Rabu malam, 07 September 2016, saya
diajak oleh salah satu kawan untuk menghadiri pengajian di sebuah mesjid di
Yogyakarta. Sesampai di mesjid tersebut saya melihat ada yang berbeda dengan
pengajian umumnya. Kalau pada umumnya pengajian di mesjid-mesjid kebanyakan
dihadiri oleh orang tua, beda halnya dengan mesjid yang saya kunjungi itu. Para
peserta pengajian yang hadir di mesjid tersebut justru kebanyakan dihadiri oleh
anak muda atau mahasiswa. Ternyata yang melatar belakangi kebanyakan dihadiri
oleh anak muda karena materi pengajiannya yang menarik. Selama ini yang kita
lihat pada umumnya pengajian di masjid-masjid diisi dengan materi pengajian
Tafsir dan Hadits tapi beda halnya dengan masjid yang beralamat di jalan
Rajawali kompleks Kolombo Yogyakarta tersebut. Pengajian malam itu adalah
pengajian Filsafat atau dalam dunia pesantren lebih dikenal dengan istilah “Ilmu
Mantiq”.
Acara ngaji filsafat ini berlangsung
tiap minggu sekali, yakni pada malam Kamis, seusai shalat isya’. Dan
pembicaranya adalah bapak ustadz Dr. Fahruddin Faiz, dosen di Fakultas
Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga. Beliau dipilih untuk mengisi pengajian tersebut,
karena beliau merupakan seorang Filusuf yang mumpuni dibidangnya. Beliau
merupakan ahli filsafat, yang bisa menjelaskan filsafat yang berat, tapi dengan
bahasa yang sederhana dan mudah difahami oleh orang, sehingga banyak
penggemarnya saat ini.
Menurut informasi dari teman yang
mengajak saya ke masjid tersebut, kajian yang diadakan di masjid itu tidak
hanya ngaji filsafat saja, tetapi ada kajian-kajian lain tiap malamnya. Di
antaranya kajian tafsir, hadits, sirah Nabawi bahkan sampai kajian-kajian
tematik seperti bedah buku, tesis, atau karya ilmiah. Yang lebih menarik lagi
kajiannya tidak hanya seputar itu saja. Di malam-malam tertentu dan momen-momen
tertentu takmir masjid mengadakan kajian tokoh. Seperti misalnya mengupas
pemikiran Ali Syariati dengan Sosialisme Islamnya, Hasan Hanafi dengan Islam
kiri dan bahkan Soekarno dengan marhaenisme dan pemikirannya tentang Islam
sontoloyo dan lain sebagainya. Menarik bukan? Sehingga sayapun berniat untuk
menghadiri kajian tersebut setiap pekannya.
Masjid Jenderal
Sudirman yang beralamat di jalan Rajawali kompleks Kolombo Yogyakarta tersebut
menjadi tempat kuliah alternative bagi mahasiswa se-Yogyakarta. Peserta yang
hadir pengajian waktu itu adalah mahasiswa dari berbagai Universitas yang ada
di Yogyakarta seperti UNY, UGM, UIN, UMY dan lain-lain.
Menurut
beberapa sumber yang saya baca di google. Masjid Jendral Sudirman didirikan awalnya
dengan niat sebagai penyeimbang. Masjid ini pernah ramai dan dikenal sebagai
masjidnya mahasiswa pergerakan di Yogyakarta. Saat detik-detik runtuhnya Orde
Baru, masjid ini kerap dipakai pertemuan pentolan-pentolan mahasiswa penentang
pemerintah menyusun rencana pergerakan era reformasi. Hingga akhirnya sekitar
tahun 2012, takmir Masjid Jenderal Sudirman mulai mengubah gerakan dan coba
mengambil pilihan berbeda. Takmir masjid menyodorkan konsep kegiatan intelektual,
spiritual dan budaya yang digelar tiap seminggu dan sebulan sekali. Sehingga
tidak heran mahasiswa-mahasiswa Yogyakarta menyebut masjid ini dengan sebutan
“Masjid Progresif”.
Masjid seyogyanya
tidak sekedar menjadi simbol untuk melakukan ritual-ritual, Secara umum, dalam
kaca mata ummat Islam kebanyakan, masjid hanya menjalani fungsi ibadah ritual
dan perayaan hari-hari besar. Fungsi ini pun dirasa masih belum optimal. Kenyataan
di masyarakat kita memang masih memperlihatkan fungsinya yang sangat sempit.
Masjid, secara umum, seringkali diidentikkan dengan tempat shalat bagi mereka
yang mengaku Islam sebagai agama anutannya. Di luar itu, masjid seolah-olah
tidak memiliki fungsi sosial apapun.
Seharusnya masjid memang menjadi corong
ilmu pengetahuan. Masjid memiliki tanggungjawab besar dalam menjaga kreativitas
berpikir. Masjid harus menjadi wadah untuk mengembangkan tradisi bernalar dan
berfikir kritis ummat Islam. Pada awal
kebangkita Islam masa Dinasti Abbasiyah, Masjid memiliki fungsi yang teramat
penting bagi pendiikan. Masjid diramaikan dengan kajian-kajian ilmiah dan pilosofis.
Sedangkan saat ini, masjid menjadi bagian kecil dan terpinggirkan dari kegiatan-kegiatan
keilmuan. Ilmu-ilmu keIslaman menjadi elit dan mahal. Kajian-kajian ilmiah
biasanya hanya dilaksanakan di Auditorium kampus, hotel, warkop dan tempat-tempat
mahal lainnya, dengan biaya yang tidak murah. Sedangkan di Masjid hanya diisi
dengan kajian-kajian Tafsir dan Hadits. Maka seharusnya kajian-kajian ilmiah
dan pilosofis juga harus digalakkan di masjid.
Dalam
kacamata gerakan mahasiswa, masjid harus menjadi satu bagian terpenting dalam
proses panjang perjuangan. Ini menjadi basis nilai, basis moral untuk
mempertahankan idealisme gerakan, ketika kita menghadapi hambatan di tengah
jalan. Mengelola Masjid merupakan bagian dari perjuangan gerakan mahasiswa,
idiom ini harus belajar untuk kita perkenalkan. Kita mencoba untuk mengatakan,
bahwa lingkup gerakan mahasiswa tidak hanya terbatas dalam aksi di jalan
mengritik kebijakan pemerintah. Tapi, bagi aktivis muslim, shalat jama'ah adalah
salah satu aktivitas gerakan mahasiswa yang paling penting. Kampus yang baik
untuk pembinaan ummat adalah kampus yang memiliki pergerakan berbasis kepada
Masjid. Karena dari masjidlah proses pengkaderan keumatan itu berlangsung.
Yogyakarta,
10 September 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar