Kamis, 08 Desember 2016

AKHLAK BERNEGARA “Akhlak antara Pemimpin dan yang Dipimpin”



BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang Masalah
            Akhlak seseorang, di samping bermodal pembawaan sejak lahir, juga dibentuk oleh lingkungan dan perjalanan hidupnya.Nilai-nilai akhlak Islam yang universal bersumber dari wahyu yang disebut al-khair, sementara nilai akhlak regional bersumber dari budaya setempat di sebut al-ma`ruf atau sesuatu yang secara umum diketahui masyarakat sebagai kebaikan dan kepatutan.
      Seseorang dapat menjadi pemimpin (imam) dari orang banyak manakala ia memiliki kelebihan dibanding yang lain, yang oleh karena itu ia bisa memberi, memiliki keberanian dalam memutuskan sesuatu, dan memiliki kejelian dalam memandang masalah sehingga ia bisa bertindak arif bijaksana. Secara sosial seorang pemimpin (imam) adalah penguasa, karena ia memiliki otoritas dalam memutuskan sesuatu yang mengikat orang banyak yang dipimpinnya. Akan tetapi, menurut etika keagamaan, seorang pemimpin pada hakekatnya adalah pelayan dari orang banyak yang dipimpinnya (sayyid al-qaumi khodimuhum). Pemimpin yang akhlaknya rendah pada umumnya lebih menekankan dirinya sebagai penguasa, sementara pemimpin yang berakhlak baik lebih menekankan dirinya sebagai pelayan masyarakatnya.
B.  Rumusan Masalah
            Berdasarkan latar belakang di atas, maka kami dapat menentukan beberapa rumusan masalah sebagai berikut:
1.      Pemimpin yang manakah yang oleh kita taati?
2.      Apa saja hak dan kewajiban pemimpin dan yang dipimpin?
3.      Bagaimanakah cara menasehati pemimpin?
4.      Bagaimana hukumnya mengambil pemberian dari penguasa?
C.  Manfaat Penulisan
            Adapun manfaat penulisan berdasarkan rumusan masalah di atas, adalah sebagai berikut:
1.      Kita dapat mengetahui yang mana pemimpin yang harus ditaati dan tidak boleh ditaati.
2.      Kita dapat mengetahui hak dan kewajiban pemimpin dan yang dipimpin.
3.      Kita dapat mengetahui cara menasehati pemimpin.
4.      Kita dapat mengetahui hukum menerima pemerian dari penguasa.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Taat Kepada Pemimpin
            Pemimpin bukan seorang penguasa, karena penguasa cenderung mengeksploitasi kekayaan negeri untuk kepentingan pribadi. Pemimpin bukan pemerintah, karena pemerintah cenderung menganggap rakyat sebagai jongos.
            Syaikh Muhammad Abduh seorang pemikir muslim terkemuka pernah mengatakan: “Al amiiru laa man qaada biawaamirihii, bal man qaada bi afa’aalihii (pemimpin bukan seorang yang memimpin dengan perintah-perintahnya, melainkan yang memimpin dengan perbuatannya)”.
            Pemimpin dalam Islam adalah seorang pelayan. Karenanya ia bukan kemuliaan (tasyriif) melainkan tugas dan beban (takliif). Dalam Al Qur’an Allah SWT menggunakan istilah khalifah, yang artinya wakil. Maksudnya adalah seorang yang mewakili Allah di bumi untuk melaksanakan segala aturan dan hukum-hukumNya. Berdasarkan makna ini maka seorang pemimpin yang tidak ikut Allah tidak pantas diberi gelar khalifah. Bila seorang pemimpin mewakili Allah, otomatis ia pasti akan mewakili rakyatnya. Sebagai wakil rakyat maka tidak akan pernah mendhalimi mereka.
Seorang pemimpin dalam Islam, posisinya ditempatkan sama dengan pelayan yang mewakili rakyat untuk mewujudkan semua aspirasinya. Seperti yang telah dikatakan oleh Umar bin Khattab ra kepada rakyatnya[1]:
“Saya telah mengutus seorang gubernur dan agennya kepada kalian bukan untuk mengalahkan tubuh kalian atau mengambil uang kalian, melainkan untuk mengajari dan melayani kalian.
            Wajib atas rakyat mentaati pemimpin selama pemimpin itu tidak menyuruh mereka berbuat maksiat. Apaila pemimpin menyuruh mereka melakukan kemaksiatan, maka mereka tidak boleh mentaatinya. Rakyat tidak boleh melakukan pemberontakan kecuali jika pemimpin mendzalimi mereka[2]. Hal ini dijelaskan oleh Allah dalam Q.S. an-Nisa’: 59, yang berbuny[3]:
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”.
            Sebagian ahli tafsir berpendapat ahwa ulil amri yang dimaksudkan oleh ayat tersebut adalah pemimpin di antara kamu. Diriwayatkan juga dari Anas bin Malik dari Nabi saw., bahwasanya beliau bersabda:
والسمع والطاعة وان تأمر عليكم عبد
Artinya: “ Dengarkanlah dan taatilah sekalipun yang memerintah di antara kalian adalah seorang hamba”.
            Dari Ibn Abbas ra., dari Rasulullah saw., bahwasanya beliau bersabda:
من راى من اميره شيأ يكرهه فليصبر فأنه ليس احد يفارق الجماعة شبرا فيموت الا مات ميتة جاهلية
Barangsiapa yang melihat sesuatu yang dibenci pada pemimpinnya, maka hendaklah ia bersabar. Karena sesungguhnya tiada seorang yang memisahkan diri dari jama’ah satu jengkal, kemudian ia mati, maka matinya itu dalam keadaan mati jahiliyah”.
            Diriwayatkan dari Ibn Umar ra., bahwasanya ketika sampai kepadanya berita Yazid bin Muawiyah menjadi khalifah, ia berkata: “Jika ia baik, maka kami akan menaatinya. Dan jika ia jahat, maka kami harus bersabar”[4].
            Sebagian sahabat berkata: “apabila para pemimpin berlaku adil, maka rakyat bersyukur dan pahala bagi para pemimpin. Dan jika para pemimpin menyeleweng, kama rakyat harus bersabar dan dosa atas para pemimpin. Adapun jika mereka menyuruh kami melakukan kemaksiatan, maka tidak boleh menaati mereka. Karena Nabi saw. bersabda:
لاطاعة لمخلوق في معصية الخالق
Tidak ada ketaatan kepada makhluk (manusia) dalam mendurhakai Yang Maha Pencipta”.
Nafi meriwayatkan dari Ibn Umar ra. dari Nabi saw., bahwasanya beliau bersabda:
السمع والطاعة على المرء المسلم فيما احب وكره مالم يؤتمر بمعصية فلا سمع ولا طاعة
Wajib atas seorang muslim untuk mendengar dan taat (pada pemimpin) dalam apa yang ia sukai dan ia benci selama ia tidak disuruh erbuat kedurhakaan (maksiat). Maka apabila ia menyuruh berbuat kedurhakaan, maka tidak ada sikap mendengar dan ketaatan kepadanya”.
            Hadis lain menyebutkan bahwa dua dari lima golongan yang dimurkai Tuhan adalah:
1.      Penguasa (amir) yang hidupnya ditopang oleh rakyat (sekarang-pajak), tetapi ia tidak memberi manfaat kepada rakyatnya, dan bahkan tidak bisa melindungi keamanan rakyatnya.
2.      Pemimpinkelompok (za`im) yang dipatuhi pengikutnya tetapi ia melakukan diskriminasi terhadap kelompok kuat atas yang lemah, serta berbicara sekehendak hatinya (tidak mendengarkan aspirasi pengikutnya). Hadis Riwayat Dailami bahkan menyebut pemimpin yang sewenang-wenang (imamjair) sebagai membahayakan agama.
            Seperti hikmah-hikmah yang diungkapkan Imam Al-Ghazali tentang perilaku masyarakat akan sangat dipengaruhi oleh perilaku pimpinannya : "Jika penguasa korup, maka korupsi akan menjadi trend dikalangan para pengikutnya. Keruntuhan dan kemakmuran suatu bangsa sangat bergantung pada perilaku dan etika berkuasa pemimpinnya".
            "Agama dan kekuasaan adalah saudara kembar seperti dua orang bersaudara yang dilahirkan dari satu perut yang sama Oleh karena itu wajib bagi seorang penguasa untuk menyempurnakan agamanya dan menjauhkan hawa nafsu, bid'ah, kemungkaran, keragu-raguan dan setiap hal yang mengurangi kesempurnaan syariat".
            "Sesungguhnya tabi'at rakyat merupakan tabi'at dari para penguasa".
Orang-orang awam melakukan perbuatan yang merusak karena mengikuti perbuatan para pembesar, mereka meneladani dan mencontoh tabiat para pembesar, seperti yang terjadi pada sejarah al-Wahid bin Abdul Malik dari keturunan bani Umayyah memiliki kegemaran terhadap bangunan dan pertanian, maka dengan serta merta rakyat dan bangsanya turut meneladani, tetapi ketika Sulaiman bin Abdul Malik kegemarannya makan, jalan-jalan dan memperturutkankan syahwat maka seluruh rakyatnya meneladani dan mengikutinya.
            Ketika Rasulullah saw. selaku pemimpin wafat, umat Islam (khalifah setelah beliau) sangat khawatir mengenai keadaan Islam sepeninggal beliau. Umat Islam sangat mengharapkan para pemimpin mereka untuk tetap positif tentang masa depan, tidak peduli seberapa buruk situasinya nanti. Pemimpin harus tidak pernah menyerah dan kehilangan harapan. [5]
      Sebuah contoh tentang bagaimana pemimpin mengilhami pengikutnya seperti Abu Bakar ra. setelah kematian Nabi saw., Umar ra. bingung kemudian Abu Bakar menyampaikan kepada seluruh umat Islam dengan perkataan:
Wahai manusia, jika Anda telah menyembah Muhammad, maka ketahuilah bahwa Muhammad adalah mati. Tetapi jika anda telah menyembah Allah, maka ketahuilah bahwa Allah hidup dan tidak pernah meninggal[6].
B.  Hak dan Kewajiban Pemimpin dan yang Dipimpin
            Pemimpin yang dimaksud adalah pemimpin yang mengatur semua perkara kaum muslimin, baik kepemimpinannya bersifat umum seperti kepala negara atau bersifat khusus seperti dalam sebuah lembaga tertentu atau dalam pekerjaan tertentu, setiap mereka memiliki hak yang wajib dipenuhi oleh rakyatnya dan rakyatnya juga memiliki hak yang wajib dipenuhi oleh pemimpinnya[7].
            Hak rakyat yang merupakan kewajiban pemimpin adalah menunaikan amanah yang Allah bebankan kepada mereka dan wajib memberikan pengarahan kepada rakyatnya serta berjalan di atas  peraturan-peraturan yang lurus yang menjamin kemaslahatan dunia dan akhirat.
            Hal tersebut terwujud dengan cara mengikuti jejak kaum muslimin dan jalan yang telah dilalui oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena sesungguhnya di dalamnya terdapat kebahagiaan bagi mereka dan rakyatnya dan siapa saja yang di bawah tanggung jawabnya dan inilah hal yang paling efektif untuk membuat rakyat ridha kepada pemimpinnya, hubungan terjalin di antara mereka, rakyat akan tunduk terhadap perintah mereka dan menjaga amanah yang dilimpahkan kepada mereka[8].
            Sesungguhnya siapa yang bertakwa kepada Allah maka manusia akan segan kepadanya dan siapa yang mengejar keridhaan Allah, maka cukuplah Allah yang akan menjadikan manusia sebagai pendukungnya dan ridha kepadanya karena hati manusia berada di Tangan Allah, Dia yang merubahnya sesuka-Nya.
            Adapun hak para pemimpin yang merupakan kewajiban rakyatnya adalah memberikan nasihat atas kepemimpinan mereka atas berbagai urusan rakyatnya serta memberikan peringatan jika mereka melakukan kelalaian dan mendoakan mereka jika mereka mulai berpaling dari kebenaran, melaksanakan segala perintah mereka jika di dalamnya tidak terdapat maksiat kepada Allah, karena hal  tersebut menjadikan segala urusan berjalan tertib dan teratur. Sebaliknya jika tidak tunduk kepada  setiap perintah mereka, terjadilah kekacaun dan berbagai urusan menjadi kacau. Karena itu Allah ta’ala  memerintahkan untuk ta’at kepada-Nya, ta’at kepada Rasul-Nya dan kepada para pemimpin. Firman-Nya:
 
"Wahai orang-orang yang beriman ta’atlah kalian kepada Allah dan ta’atlah kalian kepada Rasul dan pemimpin di antara kalian." (An-Nisa :59).
            Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
"Bagi seorang muslim wajib mendengar dan ta’at (kepada para pemimpinnya), baik hal itu dia sukai ataupun dia benci, kecuali jika dia diperintahkan melakukan maksiat, jika (pemimpin) memerintahkan kepada kemaksiatan maka tidak boleh didengar dan dita’ati." (Muttafaq alaih).
            Di antara hak-hak para pemimpin yang merupakan kewajiban rakyatnya adalah bantuan rakyatnya dalam melaksanakan kewajiban mereka dalam bentuk realisasi atas setiap tuntutan yang ditugaskan kepada mereka dan agar setiap warga negara mengetahui perannya dan tanggung jawabnya dalam masyarakat sehingga semua perkara berjalan tertib sesuai yang diharapkan, karena seorang pemimpin jika tidak  dibantu rakyatnya dalam memenuhi setiap kewajiban mereka niscaya kepemimpinannya tidak akan  berhasi[9]l.
C.  Menasehati Pemimpin
            Biasanya nasihat diberikan oleh orang yang berkedudukan lebih tinggi kepada yang lebih rendah kedudukannya, meskipun sebenarnya tidak ada salahnya diberikan kepada orang yang lebih tinggi derajatnya atau terhormat. Namun, justru yang terakhir ini sangat jarang terjadi saat ini, karena perbuatan tersebut dianggap kurang ajar, tidak pantas, menjatuhkan harga diri yang dikritik. Padahal, kalau dilakukan dengan tata krama atau etika yang benar tentunya sebuah nasihat akan diterima oleh yang bersangkutan[10].
1.   Pentingnya Nasihat
            Dalam pandangan Islam, nasihat adalah pilar agama yang sangat penting dan penyangga kebenaran yang paling fundamental sehingga Rasulullah SAW menegaskan dalam haditsnya:
“Agama adalah nasihat. Lalu, kami bertanya: untuk siapa? Beliau bersabda: “Untuk Allah, Kitab-Nya, Rasul-Nya dan para pemimpin kaum muslimin serta seluruh umat Islam.” (HR Muslim dan An-Nasai).
            Dalam Alquran Surat Al-Ash ayat 3 ditegaskan bahwa manusia senantiasa diliputi kerugian kecuali bagi orang-orang yang beriman dan beramal saleh, yaitu mereka yang saling menasihati dengan kebenaran dan kesabaran.
            Saling menasihati bukan saja karena anjuran agama, tetapi lebih dari itu ia merupakan alat kontrol terhadap pemimpin atau penguasa agar di dalam menjalankan pemerintahan benar-benar bersifat amanah demi melindungi dan mensejahterakan rakyat[11].
2.   Nasihat kepada Pemimpin
            Nasihat terhadap pemimpin adalah permasalahan yang jarang mendapat penjelasan secara jelas dan benar sesuai dengan asas hukum al-Quran dan Sunnah Rasul. Sebagian orang terkadang kurang berimbang dan tidak terpuji dalam mengoreksi kekurangan sikap para pemimpin bahkan melanggar kaidah-kaidah dasar Islam dalam menegakkan prinsip amar makruf nahi munkar.
            Di antara mereka menempuh cara unjuk rasa, membuat makar politik sehingga tidak jarang menimbulkan kekacauan dan keresahan, dan sebagian yang lainnya menempuh cara  ancaman, terorisme, bahkan menggerakkan kudeta.
            Tampaknya kecenderungan seperti ini seolah menjadi satu-satunya pilihan. Ditambah lagi oleh sikap kebanyakan para pemimpin baik yang formal maupun non formal seakan tidak pernah mau mendengarkan nasihat, karena menganggapnya sebagai musuh yang bertujuan menjatuhkan, menjelek-jelekan, merusak nama baik dan reputasi.
            Sikap apriori, skeptis dalam memandang sebuah nasihat inilah yang menjadi akar masalah kenapa selama ini nasihat sebagai alat kontrol sosial tidak pernah berjalan benar dan efektif. Penguasa merasa segala tindakannya adalah benar, seperti pepatah mengatakan the king can do no wrong, raja tidak pernah salah.
            Namun di sisi lain, cara kita menasihati juga tidak memperlihatkan etika yang baik dan benar. Padahal, menasihati pemimpin termasuk di antara perkara yang paling diridhai Allah SWT sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW:
“Sesungguhnya Allah rela terhadap tiga perkara dan benci terhadap tiga perkara; Dia rela apabila kalian menyembah-Nya, berpegang teguh terhadap tali Allah dan menasihati para pemimpin. Dan Allah benci terhadap pembicaraan sia-sia, menghambur-hamburkan harta dan banyak bertanya[12].”
3.   Cara Menasihati Pemimpin
            Islam memiliki etika tersendiri dalam menasihati para pemimpin bahkan mempunyai kaidah-kaidah dasar yang tidak boleh dilecehkan sebab pemimpin tidak sama dengan rakyat. Apabila menasihati kaum muslimin secara umum perlu memakai kaidah dan etika, maka menasihati para pemimpin lebih perlu memperhatikan kaidah dan etikanya.
            Dari Hisyam Ibnu Hakam meriwayat-kan bahwa Nabi SAW bersabda: “Barangsiapa yang ingin menasihati pemimpin, maka jangan dilakukan secara terang-terangan. Akan tetapi nasihatilah dia di tempat yang sepi, jika menerima nasihat itu, maka sangat baik dan bila tidak menerimanya, maka kamu telah menyampaikan kewajiban nasihat kepadanya.” (HR Imam Ahmad).
            Sangat tidak bijaksana mengoreksi kekeliruan para pemimpin lewat mimbar atau tempat-tempat umum sehingga menimbulkan banyak fitnah. Seharusnya menasihati para pemimpin dengan cara lemah lembut dan di tempat yang rahasia sebagaimana yang dilakukan oleh Usamah bin Zaid tatkala menasihati Utsman bin Affan bukan dengan cara mencaci-maki mereka di tempat umum atau mimbar.
            Imam Syafii berkata bahwa barang siapa yang menasihati temannya dengan rahasia, maka dia telah menasihati dan menghiasinya dan barang-siapa yang menasihatinya dengan terang-terangan, maka dia telah mempermalukan dan merusaknya. Imam Al Fudhail bin Iyadh berkata: “Orang mukmin menasihati dengan cara rahasia dan orang jahat menasihati dengan cara melecehkan dan memaki-maki”[13].
D.  Mengambil Pemberian dari Penguasa
            Para ulama berbeda pendapat tentang menerima pemerian dari pemerintah/ penguasa. Sebagian berpendapat boleh mengambilnya selama tidak diketahui pemerian tersebut didapat dengan cara yang haram. Sebagian lagi berpendapat tidak boleh.
            Adapun yang berpendapat oleh ialah berpegang teguh pada suatu riwayat dari Ali bin Abu Thalib ra., ahwasanya ia berkat[14]a:
ان السلطان يصيب من الحلال والحرام  فما اعطاك فخذه فأنما يعطيك من الحلال
Sesungguhnya sultan(raja/penguasa) itu tidak terlepas dari yang halal dan haram, apa yang ia erikan kepadamu, maka ambillah. Sesungguhnya apa yang ia erikan kepadamu itu dari yang halal”.
            Diriwayatkan dari Umar ra., dari Nabi saw., bahwasanya beliau bersabda:
من اعطي شيأ من غير مسْْىءلة فليأخذه  فأنما هو رزق الله تعالى
Barangsiapa yang diberi sesuatu tanpa suatu masalah, sesungguhnya itu rezki dari Allah Ta’ala”.
            Diriwayatkan darial-A’mazy dari Ibrahim, bahwa ia belum melihat ada halangannya mengambil pemberian dari para penguasa. Dari Habib bin Abu Tsabit ia berkata: aku pernah melihat hadiah-hadiah al-Mukhtar bin Uabid datang kepada Ibn Umar dan Ibn Abbas lalu mereka berdua menerimanya. Dan dari al-Hasan, bahwa ia mengambil hadiah-hadiah dari para penguasa[15].
            Adapun alasan ulama yang memakruhkan menerima pemerian penguasa adalah berpegang pada suatu riwayat dari Habib bin Abu Tsabit, ia berkata: salah seorang dari penguasa mengirim sejumlah harta kepada Au Dzar al-Ghiffari. Berkata Abu Dzar: “Apakah seluruh orang Islam ia kirimi seperti ini”. Ia berkata: Tidak. Abu Dzar lalu berkata: Kembalikan ia. Lalu ia membaca ayat:
“Sekali-kali tidak dapat, seungguhnya neraka itu adalah api yang bergejolak. Yang mengelupaskan kulit kepala”.
            Al-Fakhi rh. berkata: Menerima hadiah menurut kami ada dua segi yaitu[16]:
1.      Jika harta raja kebanyakan dari hasilsogokan dan pemungutan tanpa hak, maka tidak boleh mengambilnya, kecuali diketahui bahwa yang dikirimkan kepadanya adalah dari yang halal.
2.      Jika keanyakan harta raja dari yang halal atau dari perniagaan yang ia usahakan, maka tidak mengapa menerimanya selama elum diketahui bahwa yang dikirim kepadanya itu dari yang haram atau syubhat, dan meninggalkannya itu lebih utama dalam dua aspek itu.

BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan
            Dengan merujuk pada makalah kami di atas, maka kami dapat mengambil beberapa kesimpulan, yaitu sebagai berikut:
1.      Wajib atas rakyat mentaati pemimpin selama pemimpin itu tidak menyuruh mereka berbuat maksiat. Apaila pemimpin menyuruh mereka melakukan kemaksiatan, maka mereka tidak boleh mentaatinya.
2.      Hak rakyat yang merupakan kewajiban pemimpin adalah menunaikan amanah yang Allah bebankan kepada mereka dan wajib memberikan pengarahan kepada rakyatnya serta berjalan di atas  peraturan-peraturan yang lurus yang menjamin kemaslahatan dunia dan akhirat.
Adapun hak para pemimpin yang merupakan kewajiban rakyatnya adalah memberikan nasihat atas kepemimpinan mereka atas berbagai urusan rakyatnya serta memberikan peringatan jika mereka melakukan kelalaian dan mendoakan mereka jika mereka mulai berpaling dari kebenaran.
3.      Menasehati pemimpin dilakukan dengan cara rahasia, karena jika dilakukan dengan terang-terangn akan merusak citra pemimpin dan mmpermalukannya.
4.      Boleh hukumnya menerima pemerian dari penguasa selama tidak diketahui bahwa pemerian dari pemerintah/ penguasa itu diperoleh dengan cara yang haram. Sedangkan menghindarinya adalah hal yang lebih utama.
C.  Saran
            Dengan membaca makalah ini, maka akan dapat menambah wawasan pembaca mengenai etika bernegara, khususnya etika antara yang memimpin dan yang dipimpin serta mengetahui sekitar hak dan kewajiban antara pemimpin dan yang dipimpin.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah Yusuf. Kitab al-Qur’an: Teks, Terjemahan dan Komentar. Brentwood, MD: Amana Corporation, 1989.
Badawi Jamal. Asosiasi Professor Manajemen dan Strategi. Jakarta: Pustaka. 1999.
Haykal M. Kehidupan Nabi Muhammad saw. Amerika: Indianapolis: in, Publikasi Trust.1976.
Nashr bin Muhammad Syaikh. Akhlak dan Etika Mukmin.Cet-1. Jakarta: PT Intimedia Ciptanusantara. 2003
Rahman A. Muhammad sebagai Seorang Pemimpin Militer. Lahore, Pakistan: Publikasi Islam. 1990.
http://islamhouse.com
http://mubarok-institute.blogspot.com


[1] Sahih Bukhari, volume 9, hadits 259. Lihat juga Sahih Bukhari, volume 5, hadis 629.
[2] A.Rahman. Muhammad sebagai Seorang Pemimpin Militer. (Lahore, Pakistan: Publikasi Islam, 1990) hal. 75
[3] Q.S. an-Nisa 4: 59

[4] Syaikh Nashr bin Muhammad. Akhlak dan Etika Mukmin Cet.1 (Jakarta: PT Intimedia Ciptanusantara, 2003) hal. 125-127
[5] A.Rahman. op cit. hal 170
[6] Haykal M. Kehidupan Nabi Muhammad saw. (Indianapolis: in, Publikasi Trust Amerika,1976) hal.506
[7] A.Rahman. hal.125
[8] Fiqih I. Sekilas Sejarah Islam (Delhi, India: Adam Penerbit dan Distributor, 1988)hal. 96

[9] Ibid,hal. 98
[10] http://islamhouse.com
[11] Abdullah Yusuf. Kitab al-Qur’an: Teks, Terjemahan dan Komentar. Brentwood, MD: Amana Corporation, 1989.

[12] Ibid
[13]  Ibid
[14] Syaikh Nashr bin Muhammad. Lop.cit. hal. 129
[15] Ibid
[16] Ibid. Hal. 132

Tidak ada komentar:

Posting Komentar