Kamis, 23 Februari 2017

MASJID PROGRESIF



Rabu malam, 07 September 2016, saya diajak oleh salah satu kawan untuk menghadiri pengajian di sebuah mesjid di Yogyakarta. Sesampai di mesjid tersebut saya melihat ada yang berbeda dengan pengajian umumnya. Kalau pada umumnya pengajian di mesjid-mesjid kebanyakan dihadiri oleh orang tua, beda halnya dengan mesjid yang saya kunjungi itu. Para peserta pengajian yang hadir di mesjid tersebut justru kebanyakan dihadiri oleh anak muda atau mahasiswa. Ternyata yang melatar belakangi kebanyakan dihadiri oleh anak muda karena materi pengajiannya yang menarik. Selama ini yang kita lihat pada umumnya pengajian di masjid-masjid diisi dengan materi pengajian Tafsir dan Hadits tapi beda halnya dengan masjid yang beralamat di jalan Rajawali kompleks Kolombo Yogyakarta tersebut. Pengajian malam itu adalah pengajian Filsafat atau dalam dunia pesantren lebih dikenal dengan istilah “Ilmu Mantiq”.
Acara ngaji filsafat ini berlangsung tiap minggu sekali, yakni pada malam Kamis, seusai shalat isya’. Dan pembicaranya adalah bapak ustadz Dr. Fahruddin Faiz, dosen di Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga. Beliau dipilih untuk mengisi pengajian tersebut, karena beliau merupakan seorang Filusuf yang mumpuni dibidangnya.  Beliau merupakan ahli filsafat, yang bisa menjelaskan filsafat yang berat, tapi dengan bahasa yang sederhana dan mudah difahami oleh orang, sehingga banyak penggemarnya saat ini.
Menurut informasi dari teman yang mengajak saya ke masjid tersebut, kajian yang diadakan di masjid itu tidak hanya ngaji filsafat saja, tetapi ada kajian-kajian lain tiap malamnya. Di antaranya kajian tafsir, hadits, sirah Nabawi bahkan sampai kajian-kajian tematik seperti bedah buku, tesis, atau karya ilmiah. Yang lebih menarik lagi kajiannya tidak hanya seputar itu saja. Di malam-malam tertentu dan momen-momen tertentu takmir masjid mengadakan kajian tokoh. Seperti misalnya mengupas pemikiran Ali Syariati dengan Sosialisme Islamnya, Hasan Hanafi dengan Islam kiri dan bahkan Soekarno dengan marhaenisme dan pemikirannya tentang Islam sontoloyo dan lain sebagainya. Menarik bukan? Sehingga sayapun berniat untuk menghadiri kajian tersebut setiap pekannya.
Masjid Jenderal Sudirman yang beralamat di jalan Rajawali kompleks Kolombo Yogyakarta tersebut menjadi tempat kuliah alternative bagi mahasiswa se-Yogyakarta. Peserta yang hadir pengajian waktu itu adalah mahasiswa dari berbagai Universitas yang ada di Yogyakarta seperti UNY, UGM, UIN, UMY dan lain-lain.
Menurut beberapa sumber yang saya baca di google. Masjid Jendral Sudirman didirikan awalnya dengan niat sebagai penyeimbang. Masjid ini pernah ramai dan dikenal sebagai masjidnya mahasiswa pergerakan di Yogyakarta. Saat detik-detik runtuhnya Orde Baru, masjid ini kerap dipakai pertemuan pentolan-pentolan mahasiswa penentang pemerintah menyusun rencana pergerakan era reformasi. Hingga akhirnya sekitar tahun 2012, takmir Masjid Jenderal Sudirman mulai mengubah gerakan dan coba mengambil pilihan berbeda. Takmir masjid menyodorkan konsep kegiatan intelektual, spiritual dan budaya yang digelar tiap seminggu dan sebulan sekali. Sehingga tidak heran mahasiswa-mahasiswa Yogyakarta menyebut masjid ini dengan sebutan “Masjid Progresif”.
Masjid seyogyanya tidak sekedar menjadi simbol untuk melakukan ritual-ritual, Secara umum, dalam kaca mata ummat Islam kebanyakan, masjid hanya menjalani fungsi ibadah ritual dan perayaan hari-hari besar. Fungsi ini pun dirasa masih belum optimal. Kenyataan di masyarakat kita memang masih memperlihatkan fungsinya yang sangat sempit. Masjid, secara umum, seringkali diidentikkan dengan tempat shalat bagi mereka yang mengaku Islam sebagai agama anutannya. Di luar itu, masjid seolah-olah tidak memiliki fungsi sosial apapun.
Seharusnya masjid memang menjadi corong ilmu pengetahuan. Masjid memiliki tanggungjawab besar dalam menjaga kreativitas berpikir. Masjid harus menjadi wadah untuk mengembangkan tradisi bernalar dan berfikir kritis ummat Islam. Pada awal kebangkita Islam masa Dinasti Abbasiyah, Masjid memiliki fungsi yang teramat penting bagi pendiikan. Masjid diramaikan dengan kajian-kajian ilmiah dan pilosofis. Sedangkan saat ini, masjid menjadi bagian kecil dan terpinggirkan dari kegiatan-kegiatan keilmuan. Ilmu-ilmu keIslaman menjadi elit dan mahal. Kajian-kajian ilmiah biasanya hanya dilaksanakan di Auditorium kampus, hotel, warkop dan tempat-tempat mahal lainnya, dengan biaya yang tidak murah. Sedangkan di Masjid hanya diisi dengan kajian-kajian Tafsir dan Hadits. Maka seharusnya kajian-kajian ilmiah dan pilosofis juga harus digalakkan di masjid.
Dalam kacamata gerakan mahasiswa, masjid harus menjadi satu bagian terpenting dalam proses panjang perjuangan. Ini menjadi basis nilai, basis moral untuk mempertahankan idealisme gerakan, ketika kita menghadapi hambatan di tengah jalan. Mengelola Masjid merupakan bagian dari perjuangan gerakan mahasiswa, idiom ini harus belajar untuk kita perkenalkan. Kita mencoba untuk mengatakan, bahwa lingkup gerakan mahasiswa tidak hanya terbatas dalam aksi di jalan mengritik kebijakan pemerintah. Tapi, bagi aktivis muslim, shalat jama'ah adalah salah satu aktivitas gerakan mahasiswa yang paling penting. Kampus yang baik untuk pembinaan ummat adalah kampus yang memiliki pergerakan berbasis kepada Masjid. Karena dari masjidlah proses pengkaderan keumatan itu berlangsung.


                                                                             Yogyakarta, 10 September 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar