sahih al-Bukhari Jami’ al-Tirmizi,
Sahih Muslim, Misykat al-Masabih, Jami` Suyfan al-Thauri, Jami` Abdul
Razzaq bin Hammam al-San`ani, Jami’ al-Darimi, dan lain-lain.
E.
Al-Ajza’
Hadis-hadis
yang dikumpulkan berdasarkan suatu perkara tertentu atau tema tertentu seperti Raf`
al-Yadaian oleh al-Bukhari. Dalam kitab ini beliau mengemukakan Hadis-hadis
tentang mengangkat tangan tanpa membahaskan kedudukan Hadis-hadis tersebut
apakah ada yang mansukh, syaz, atau mujmal dan sebagainya. Contoh-contoh
lain seperti Juz al-Niyyah oleh Ibn Abi al-Dunya, Juz al-Qira’ah
Khalf al-Imam oleh al-Baihaqi, Juz Fadhail Ahl al-Bait oleh
Abu al-Husin al-Bazzar, Juz al-Munziri Fi Man Ghufira Lah Ma Taqaddama Min
Zanbih, Juz Asma al-Mudallisin dan Juz `Amal al-Yaum wa
al-Lail.
Tujuan kitab Rasail ini ditulis
adalah:
1- Untuk membuktikan sesuatu perkara
itu sabit (mendapat ketetapan) daripada Rasulullah s.a.w dengan mengumpulkan
pelbagai riwayat tanpa mengira kedudukan Hadis-hadis tersebut.
2- Supaya lebih mudah untuk membuat
kajian terhadap sesuatu perkara.
F. Mustadrak
Kitab
Hadis yang mengumpulkan Hadis-hadis yang tidak disebutkan oleh seseorang
pengarang sebelumnya secara sengaja atau tidak. Contohnya kitab Mustadarak
al-Hakim setebal 4 jilid di mana Hadis-hadis tersebut dikumpul menepati
syarat-syarat yang digunakan oleh Bukhari dan Muslim.
Kitab
ini tidak boleh dibaca begitu saja, tetapi mesti bersama dengan takhrijnya oleh
al-Zahabi. Antara contoh kitab-kitab mustadrak yang lain adalah seperti Mustadrak
Hafiz Ahmad al-Maliki. Tujuan penyusunan kitab Mustadarak ialah:
Supaya kita tidak menganggap Hadis sahih hanyalah apa yang terkandung di dalam Sahih
al-Bukhari dan Muslim sahaja.
G.
Ma’ajim
Mu’jam
disusun mengikut tertib huruf ejaan, atau mengikut susunan nama guru-guru
mereka. Nama guru-guru mereka juga disusun mengikut ejaan nama atau laqob
mereka.
Mu’jam
juga hanya mengumpulkan Hadis-hadis nabi s.a.w tanpa melihat kwalitas
Hadis-hadisnya.
Contoh kitab-kitab mu’jam ialah Mu’jam
Tabrani, Mu’jam kabir, Mu’jam as-Sayuti, dan Mu’jam as-Saghrir, Mu’jam
Abi Bakr, ibn Mubarak, dan sebagainya.
Kitab rijal yang mengumpulkan orang-orang yang tersebut dalam meriwayatkan Hadis-hadis nabi s.a.w. mengikiut ejaan bersama dengan kuniyyahnya. Ini semua adalah untuk memastikan kesahihan sesebuah Hadis.
Kitab rijal yang mengumpulkan orang-orang yang tersebut dalam meriwayatkan Hadis-hadis nabi s.a.w. mengikiut ejaan bersama dengan kuniyyahnya. Ini semua adalah untuk memastikan kesahihan sesebuah Hadis.
H.
Al-Athraf
Disampin penulisan
hadits yang menggunakan tipe juz’ pada masa klasik dikenal pula penulisan kitab
haditsdengan menggunakan tipe athraf . Kata athraf merupakan bentuk jamak dari tharaf.
Secarah bahasah, athraf berarti pangkal-pangkal atau bagian-bagian, yaitu
bagian dari matan hadits yang dapat menunjukkan keseluruhannya. Secarah
terminiologis, tipe athraf adalah tipe pembukuan hadits dengan menyebutkan
pangkal hadits saja sebagai petunjuk pada matan hadits selengkapnya. Dengan
kata lain, tipe athraf adalah tipe penulisan kitab hadits dengan menyebutkan
sebagian hadits saja sebagai tanda kelanjutan hadits yang dimaksud , atau tipe
penulisan kitab hadits yang menghimpun hadits hanya awal matannya saja tanpa
menyebutkan matan hadits seutuhnya.
Kitab athraf
ditulis dengan hanya menyebutkan bagian (athraf) hadits yang dapat menunjukkan
pada keseluruhannya, kemudian menyebut sanad-sanadnya, baik secarah menyeluruh
atau hanya dinisbahkan pada kitab-kitab tertentu, akan tetapi sebagian
pengarang kitab athraf ada yang menyebutkan sanadnya secarah menyeluruh dan ada
pula yang hanya menyebutkan gurunya saja.
Penyusun kitab
dengan tipe athraf setidaknya menggunakan dua cara:
1.
Berdasarkan
nama-nama sahabat sesuai huruf-huruf hijaiyah, misalnya dimulai dari sahabat
yang namanya dimulai dengan huruf Alif kemudian ba’ dan
seterunya.
2.
Berdasarkan
huruf awal matan hadits seperti yang dilakukan oleh Abu al-Fadhl ibn Thahir
dalam kitabnya Athraf al-Garib wa al-Afrad dan Muhammad ibn al-Husayni dalam
kitabnya al-Kasyif fi Ma’rifah al-Athraf yang memuat kitab hadits enam.
Perluh diketahui bahwa
kitab hadits yang menggunakan tipe penulisan athraf tidak memaparkan hadits
secarah sempurnah. Jika seseorang ingin mengetahui matan hadits secarah utuh,
maka ia dapat merujuk pada sumber yang diisyaratkan oleh kitab athraf itu.
Penulisan kitab hadits
dengan tipe athraf ini tela dilakukan oleh ulama hadits semenjak abad kedua
Hijriah sebagaimana dilakukan oleh Auf ibn Abu jamilah al-‘Abadi (w. 146 H).
Tipe ini banyak berkembang pada abad keempat dan kelima Hijriah. Dalam menyusun
kitab berdasar tupe athraf ini, biasanya para ulama menyusun kitab-kitab mereka
berdasarkan nama-nama sahabat yang diurut sesuai huruf hijayah (al-fabetis),
mulai dengan hadits yang diriwayatkan oleh sahabat yang awalan namanya alif dn
seterusnya,. Sebagian ulama juga menyusun kitabya sesuai dengan redaksi
permulaan matan hadits, seperti kitab Athraf al-Gharaib wa al-afrad karya abu
fadhl ibn Thahir dan al-Kasyif fi ma’rifah al-Athraf oleh Muhammad ibn Ali
al-Khusayni.
Disamping kedua
kitab diatas, kitab-kitab yang ditulis dengan menggunakan tipe ini cukup banyak
antara lain:
1)
Athraf
al-Shahihayn, kaya Abu Mas’ud Ibrahim ibn Muhammad al-Dimasyqi (w. 104 H)
2)
Athraf
al-Shahihayn, karya Abu Muhammad Khalf ibn Muhammad al-Wasithi (w. 104 H)
3)
Al-Asyraf
ala Ma’rifah al-Athraf , karya Abu Qasim Ali ibn al-Hasan (w. 175 H)
4)
Tuhfah
al-Asyraf bi Ma’rifah al-Athraf , karya al-Hafidz Yusuf ‘Abd Rahman al-Mizzi (w. 742 H)
5)
Al-Ittihaf
al-Mahrah bi athraf al-Asyarah oleh Ahmad ibn Hajar al-Asqalani (w. 852 H)
6)
Athraf
al-Masanid al-Asyarah, Oleh Abu al-Abbas Ahmad ibnu Muhammad al-Bushiri (w. 840
H)
7)
Dakhair
al-Mawarist fi al-Dilalah ‘ala Mawadhi al-hadits, karya ‘Abd al-Ghani
al-Nablasi (w. 1143 H)
I.
Al-Syuruh
Syarah diambil dari kata “syaraha, yasyrahu, syarh” dimana
secara bahasa berarti menguraikan sesuatu da memisahkan bagian sesuatu dari
bagian yang lainnya. Dikalangan para penulis kitab berbahasa arab, syarah
adalah memberi catatan dan komentar kepada naskah atau matn (matan) suatu
kitab.
Syarah
tidak hanya terbatas pada penjelasan naskah kitab yang berkutat dengan eksplanasi,
melainkan juga uraian dalam arti interpretasi. Dan kenyatannya syarah
tidak hanya berupa uraian dan penjelasan tentang suatu kitab secara
keseluruhan, tetapi juga bisa merupakan uraian sebagian kitab, bahkan uraian
terhadap suatu kalimat dari sebuah hadist itu juga disebut syarah.
Maka
yang disebut dengan syarah terhadap kitab tertentu, maka itu adalah uraian atau
penjelasan satu ktab secara keseluruhan. Sedangkan apabila dikatakan “syarah
hadist” secara mutlak, maka yang dimaksud adalah syarah terhadap ucapan,
tindakan, dan ketetapan Rosulilah Saw. Beserta sanadnya. Disamping itu, syarah
tidak harus selalu berbentuk kitab atau karya tulis lainnya,melainkan bisa juga
secara lisan. Oleh karena itu, karya tulis yang menguraikan dan menjelaskan
makna hadist, seperti makalah dan artikel dapat disebut sebagai syarah hadist.
Demikian juga uraian dan pejelasan hadist secara lisan dalam proes belajar,
pengajian, khutbah, ceramah dan sejenisnya bisa juga disebut sebagai meng-syarah
hadist5.
Berberapa
hal yang biasanya terdapat pada kitab syarah selain uraian pokok dalam hadist
tersebut, diantaranya:
- I’rah/nahwu, yaitu penjelasan gramatikal yang meliputi penjelasan mengenai posisi suatu kata tertentu dalam struktur suatu kalimat dan hubungan satu kalimat dengan kalimat lain sebelumnya.
- Balaghah dengan beragai cabangnya, yaitu penjelasan mengenai keindahan suatu kalimat, kedalamnnya, dan keluasan maknanya, serta rahasia makna yang terkandung didalamnya. Penjelasan yang demikian biasanya ditemukan sehubungan dengan ayat al-Quran, matan hadist, kata-kata hikmah dan syair.
- Keterangan yang dikutip dari berbagai kitab lain atau pendapat lain yang berfungsi secagai bahan pertimbangan.
- Uraian makna kalimat yang disyarah, sesuai dengan disiplin ilmu yang bersangkutan.
- Kisah da cerita yang terkait, baik biografi seorang tokoh, maupun kisah klasik yang mengandung pelajaran.
Muhthaaafa
bin Abdullah Al-Qashanthini al-Rumi al-Hanafi mengklasifikaskan teknik
penulisan syarah sebagai berikut:
- Menandai teks syarah dengan tanda “aqulu”, yakni menyatukan letak teks matan dengan teks syarah dan membedakannya dengan menyatakan “aqulu” atau “ qala al-mushannif” untuk mengakhiri teks matan atau menjelang teks matan. Dalam teknik ini hadis yang disyarah ditulis lagi secara utuh dengan terpisah, namun kadang juga tidak.
- Menandai teks syarah dengan kata “qawluhu”. Yakni memisahkan teks matan dengan teks syarah, seperti teks matan berada di luar garis margin atau diatas garis pemisah, lalu bagian-bagian yang akan disyarah dikutip dan mengawalinya dengan kata “qawluhu”. Dalam teknik ini teks matan yang disyarah ditulis dengan lengkap dan terpisah dengan syarah.
- Syarah mamzuj, yaitu menyatukan teks matan dengan teks syarah dan membedakan dengan hurup mim dan syin atau dengan kata …………….. diatas diawal teks matan.Kemudian teknik pemisahan diganti dengan 2 tanda kurung, yaitu teks matan berada di dalam kurung, sedangkan teks syarah berada di dalam kurung.
Jadi
hakikatnya syarah hadist adalah menguraikan ucapan, tindakan, dan ketetapan
Rosulillah Saw. Sehingga menjadi lebih jelas, baik menggunakan bahasa arab
maupun bahasa lainnya. Bahkan dlaam hal ini syarah adalah menjelaskan sanad
yang mengantarkan ucapan, tindakan, dan ketetapan tersebut hingga sampai ketangan
para penulis hadist, sehingga jelas identitas dan kulitas moral serta
intelektual para rawi yang terangkai di dalamnya. Mengsyarah hadist berarti
berkata atas nama Rosulillah Saw. agar ucapan, tindakan, dan ketetapan beliau
lebih bisa dimengerti maksudnya dan dapat terhindarkan dari kesalahpahaman
terhadapnya6.
- Latarbelakang Perlunya Syarah Hadist.
Kegiatan
mensyarah hadist sebenarnya sudah ada sejak zaman Rosulillah, ini terbukti
dnegna apa yang sering Rosulillah lakukan yaitu menjelaskan kembali sehubungan
dengan pernyataan sebagian sahabat mengenai ucapan maupun tindakan beliau yang
belum jelas bagi mereka.
Dari
kejadiakn tersebut bisa dimaklumi jika kemudian generasi setelah para sahabat
sangat memerlukan ilmu syarah hadist untuk menjelaskan semua hal yang telah
samapi kepada mereka, dimana pada generasi setelah sahabat, Rosulillah sudah
wafat.
Dalam
hal ini, ada 4 perkara yang melatarbelakangi perlu adanya sysrah hadist adalah;
- Karakter kalimat yang digunakan dalam ucapan Rosulillah banyak yang hal sangat mirip dengan karakterkalimat dalam Allah Swt.
- Tidakan Rosupipah Saw yang diriwayatkan dalam kitab-kitab hadist dapat ditinjau dari berbagai sudut pandang dan tidak senantiasa berkaitan dengan petunjuk wahyu.
- Hadist merupakan sumber ajaran agama Islam. Maka untuk memahaminya dilakukanlah syarah.
- Umat Islam diwajibkan untuk berpegang teguh kepada sunnah Rosulillah Saw, namun kondisi umat Islam sekarang ini pad aumumnya tidak mampu memahami hadist secara langsung, karena untuk memahami hadist dibutuhkan secara langsung dibutuhkan sejumlah ilmu pendukung
- Kegunaan syarah hadist.
Jika
dilihat dari urgensi pemahaman hadist yang benar kepada kalangan umat ssekarang
ini, maka keugaan ilmu syarah hadist adalah sebagai berikut:
- Menyampaikan amanah dan menyebarluaskan sunnah Rosulillah.
- Menghidup-hidupkan dan melestarikan sunnah Rosulillah Saw.
- Menghindarkan kesalahpahaman terhadap maksud hadist.
Dalam
mensyarah ada ketentuan-ketentuan yang haus dilakukan oleh semua yang akan
mensyarah hadist suatu hadits, baik hadis qawli maupun fi’li,
yaitu:
- Apabila hadis yang akan disyarah itu diriwiyatkan melalui jalur sanad yang lebih dari satu atau terdapat pada beberapa kitab, maka tidak cukup hanya berpegang kepada satu riwatayat, tanpa memperhatikan riwayat lain sama sekali, melalinkan sedapat mungkin seluruh riwayat tersebut ditelaah untuk kemudian ditetapkan salah satunya sebagai hadis pokok yang disyarah, lalu hadis yang lain disinggung dalam sayarah sebagai data pendukung. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal, yaitu:
- Apabila tema hadis-hadis tersebut sama, namun periwayatannya berbeda-beda pada setiap sanad-sanadnya salaing menguatkan.
- Apabila tema hadis-hadis tersebut sama, namun namun kata-katanya berbeda, baik dari sisi I’rabnya maupun sharafnya, maka kata-kata yang berbeda dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam memberikan makna dan dalam mensyarahnya.
- Apabila tema hadis-hadis tersebut sama, namun pada sebagian riwayat terdapat tambahan sejumlah kata atau kalimat, atau bahkan dalam sebagian riwayat digabungkan dengan tema-tema lain atau disertai sabab al-wurud, maka kata-kata tambahan tersebut apabila terdapat pada riwayat orang-orang yang paling tsiqat, dapat diterima.
- Apabila perbedaan di antara riwayat-riwayat tersebut sangat jauh, hingga tidak dapat dikompromikan, maka hadis-hadis tersebut dinilai mukhtalif dan diselesaikan dengan tarjih, nasakh, atau cara yang lain lagi.
Oleh
karena itu, riwayat-riwayat yang lain perlu disinggung, meskipun tidak dikutip
seutuhnya. Langkah ini merupakan tradisi para pensyarah hadis.
- Apabila tema hadis yang akan disyarah berkaitan dengan sejumlah hadis yang berlainan bentuknya, yaitu hadis qawli dan hadis fi’li, baik yang searah maupun yang bertentangan, maka teknik pensyarahannya dapat digabungkan dengan penggabungan kedua metodenya.
- Metode Pemahaman Syarah Hadist
- Metode syarah Tahliliy (Analisis)
Secara
etimologis kata tahlili berasal dari kata حل (halla) yang berarti menguraikan, membuka
Sedangkan kata tahlili sendiri adalah bentuk masdar dari kata حلل (halala),
yang secara semantik berearti mengurai, menganalisis, menjelaskan, menjelaskan
bagian-bagiannya serta fungsinya masing-masing.
Adapun pengertian secara terminologis, Metode Syarh Tahlili adalah menjelaskan hadis-hadis Nabi dengan memaparkan segala aspek yang terkandung di dalam hadis tersebut serta menerangkan makna-makna yang tercakup di dalamnya sesuai dengan kecendrungan dan keahlian pensyarah. Model pensyarahan hadis dengan metode Tahlili, seorang pensyarah hadis mengkuti sistematika hadis sesuai dengan urutan hadis yang terdapat dalam sebuah kitab hadis yang dikenal dari al-Kutub al-Sittah. Pensyarah hadis memulai penjelasannya kalimat demi kalimat, hadis demi hadis secara berurutan. Uraian tersebut menyangkut berbagai aspek yang dikandung hadis, seperti kosa kata, konotasi kalimatnya latar belakang turunnya hadis (bila ditemukan), kaitannya dengan hadis lain dan pendapat – pendapat yang beredar di sekitar pemahaman hadis tersebut, baik yang berasal dari sahabat, para tabi’in maupun para ulama hadis
Adapun pengertian secara terminologis, Metode Syarh Tahlili adalah menjelaskan hadis-hadis Nabi dengan memaparkan segala aspek yang terkandung di dalam hadis tersebut serta menerangkan makna-makna yang tercakup di dalamnya sesuai dengan kecendrungan dan keahlian pensyarah. Model pensyarahan hadis dengan metode Tahlili, seorang pensyarah hadis mengkuti sistematika hadis sesuai dengan urutan hadis yang terdapat dalam sebuah kitab hadis yang dikenal dari al-Kutub al-Sittah. Pensyarah hadis memulai penjelasannya kalimat demi kalimat, hadis demi hadis secara berurutan. Uraian tersebut menyangkut berbagai aspek yang dikandung hadis, seperti kosa kata, konotasi kalimatnya latar belakang turunnya hadis (bila ditemukan), kaitannya dengan hadis lain dan pendapat – pendapat yang beredar di sekitar pemahaman hadis tersebut, baik yang berasal dari sahabat, para tabi’in maupun para ulama hadis
Ada
dua bentuk pensyarahan dengan menggunakan metode tahlili, Pertama,
berbentuk ma’sur (riwayat). Syarah yang berbentuk ma’sur ini
ditandai dengan banyaknya dominasi riwayat-riwayat yang datang dari sahabat,
tabi’in, tabi’ al-tabi’in atau ulama’ hadis dalam penjelasan terhadap hadis
yang disyarahi. Kedua, ra’y (pemikiran Rasional). Pensyarahan ini banyak
didominasis pemikiran pengsyarahnya.
Jika
kitab-kitab syarah yang menggunakan metode tahlili, baik yang berbentuk ma’sur
atau ra’y di cermati dapat diketahui ciri-ciri pensyarahan yang
dilakukan mengikuti pola menjelaskan makan yang terkandung dalam hadis secara
komprehensif dan menyeluruh yakni mengunakan metode sebagai berikut:
- Hadist dijelaskan kata demi kata
- Hadist dijelaskan kalimat demi kalimat secara beruntun
- Menerangkan sabab al-wurud (latar belakang turunnya sebuah hadis) hadis yang dipahami jika hadist tersebut memiliki sabab al-wurud.
- Diuraikan pemahaman-pemahaman yang pernah disampaikan oleh sahabat, tabi’i, tabi al-tabi’in, dan para ahli syarah hadist lainnya dari berbagai displin ilmu.
- Dijelaskan munasabah (hubuangan) hadist satu dengan hadist yang lainnya.
- Kadangkala pengsyarahan di warnai kecenderunga terhadpa madzhab tertentu.
Kitab-kitab
syarah yang menggunakan metode syarah tahliliy antara lain sebagai berikut;
No
|
Nama Kitab
|
Pengarang
|
1
|
Fathul al-Bari bi Syarh Sahih al-Bukhari
|
Ibn Hajar al-Asqalani
|
2
|
Irsyad al-Sarili Syarh Sahih al-Bukhari
|
Al-Abbas Syihab al-Din Ahmad bin Muhammad
al-Qastalani
|
3
|
Al-Kawakib al-Darari fi Syarh Sahih
al-Bukhari
|
Syams al-Din Muhammad bin Yusuf bin Ali
al-Kirmani
|
4
|
Syarh al-Zarqani ‘ala Muwatta’ al-Imam Malik
|
Muhammad bin Abd al-Baqi’ bin Yusuf
al-Zarqani
|
Metode
Syarh Tahlili memiliki kelebihan dibanding metode syarh lainnya,
kelebihan yang dimiliki metode ini antara lain:
- Ruang lingkup pembahasan metode tahlili sangat luas, karena dapat mencakup berbagai aspek: kata, frasa, kalmat, asbab al-wurud, munasabah, dan lain sebagainya yang dapat digunakan dalam bentuk yang ma’thur.
- Metode ini memberikan kesempatan yang sangat longgar kepada pensyarh untuk menuangkan sebanyak mungkin ide atau gagasan yang pernah dikemukakan oleh para ulam’
Selain
memiliki kelebihan dibanding metode lain, ternyata metode ini memiliki
kekurangan. Ada pun kekuarangan metode ini adalah:
- Metode ini menjadikan seolah-seolah hadis memberikan pedoman yang tidak utuh dan tidak konsisten karena syarah yang dibrikan pada sebuah hadis berbeda dengan syarah yang diberikan pada hadis lain yang sama karena kurang memperhatikan hadis lain yang mirip atau sama redaksinya dengannya.
- Dalam kitab syarah yang menggunakan metode ini, pensyarah tidak sadar bahwa dia telah mensyarah hadis secara subyektf, dan tidak mustahil pula ada diantara mereka yang mensyarah hadis sesuai dengan kemauan pribadinya tanpa mengindahkan kaidah-kaidah atau norma yang berlaku. Di dalam pensyarahan al-Asqalani sebagaimana dikutip di atas, misalnya, terkesan dipengaruhi oleh sikap subyektifnya sebagai ulama’ hadis, tanpa memberikan pendapat yang harus dipegang sesuai dengan data yang terdapat dalam kitab yang disyarah. Selain itu pensyarah juga menunjukan kecenderungannya dengan mazhab Syafi’iy
- Metode syarah Ijmaliy
Ijmaliy secara
etimologis, berarti global. Sehingga syarh ijmaliy diartikan syarh
global. Secara terminologis metode syarh ijmaliy adalah menjelaskan atau
menerangkan hadis-hadis sesuai dengan urutan dalam kitab hadis yang ada dalam kutub
al-sittah secara ringkas, tetapi dapat merepresentasikan makna literal
hadis, dengan bahasa yang mudah dimengerti dan gampang dipahami. Kalau
dibandingkan dengan metode tahliliy Metode ini tidak berbeda dalam menjelaskan
hadis sesuai dengan sistematika dalam kitab hadis, namun dalam memberikan
penjelasan metode ini sangat mudah dipahami oleh pembaca, baik dari kalangan
intelek maupun orang awam, karena uraian penjelasanya ringkas dan tidak
berbelit-belit.
ciri-ciri
metode ini adalah sebagi berikut:
- Pensyarah langsung melakukan penjelasan hadis dari awal sampai akhir tanpa perbandingan dan penetapan judul.
- Penjelasan yang diberikan bersifat umum dan sanagt ringkas
- Pada hadis tetentu diberikan penjelasan yang luas tapi tidak seluas penjelasan dengan metode tahliliy mengetahui ciri-ciri syarah ijmaliy lebih baik, perhatikan syarah yang terdapat dalam kitab Aun al-Ma’bud Syarh Sunan Abi Dawud karya Muhammad bin Asyraf bin Ali Haidar al-sissiqi al-azim abadi.
Kelebihan
dari metode ini adalah:
- yang menggunakan metode ini terasa lebih praktis dan singkat sehingga dapat mudah diserap oleh pembaca.
- Pensyarah langsung menjelaskan kata atau maksud hadis dengan tidak mengemukakan ide-ide atau pendapatanya secara pribadi
Kekurangan
metode syarah Ijmaliy diantaranya:
- Menjadi petunjuk hadist bersifat parsial Antara hadis satu dengan hadis yang lain kadang-kadang memlki hubungan yang sangat erat sekali, sehingga apabila hadis dipahami secara tersendiri maka mengakibatkan pemahaman yang terpecah, tidak dalam satu pemahaman.
- tidak ada ruang untuk melakukan analisis yang memadai
Metode ini tidak menyediakan ruang yang memuaskan berkenaan dengan waca pluralitas pemahaman suatu hadis. Oleh karena itu metode ijmaliy tidak bisa diandalkan untuk menganalisis pemahaman secara detail.
Kitab-kitab
syarah yang menggunakan metode syarah Ijmaliy antara lain sebagai berikut;
No
|
Nama Kitab
|
Pengarang
|
1
|
Syarh al-Suyuthi lil Sunan al-Nasa’i
|
Jalal al-Din al-Suyuthi
|
2
|
Qut al-Mughtazi ‘Ala Jami’ al-Turmuzi
|
Jalal al-Din al-Suyuthi
|
3
|
‘Aun al-Ma’bud Syarh Sunan Abi Dawud
|
Muhammad bin Asyrafbn Ali Haidar Al-Siddiqi
al-‘Azim al-Abadi
|
Metode syarah Muqarin
Kata
Muqarin, secara etimologis, merupakan bentuk isim fa’il dari kata
qarana, berarti membandingkan antara dua hal. Dengan demikian Syarah muqarin
secara etimologis berarti syarh perbandingan. Adapun pengertian Syarh
Muqarin secara terminologis adalah metode memahami hadist dengan cara:
- membandingkan hadis yang memiliki redaksi yang sama atau mirip dalam kasus yang sama dan atau memiliki redaksi yang berbeda dalam kasus yang sama.
- membandingkan bebagai pendapat ulama’ syarah dalam mensyarah
hadis
Pensyarahan hadis dengan menggunakan metode muqarin ini dimulai dengan menjelaskan pemakaian kosa kata, urutan kata, maupun kemiripan redaksi.
Jika yang dikehendaki membandingkan kemiripan redaksi, maka langkah yang ditempuh adalah - Mengidentifikasi dan menghimpun hadis yang redaksinya bermiripan
- memperbandingkan antara hadis yang redaksinya bermiripan itu, yang membicarakan satu kasus yang sama, atau dua kasus yang berbeda dalam satu redaksi yang sama.
- menganalisis perbedaan yang terkandung di dalam berbagai redaksi yang mirip.
- Membandingkan pendapat para pensyarahini memiliki beberapa ciri yang membedakan dengan metode Syarah lainnya.
Adapunciri-cirinya sebagai berikut:
- Pensyarah menggunakan perbandingan analisis redaksional
- Pensyarah menggunakan perbandingan penilaian perawi.
- Pensyarah membandingkan kandungan makna dari masing-masing hadis yang dibandingkan.
- membandingkan berbagai hal yang yang dibicarakan oleh hadis tersebut.
- Pensyarah harus meninjau berbagai aspek yang menyebabkan timbulnya perbedaan tersebut, seperti asbab al-wurud, pemakaian kata dan susunannya, konteks masing-masing hadis tersebut muncul dan sebagainya. Meskipun yang dibandingakan hadis dengan hadis pensyarah perlu pula meninjau pendapat yang dikemukakannya berkenaan dengan hadist itu.
Adapun
aspek kedua, yaitu perbandingan pendapat para pensyarah mencakup ruang lingkup
yang sangat luas karena uraiannya membicarakan berbagai aspek , baik menyangkut
kandungan kandungan (makna) hadis maupun korelasi (munasabah) hadis dengan
hadis
Untuk lebih
mudahnya perhatikan contoh syarah dengan metode Muqorin yang disadur dari kitab
‘Umdat al-Qariy Sharh Sahih al-Bukhari karya Badr al-Din Abu Muhammad
Mahmud bin Ahmad al-Aini.
Yang paling identik dari metode ini adalah:
- Nuansa perbandingan sangat kental.
- Adanya perbandingan dalam matan hadis.
- Adanya perbandingan pendapat para ’ulam.
Metode ini memiliki beberapa kelebihan, antara
lain :
- Memberikan wawasan lebih luas.
- Membuka pintu untuk selalu bersikap toleran terhadap pendapat orang lain
- Sangat berguna bagi mereka yang ingin mengetahui berbagai pendapat tentang sebuah hadis.
- Pensyarah didorong untuk mengkali berbagai hadis serta pendapat-pendapat pensyarah lainnya.
Selain kelebihan, dibawah ini adalah:
- Tidak relevan bagi pembaca tingkat pemula. Karena pembahsannya terlalu luas sehinggasulit bagi meraka untuk menentukan pendapat.
- Tidak dapat diandalkan untuk mengatasi permasalahan sosial. Karena metode ini lebih mengedapakan pebandingan dari pada perpecahan.
- Lebih banyak menelusuri pendapat ulama daripada mengemukakan pendapat baru
Kitab-kitab
syarh hadis yang menggunakan metode Muqarin antara lain sebagai dalam tabel
berikut:
No
|
Nama Kitab
|
Pengarang
|
1
|
Sahih Muslim bi Syarh al-Nawawi
|
Imam Nawawi
|
2
|
‘umdah al-Qari’ Syarh Sahih Bukhari
|
Badr al-Din Abu Muhammad Mahmud bin
Ahmad al-‘Aini
|
- Metode syarah Mawdhu’iy (tematik)
Kata
Maudhu’Iy dinisbatkan pada kata al-mawdhu’, berarti topik atau materi
suatu pembicaraan atau pembahasan. Secara semantik Syarah Mawdhu’I berarti
menjelaskan Hadis menurut tema atau topik tertentu. Contoh kitab syarah hadis
yang menggunakan metode syarah Mawdhu’I salah satunya adalah bulughu
al-maram.
Ciri-ciri
syarah hadis dengan menggunakan Metode Mawdu’iy adalah pensyarah menjelaskan
hadist dengan langkah-langkah sebagai berikut:
- Menentukan topik bahasan setelah menentukan batasan-batasan dan mengetahui jangkauannya.
- Menghimpun dan menetapkan hadis-hadis yang menyangkut masalah tersebut.
- Kajian Syarah ini memerlukan kajian syarah analisis, pengetahuan asbabul wurud, dan penegtahuan tentang dilalah suatu lafal dan penggunaannya.
- Menyusun tema pembahasan dalam kerangka yang tepat, sistematis, sempurna, dan utuh.
- Melengkapi penabahasan dan uraian dengan ayat al-Qur’an yang berhubungan dengan pembahasan
- Mempelajari semua hadis yang terpilih dengan jalan menghimpun hadis-hadis yang sama pengertiannya; mengkompromikan antara yang umum dan khusus, mutlaq muqayyad; atau yang kelihatan kontradiktif, sehingga bertemu dalam satu tujuan tanpa ada perbedaan dan pemaksaan dalam pensyarahan hadis.
Metode
Syarah Mawdhu’I ini memiliki kelebihan dibanding metode syarah yang lainnya,
antara lain:
- Dipridiksi mampu menjawab tantangan zaman. Perubahan zaman merupakan sunnatullah yang tidak dapat dihindari. Seiring dengan berubahnya zaman semakin kompleks pula permasalahan yang dihadapi masyrakat. Dengan model pensyarahan ini, pemahaman tentang suatu permasalahan dapat dipahami secara komprehensif karena seluruh hadis yang berhubungan dengan permasalahan disajikan, sehungga tidak didapatkan kontradiktif dengan hadis lain yang berhubungan dengan permasalahan tersebut.
- Praktis dan sistematis Model ini dinilai praktis dan sistematis karena mudah untuk memahami suatu permasalahan dan tersusun sesuai dengan tema-tema permasalahan tertentu
- Memunculkan sikap dinamis dalam mensyarahi hadis
Karena menyajikan hadis-hadis yang berhubungan dengan permaslahan maka dalam pensyarahannya masih terdapat ruang untuk berijtuhad lagi yang sesuai dengan kebutuhan zaman. - Dalam metode ini seluruh hadis yang berhubungan dengan permasalahan disajikan sehingga dapat piperoleh pemahamn yang utuh tidak parsial sebagaimana metode Tahliliy
Selain
memiliki kelebihan sebagaimana uaraian di atas, harus diakui juga, bahwa metode
ini juga. Memiliki kekurangan antara lain:
- Metode ini banyak melakukan pemenggalan hadis.
- Membatasi pemahaman hadist.
BAB
III
PENUTUP
Berdasarkan
uraian makalah kami diatas, maka kami dapat memetik beberapa kesimpulan sebagai
berikut:
1. Al-Muaththa’ adalah tipe pembukuan kitab hadits yang didasarkan
pada klasifikasi hukum islam (abwab al-fiqhiyah) dengan mencantumkan
hadits-hadits marfu’, mauquf, dan maqthu’. Dari kata-kata muaththa’ timbul
kesan bahwa motivasi pembukuan hadits dengan tipe ini adalah untuk memudahkan
orang dalam menemukan hadits. Kandungan kitab ini adalah hadits Nabi, fatwa
sahabat, dan pendapat tabiin.
2. Al-Sunan
adalah kitab-kitab hadits yang disusun berdasarkan bab-bab fikhi dan hanya
memuat hadits-hadits marfu’, kalaupun dalam kitab sunan terdapat hadits yang
mauqhuf dan maqthu’, maka jumlahnya hanya sedikit saja, berbeda dengan tipe penyusunan
kitab hadits Muaththa’ dan mushannaf yang banyak memuat hadits-hadits mauquf
dan maqtu’, meskipun tipe penyusunannya sama berdasarkan bab fikhi,
3. Al-Musnad adalah kitab Hadis yang
disusun berdasarkan nama-nama sahabat yang meriwayatkan Hadis. Biasanya dimulai
dengan nama shabat yang pertama kali masuk Islam atau menyesuaikan dengan
urutan abjad.
4. Penulisan kitab Jami` bermaksud
menghimpunkan Hadis-hadis berkenaan dengan bidang aqidah, ahkam, riqaq, adab,
tafsir, tarikh dan sirah, fitan dan manaqib.
5. Al-Ajeza’ adalah hadis-hadis yang
dikumpulkan berdasarkan suatu perkara tertentu atau tema tertentu seperti Raf`
al-Yadaian oleh al-Bukhari. Dalam kitab ini beliau mengemukakan Hadis-hadis
tentang mengangkat tangan tanpa membahaskan kedudukan Hadis-hadis tersebut
apakah ada yang mansukh, syaz, atau mujmal dan sebagainya.
6. Al-Mustadrakh
adalh Kitab Hadis yang mengumpulkan Hadis-hadis
yang tidak disebutkan oleh seseorang pengarang sebelumnya secara sengaja atau
tidak. Contohnya kitab Mustadarak al-Hakim setebal 4 jilid di mana Hadis-hadis
tersebut dikumpul menepati syarat-syarat yang digunakan oleh Bukhari dan
Muslim.
7. Mu’jam adalah kitab yang disusun
mengikut tertib huruf ejaan, atau mengikut susunan nama guru-guru mereka. Nama
guru-guru mereka juga disusun mengikut ejaan nama atau laqob mereka. Mu’jam juga hanya mengumpulkan
Hadis-hadis nabi s.a.w tanpa melihat kwalitas Hadis-hadisnya.
8. Tipe athraf adalah tipe pembukuan hadits dengan menyebutkan pangkal
hadits saja sebagai petunjuk pada matan hadits selengkapnya. Dengan kata lain,
tipe athraf adalah tipe penulisan kitab hadits dengan menyebutkan sebagian
hadits saja sebagai tanda kelanjutan hadits yang dimaksud , atau tipe penulisan
kitab hadits yang menghimpun hadits hanya awal matannya saja tanpa menyebutkan
matan hadits seutuhnya.
9. Al-Syuruh
hadist adalah menguraikan ucapan, tindakan, dan ketetapan Rosulillah Saw.
Sehingga menjadi lebih jelas, baik menggunakan bahasa arab maupun bahasa
lainnya. Bahkan dlaam hal ini syarah adalah menjelaskan sanad yang mengantarkan
ucapan, tindakan, dan ketetapan tersebut hingga sampai ketangan para penulis
hadist, sehingga jelas identitas dan kulitas moral serta intelektual para rawi
yang terangkai di dalamnya.
Daftar
Pustaka
Dzulmani. Mengenal kitab-kitab Hadits.
Yogyakarta: Pustaka Insan Madani, 2008
Idris. Studi Hadits. Jakarta: Kencana,
2010
As-Shiddiqi, Hasbi. Pokok-Pokok Ilmu
Dirayah Hadits. Jakarta: 1976
Thalib, Muhammad. Sekitar Kritik Terhadap
Hadits dan Sunnah Dasar Hukum Islam. Surabaya: Bina Ilmu, 1977
Darmalaksana. Hadits di Mata Orientalis.
Bandung: Benang Merah Press, 2004
Azami, Muhammad Musthafa. Hadits Nabi dan
Sejarah Kodifikasinya. Jakarta: Pustaka
Firdaus, 1994.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar