BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Akhlak seseorang, di samping bermodal pembawaan sejak lahir,
juga dibentuk oleh lingkungan dan
perjalanan hidupnya.Nilai-nilai akhlak Islam yang universal bersumber dari
wahyu yang disebut al-khair, sementara nilai akhlak regional bersumber dari
budaya setempat di sebut al-ma`ruf
atau sesuatu yang secara umum diketahui masyarakat sebagai kebaikan dan kepatutan.
Seseorang dapat menjadi pemimpin (imam)
dari orang banyak manakala ia memiliki kelebihan dibanding yang lain, yang oleh
karena itu ia bisa memberi, memiliki keberanian dalam memutuskan sesuatu, dan memiliki
kejelian dalam memandang masalah sehingga ia bisa bertindak arif bijaksana.
Secara sosial seorang pemimpin (imam) adalah penguasa, karena ia memiliki
otoritas dalam memutuskan sesuatu yang mengikat orang banyak yang dipimpinnya.
Akan tetapi, menurut etika keagamaan, seorang pemimpin pada hakekatnya adalah pelayan
dari orang banyak yang dipimpinnya (sayyid al-qaumi khodimuhum). Pemimpin yang
akhlaknya rendah pada umumnya lebih menekankan dirinya sebagai penguasa,
sementara pemimpin yang berakhlak baik lebih menekankan dirinya sebagai pelayan
masyarakatnya.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka kami dapat
menentukan beberapa rumusan masalah sebagai berikut:
1. Pemimpin
yang manakah yang oleh kita taati?
2. Apa
saja hak dan kewajiban pemimpin dan yang dipimpin?
3. Bagaimanakah
cara menasehati pemimpin?
4. Bagaimana
hukumnya mengambil pemberian dari penguasa?
C. Manfaat Penulisan
Adapun manfaat penulisan berdasarkan rumusan masalah di
atas, adalah sebagai berikut:
1. Kita
dapat mengetahui yang mana pemimpin yang harus ditaati dan tidak boleh ditaati.
2. Kita
dapat mengetahui hak dan kewajiban pemimpin dan yang dipimpin.
3. Kita
dapat mengetahui cara menasehati pemimpin.
4. Kita
dapat mengetahui hukum menerima pemerian dari penguasa.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Taat Kepada Pemimpin
Pemimpin bukan seorang penguasa,
karena penguasa cenderung mengeksploitasi kekayaan negeri untuk kepentingan
pribadi. Pemimpin bukan pemerintah, karena pemerintah cenderung menganggap
rakyat sebagai jongos.
Syaikh Muhammad Abduh seorang
pemikir muslim terkemuka pernah mengatakan: “Al amiiru laa man qaada
biawaamirihii, bal man qaada bi afa’aalihii (pemimpin bukan seorang yang
memimpin dengan perintah-perintahnya, melainkan yang memimpin dengan
perbuatannya)”.
Pemimpin dalam Islam adalah seorang
pelayan. Karenanya ia bukan kemuliaan (tasyriif) melainkan tugas dan
beban (takliif). Dalam Al Qur’an Allah SWT menggunakan istilah khalifah,
yang artinya wakil. Maksudnya adalah seorang yang mewakili Allah di bumi untuk
melaksanakan segala aturan dan hukum-hukumNya. Berdasarkan makna ini maka
seorang pemimpin yang tidak ikut Allah tidak pantas diberi gelar khalifah. Bila
seorang pemimpin mewakili Allah, otomatis ia pasti akan mewakili rakyatnya.
Sebagai wakil rakyat maka tidak akan pernah mendhalimi mereka.
Seorang pemimpin dalam Islam, posisinya ditempatkan sama
dengan pelayan yang mewakili rakyat untuk mewujudkan semua aspirasinya. Seperti
yang telah dikatakan oleh Umar bin Khattab ra kepada rakyatnya[1]:
“Saya
telah mengutus seorang gubernur dan agennya kepada kalian bukan untuk
mengalahkan tubuh kalian atau mengambil uang kalian, melainkan untuk mengajari
dan melayani kalian.
Wajib atas rakyat mentaati pemimpin selama pemimpin itu
tidak menyuruh mereka berbuat maksiat. Apaila pemimpin menyuruh mereka melakukan
kemaksiatan, maka mereka tidak boleh mentaatinya. Rakyat tidak boleh melakukan
pemberontakan kecuali jika pemimpin mendzalimi mereka[2].
Hal ini dijelaskan oleh Allah dalam Q.S. an-Nisa’: 59, yang berbuny[3]:
“Hai orang-orang yang beriman,
taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian
jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada
Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada
Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya”.
Sebagian ahli tafsir berpendapat
ahwa ulil amri yang dimaksudkan oleh ayat tersebut adalah pemimpin di antara
kamu. Diriwayatkan juga dari Anas bin Malik dari Nabi saw., bahwasanya beliau
bersabda:
والسمع
والطاعة وان تأمر عليكم عبد
Artinya: “ Dengarkanlah dan
taatilah sekalipun yang memerintah di antara kalian adalah seorang hamba”.
Dari Ibn Abbas
ra., dari Rasulullah saw., bahwasanya beliau bersabda:
من راى
من اميره شيأ يكرهه فليصبر فأنه ليس احد يفارق الجماعة شبرا فيموت الا مات ميتة
جاهلية
“Barangsiapa yang melihat sesuatu yang
dibenci pada pemimpinnya, maka hendaklah ia bersabar. Karena sesungguhnya tiada
seorang yang memisahkan diri dari jama’ah satu jengkal, kemudian ia mati, maka
matinya itu dalam keadaan mati jahiliyah”.
Diriwayatkan dari Ibn Umar ra.,
bahwasanya ketika sampai kepadanya berita Yazid bin Muawiyah menjadi khalifah,
ia berkata: “Jika ia baik, maka kami akan
menaatinya. Dan jika ia jahat, maka kami harus bersabar”[4].
Sebagian sahabat berkata: “apabila
para pemimpin berlaku adil, maka rakyat bersyukur dan pahala bagi para
pemimpin. Dan jika para pemimpin menyeleweng, kama rakyat harus bersabar dan
dosa atas para pemimpin. Adapun jika mereka menyuruh kami melakukan kemaksiatan,
maka tidak boleh menaati mereka. Karena Nabi saw. bersabda:
لاطاعة
لمخلوق في معصية الخالق
“Tidak
ada ketaatan kepada makhluk (manusia) dalam mendurhakai Yang Maha Pencipta”.
Nafi
meriwayatkan dari Ibn Umar ra. dari Nabi saw., bahwasanya beliau bersabda:
السمع
والطاعة على المرء المسلم فيما احب وكره مالم يؤتمر بمعصية فلا سمع ولا طاعة
“Wajib atas seorang muslim untuk mendengar
dan taat (pada pemimpin) dalam apa yang ia sukai dan ia benci selama ia tidak
disuruh erbuat kedurhakaan (maksiatṣ). Maka apabila
ia menyuruh berbuat kedurhakaan, maka tidak ada sikap mendengar dan ketaatan
kepadanya”.
Hadis lain
menyebutkan bahwa dua dari lima golongan yang dimurkai Tuhan adalah:
1.
Penguasa
(amir) yang hidupnya ditopang oleh rakyat (sekarang-pajak), tetapi ia tidak
memberi manfaat kepada rakyatnya, dan bahkan tidak bisa melindungi keamanan
rakyatnya.
2.
Pemimpinkelompok
(za`im) yang dipatuhi pengikutnya tetapi ia melakukan diskriminasi terhadap
kelompok kuat atas yang lemah, serta berbicara sekehendak hatinya (tidak
mendengarkan aspirasi pengikutnya). Hadis Riwayat Dailami bahkan menyebut
pemimpin yang sewenang-wenang (imamjair) sebagai membahayakan agama.
Seperti hikmah-hikmah yang
diungkapkan Imam Al-Ghazali tentang perilaku masyarakat akan sangat dipengaruhi
oleh perilaku pimpinannya : "Jika penguasa korup, maka korupsi akan
menjadi trend dikalangan para pengikutnya. Keruntuhan dan kemakmuran suatu
bangsa sangat bergantung pada perilaku dan etika berkuasa pemimpinnya".
"Agama dan kekuasaan adalah
saudara kembar seperti dua orang bersaudara yang dilahirkan dari satu perut
yang sama Oleh karena itu wajib bagi seorang penguasa untuk menyempurnakan
agamanya dan menjauhkan hawa nafsu, bid'ah, kemungkaran, keragu-raguan dan
setiap hal yang mengurangi kesempurnaan syariat".
"Sesungguhnya tabi'at rakyat
merupakan tabi'at dari para penguasa".
Orang-orang awam melakukan perbuatan yang merusak karena mengikuti perbuatan para pembesar, mereka meneladani dan mencontoh tabiat para pembesar, seperti yang terjadi pada sejarah al-Wahid bin Abdul Malik dari keturunan bani Umayyah memiliki kegemaran terhadap bangunan dan pertanian, maka dengan serta merta rakyat dan bangsanya turut meneladani, tetapi ketika Sulaiman bin Abdul Malik kegemarannya makan, jalan-jalan dan memperturutkankan syahwat maka seluruh rakyatnya meneladani dan mengikutinya.
Orang-orang awam melakukan perbuatan yang merusak karena mengikuti perbuatan para pembesar, mereka meneladani dan mencontoh tabiat para pembesar, seperti yang terjadi pada sejarah al-Wahid bin Abdul Malik dari keturunan bani Umayyah memiliki kegemaran terhadap bangunan dan pertanian, maka dengan serta merta rakyat dan bangsanya turut meneladani, tetapi ketika Sulaiman bin Abdul Malik kegemarannya makan, jalan-jalan dan memperturutkankan syahwat maka seluruh rakyatnya meneladani dan mengikutinya.
Ketika Rasulullah saw. selaku
pemimpin wafat, umat Islam (khalifah setelah beliau) sangat khawatir mengenai
keadaan Islam sepeninggal beliau. Umat Islam sangat mengharapkan para pemimpin
mereka untuk tetap positif tentang masa depan, tidak peduli seberapa buruk
situasinya nanti. Pemimpin harus tidak pernah menyerah dan kehilangan harapan. [5]
Sebuah contoh
tentang bagaimana pemimpin mengilhami pengikutnya seperti Abu Bakar ra. setelah
kematian Nabi saw., Umar ra. bingung kemudian Abu Bakar menyampaikan kepada
seluruh umat Islam dengan perkataan:
Wahai manusia, jika Anda telah
menyembah Muhammad, maka ketahuilah bahwa Muhammad adalah mati. Tetapi jika anda telah menyembah Allah,
maka ketahuilah bahwa Allah hidup dan tidak pernah meninggal[6].
B. Hak dan Kewajiban Pemimpin
dan yang Dipimpin
Pemimpin yang dimaksud adalah
pemimpin yang mengatur semua perkara kaum muslimin, baik kepemimpinannya
bersifat umum seperti kepala negara atau bersifat khusus seperti dalam sebuah
lembaga tertentu atau dalam pekerjaan tertentu, setiap mereka memiliki hak yang
wajib dipenuhi oleh rakyatnya dan rakyatnya juga memiliki hak yang wajib
dipenuhi oleh pemimpinnya[7].
Hak rakyat yang merupakan kewajiban
pemimpin adalah menunaikan amanah yang Allah bebankan kepada mereka dan wajib
memberikan pengarahan kepada rakyatnya serta berjalan di atas peraturan-peraturan
yang lurus yang menjamin kemaslahatan dunia dan akhirat.
Hal tersebut terwujud dengan cara
mengikuti jejak kaum muslimin dan jalan yang telah dilalui oleh Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena sesungguhnya di dalamnya terdapat
kebahagiaan bagi mereka dan rakyatnya dan siapa saja yang di bawah tanggung
jawabnya dan inilah hal yang paling efektif untuk membuat rakyat ridha kepada
pemimpinnya, hubungan terjalin di antara mereka, rakyat akan tunduk terhadap
perintah mereka dan menjaga amanah yang dilimpahkan kepada mereka[8].
Sesungguhnya siapa yang bertakwa
kepada Allah maka manusia akan segan kepadanya dan siapa yang mengejar
keridhaan Allah, maka cukuplah Allah yang akan menjadikan manusia sebagai
pendukungnya dan ridha kepadanya karena hati manusia berada di Tangan Allah,
Dia yang merubahnya sesuka-Nya.
Adapun hak para pemimpin yang
merupakan kewajiban rakyatnya adalah memberikan nasihat atas kepemimpinan
mereka atas berbagai urusan rakyatnya serta memberikan peringatan jika mereka
melakukan kelalaian dan mendoakan mereka jika mereka mulai berpaling dari
kebenaran, melaksanakan segala perintah mereka jika di dalamnya tidak terdapat
maksiat kepada Allah, karena hal tersebut menjadikan segala urusan
berjalan tertib dan teratur. Sebaliknya jika tidak tunduk kepada setiap
perintah mereka, terjadilah kekacaun dan berbagai urusan menjadi kacau. Karena
itu Allah ta’ala memerintahkan untuk ta’at kepada-Nya, ta’at kepada
Rasul-Nya dan kepada para pemimpin. Firman-Nya:
"Wahai orang-orang yang beriman
ta’atlah kalian kepada Allah dan ta’atlah kalian kepada Rasul dan pemimpin di
antara kalian." (An-Nisa :59).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
"Bagi
seorang muslim wajib mendengar dan ta’at (kepada para pemimpinnya), baik hal
itu dia sukai ataupun dia benci, kecuali jika dia diperintahkan melakukan
maksiat, jika (pemimpin) memerintahkan kepada kemaksiatan maka tidak boleh
didengar dan dita’ati." (Muttafaq alaih).
Di antara hak-hak para pemimpin yang
merupakan kewajiban rakyatnya adalah bantuan rakyatnya dalam melaksanakan
kewajiban mereka dalam bentuk realisasi atas setiap tuntutan yang ditugaskan
kepada mereka dan agar setiap warga negara mengetahui perannya dan tanggung
jawabnya dalam masyarakat sehingga semua perkara berjalan tertib sesuai yang
diharapkan, karena seorang pemimpin jika tidak dibantu rakyatnya dalam
memenuhi setiap kewajiban mereka niscaya kepemimpinannya tidak akan
berhasi[9]l.
C. Menasehati Pemimpin
Biasanya nasihat diberikan oleh
orang yang berkedudukan lebih tinggi kepada yang lebih rendah kedudukannya,
meskipun sebenarnya tidak ada salahnya diberikan kepada orang yang lebih tinggi
derajatnya atau terhormat.
Namun, justru yang terakhir ini sangat jarang terjadi saat ini, karena
perbuatan tersebut dianggap kurang ajar, tidak pantas, menjatuhkan harga diri
yang dikritik. Padahal, kalau dilakukan dengan tata krama atau etika yang benar
tentunya sebuah nasihat akan diterima oleh yang bersangkutan[10].
1. Pentingnya Nasihat
Dalam pandangan Islam, nasihat
adalah pilar agama yang sangat penting dan penyangga kebenaran yang paling
fundamental sehingga Rasulullah SAW menegaskan dalam haditsnya:
“Agama adalah nasihat. Lalu, kami bertanya:
untuk siapa? Beliau bersabda: “Untuk Allah, Kitab-Nya, Rasul-Nya dan para
pemimpin kaum muslimin serta seluruh umat Islam.” (HR Muslim dan An-Nasai).
Dalam Alquran Surat Al-Ash ayat 3
ditegaskan bahwa manusia senantiasa diliputi kerugian kecuali bagi orang-orang
yang beriman dan beramal saleh, yaitu mereka yang saling menasihati dengan
kebenaran dan kesabaran.
Saling menasihati bukan saja karena
anjuran agama, tetapi lebih dari itu ia merupakan alat kontrol terhadap
pemimpin atau penguasa agar di dalam menjalankan pemerintahan benar-benar
bersifat amanah demi melindungi dan mensejahterakan rakyat[11].
2. Nasihat kepada Pemimpin
Nasihat terhadap pemimpin adalah
permasalahan yang jarang mendapat penjelasan secara jelas dan benar sesuai
dengan asas hukum al-Quran dan Sunnah Rasul. Sebagian orang terkadang kurang
berimbang dan tidak terpuji dalam mengoreksi kekurangan sikap para pemimpin
bahkan melanggar kaidah-kaidah dasar Islam dalam menegakkan prinsip amar makruf
nahi munkar.
Di antara mereka menempuh cara unjuk
rasa, membuat makar politik sehingga tidak jarang menimbulkan kekacauan dan
keresahan, dan sebagian yang lainnya menempuh cara ancaman, terorisme,
bahkan menggerakkan kudeta.
Tampaknya kecenderungan seperti ini
seolah menjadi satu-satunya pilihan. Ditambah lagi oleh sikap kebanyakan para
pemimpin baik yang formal maupun non formal seakan tidak pernah mau
mendengarkan nasihat, karena menganggapnya sebagai musuh yang bertujuan
menjatuhkan, menjelek-jelekan, merusak nama baik dan reputasi.
Sikap apriori, skeptis dalam
memandang sebuah nasihat inilah yang menjadi akar masalah kenapa selama ini
nasihat sebagai alat kontrol sosial tidak pernah berjalan benar dan efektif.
Penguasa merasa segala tindakannya adalah benar, seperti pepatah mengatakan the
king can do no wrong, raja tidak pernah salah.
Namun di sisi lain, cara kita
menasihati juga tidak memperlihatkan etika yang baik dan benar. Padahal,
menasihati pemimpin termasuk di antara perkara yang paling diridhai Allah SWT
sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW:
“Sesungguhnya Allah rela terhadap tiga
perkara dan benci terhadap tiga perkara; Dia rela apabila kalian menyembah-Nya,
berpegang teguh terhadap tali Allah dan menasihati para pemimpin. Dan Allah
benci terhadap pembicaraan sia-sia, menghambur-hamburkan harta dan banyak
bertanya[12].”
3. Cara Menasihati Pemimpin
Islam memiliki etika tersendiri
dalam menasihati para pemimpin bahkan mempunyai kaidah-kaidah dasar yang tidak
boleh dilecehkan sebab pemimpin tidak sama dengan rakyat. Apabila menasihati
kaum muslimin secara umum perlu memakai kaidah dan etika, maka menasihati para
pemimpin lebih perlu memperhatikan kaidah dan etikanya.
Dari Hisyam Ibnu Hakam meriwayat-kan
bahwa Nabi SAW bersabda: “Barangsiapa
yang ingin menasihati pemimpin, maka jangan dilakukan secara terang-terangan.
Akan tetapi nasihatilah dia di tempat yang sepi, jika menerima nasihat itu,
maka sangat baik dan bila tidak menerimanya, maka kamu telah menyampaikan
kewajiban nasihat kepadanya.” (HR Imam Ahmad).
Sangat tidak bijaksana mengoreksi
kekeliruan para pemimpin lewat mimbar atau tempat-tempat umum sehingga
menimbulkan banyak fitnah. Seharusnya menasihati para pemimpin dengan cara
lemah lembut dan di tempat yang rahasia sebagaimana yang dilakukan oleh Usamah
bin Zaid tatkala menasihati Utsman bin Affan bukan dengan cara mencaci-maki
mereka di tempat umum atau mimbar.
Imam Syafii berkata bahwa barang
siapa yang menasihati temannya dengan rahasia, maka dia telah menasihati dan
menghiasinya dan barang-siapa yang menasihatinya dengan terang-terangan, maka
dia telah mempermalukan dan merusaknya. Imam Al Fudhail bin Iyadh berkata: “Orang mukmin menasihati dengan cara
rahasia dan orang jahat menasihati dengan cara melecehkan dan memaki-maki”[13].
D. Mengambil
Pemberian dari Penguasa
Para
ulama berbeda pendapat tentang menerima pemerian dari pemerintah/ penguasa.
Sebagian berpendapat boleh mengambilnya selama tidak diketahui pemerian
tersebut didapat dengan cara yang haram. Sebagian lagi berpendapat tidak boleh.
Adapun
yang berpendapat oleh ialah berpegang teguh pada suatu riwayat dari Ali bin Abu
Thalib ra., ahwasanya ia berkat[14]a:
ان السلطان يصيب من الحلال والحرام فما اعطاك فخذه فأنما يعطيك من الحلال
“Sesungguhnya
sultan(raja/penguasa) itu tidak terlepas dari yang halal dan haram, apa yang ia
erikan kepadamu, maka ambillah. Sesungguhnya apa yang ia erikan kepadamu itu
dari yang halal”.
Diriwayatkan dari Umar ra., dari
Nabi saw., bahwasanya beliau bersabda:
من اعطي شيأ من غير مسْْىءلة فليأخذه فأنما هو رزق الله تعالى
“Barangsiapa yang diberi sesuatu
tanpa suatu masalah, sesungguhnya itu rezki dari Allah Ta’ala”.
Diriwayatkan darial-A’mazy dari
Ibrahim, bahwa ia belum melihat ada halangannya mengambil pemberian dari para
penguasa. Dari Habib bin Abu Tsabit ia berkata: aku pernah melihat
hadiah-hadiah al-Mukhtar bin Uabid datang kepada Ibn Umar dan Ibn Abbas lalu
mereka berdua menerimanya. Dan dari al-Hasan, bahwa ia mengambil hadiah-hadiah
dari para penguasa[15].
Adapun alasan ulama yang memakruhkan
menerima pemerian penguasa adalah berpegang pada suatu riwayat dari Habib bin
Abu Tsabit, ia berkata: salah seorang dari penguasa mengirim sejumlah harta kepada
Au Dzar al-Ghiffari. Berkata Abu Dzar: “Apakah seluruh orang Islam ia kirimi
seperti ini”. Ia berkata: Tidak. Abu Dzar lalu berkata: Kembalikan ia. Lalu ia
membaca ayat:
“Sekali-kali tidak dapat, seungguhnya
neraka itu adalah api yang bergejolak. Yang mengelupaskan kulit kepala”.
Al-Fakhi rh. berkata: Menerima
hadiah menurut kami ada dua segi yaitu[16]:
1.
Jika harta raja kebanyakan dari
hasilsogokan dan pemungutan tanpa hak, maka tidak boleh mengambilnya, kecuali diketahui
bahwa yang dikirimkan kepadanya adalah dari yang halal.
2.
Jika keanyakan harta raja dari
yang halal atau dari perniagaan yang ia usahakan, maka tidak mengapa
menerimanya selama elum diketahui bahwa yang dikirim kepadanya itu dari yang
haram atau syubhat, dan meninggalkannya itu lebih utama dalam dua aspek itu.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dengan merujuk pada makalah kami di
atas, maka kami dapat mengambil beberapa kesimpulan, yaitu sebagai berikut:
1.
Wajib atas rakyat mentaati
pemimpin selama pemimpin itu tidak menyuruh mereka berbuat maksiat. Apaila
pemimpin menyuruh mereka melakukan kemaksiatan, maka mereka tidak boleh
mentaatinya.
2.
Hak rakyat yang merupakan
kewajiban pemimpin adalah menunaikan amanah yang Allah bebankan kepada mereka
dan wajib memberikan pengarahan kepada rakyatnya serta berjalan di atas
peraturan-peraturan yang lurus yang menjamin kemaslahatan dunia dan akhirat.
Adapun
hak para pemimpin yang merupakan kewajiban rakyatnya adalah memberikan nasihat
atas kepemimpinan mereka atas berbagai urusan rakyatnya serta memberikan
peringatan jika mereka melakukan kelalaian dan mendoakan mereka jika mereka
mulai berpaling dari kebenaran.
3.
Menasehati
pemimpin dilakukan dengan cara rahasia, karena jika dilakukan dengan
terang-terangn akan merusak citra pemimpin dan mmpermalukannya.
4.
Boleh hukumnya
menerima pemerian dari penguasa selama tidak diketahui bahwa pemerian dari
pemerintah/ penguasa itu diperoleh dengan cara yang haram. Sedangkan
menghindarinya adalah hal yang lebih utama.
C. Saran
Dengan membaca makalah ini, maka
akan dapat menambah wawasan pembaca mengenai etika bernegara, khususnya etika
antara yang memimpin dan yang dipimpin serta mengetahui sekitar hak dan
kewajiban antara pemimpin dan yang dipimpin.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdullah
Yusuf. Kitab al-Qur’an: Teks, Terjemahan dan Komentar. Brentwood, MD:
Amana Corporation, 1989.
Badawi
Jamal. Asosiasi Professor Manajemen dan Strategi. Jakarta: Pustaka.
1999.
Haykal
M. Kehidupan Nabi Muhammad saw. Amerika: Indianapolis: in, Publikasi
Trust.1976.
Nashr bin
Muhammad Syaikh. Akhlak dan Etika Mukmin.Cet-1. Jakarta: PT Intimedia
Ciptanusantara. 2003
Rahman
A. Muhammad sebagai Seorang Pemimpin Militer. Lahore, Pakistan:
Publikasi Islam. 1990.
http://islamhouse.com
http://mubarok-institute.blogspot.com
[1]
Sahih Bukhari, volume 9, hadits 259. Lihat juga Sahih
Bukhari, volume 5, hadis 629.
[2]
A.Rahman. Muhammad sebagai Seorang Pemimpin Militer.
(Lahore, Pakistan: Publikasi Islam, 1990) hal. 75
[3]
Q.S. an-Nisa 4: 59
[4] Syaikh Nashr bin Muhammad. Akhlak
dan Etika Mukmin Cet.1 (Jakarta: PT Intimedia Ciptanusantara, 2003) hal.
125-127
[6]
Haykal M. Kehidupan Nabi Muhammad saw. (Indianapolis:
in, Publikasi Trust Amerika,1976) hal.506
[7] A.Rahman. hal.125
[9] Ibid,hal. 98
[10]
http://islamhouse.com
[11]
Abdullah Yusuf. Kitab al-Qur’an: Teks, Terjemahan dan
Komentar. Brentwood, MD: Amana Corporation, 1989.
[12] Ibid
[13]
Ibid
[14] Syaikh Nashr bin Muhammad.
Lop.cit. hal. 129
[15] Ibid
[16] Ibid. Hal. 132
Tidak ada komentar:
Posting Komentar