BAB I
PEMBAHASAN
A. Latar belakang
Tidak dapat dipungkiri tafsir dari masa ke masa mengalami perkembangan yang
sangat pesat dan pada akhirnya mengalami masa keemasan. Setelah masa Rasulullah
saw dan sahabat berakhir maka tafsir kemudian dipegang dan dikembangkan oleh
para Tabi’in dan lainnya. Langkah yang mulia yang dilakukan oleh para sahabat
tentunya diikuti oleh para Tabi’in dalam hal menafsirkan al-Qur’an Tegasnya,
penafsiran al-Qur’an dari para sahabat diterima baik oleh generasi Tabi’in.
Kita mengetahui bahwa pada masa itu dapat kita jumpai banyak sekali
pakar-pakar ahli tafsir yang begitu terkenal kesungguhannya dalam berijtihad
untuk dapat mengetahui hakikat penafsiran ayat tertentu. Penafsiran ini terus
berkembang, sehingga ketika periode selanjutnya timbul adanya
kodifikasi-kodifikasi tafsir yang dilakukan dan dikembangkan oleh para ahli
tafsir. Seperti timbulnya tafsir bi al-Ma’s|u>r dan tafsir bi al-ra’yi>,
dan juga lainnya yang di dalam penafsirannya ada perbedaan corak dalam penafsirannya,
sehingga kadang-kadang menjadi rawan dalam penafsirannya yang memungkinkan
adanya penyimpangan dalam penafsirannya.
Melihat kenyataan tersebut, maka tidaklah heran kalau al-Qur’an mendapatkan
perhatian yang besar dari umat Islam dan umat lainnya, melalui pengkajian
intensip terutama dalam rangka penafsiran kata-kata demi mengungkap rahasia dan
makna. Untuk itu diperlukan alat yang mampu membawa kita memahami al-Qur’an
secara komprehensif dan menyeluruh.
B. Rumusan masalah
Berangkat dari latar belakang diatas maka penulis dapat mengambil suatu
rumusan masalah sebagai berikut:
1. Biografi Ima>m al-Suyu>ti>
2. Latar belakang
penulisan
3. Corak dan Metode penulisan
4. Kelibihan dan keutamaan tafsir al-Suyu>ti>
BAB II
PEMBAHASAN
A. Biografi Imām al-Suyu>ṭi>
Imam Jalaluddi>n al-Suyu>ti> merupakan salah satu ulama dan
ilmuwan Islam terkemuka. Nama beliau adalah ‘Abdul al-Rahma>n bin
al-Kama>l Abi> Bakar bin Muḥammād bin Sa>biquddi>n bin a1-Fakhr ‘Utsmān bin Naziruddīn Muh}ammād bin Saifuddi>n bin Najamuddi>n Abi al-S}ala>h
Ayyu>b bin Nas}iruddi>n Muḥammād bin al-Syaikh al-Hima>muddi>n a1-Hama>m
a1-Khudai>ri> al-Suyu>ti>.[1] Sedang dalam kitab al-Tafsi>r wa a1-Mufassiru>n nama
lengkap a1-Suyu>ti> adalah al-Ha>fiz Jalaluddi>n Abu>
al-Fadl Abdurrahma>n bin Abi> Bakr bin Muh}ammad al-Suyu>ti>
al-Sya>fi'i.[2]
Imam al-Suyu>ṭī> dilahirkan malam ahad setelah magrib di bulan rajab
pada tahun 849 H atau sekitar 1445 M dan meninggal pada tahun 911 H.
1. Kegiatan menuntut ilmu
Beliau hidup di lingkungan yang penuh dengan keilmuan serta ketakwaan.
Kedua matanya terbuka pada keilmuan dan ketakwaan karena ayahnya tekun
mengajarkan membaca al-Qur’an dan ilmu pengetahuan. Ketika ayahnya meninggal
dunia pada tahun 855 H, ia telah hafal al-Qur’an sampai surat al-Tahri>m
padahal usianya masih kurang dari 6 tahun, dan ketika usianya mendekati dari 8
tahun, ia telah menghafal seluruh al-Qur’an, kemudian Ia juga telah menghafal Minha>ju
al-Fiqh wa al-Usu>l, Alfiyah ibn Mālik dan lain-lainnya.[3]
Ketika menuntut ilmu, Imām al-Suyu>ti> tidak hanya belajar di satu tempat, tetapi banyak
melakukan perjalanan ilmiah ke berbagai negara untuk menemui ulama-ulama besar.
Negara-negara yang telah dikunjunginya adalah Mesir, Syam, Yaman, India,
Takrur, dan Hijaz. Adapun tempat-tempat yang telah dikunjunginya di Mesir
adalah al-Fayum, Dimyat, al-Mahalah, dan lain-lain.
Pada tahun 869 H, Imām al-Suyu>ti> pergi berhajji ke Mekkah, kemudian kembali ke Kairo. Di
sana ia mengajar Ilmu Fiqih sampai tahun 872 H. Ia kemudian diangkat sebagai
guru besar di sekolah al-Syaikhuniyyah, jabatan yang pernah diduduki oleh
almarhum ayahnya. Jabatan itu diberikan kepadanya atas rekomendasi seorang
ulama besar di Kairo, yaitu Syaikh al-Bulqani. Pada tahun 891 H, ia
pindah ke sekolah yang lebih terkenal, yaitu sekolah al-Baibirsiyah. Namun
tidak berapa lama kemudian, tepatnya tahun 906 H, ia mengundurkan diri dari
jabatannya karena difitnah telah mengkhianati amanah barang-barang inventaris
sekolah. Beberapa kali ia ditawari untuk menduduki jabatan itu kembali setelah
terbukti tidak bersalah, tetapi tidak sedikit pun ia berkeinginan lagi
menduduki jabatan itu.
Imām al-Suyu>ti> tidak hanya
menguasai satu macam ilmu, tetapi ia menguasai tujuh macam ilmu, yakni tafsir,
hadits, fiqih, nahwu, ma’ni, bayan, dan badi. Ia juga telah menghasilkan banyak
kitab yang diperkirakan jumlahnya mencapai 561 kitab. Sebagian besar kitabnya
termasyhur di seluruh dunia, baik ditimur maupun dibarat. Hal ini dapat dipahami karena ia menguasai berbagai
ilmu dan kegiatan menulisnya telah ia mulai sejak berusia 17 tahun. Dalam
kegiatan menuntut ilmu beliau sudah banyak mendatangi Ulama besar, diantaranya adalah:
a.
Jalaluddīn Al-Mahalli
b.
Aḥmād bin ‘Ali Ayamsahi (ulama fara’id)
c.
Al-Bulqaini (ulama fiqih)
d.
As-Syamani (ulama hadits, ushul fiqih, teologi dan nahwu)
e.
Al-Izzu Ḥanbāli (ulama hadits, bahasa Arab, sejarah)
Selain guru laki-laki, al-Suyu>ti> juga meresap ilmu
dari sejumlah ilmuwan perempuan, diantaranya:
a.
Aisyah binti
Jarullah
b.
Ummu Hani binti
Abul Ḥasan
c.
Shaliḥah binti ‘Ali
d.
Niswan binti
Abdullah Al-Kanani
e.
Ḥajār binti Muḥammād Al-Mishriyyah
2. Kitab-kitab yang beliau telah tulis
Al-Suyu>ti> mulai menulis
ketika masih berusia 17 tahun. Namun ia baru memusatkan diri dalam berkarya
ketika usianya menginjak 40 tahun. Ia beruzlah di tempat tinggalnya, Raudatul
Miqya>s, di tepian Sungai Nil. Ia termasuk ulama yang sangat produktif
dalam berkarya. Ia memiliki ratusan kitab dalam berbagai bidang keilmuan, mulai
dari tafsir, hadits, fiqih, bahasa Arab, sastra, tasawuf, hingga ilmu sejarah. Ibnu
Iyās, salah seorang
murid al-Suyu>ti>, mengatakan bahwa jumlah karya al-Suyu>ti>
mencapai 600 buah. Adapun, karya al-Suyu>ti> mencapai 725 buah.[4]
Karya al-Suyu>ti> diantaranya:
a. Al-Itqan fi> ‘Ulu>m al-Qur’an
b. Al-Dur al-Manshur fi> al-Tafsi>r bi al-Ma’s|u>r
c. Tarjuman al-Qur’an fi> al-Tafsir al-Musnad
d. Asra>r al-Tanzi>l
e. Luba>b al-Nuqu>l fi> Asbab al-Nuzul
f. Al-Takhbi>r fi> ‘Ulu>m al-Tafsir
g. Mufhamat al-Qur’an fi> Mubhamat al-Qur’an
h. Al-Iklil fi> Istinba>t al-Tanzi>l
i. Al-Hasyisyah fi Tafsir al-Baid|a>wi>
j. Takmilah al-Tafsir al-Syaikh Jala>luddin al-Mahalli
B. Latar belakang penulisan
Menurut al-Ż|ahabi>
sebagaimana juga diakui al-Suyu>t}i> dalam muqaddimah kitabnya, karya ini
merupakan kitab musnad hadis[5]
yang berisikan tafsir atau penjelasan terhadap al-Qur’an. Di dalamnya memuat
sekitar 10.000 hadits marfu>‘ dan hadits mauqu>f,[6]
diselesaikan dalam 4 jilid dan diberi nama Tarjuma>n al-Qur’a>n.
Kemudian untuk memudahkan pembaca dalam memahami kitab tersebut,
al-Suyu>t}i> meringkasnya dengan hanya mencantumkan matan atau
teks hadits tanpa menyebutkan sanadnya. Meskipun demikian dijelaskan bahwa
sumber hadis-hadis tersebut merupakan hasil takhri>j dari kitab-kitab
yang mu’tabar, kitab tersebut diberi nama al-Durr
al-Mans\u>r fi> al-Tafsi>r al-Ma’s\u>r [7]
(Mutiara yang bertebaran dalam penafsiran berdasarkan al-Qur’an dan Hadis).
Sepanjang penelusuran, penulis tidak menemukan kitab Tarjuman al-Qur’an
sebagaimana dimaksud, penulis hanya menemukan kitab al-Dur
al-Mans\u>r fi> at-Tafsi>r al-Ma’s|u>r, Mukhtas}ar
Tarjuma>n al-Qur’a>n dalam beberapa terbitan, di antaranya yang
diterbitkan oleh Da>r al-Ilmiyyat, Beirut, Libanon cetakan tahun 1999 yang
terdiri dari 6 jilid besar. Jilid pertama setebal 670 halaman, jilid kedua 617
halaman, jilid ketiga 646 halaman, jilid keempat 673 halaman, jilid kelima 762
halaman dan jilid kelima 767 halaman. Selain itu, sepanjang penelusuran, kitab
tersebut belum pernah disitasi dalam karya tafsir dan karya-karya
lainnya.
Dalam hal ini, menurut asumsi pribadi penulis, kitab Tarjuma>n al-Qur’a>n
belum pernah dipublikasikan oleh al-Suyu>t}i>. Namun tentunya diperlukan
penelitian lebih lanjut mengenai keberadaan kitab tersebut. Merujuk kepada
pemetaan Abdul Mustaqim, karya al-Suyuti ini tergolong tafsir era pertengahan
yang dikenal sebagai zaman keemasan ilmu pengetahuan.[8]
Hal ini karena perhatian yang luar biasa terhadap ilmu pengetahuan pada saat
itu.
Berbagai diskusi digelar mengenai segala ilmu pengetahuan yang sumbernya
juga banyak diadopsi dari dunia luar. Periode pertengahan ini berada dalam
kurun waktu yang panjang, karena dimulai dengan munculnya produk penafsiran
yang sistematis dan terkodifikasi dengan baik hingga lahirnya periode
kontemporer. Sebagai konseksuensi dari perkembangan ilmu pengetahuan, kondisi
sosio-kultural dan politik, disamping al-Qur’an sendiri yang memang sangat
terbuka untuk ditafsirkan, maka muncul berbagai corak ideologi penafsiran.
Meskipun tidak pernah menyatakan secara langsung, oleh para ulama pada masanya
al-Suyuti disebut-sebut berteologi Asy’ariyah hal itu terlihat dalam corak
penafsirannya, selain itu semenjak kecil ia dibesarkan dan menapaki karir dalam
lingkungan madzhab syafi’i.[9]
C. Metode dan Sumber penafsiran
Secara keseluruhan kitab tafsir ini menggunakan penjelasan Nabi maupun
shahabat yang dikutip dan dirujuk dari kitab-kitab hadits dan tafsir. Menurut
al-Z|ahabi> riwayat-riwayat dalam kitab ini diambil dari karya
al-Bukha>ri> (w. 256 H/ 870 M), Muslim (w. 261 H/ 875 M),
an-Nasa>’i> (w. 303 H/ 915 M), al-Turmuz|i> (w. 279 H/ 892 M), Ah}mad
(w. 241 H/ 855 M), Abu> Da>wud (275 H/ 892 M), Ibn Jari>r (w. 310 H/
923), Ibn Abi> H}a>tim (w. 327 H), ‘Abd ibn Hami>d, Ibn Abi>
al-Dunya (w. 281 H/ 894 M).[10]
Selain itu juga terdapat riwayat yang dikutip dari karya ‘Abd Razza>q, Abu
Na’i>m, al-Baihaqi> (as-Sunan al-Kubra & Sya’b al-I>ma>n) (w.
458 H/ 1066 M), al-Bazza>r, al-Farya>bi,> al-H}a>kim (w. 405 H/
1014 M), at-T}abra>ni> dalam al-Aswat (w. 360 H/ 971 M)}, Ibn
Abi> Syaibah (w. 235 H/ 850 M), Ibn al-Muba>rak, Ibn al-Munz|ir, Ibn
Murdawaih, Ibn Sa’d, Sa’i>d ibn Mans}ur dan sebagainya.
Senada dengan namanya, karya tafsir ini tergolong bil-ma’s\u>r
karena secara keseluruhan dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an, tafsir ini
menggunakan penjelasan nabi maupun shahabat yang dikutip dan dirujuk dari
kitab-kitab hadits dan tafsir. Sistematika penulisan kitab ini mengikuti tarti>b
mush}afi (sesuai dengan urutan mushaf), dimulai surat al-Fa>tih}ah
dan diakhiri surat al-Na>s. Pada awal pembahasan dicantumkan
ayat-ayat yang hendak dibahas kemudian dikutip riwayat-riwayat yang menjelaskan
asba>b al-nuzu>l dan riwayat-riwayat lain yang menunjukkan
penjelasan nabi atau sa}habat berkenaan dengan ayat-ayat tersebut secara
sistematis.
Metode yang digunakan dalam penyusunan kitab ini adalah metode tah}li>li>
dengan bentuk bil-ma’s|u>r.[11]
Meskipun dikategorikan dalam metode tah}li>li> (analisis) dengan
menafsirkan secara analisis menurut urutan mushaf, al-Suyu>t}i> sama
sekali tidak memberikan komentar baik dari sisi bahasa (kosakata/lafaz),
menjelaskan arti yang dikehendaki, unsur i’ja>z dan bala>ghah)
maupun penjelasan-penjelasan lain seperti aspek kandungan pengetahuan, hukum,
asba>b al-nuzu>l, muna>sabah dan tambahan ijtihad yang
lazim digunakan oleh para mufassir pada zamannya. Ia hanya mecantumkan
riwayat-riwayat[12]
yang diawali kata akhraja dilanjutkan dengan hadits atau kata akhraja
diikuti sepintas nama kitab atau pengarang kitab yang dirujuk kemudian riwayat
yang berisi penjelasan terhadap ayat yang terkait tanpa menjelaskan s}ah}i>h}
atau d}a’i>f-nya riwayat tersebut.
Namun dilihat dari sisi periwayatan, dengan asumsi bahwa kitab ini adalah mukhtas}ar
(ringkasan) dari kitab Tarjuma>n al-Qur’a>n yang dipotong
sanadnya, dengan alasan untuk memudahkan pembaca sebagaimana yang ditulis oleh
al-Z|ahabi>, maka dimungkinkan bahwa sanad lengkap dan kualitasnya dapat
ditemui pada kitab tersebut.
Menurut penulis, ini sebuah ciri khas yang jarang ditemukan dalam
karya-karya kitab tafsir lain, bahwa secara konsisten al-Suyu>t}i>
menggunakan riwayat-riwayat yang terkait tanpa sedikit pun ijtihad pribadi.
Meskipun secara lahir tidak ada sedikit pun penggunaan ra’yi, suatu
tafsir akan mencerminkan keterbatasan kemampuan penafsirnya dan tidak akan
terlepas dari subyektifitas dirinya sendiri. Ketika seseorang menafsirkan
sebuah ayat, dalam benaknya juga hadir sekian banyak subyek sebagai rujukannya.[13]
Karena tafsir ini tergolong tafsir bi al-ma’s|u>r dengan
menggunakan riwayat Nabi dan shahabat yang langsung menjelaskan hal-hal yang
terkait dengan ayat-ayat al-Qur’an, lebih jauh dapat dikatakan bahwa
al-Suyu>t}i> hanya berperan sebagai penghimpun riwayat dan tidak berperan
aktif (passif) maka relatif sulit bagi penulis untuk memberikan
penilaian.
D. Kekurangan
Tafsir Al-Suyuthi
Ada beberapa hal yang patut untuk mendapat kritikan adalah
adalah sebagai berikut:
a. Secara keseluruhan, tidak ditemukannya kelengkapan sanad yang dapat
memperkuat riwayat yang disampaikan meskipun pada setiap awal riwayat terdapat
rujukan singkat seperti nama ulama dan kitab-nya yang memang terkenal seperti
yang diakui al-Suyu>t}i> dalam muqoddimah kitab.
b. Al-Suyu>t}i> tidak menentukan kualitas riwayat yang dikutip sehingga
dimungkinkan masuknya isra>‘i>liyya>t. Sebagai contoh, dalam
menafsirkan QS. Al-Ma>idah (5): 22 al-Suyu>t}i> mengutip riwayat
tentang keengganan kaum Nabi Musa untuk memasuki Palestina karena mendapati
orang-orang yang gagah perkasa (kaum jabba>ru>n). Hal ini tentunya
memunculkan kecurigaan ketika tidak dibarengi dengan validitas riwayat yang
dicantumkan. Selain itu, dalam riwayat yang dikutipnya terdapat banyak
pengulangan (at-tikrar) dan bertele-tele.
c. Tidak menggunakan ayat-ayat al-Qur’an yang lain sebagai sumber penafsiran
sehingga memberikan kesan bahwa petunjuk al-Qur’an bersifat parsial. Sebagai
contoh dan perbandingan, dalam tafsir Ibn Katsir menafsirkan kataهدى للمتقين dalam QS. Al-Baqarah (2): 2 dengan ayat-ayat lain yaitu
QS. Fus}s}ilat (41): 44, QS. al-Isra>’ (17): 82 dan QS. Yunus (10): 82.[14]
Sedangkan dalam Tafsir al-Durr al-Mans|u>r lebih menjelaskan apa yang
yang disebut dan dipahami sebagai
هدى
للمتقين tentunya melalui
riwayat-riwayat yang berkaitan secara berurutan[15].
d. Sepi dari penggunaan ijtihad & aplikasi penafsiran terhadap kajian
tertentu baik dari sisi bahasa (kosakata/ lafaz}, menjelaskan arti yang
dikehendaki, unsur ‘ija>z dan balaghah) maupun penjelasan-penjelasan
lain seperti aspek kandungan pengetahuan, hukum asba>b al-nuzu>l, muna>sabah
dan tambahan ijtihad yang lazim digunakan oleh para mufassir.
Karena secara keseluruhan berisi riwayat, maka objek material tafsir ini
adalah riwayat-riwayat hadits. Sedangkan dalam proses penelitian hadis, yang
menjadi awal penelitian adalah kaidah kesahihan yang telah dikemukakan oleh
para ulama. Kaidah yang dimaksud adalah segala syarat atau kriteria yang harus
dipenuhi oleh suatu hadis yang berkualitas s}ah}i>h}. Selain serentetan
metodologi yang digunakan untuk menentukan kualitas sanad, juga digunakan
metodologi untuk menentukan kualitas matan hadis, karena kualitas sanad dan
matan tidak selalu sejalan.[16]
Ada kalanya sanad-nya s}ah}i>h} akan tetapi matannya mardu>d.
Dengan melakukan penelitian sanad, dapat diketahui kualitas periwayatan sebuah
hadis. Sedangkan dengan melakukan penelitian matan, dapat diketahui matan
sebuah hadits tersebut maqbu>l atau mardu>d (diterima atau
ditolak). Selain itu, standar untuk menentukan status hadis yang berkaitan
dengan akidah, ibadah dan muamalah jelas berbeda dengan standar yang berkaitan
dengan yang lainnya. Ada yang terkesan longgar (mutasa>hil), moderat
(mutawa>sit}) dan ketat (mutasyaddid).[17]
Sementara dari sisi penunjukannya (dala>lah), secara umum para
ulama sepakat bahwa hadis dapat dijadikan h}ujjah, namun dalam beberapa
hal berkenaan dengan hadis secara keseluruhan masih terjadi diskusi panjang
terhadap jenis-jenis hadis yang dapat dijadikan h}ujjah. Tidak diragukan
lagi semua ulama berpendapat bahwa hadis mutawa>tir dapat dijadikan h}ujjah,
namun terhadap hadis a>h{ad masih meinmbulkan berbagai perbedaan
pendapat. Ada yang menolak menjadikan h}ujjah dan ada yang menerimanya
dengan persyaratan bahwa hadis tersebut bernilai s}ah}i>h dan h}asan
serta tidak d}a’i>f.
Selain persoalan teknis mengenai kualitas sebuah hadis melalui kajian naqd
al-hadi>s} (lebih ditekankan pada kritik sanad dan matan), problem yang
dialami seringkali bersifat spesifik dan variatif. Respon Rasulullah saw,
terhadap problem yang dialami pada masa itu dituntut melalui bahasa spesifik
dan sesuai dengan karakter problem, yang boleh jadi juga spesifik dan khas.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari beberapa
pemaparan diatas maka penulis mengambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Imam
al-suyuti adalah sosok yang disegani, banyak orang yang berguru kepadanya dan
meminta fatwah, bahkan pemerintah menghadiahkan kepada beliau beberapa hadia
namun beliau hanya mengambil budak saja dan memerdekakannya, dalam menuntut
ilmu beliau tidak hanya mendatangi satu atau dua orang guru saja, tapi beliau
mendatangi beberapa ulama yang terkenal dan ahli dalam bidangnya masing-masing.
Beliau juga sangat aktif dalam menulis, sehingga banyak karang beliau yang
salah satunya adalah tafsir al-Addurr al-Mans\u>r fi tafsi>r bi al-Ma’s\u>r.
2. Tafsir
ini adalah ringkasan dari tarjuman al-Quran.
3. Sesuai
dengan namanya, maka corak tafsir tergolong didalam corak bi al-ma’s\u>r
4. Salah
satu keunggulan kitab tasir ini adalah mudah untuk dipahami dan mudah untuk
dibaca. Namun dilain disisi dalam pennafsiran ini tidk menggunakan ayat lain
untk menafsiran ayat tersebut, mencampur adukk antara hadis s}ah}ih} dan daif.
B. Saran
Didalam makala kami
tentunya masih banyak yang ingin dibenahi, baik itu dari segi penulisannya,
ataupun kekurangan penjelasan bahkan mungkin ada penjelasan kami yang salah.
Olehnya itu kami sangat mengharap saran dari Ust, selaku yang menangani mata kuliah ini.
Mudah-mudahan makalah yang kami tulis ini dapat bermanfaat terutama bagi
kami (penulis), masukan dari teman-teman juga tentunya sangat penulis butuhkan
dalam kesempurnaan makala kami.
Daftar Pustaka
Al-Suyuti, al-Ha>fiz
Jalaluddi>n Abu> al-Fadl Abdurrahma>n bin Abi> Bakr bin Muh}ammad
al-Dar al-Mansu>r fi al-Tafsi>r bi al-Ma’su>r, juz I,
Markaz Hijr li al-Buhus wa al-Dira>sa>ti al-Arabi> wa al-Islami
Al-zahabi>, Muh}ammad Husain. al-tafsi>r wa al-mufassiru>n, al-Na>syir Maktaba Wahbah.
t.t
Mustaqim, Abdul, Madzahibut
Tafsir; Peta Metodologi Penafsiran al-Qur’an Periode Klasik hingga Kontemporer.
Yogyakarta: Nun Pustaka, 2003.
Mah}mud, Mani’ ‘Abd
H>>>>}>alim, Metodologi tafsir: kajian komprehensif netode
para ahli tafsir, PT Raja Grafindo, 2006.
...........................Rofiq,
Ahmad, ed. Studi Kitab Tafsir (Yogyakarta: Teras. 2004),
Al-Dimasyqi, Abul
Fida’ Imaduddin Ismail bin Umar bin Katsir al-Qurasyi al-Bushrawi. Tafsi>r
al-Qur’a>n al-Az}i>m. Beirut: Maktabah an-Nu>r al-‘Ilmiyyah. 1991.
Hidayat, Komaruddin, Memahami
Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutika. Jakarta: Yayasan Paramadina,
1996.
Ismail, Syuhudi, Metodologi
Penelitian Hadis Nabi. Jakarta: Bulan Bintang, 2007.
[1]Al-Suyuti, al-Dar al-Mansu>r fi al-Tafsi>r bi
al-Ma’su>r, juz I, Markaz Hijr li al-Buhus wa al-Dira>sa>ti
al-Arabi> wa al-Islami>. hal. 17
[4]Mani` Abd Halim Mahmud, Metodologi tafsir: kajian
komprehensif netode para ahli tafsir, (PT Raja Grafindo,
2006). hal. 128
[5]Dinamai kitab “musnad” jika penyusunnya memasukkan semua
hadis yang ia terima, tanpa menyaring dan menjelaskan kualitas hadis-hadis
tersebut. Lihat Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis (Jakarta:
Bulan Bintang, 1987), hlm. 104. Dalam pengertian lain, kitab yang disusun
berdasarkan nama-nama sahabat yang lebih dahulu masuk Islam atau berdasarkan
nasab. Lihat Subh}i as-Sa>lih}, Ulu>m al-H}adi>s| wa Mus}t|alah}uh
(Beirut: Da>r al-‘Ilm wa al-Malayin, 1988), hlm. 123.
[6]Hadis marfu>’ adalah hadis yang dihubungkan kepada
Nabi saw, baik berupa perkataan, perbuatan maupun taqri>r. Hadis itu disebut
marfu>’ karena mempunyai derajat yang tinggi karena dihubungkan dengan Nabi
saw, baik dengan menggunakan sanad yang mutta}sil (bersambung) atau tidak.
Sedangkan hadis mauqu>f adalah hadis yang dihubungkan kepada sahabat. Lihat
‘Ajja>j al-Khat}i>b, Us}u>l al-H}adi>s| ‘Ulu>muh wa
Mus}t|alah}uh (Beirut: Da>r al-Fikr, 1989), hlm. 355.
[8]Abdul Mustaqim, Madzahibut Tafsir; Peta Metodologi Penafsiran
al-Qur’an Periode Klasik hingga Kontemporer (Yogyakarta: Nun Pustaka,
2003), hlm. 67.
[11]Metode tah}li>li analitis adalah menafsirkan ayat-ayat
al-Qur’an dengan memaparkan segala aspek yang terkandung dalam ayat-ayat yang
ditafsirkan itu serta menerangkan makna-makna yang tercakup di dalamnya sesuai
dengan keahlian dan kecenderungan mufassir yang menafsirkan ayat-ayat tersebut.
lihat Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur’an (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2005), hlm. 32. Sementara tafsir bil-ma’s|u>r merupakan salah satu
jenis penafsiran yang muncul petama kali dalam sejarah khazanah intelektual
Islam. Praktik penafsirannya adalah ayat-ayat yang terdapat dalam al-Qur’an
ditafsirkan dengan ayat-ayat yang lain atau dengan riwayat dari Nabi saw, para
sahabat dan juga para tabi’in. mengenai riwayat tabi’in terdapat perbedaan
pendapat. Lihat Alfatih Suryadilaga, Metodologi Ilmu Tafsir (Yogyakarta: Teras,
2005) hlm. 42.
[12]Pendekatan ini sering disebut sebagai pendekatan
normatif-historis yang berbazis riwayat. Lihat A. Rofiq (ed.), Studi Kitab
Tafsir (Yogyakarta: Teras. 2004), hlm 132.
[13]Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian
Hermeneutika (Jakarta: Yayasan Paramadina, 1996), hlm. 141.
[14]Al-H}a>fiz| Ibn Kas}i>r, Tafsi>r
al-Qur’a>n al-Az}i>m (Beirut: Maktabah an-Nu>r al-‘Ilmiyyah,
1991), Jilid I, hlm. 37-38.
[17]Suryadi (dkk.), Metodologi Penelitian Hadis
(Yogyakarta: Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga, 2006), hlm. 5.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar