Selasa, 29 November 2016

ANALISIS TAFSIR AR-RAZI

BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Tafsir Al-Quran adalah kunci untuk membuka gudang simpanan Al-Quran, guna mendapatkan mutiara dan permata yang ada di dalamnya. Oleh karena itulah tafsir menjadi kebutuhan yang penting, karena kandungan al-Qur’ān tidak hanya menyodorkan ajaran agama, tapi juga pedoman kehidupan sosial.

Dalam hal ini Nabi Muhammad saw sendiri adalah orang pertama yang menjelaskan Al-Quran. Penafsiran Nabi Muhammad saw ini adakalanya dengan sunnah Qauliyah, ataupun dengan sunnah Taqrįriyah. Tetapi tafsir yang diterima dari Rasulullah, sedikit sekali. Dan para sahabat adalah orang-orang yang menjadi generasi penerusnya. Mereka menafsirkan Al-Quran secara nukilan (riwayat) dari seorang perawi kepada perawi lain. Generasi berikutnya adalah para tabi’įn, tabi’it tabi’įn dan generasi yang hidup sesudahnya.

Untuk menafsirkan al-Qur’ān diperlukan sebuah metode (manhāj) dan aturan-aturan yang telah ditentukan oleh para mufassir. Metode penafsiran al-Qur’ān terus mengalami perkembangan. Pada masa klasik hanya dikenal dua metode, yaitu metode bil-ma’thūr (riwayat) dan bil-ra’yi (nalar). Pada periode kontemporer metode penafsiran al-Qur’ān  mengalami perkembangan, yaitu metode tahlilį, ijmalį, muqārįn dan mauzu’į. Metode merupakan gabungan alat perangkat sistem (strategi, pendekatan dan teknik).

Dalam makalah ini, penulis akan mengeksplorasi kitab tafsir ” Mafātih Al-Gaib karya Fakhuddīn Ar-Rāzi. Kitab yang ditulis pada abad 6 H. Kitab ini dijadikan referensi hampir oleh para ahli tafsir (mufassir) periode berikutnya.

B.  Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas maka dapat dirumuskan beberapa masalah yang menjadi acuan pembahasan dalam makalah ini , yaitu:
1.      Bagaimanakah biografi Fakhruddīn Ar-Rāzi ?
2.      Bagaimanakah sejarah dan latar belakang penulisan kitab tafsir Ar-Rāzi ?
3.      Bagaimana metodologi dan corak penulisan tafsir Ar-Rāzi ?
4.      Apa kelebihan dan kekurangan tafsir Ar-Rāzi ?
 
BAB II
PEMBAHASAN
A.  Biografi Imam Ar-Razi
  Nama lengkap beliau adalah Muḥammad bin ‘Umar bin Ḥusain bin Ḥasan bin ‘Ali Attamimī Al-Bakhri A l-Rāzi, yang dalam literatur keilmuan klasik kita kenal dengan  nama Fakhruddīn Ar-Rāzi, beliau dilahirkan di Ray, yaitu sebua kota yang terletak disebelah tenggara Teheran Iran  pada tanggal 15 Ramadhan tahun 544 H/1149 M,[1] kemudian beliau wafat pada bulan syawal, 606 H/1209 M. Tentang perawakannya ia berbadan tegak, berjanggut lebat, memiliki suara yang keras dan juga bersikap sopan santun, beliau mempunyai beberapa nama panggilan seperti Abū ‘Abdillah,  Abū Ma’ali, Abul Fādil, dan Ibnu Khatib ar-Ray. Beberapa gelar itu diberikan disebabkan  karna pengetahuaannya yang luas, maka beliau mendapat berbagai gelar seperti: Khatib ar-RayImāmSyaikhul Islām dan fakhruddīn. Dia mendapat julukan Khatib ar-Rayy karena dia adalah ulama terkemuka dikota Ray. Dia dijuluki Imām karena menguasai ilmu fikhi dan ushul fiqih.  Dia dipanggil sebagai Syaikhul Islām  karena penguasaaan keilmuannya yang tinggi. Dan di dalam bidang tarfsir beliau lebih di kenal dengan nama Fakhruddīn Ar-Rāzi.
              Sejak kecil Imām Fakhruddīn Ar-Rāzi sudah di didik oleh ayahnya sendiri, syikh Dhiyauddīn, ulama terkemuka pada masanya yang berjuluk khatib Ar-Ray, beliau adalah seoramg tokoh, ulama dan pemikir yang dikagumi oleh masyarakat Ray[2], disitulah Ar-Rāzi berkembang menjadi manusia soleh dan pencinta ilmu, setelah beliau menyelesaikan pada ayahnya barulah beliau melakukan perjalanan keberbagai kota seperti Khurasan dimana disana banyak ulama besar yang berasal dari negri itu‘Abdullah bin mubārak, Imām Bukhāri, Imām Tirmiżi dan ulama besar lainnya, Dari khurasan atau lebih dikenal lagi dengan bukhara, beliau melanjutkan perjalanannya ke irak, terus ke syam, namun lebih banyak waktunya digunakan di khawarzimi untuk belajar memperbanyak ilmunya, kemudia teakhir beliau berangkat ke negri kota heart di daerah afganistan untuk belajar mengajar.[3]
Kesungguha Ar-Rāzi dalam menggali berbagao macam ilmu sudah tampak ketika ia masi muda. Disebutkan bahwa beliau telah dapat menghafal kitab Syāmil karya Al-Juāinī, Al-Mustasyfa’ karya Al-Gazāli dan kitab Al-Mu’tamad karya tokoh ternama kaum mu’tazilah aliran Baṣrah.[4]
 Selain sebagai seorang mufassir, beliau juga seorang pakar fikhi dan Ushul fikhi. Ilmu kalam, ilmu kedokteran dan filsafat, mengenai bidang ilmu-ilmu tersebut ia telah menulis beberapa kitab terkait ilmu tersebut, dan kitab-kitanya menjadi rujukan banyak ulama-ulama sesudahnya. Beliau sangat unggul dalam berbagai disiplin ilmu. Sehingga banyak orang-orang yang datang dari belahan penjuru negeri, untuk meneguk sebagian dari keluasan ilmu beliau.
Meski pernah menulis karya tafsir yang sangat terkenal, Ar-Rāzi lebih dikenal sebagai ahli fiqih dan filosof. Beberapa karya di bidang filsafatnya ialah Syariḥ al-Isyaraḥ, yang berisi komentarnya mengenai kitab Al-Isyaraḥ wa At-Tanbihat karya Ibnu Sina. Sedangkan di bidang ushul fiqh karya besarnya berjudul Al-Maul fi ‘Ilmi Al-Uṣul, yang merangkum empat kitab besar dalam madzhab Syafi’i dan pendapat para ahli ilmu kalam.
Di masa tuanya, Ar-Razi menetap di Herat, Afghanistan. Di tempat itu ia membangun masjid, mengajar dan menulis beberapa kitab hingga ajal menjemput nyawanya pada tahun 606 H/1209 M. Di kota Herat itu pula jenazah tokoh yang telah menulis tak kurang dari 81 judul kitab itu dimakamkan.
1.    Guru-guru beliau
      Perjalanan panjangnya  kebeberapa daerah tersebut memungkinkannya untuk        menemui beberapa ulama yang kemudian dijadikan guru dalam berbagai disiplin ilmu, utamanya dalam bidang tafsir.  Diantara beberapa ulama yang kemudian menjadi gurunya ialah:
a.    Salmān ibn Naṡir ibn Imrān ibn Muḥammad ibn Isma’īl ibn Isḥāq ibn Zaid ibn Ziyād ibn Maimun ibn Mahran, Abu Al-Qasīm al-Anṣāri, salah seorang murid imām al-Haramain.
b.    ‘Abd Mālik bin ‘Abdullah ibn Yusuf  ibn’ Abdullah ibn Yusuf  ibn Muhammad, yang terkenal dengan nama Imām Al-Haramain Ḍiyauddin Abu Al-Ma’ali l-Juwaini.
c.    Ibrahīm ibn Muḥammad ibn ibraḥim ibn mahran, Al-Imām Ruknuddīn Abu Isḥak Al-Isfirayani, seorang pakar teologi dan hukum islam dari Khurasan.
d.    Abu Ḥusain Muḥammad ibn Muḥammad ibn Abdurraḥmān ibn As-Sa’īd Al-Bahīli.
e.    ‘Ali ibn Isma’īl ibn Isḥaq ibn Sālim ibn Isma’īl ibn ‘Abdullah ibn Musa ibn Bilāl ibn Abu Bard ibn Abu Musa, seorang teolog yang terkenal dengan nama As-Syaikh Abu Ḥasan Al-Asy’ari Al-Baṣri.
f.     Muḥammad ibn ‘Abdul Wahhāb ibn Salām Abu ‘Ali Al-Jubbā’i, seorang tokoh teolog mu’tazilah.
g.     Al-Ḥasān ibn Mas’ūd ibn Muḥammad abu Muḥammad al-Bagāwi. Dari tokoh ini, Fakhruddīn Ar-Rāzi mendalami filsafat, disamping dari guru lainnya, terutama Majduddīn al-Jilli.
h.     Al-Ḥusain ibn Muḥammad ibn Aḥmad al-Qaḍi, Abu ‘Ali al-Maruzī.
i.       ‘Abdullah ibn Aḥmād ibn’ Abdulāh al-Maruzī, Abu Bakār al-Qaffāl as-Shagīr.
j.       Muḥammad ibn Aḥmād ibn ‘Abdullāh.
k.     Ibrahīm ibn Aḥmād Abu Isḥāq al-Maruzī.
l.       Aḥmād ibnu ‘Umar ibn Sari’ al-Qaḍi Abu al-‘Abbās al-Bagdādi.
m.   ‘Usmān ibn Sa’īd ibn Baṣr Abu al-Qasīm al-Anmati al-Bagdādi al-Aḥwāl.
n.    Muḥammad ibn Idrīs ibn al-‘Abbās ibn ‘Usmān ibn al-Syafī’i ibn as-Sayb ibn ‘Ubaid ibn Abu Yazīd ibn Hasyīm ibn ‘Abdul Muṭṭalib kakek Rasulullah SAW. [5]

2.      Murid-murid beliau
Beliau memiliki murid yang banyak dari setiap penjuru, namun yang dianggap paling populer adalah :
a. ‘Abd al-Hamīd ibn ‘Isa ibn Umrawiyah ibn Yusuf ibn Khalīl ibn Abdullāh, ibn Yūsuf. Ia adalah seorang ulama ahli fiqh dan teologi Islam (Mutakallimin). Nama kebesarannya adalah Al-‘Allāmah Syamsuddīn atau Abu Muḥammad Muḥammad al-Khasrusḥāhi.
b. Zaki ibn Ḥāsan ibn ‘Umar, yang terkenal dengan nama Abu Aḥmad al-Biliqāni. Ia adalah seorang ahli fiqh, teolog, ahli ushul dan muhaqqīq (ahli manuskrip).
c. Ibrahīm ibn ‘Abdul Wahhāb ibn ‘Ali, nama sebutan lainnya adalah Imaduddīn Abu Ma’āli atau Al-Anṣarī al-Khuzrajī al-Zanjanī.
d. Ibrahīm ibn Muḥammad al-Sulamī al- Magrabī adalah seorang hakim yang terkenal diwilayah pinggiran Mesir.
e.    Aḥmād ibn Khālil ibn Sa’ādah ibn Ja’fār ibn Isa al-Mihlabi. Ia adalah ketua hakim yang terkenal dengan nama Syamsuddīn Abu al-‘Abbās atau al-Khubi.[6]

3.      Karya-karya beliau
Dilihat dari karya yng dihasilkan, Fakhruddin ar-Razi adalah seorang ulama yang sangat produktif dan memiliki wawasan yang cukup luas, tidak hanya terbatas pada bidang hukum dan metodologinya, tetapi juga dalam bidang filsafat, teologi (ilmu kalam), tafsir al-qur’an, tasawwuf, mantiq dan bahasa arab. Diantara karya yang dimaksud adalah :
            a. Al-Tafsīr al-Kabīr: Mafātih al-Ghaib
      b. Tafsīr al-Fatīnah
      c. Al-Tafsīr al-Shagīr: Asrār al-Tanzīl wa anwār al-Ta’wīl
      d. Nihāyat al-‘Uqūl
           e.  Al-Maṣul fi Ilm uṣul al-Fiqh
     f. Al-Mabāhit al-Masraqiyah
    g.  Lubāb al-Isharāt
    h. Al-Maṭālib al-‘Aliyah fi ilm al-Kalām
    i. Al-Ma’ālim fi uṡul al-Fiqh
   j.  Al-Ma’ālim fi uṡul al-Dīn
   k. Tanbīh al-isharah fi al-Uṣul
   l. Al-arba’īn fi uṡul al-Dīn
   m. Sirāj al-Qulūb
   n. Zubdāt al-Afkār wa ‘umdāt al-Nażār
   o. Sharh al-Isharat
   p. Manāqib al-Imām al-Syafi’i
   q. Tafsīr asmaillāh al-Husnā[7]
B.  .Latar belakang dan sejarah penulisan
Apabila dicari di dalam kitab tersebut, tidak ditemui petunjuk yang menyatakan  dinamakan sebagaimana yang tersebut. Bahkan tidak disebut juga di dalam mukadimahnya dengan nama yang tertentu sebagaimana buku lain. Apabila dikaji dalam beberapa buah kitab biografi ulama lain terdapat beberapa penyataan berkaitan kitab ini, antaranya:
1.      Al-Dāwudi berkata  ”Tafsīr al-Kabīr ini ditulis sebanyak 12 jilid dengan di namakan Fath al-Ghaib atau Mafātih al-Gaib.”[8]
2.       Berkata pula Siddiq Hasan: Kitab Mafātih al-Ghaib yang dikenali juga sebagai Tafīr al-Kabīr dihasilkan oleh Fakhr al-Dīn, Muḥammad bin ‘Umar al-Rāzi – wafat 606H.[9]
Menurut sebagian ulama, seluru kandungan kita tafsir al-Kabīr al-Musammā mafātih al-Gaib, itu bukanlah karya otentik dari imām ar-Rāzi yang utuh, karna ia belum sempat menuntaskan penafsiran 30 juz dari ayat-ayat Al-Quran, seputar hal ini,terdapat beberapa ulama yang menyebutkan tentang batasan penafsiran ayat Al_Quran yang diselesaikan oleh imām Ar-Rāzi sendiri. Ada yang mengatakan imām Ar-Rāzi hanya menyelesaikan tafsirnya sampai surah Al-Ambiyā. Pendapat kedua mengatakan bahwa ar-Rāzi menyelesaikan tafsirnya hingga surah al-Wāqi’ah, ada juga yang mengatakan bahwa ar-Rāzi telah menyelesaikan tafsirnya hingga surah Al-Bayyinah, dengan alasan beliau pernah mengutip ayat 5 dari surah Al-Bayyinah[10].
Mengenai perbedaan pendapat terkait Ar-Rāzi menyelesaikan tafsirnya atau tidak, Al-‘Umari menyimpulkan setelah melakukan penelitian bahwa sebenarnya imām Ar-Rāzi telah menyelesaikan penulisan tafsir 30 juz Al-Quran. Akan tetapi karena kekacauan yang terjadi yan menimpa kota Khawarizmi, yang diantaranya disebabkan karna adanya serangan yang dilakukan oleh Tatar 11 tahun setelah Ar-Rāzi meninggal dunia, maka hilanglah satu juz dari kitab itu. Kekurangan itu kemudian dilengkapi oleh Syihauddīn Al-Kūby (w. 639. H/1241 H)[11]
C.  Metode dan Corak Penafsiran
            Dari hasil analisis penulis, di tinjau dari metode yang digunakan Ar-Rāzi dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Quran, sama juga seperti mufassir yang lain, beliau berusaha menafsirkan dan menjelaskan semua isi ayat Al-Quran, baik yang berkaitan dengan masalah kebahsaan, akidah, syariat, ahklak maupun sejarah. Oleh karna itu, tafsir Al-Kabir ini dikategorikan sebagai kitab tafsir bi-Ra’yi, dengan metode tahlili sekaligus maudhui, dan bercorak ilmi, adabi, fikhi dan aqidi.
             Hanya saja, yang menjadi karakteristik khusus dari tafsir ini, adalah keluasan dan kedalaman pembahasan yang dilakukan oleh imām Ar-Rāzi dalam menafsirkan satu ayat al-Quran, selain itu Imām Ar-Rāzi telah mencurahkan perhatian untuk menerangkan hubungan-hubungan antara satu ayat dengan ayat yang lainnya (Munasabah bil-ayah), dan hubungan antara surah ( Munasabah bi As-Surah), Adakalnya beliau tidak hanya mengemukakan satu hubungan saja, tapi lebi dari satu hubungan. Walaupun demikian, beliau juga tidak melewatkan permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan gramatika dan sastra.
              Dalam bidang fikhi Imām Ar-Rāzi selalu berusaha menjelaskan pendapat Imam Syafi’i khususnya pada ayat-ayat yang berkaitan masalah fikhi dan ushul fikhi. Sedangkan dalam bidang Teologi atau ilmu kalam, Ar-Rāzi banyak mengungkapkan pemikiran yang dikembangkan oleh Abu Musa Al-Ays’ari, yaitu ketika membahas ayat-ayat yang berkaitan tentang ketuhanan, bahkan beliau selalu berusaha menyangkal ide-ide mu’tazila begitupula aliran-aliran yang dianggap sebagai aliran sesat. 
Ar-Rāzi juga dalam tafsirnya menambahkan ayayat-ayat israilyat namun sangat sedikit sekali. Tujuan beliau menulis ayat-ayat israilyat dalam tafsirnya adalah untuk membantah dan meluruskan kepada kisah yang sebenarnya. Seperti kisah harut dan marut, kisah Daud,Sulaimān,dan banyak kisah yang lainnya. Disinilah peran Imām Ar-Rāzi untuk meluruskan kembali kepada kisah yang benar yang berasal dari hadtis yang shahih.
Di samping itu menurut Al-‘Umari bahwa banyak pemikiran Ar-Rāzi yang dikembangkan dalam tafsirnya tersebut diorentasikan pada pemikiran filsafat dan kalam, bahkan bias dikatakan bahwa Ar-Rāzi berusaha mencari titik temu antara filsafat dan wahyu.[12] Metode yang digunakan Oleh Imām Ar-Rāzi ini merupakan metode yang baru dan tidak banyak digunakan atau diluar kebiasaan yang dilakukan oleh para ahli tafsir pada waktu itu, sehingga sebagian ulama telah menyeut bahwa Ar-Rāzi pelopor penfsir yang bercorak ‘ilmi.
D.  Kelebihan dan kekurangan
Ada beberapa keistimewaan yang dimiliki oleh  tafsir Ar-Rāzi yang ditemukan bagi yang meneliti tafsir ini, antara lain sebagai berikut:
1.      Mengutamakan tentang munasabah surat-surah Al-Quran dan ayat-ayatnya satu sama lain sehingga beliau menjelaskan hikmah-hikmah yang terdapat dalam urutan Al-Quran dan ayat dengan keilmuan  yang berkembang.
2.      Membubuhkan banyak pendapat para ahli, baik ahli falsafah, ahli ilmu kalam, ahli fikhi dan lain-lain.
3.      Kalau beliau menemui  ayat hukum, maka beliau selalu menyebutkan semua madzhab fuqaha. Akan tetapi, ia lebih cenderung kepada madzhab Syafī’i yang merupakan pegangannya dalam ibadah dan mu’amalat.
4.      Ar-Rāzi menambahkan dari apa yang telah disebutkan di atas, dengan masalah tentang ilmu ushul, balaghah, nahwu dan yang lainnya, sekalipun masalah ini dibahas tidak secara panjang lebar.
5.      Belia melengkapi tafsirnya dengan menjelaskan Asbab al-Nuzul.
Adapun kekurangan yang terdapat dalam tafsir Ar-Rāzi, ada bebrapa pandangan Ulama mengenai hal ini, antara lain:
1.      Abu Hayan (w. 988H/1580 M) berkata: “Dalam tafsir Al-Kabīr, Ar-Rāzi telah mengumpulkan berbagai hal yang tidak mempunyai kaitan dengan masalah penafsiran ayat Al-Quran,” lebih tegas lagi, sebagian ulama ada yang mengatakan: “ Segala hal dapat ditemukan dalam kitab Tafsīr Al-Kabīr, kecuali penafsiran Al-Quran,”[13]       
2.      Manna’Al-Qaṭṭan mengemukakan bahwa: “Ilmu aqliyah mendominasi isi kitab Tafsīr Al-Kabīr, sehingga bisa dikatakan bahwa kitab tafsir ini telah keluar dari ruh tafsir Al-Quran,”[14]
3.      Rāsyid Riḍa (w. 1935 M) berkata: “Ar-Rāzi adalah orang ahli tafsir yang sangat sedikit mengetahui tentang sunnah,”[15]
4.      Ibnu Ḥajār Al-‘Asqalāni (w. 852 H/1448 M) didalam kitab lisān Al-Mizān mengemukakan bahwa saya membaca dalam ikṡir fil ilmi at-Tafsīr yang disusun oleh At-Tūfi, ia mengatakan bahwa banyak kekurangan yang ditemukan alam kitab Tafsīr Al-Kabīr,[16]
Diantara beberpa kritikan yang menghujat metode yang dipakai Imām Ar-Rāzi, sebrnarnya beliau beralasan bahwa, yang dilakukan itu lebi baik dari pada penafsiran Al-Quran dengan hanya berkutat pada pembahasan gramatika dan sastra suatu ayat. Para penafsir perlu mengungkapakan segala rahasia yang dikandung Al-Quran melalui ilmu pengetahuan yang telah dikuasai, dengan demikian akan tampak kekuasaan Allah dan mukjizat Al-Quran dalam bidang ilmu pengetahuan disamping hanya bidang tata bahasa dan sastra saja.   
Apalagi kalau hanya berkutat pada masalah fiqhiyah saja, maka akan terkesan seakan-akan Al-Quran hanya sebagai sumber hukum saja, padahal Al-Quran itu. Disamping sebagai sumber hukum, ia juga merupakan sumber segala macam ilmu pengetahuan lainnya. Para ahli tafsir seharusnya menggali beberapa ilmu pengetahuan yang dikandung Al-Quran, karna ayat-ayat Al-Quran banyak bercerita tentang  rahasia alam, manusia, berbagai cabang ilmu pengetahuan, dan anjuran untuk mengkaji itu semua, jumlahnya lebih banyak kalau dibandingkan dengan ayat-ayat ahkam yang berjumlah tidak lebih dari 200 ayat saja.

BAB III
PENUTUP
Berdasarkan uraian diatas, maka penulis dapat menarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1.      Nama lengkap Ar-Rāzi adalah Muḥammad bin ‘Umar bin Ḥusain bin Ḥasan bin ‘Ali Attamimī Al-Bakhri  l-Rāzi, beliau memiliki banyak gelar seperti: Katib Ar-Ray, syaikhul islam, Imam Dan fakhuddin. beliau dilahirkan di Ray, yaitu sebua kota yang terletak disebelah tenggara Teheran Iran  pada tanggal 15 Ramadhan tahun 544 H/1149 M, kemudian beliau wafat pada bulan syawal, 606 H/1209 M.
2.      Nama Mafātih Al-Gaib atau Al-Kabīr adalah pemberian langsun dari imam Ar-Rāzi tidak diketahui apa alasan terkait pemberian nama kitab tersebut  karna tidak ditemukan dalam kitabnya.  Menurut sebagian ulama, seluru kandungan kita Tafsīr Al-Kabīr al-Musammā mafātih al-Gaib, itu bukanlah karya otentik dari Imām ar-Rāzi yang utuh, karna ia belum sempat menuntaskan penafsiran 30 juz dari ayat-ayat Al-Quran. Disebabkan karena kekacauan yang terjadi yang menimpa kota Khawarizmi, yang diantaranya disebabkan karna adanya serangan yang dilakukan oleh Tatar 11 tahun setelah Ar-Rāzi meninggal dunia, maka hilanglah satu juz dari kitab itu. Kekurangan itu kemudian dilengkapi oleh Syihauddīn Al-Kūbī (w. 639. H/1241 H)
3.      Tafsīr Al-Kabīr ini dikategorikan sebagai kitab tafsir bi-Ra’yi, dengan metode tahlili sekaligus maudhui, dan bercorak ilmi, fikhi dan aqidi.
4.      Imām Ar-Rāzi dalam tafsirnya, memiliki banyak keistimewaan, orang yang telah meneliti tafsir ini pasti akan mendapatkan beberapa poin penting. Namun ada beberapa ulama yang mengkritik metode yang dipakai oleh Imām Ar-Rāzi karna menurut mereka, metode yang dipakai oleh Imām Ar-Rāzi itu diluar kebiasaan para ahli tafsir kebanyakan, tapi Ar-Rāzi memiliki alasan tersendiri, menurut beliau, Al-Quran memiliki banyak wawasan ilmu pengetahuan, jika seorang mufassir hanya fokus pada satu corak tafsir saja misalnya hanya fokus pada ayat-ayat hokum saja, maka seakan-akan Al-Quran hanya sebagai sumber hukum padahal Al-Quran memiliki banyak cabang ilmu pengatahuan.       

DAFTAR PUSTAKA
Muhammad Husai Az-Zahabi, At-Tafsīr wal mufassirūn, jilid 1 Darul hadits kairo, 2005,
Abd Mu’īn An-Namīr, Ilmu Tafsīr, Kairo Darul kutub Al-misri, 1985,  
Sya’ban Muhammad Ismail, Uṣul Fiqhi : Tarikhuhu wa Rijaluhu, Mekkah : Dar as-Salam, 1998.
Fakhruddin ar-razi, kitab Al-Arbaīn fi uṣul Ad-Dīn, Dar Al-jil, 2004,
Al-Dāwudi, Kasyf l-Zuhūn, Madinah, 1999.
Siddiq Ḥasan, Abjad Al-‘Ulum, kairo 1989.
Muhammad Hasan Al-Umari, Imām Fakhruddīn Ar-Rāzi Hayātuhū wa ‘Aḥsuruhū, Kairo, Majlis Al-‘Ala li asu-Syu’un al-Islamiyah, 1988.
Manna’ Al-Qahṭhṭan, Mabaḥiṡ fil ulūm Al-Qurān, Riaḍh, 1973.
Quraish Syihab, Rasionalitas Al-Quran, Jakarta: Pustaka Hidayat, 1994.



[1] Muḥammad Ḥusai Aż-Żahabi, At-Tafsīr wal Mufassirūn, Darul hadīṡ kairo, 2005, jilid 1 hal. 248.
[2] Abd Mu’īn An-Namīr, Ilmu Tafsīr, cet 1, kairo Dārul kutūb Al-Miṣri, 1985, hlm, 124.
[3] Sya’bān Muḥammad Isma’īl, Uṡul Al-Fiqh : Tarīkhuhū wa Rijāluhū, Mekkah : Dār As-Salām, 1998, hlm.238.
[4] Fakhruddin Ar-Rāzi, Tafsīr Al-kabīr, hlm 1:2.
[5] Abdul Qadir Atha, Al-imam, Kairo, 1998. hlm. 329.
[6] Ibid
[7] Fakhruddīn Ar-Rāzi, kitab Al-Arbain fi uṣul Ad-Dīn, Dār Al-Jīl, thn 2004, hal 5-6
[8] Al-Dāwudi, Kasyīf al-Zuhūn, madinah, 1999, hlm 112
[9] Siddiq Ḥasān, Abjad Al-‘Ulum, kairo 1989, hlm 318
[10] Husain Aż-Żahabi, At-Tafsīr wal Mufassirūn, hlm, 292.
[11]Abd Mu’im An-Namīr, Ilmu At-Tafsīr, cet 1, kairo dar kutub al-Miṣri,1985 hlm, 127.
[12] Muḥammad Ḥasān Al-‘Umari, Imām Fakhruddīn Ar-Rāzi Hayātuhū wa ‘Aḥsuruhū, Kairo, Majlis Al-‘Ala li asu-Syu’un al-Islamiyah, 1988, hlm 123.
[13] Husai Aż-Żahabi, At-Tafsīr wal Mufassirūn, hlm 296.
[14] Manna’ Al-Qaṭṭan, Mabaḥīṡ fil ‘ulum Al-Qurān, Riaḍh, 1973 hlm 288. 
[15] Quraish Syihab, Rasionalitas Al-Quran, (Jakarta: Pustaka Hidayat, 1994) hlm 136.
[16] Husain Aż-Żahabi, Tafsīr wal Mufassirūn, hlm 296.

ANALISIS TAFSIR AS-SUYUTHI



BAB I
PEMBAHASAN
A. Latar belakang
Tidak dapat dipungkiri tafsir dari masa ke masa mengalami perkembangan yang sangat pesat dan pada akhirnya mengalami masa keemasan. Setelah masa Rasulullah saw dan sahabat berakhir maka tafsir kemudian dipegang dan dikembangkan oleh para Tabi’in dan lainnya. Langkah yang mulia yang dilakukan oleh para sahabat tentunya diikuti oleh para Tabi’in dalam hal menafsirkan al-Qur’an Tegasnya, penafsiran al-Qur’an dari para sahabat diterima baik oleh generasi Tabi’in.
Kita mengetahui bahwa pada masa itu dapat kita jumpai banyak sekali pakar-pakar ahli tafsir yang begitu terkenal kesungguhannya dalam berijtihad untuk dapat mengetahui hakikat penafsiran ayat tertentu. Penafsiran ini terus berkembang, sehingga ketika periode selanjutnya timbul adanya kodifikasi-kodifikasi tafsir yang dilakukan dan dikembangkan oleh para ahli tafsir. Seperti timbulnya tafsir bi al-Ma’s|u>r dan tafsir bi al-ra’yi>, dan juga lainnya yang di dalam penafsirannya ada perbedaan corak dalam penafsirannya, sehingga kadang-kadang menjadi rawan dalam penafsirannya yang memungkinkan adanya penyimpangan dalam penafsirannya.
Melihat kenyataan tersebut, maka tidaklah heran kalau al-Qur’an mendapatkan perhatian yang besar dari umat Islam dan umat lainnya, melalui pengkajian intensip terutama dalam rangka penafsiran kata-kata demi mengungkap rahasia dan makna. Untuk itu diperlukan alat yang mampu membawa kita memahami al-Qur’an secara komprehensif dan menyeluruh.
B. Rumusan masalah
Berangkat dari latar belakang diatas maka penulis dapat mengambil suatu rumusan masalah sebagai berikut:
1.      Biografi Ima>m al-Suyu>ti>
2.      Latar belakang penulisan
3.      Corak dan Metode penulisan
4.      Kelibihan dan keutamaan tafsir al-Suyu>ti>

BAB II
PEMBAHASAN
A. Biografi Imām al-Suyu>i>
Imam Jalaluddi>n al-Suyu>ti> merupakan salah satu ulama dan ilmuwan Islam terkemuka. Nama beliau adalah ‘Abdul al-Rahma>n bin al-Kama>l Abi> Bakar bin Muammād bin Sa>biquddi>n bin a1-Fakhr ‘Utsmān bin Naziruddīn Muh}ammād bin Saifuddi>n bin Najamuddi>n Abi al-S}ala>h Ayyu>b bin Nas}iruddi>n Muammād bin al-Syaikh al-Hima>muddi>n a1-Hama>m a1-Khudai>ri> al-Suyu>ti>.[1] Sedang dalam kitab al-Tafsi>r wa a1-Mufassiru>n  nama lengkap a1-Suyu>ti> adalah al-Ha>fiz Jalaluddi>n Abu> al-Fadl Abdurrahma>n bin Abi> Bakr bin Muh}ammad al-Suyu>ti> al-Sya>fi'i.[2]
Imam al-Suyu>ī> dilahirkan malam ahad setelah magrib di bulan rajab pada tahun 849 H atau sekitar 1445 M dan meninggal pada tahun 911 H.
1.      Kegiatan menuntut ilmu
Beliau hidup di lingkungan yang penuh dengan keilmuan serta ketakwaan. Kedua matanya terbuka pada keilmuan dan ketakwaan karena ayahnya tekun mengajarkan membaca al-Qur’an dan ilmu pengetahuan. Ketika ayahnya meninggal dunia pada tahun 855 H, ia telah hafal al-Qur’an sampai surat al-Tahri>m padahal usianya masih kurang dari 6 tahun, dan ketika usianya mendekati dari 8 tahun, ia telah menghafal seluruh al-Qur’an, kemudian Ia juga telah menghafal Minha>ju al-Fiqh wa al-Usu>l, Alfiyah ibn Mālik dan lain-lainnya.[3]
Ketika menuntut ilmu, Imām al-Suyu>ti> tidak hanya belajar di satu tempat, tetapi banyak melakukan perjalanan ilmiah ke berbagai negara untuk menemui ulama-ulama besar. Negara-negara yang telah dikunjunginya adalah Mesir, Syam, Yaman, India, Takrur, dan Hijaz. Adapun tempat-tempat yang telah dikunjunginya di Mesir adalah al-Fayum, Dimyat, al-Mahalah, dan lain-lain.
Pada tahun 869 H, Imām al-Suyu>ti> pergi berhajji ke Mekkah, kemudian kembali ke Kairo. Di sana ia mengajar Ilmu Fiqih sampai tahun 872 H. Ia kemudian diangkat sebagai guru besar di sekolah al-Syaikhuniyyah, jabatan yang pernah diduduki oleh almarhum ayahnya. Jabatan itu diberikan kepadanya atas rekomendasi seorang ulama besar di Kairo, yaitu Syaikh al-Bulqani. Pada tahun 891 H, ia pindah ke sekolah yang lebih terkenal, yaitu sekolah al-Baibirsiyah. Namun tidak berapa lama kemudian, tepatnya tahun 906 H, ia mengundurkan diri dari jabatannya karena difitnah telah mengkhianati amanah barang-barang inventaris sekolah. Beberapa kali ia ditawari untuk menduduki jabatan itu kembali setelah terbukti tidak bersalah, tetapi tidak sedikit pun ia berkeinginan lagi menduduki jabatan itu.
Imām al-Suyu>ti> tidak hanya menguasai satu macam ilmu, tetapi ia menguasai tujuh macam ilmu, yakni tafsir, hadits, fiqih, nahwu, ma’ni, bayan, dan badi. Ia juga telah menghasilkan banyak kitab yang diperkirakan jumlahnya mencapai 561 kitab. Sebagian besar kitabnya termasyhur di seluruh dunia, baik ditimur maupun dibarat. Hal ini dapat dipahami karena ia menguasai berbagai ilmu dan kegiatan menulisnya telah ia mulai sejak berusia 17 tahun. Dalam kegiatan menuntut ilmu beliau sudah banyak mendatangi Ulama besar, diantaranya adalah:
a.       Jalaluddīn Al-Mahalli
b.      Amād bin Ali Ayamsahi (ulama fara’id)
c.       Al-Bulqaini (ulama fiqih)
d.      As-Syamani (ulama hadits, ushul fiqih, teologi dan nahwu)
e.       Al-Izzu anbāli (ulama hadits, bahasa Arab, sejarah)
Selain guru laki-laki, al-Suyu>ti>  juga meresap ilmu dari sejumlah ilmuwan perempuan, diantaranya:
a.       Aisyah binti Jarullah
b.      Ummu Hani binti Abul asan
c.       Shaliah binti Ali
d.      Niswan binti Abdullah Al-Kanani
e.       ajār binti Muammād Al-Mishriyyah
2.      Kitab-kitab yang beliau telah tulis
Al-Suyu>ti> mulai menulis ketika masih berusia 17 tahun. Namun ia baru memusatkan diri dalam berkarya ketika usianya menginjak 40 tahun. Ia beruzlah di tempat tinggalnya, Raudatul Miqya>s, di tepian Sungai Nil. Ia termasuk ulama yang sangat produktif dalam berkarya. Ia memiliki ratusan kitab dalam berbagai bidang keilmuan, mulai dari tafsir, hadits, fiqih, bahasa Arab, sastra, tasawuf, hingga ilmu sejarah. Ibnu Iyās, salah seorang murid al-Suyu>ti>, mengatakan bahwa jumlah karya al-Suyu>ti> mencapai 600 buah. Adapun, karya al-Suyu>ti> mencapai 725 buah.[4] Karya al-Suyu>ti> diantaranya:
a.       Al-Itqan fi> ‘Ulu>m al-Qur’an
b.      Al-Dur al-Manshur fi> al-Tafsi>r bi al-Ma’s|u>r
c.       Tarjuman al-Qur’an fi> al-Tafsir al-Musnad
d.      Asra>r al-Tanzi>l
e.       Luba>b al-Nuqu>l fi> Asbab al-Nuzul
f.        Al-Takhbi>r fi> ‘Ulu>m al-Tafsir
g.      Mufhamat al-Qur’an fi> Mubhamat al-Qur’an
h.      Al-Iklil fi> Istinba>t al-Tanzi>l
i.        Al-Hasyisyah fi Tafsir al-Baid|a>wi>
j.        Takmilah al-Tafsir al-Syaikh Jala>luddin al-Mahalli
B. Latar belakang penulisan
Menurut al-Ż|ahabi> sebagaimana juga diakui al-Suyu>t}i> dalam muqaddimah kitabnya, karya ini merupakan kitab musnad hadis[5] yang berisikan tafsir atau penjelasan terhadap al-Qur’an. Di dalamnya memuat sekitar 10.000 hadits marfu>‘ dan hadits mauqu>f,[6] diselesaikan dalam 4 jilid dan diberi nama Tarjuma>n al-Qur’a>n. Kemudian untuk memudahkan pembaca dalam memahami kitab tersebut, al-Suyu>t}i> meringkasnya dengan hanya mencantumkan matan atau teks hadits tanpa menyebutkan sanadnya. Meskipun demikian dijelaskan bahwa sumber hadis-hadis tersebut merupakan hasil takhri>j dari kitab-kitab yang mu’tabar, kitab tersebut diberi nama al-Durr al-Mans\u>r  fi> al-Tafsi>r al-Ma’s\u>r [7] (Mutiara yang bertebaran dalam penafsiran berdasarkan al-Qur’an dan Hadis).
Sepanjang penelusuran, penulis tidak menemukan kitab Tarjuman al-Qur’an sebagaimana dimaksud, penulis hanya menemukan kitab al-Dur al-Mans\u>r  fi> at-Tafsi>r al-Ma’s|u>r, Mukhtas}ar Tarjuma>n al-Qur’a>n dalam beberapa terbitan, di antaranya yang diterbitkan oleh Da>r al-Ilmiyyat, Beirut, Libanon cetakan tahun 1999 yang terdiri dari 6 jilid besar. Jilid pertama setebal 670 halaman, jilid kedua 617 halaman, jilid ketiga 646 halaman, jilid keempat 673 halaman, jilid kelima 762 halaman dan jilid kelima 767 halaman. Selain itu, sepanjang penelusuran, kitab tersebut belum pernah disitasi dalam karya tafsir dan karya-karya lainnya.
Dalam hal ini, menurut asumsi pribadi penulis, kitab Tarjuma>n al-Qur’a>n belum pernah dipublikasikan oleh al-Suyu>t}i>. Namun tentunya diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai keberadaan kitab tersebut. Merujuk kepada pemetaan Abdul Mustaqim, karya al-Suyuti ini tergolong tafsir era pertengahan yang dikenal sebagai zaman keemasan ilmu pengetahuan.[8] Hal ini karena perhatian yang luar biasa terhadap ilmu pengetahuan pada saat itu.
Berbagai diskusi digelar mengenai segala ilmu pengetahuan yang sumbernya juga banyak diadopsi dari dunia luar. Periode pertengahan ini berada dalam kurun waktu yang panjang, karena dimulai dengan munculnya produk penafsiran yang sistematis dan terkodifikasi dengan baik hingga lahirnya periode kontemporer. Sebagai konseksuensi dari perkembangan ilmu pengetahuan, kondisi sosio-kultural dan politik, disamping al-Qur’an sendiri yang memang sangat terbuka untuk ditafsirkan, maka muncul berbagai corak ideologi penafsiran. Meskipun tidak pernah menyatakan secara langsung, oleh para ulama pada masanya al-Suyuti disebut-sebut berteologi Asy’ariyah hal itu terlihat dalam corak penafsirannya, selain itu semenjak kecil ia dibesarkan dan menapaki karir dalam lingkungan madzhab syafi’i.[9]
C. Metode dan Sumber penafsiran
Secara keseluruhan kitab tafsir ini menggunakan penjelasan Nabi maupun shahabat yang dikutip dan dirujuk dari kitab-kitab hadits dan tafsir. Menurut al-Z|ahabi> riwayat-riwayat dalam kitab ini diambil dari karya al-Bukha>ri> (w. 256 H/ 870 M), Muslim (w. 261 H/ 875 M), an-Nasa>’i> (w. 303 H/ 915 M), al-Turmuz|i> (w. 279 H/ 892 M), Ah}mad (w. 241 H/ 855 M), Abu> Da>wud (275 H/ 892 M), Ibn Jari>r (w. 310 H/ 923), Ibn Abi> H}a>tim (w. 327 H), ‘Abd ibn Hami>d, Ibn Abi> al-Dunya (w. 281 H/ 894 M).[10] Selain itu juga terdapat riwayat yang dikutip dari karya ‘Abd Razza>q, Abu Na’i>m, al-Baihaqi> (as-Sunan al-Kubra & Sya’b al-I>ma>n) (w. 458 H/ 1066 M), al-Bazza>r, al-Farya>bi,> al-H}a>kim (w. 405 H/ 1014 M), at-T}abra>ni> dalam al-Aswat (w.  360 H/ 971 M)}, Ibn Abi> Syaibah (w. 235 H/ 850 M), Ibn al-Muba>rak, Ibn al-Munz|ir, Ibn Murdawaih, Ibn Sa’d, Sa’i>d ibn Mans}ur dan sebagainya.
Senada dengan namanya, karya tafsir ini tergolong bil-ma’s\u>r karena secara keseluruhan dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an, tafsir ini menggunakan penjelasan nabi maupun shahabat yang dikutip dan dirujuk dari kitab-kitab hadits dan tafsir. Sistematika penulisan kitab ini mengikuti tarti>b mush}afi (sesuai dengan urutan mushaf), dimulai surat al-Fa>tih}ah dan diakhiri surat al-Na>s. Pada awal pembahasan dicantumkan ayat-ayat yang hendak dibahas kemudian dikutip riwayat-riwayat yang menjelaskan asba>b al-nuzu>l dan riwayat-riwayat lain yang menunjukkan penjelasan nabi atau sa}habat berkenaan dengan ayat-ayat tersebut secara sistematis.
Metode yang digunakan dalam penyusunan kitab ini adalah metode tah}li>li> dengan bentuk bil-ma’s|u>r.[11] Meskipun dikategorikan dalam metode tah}li>li> (analisis) dengan menafsirkan secara analisis menurut urutan mushaf, al-Suyu>t}i> sama sekali tidak memberikan komentar baik dari sisi bahasa (kosakata/lafaz), menjelaskan arti yang dikehendaki, unsur i’ja>z dan bala>ghah) maupun penjelasan-penjelasan lain seperti aspek kandungan pengetahuan, hukum, asba>b al-nuzu>l, muna>sabah dan tambahan ijtihad yang lazim digunakan oleh para mufassir pada zamannya. Ia hanya mecantumkan riwayat-riwayat[12] yang diawali kata akhraja dilanjutkan dengan hadits atau kata akhraja diikuti sepintas nama kitab atau pengarang kitab yang dirujuk kemudian riwayat yang berisi penjelasan terhadap ayat yang terkait tanpa menjelaskan s}ah}i>h} atau d}a’i>f-nya riwayat tersebut.
Namun dilihat dari sisi periwayatan, dengan asumsi bahwa kitab ini adalah mukhtas}ar (ringkasan) dari kitab Tarjuma>n al-Qur’a>n yang dipotong sanadnya, dengan alasan untuk memudahkan pembaca sebagaimana yang ditulis oleh al-Z|ahabi>, maka dimungkinkan bahwa sanad lengkap dan kualitasnya dapat ditemui pada kitab tersebut.
Menurut penulis, ini sebuah ciri khas yang jarang ditemukan dalam karya-karya kitab tafsir lain, bahwa secara konsisten al-Suyu>t}i> menggunakan riwayat-riwayat yang terkait tanpa sedikit pun ijtihad pribadi. Meskipun secara lahir tidak ada sedikit pun penggunaan ra’yi, suatu tafsir akan mencerminkan keterbatasan kemampuan penafsirnya dan tidak akan terlepas dari subyektifitas dirinya sendiri. Ketika seseorang menafsirkan sebuah ayat, dalam benaknya juga hadir sekian banyak subyek sebagai rujukannya.[13]
Karena tafsir ini tergolong tafsir bi al-ma’s|u>r dengan menggunakan riwayat Nabi dan shahabat yang langsung menjelaskan hal-hal yang terkait dengan ayat-ayat al-Qur’an, lebih jauh dapat dikatakan bahwa al-Suyu>t}i> hanya berperan sebagai penghimpun riwayat dan tidak berperan aktif (passif) maka relatif sulit bagi penulis untuk memberikan penilaian.
D. Kekurangan Tafsir Al-Suyuthi
Ada beberapa hal yang patut untuk mendapat kritikan adalah adalah sebagai berikut:
a.       Secara keseluruhan, tidak ditemukannya kelengkapan sanad yang dapat memperkuat riwayat yang disampaikan meskipun pada setiap awal riwayat terdapat rujukan singkat seperti nama ulama dan kitab-nya yang memang terkenal seperti yang diakui al-Suyu>t}i> dalam muqoddimah kitab.
b.      Al-Suyu>t}i> tidak menentukan kualitas riwayat yang dikutip sehingga dimungkinkan masuknya isra>‘i>liyya>t. Sebagai contoh, dalam menafsirkan QS. Al-Ma>idah (5): 22 al-Suyu>t}i> mengutip riwayat tentang keengganan kaum Nabi Musa untuk memasuki Palestina karena mendapati orang-orang yang gagah perkasa (kaum jabba>ru>n). Hal ini tentunya memunculkan kecurigaan ketika tidak dibarengi dengan validitas riwayat yang dicantumkan. Selain itu, dalam riwayat yang dikutipnya terdapat banyak pengulangan (at-tikrar) dan bertele-tele.
c.       Tidak menggunakan ayat-ayat al-Qur’an yang lain sebagai sumber penafsiran sehingga memberikan kesan bahwa petunjuk al-Qur’an bersifat parsial. Sebagai contoh dan perbandingan, dalam tafsir Ibn Katsir menafsirkan kataهدى للمتقين  dalam QS. Al-Baqarah (2): 2 dengan ayat-ayat lain yaitu QS. Fus}s}ilat (41): 44, QS. al-Isra>’ (17): 82 dan QS. Yunus (10): 82.[14] Sedangkan dalam Tafsir al-Durr al-Mans|u>r lebih menjelaskan apa yang yang disebut dan dipahami sebagai هدى للمتقين tentunya melalui riwayat-riwayat yang berkaitan secara berurutan[15].
d.      Sepi dari penggunaan ijtihad & aplikasi penafsiran terhadap kajian tertentu baik dari sisi bahasa (kosakata/ lafaz}, menjelaskan arti yang dikehendaki, unsur ‘ija>z dan balaghah) maupun penjelasan-penjelasan lain seperti aspek kandungan pengetahuan, hukum asba>b al-nuzu>l, muna>sabah dan tambahan ijtihad yang lazim digunakan oleh para mufassir.
Karena secara keseluruhan berisi riwayat, maka objek material tafsir ini adalah riwayat-riwayat hadits. Sedangkan dalam proses penelitian hadis, yang menjadi awal penelitian adalah kaidah kesahihan yang telah dikemukakan oleh para ulama. Kaidah yang dimaksud adalah segala syarat atau kriteria yang harus dipenuhi oleh suatu hadis yang berkualitas s}ah}i>h}. Selain serentetan metodologi yang digunakan untuk menentukan kualitas sanad, juga digunakan metodologi untuk menentukan kualitas matan hadis, karena kualitas sanad dan matan tidak selalu sejalan.[16] Ada kalanya sanad-nya s}ah}i>h} akan tetapi matannya mardu>d. Dengan melakukan penelitian sanad, dapat diketahui kualitas periwayatan sebuah hadis. Sedangkan dengan melakukan penelitian matan, dapat diketahui matan sebuah hadits tersebut maqbu>l atau mardu>d (diterima atau ditolak). Selain itu, standar untuk menentukan status hadis yang berkaitan dengan akidah, ibadah dan muamalah jelas berbeda dengan standar yang berkaitan dengan yang lainnya. Ada yang terkesan longgar (mutasa>hil), moderat (mutawa>sit}) dan ketat (mutasyaddid).[17]
Sementara dari sisi penunjukannya (dala>lah), secara umum para ulama sepakat bahwa hadis dapat dijadikan h}ujjah, namun dalam beberapa hal berkenaan dengan hadis secara keseluruhan masih terjadi diskusi panjang terhadap jenis-jenis hadis yang dapat dijadikan h}ujjah. Tidak diragukan lagi semua ulama berpendapat bahwa hadis mutawa>tir dapat dijadikan h}ujjah, namun terhadap hadis a>h{ad masih meinmbulkan berbagai perbedaan pendapat. Ada yang menolak menjadikan h}ujjah dan ada yang menerimanya dengan persyaratan bahwa hadis tersebut bernilai s}ah}i>h dan h}asan serta tidak d}a’i>f.
Selain persoalan teknis mengenai kualitas sebuah hadis melalui kajian naqd al-hadi>s} (lebih ditekankan pada kritik sanad dan matan), problem yang dialami seringkali bersifat spesifik dan variatif. Respon Rasulullah saw, terhadap problem yang dialami pada masa itu dituntut melalui bahasa spesifik dan sesuai dengan karakter problem, yang boleh jadi juga spesifik dan khas.
 
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari beberapa pemaparan diatas maka penulis mengambil kesimpulan sebagai berikut:
1.      Imam al-suyuti adalah sosok yang disegani, banyak orang yang berguru kepadanya dan meminta fatwah, bahkan pemerintah menghadiahkan kepada beliau beberapa hadia namun beliau hanya mengambil budak saja dan memerdekakannya, dalam menuntut ilmu beliau tidak hanya mendatangi satu atau dua orang guru saja, tapi beliau mendatangi beberapa ulama yang terkenal dan ahli dalam bidangnya masing-masing. Beliau juga sangat aktif dalam menulis, sehingga banyak karang beliau yang salah satunya adalah tafsir al-Addurr al-Mans\u>r fi tafsi>r bi al-Ma’s\u>r.
2.      Tafsir ini adalah ringkasan dari tarjuman al-Quran.
3.      Sesuai dengan namanya, maka corak tafsir tergolong didalam corak bi al-ma’s\u>r
4.      Salah satu keunggulan kitab tasir ini adalah mudah untuk dipahami dan mudah untuk dibaca. Namun dilain disisi dalam pennafsiran ini tidk menggunakan ayat lain untk menafsiran ayat tersebut, mencampur adukk antara hadis s}ah}ih} dan daif. 
B. Saran
Didalam makala kami tentunya masih banyak yang ingin dibenahi, baik itu dari segi penulisannya, ataupun kekurangan penjelasan bahkan mungkin ada penjelasan kami yang salah. Olehnya itu kami sangat mengharap saran dari Ust, selaku yang menangani mata kuliah ini.
Mudah-mudahan makalah yang kami tulis ini dapat bermanfaat terutama bagi kami (penulis), masukan dari teman-teman juga tentunya sangat penulis butuhkan dalam kesempurnaan makala kami.


Daftar Pustaka
Al-Suyuti, al-Ha>fiz Jalaluddi>n Abu> al-Fadl Abdurrahma>n bin Abi> Bakr bin Muh}ammad  al-Dar al-Mansu>r fi al-Tafsi>r bi al-Ma’su>r, juz I, Markaz Hijr li al-Buhus wa al-Dira>sa>ti al-Arabi> wa al-Islami
Al-zahabi>, Muh}ammad Husain. al-tafsi>r wa al-mufassiru>n, al-Na>syir Maktaba Wahbah. t.t
Mustaqim, Abdul, Madzahibut Tafsir; Peta Metodologi Penafsiran al-Qur’an Periode Klasik hingga Kontemporer. Yogyakarta: Nun Pustaka, 2003.
Mah}mud, Mani’ ‘Abd H>>>>}>alim, Metodologi tafsir: kajian komprehensif netode para ahli tafsir, PT Raja Grafindo, 2006.
...........................Rofiq, Ahmad, ed. Studi Kitab Tafsir (Yogyakarta: Teras. 2004),
Al-Dimasyqi, Abul Fida’ Imaduddin Ismail bin Umar bin Katsir al-Qurasyi al-Bushrawi. Tafsi>r al-Qur’a>n al-Az}i>m. Beirut: Maktabah an-Nu>r al-‘Ilmiyyah. 1991.
Hidayat, Komaruddin, Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutika. Jakarta: Yayasan Paramadina, 1996.
Ismail, Syuhudi, Metodologi Penelitian Hadis Nabi. Jakarta: Bulan Bintang, 2007.


[1]Al-Suyuti, al-Dar al-Mansu>r fi al-Tafsi>r bi al-Ma’su>r, juz I, Markaz Hijr li al-Buhus wa al-Dira>sa>ti al-Arabi> wa al-Islami>. hal. 17  
[2] Muh}ammad Husain al-zahabi>, al-tafsi>r wa al-mufassiru>n, al-Na>syir Maktaba Wahbah. hal. 180
[3]Al-Suyu>ti>, Op.Cit, hal. 18
[4]Mani` Abd Halim Mahmud, Metodologi tafsir: kajian komprehensif netode para ahli tafsir, (PT Raja Grafindo, 2006). hal. 128 
[5]Dinamai kitab “musnad” jika penyusunnya memasukkan semua hadis yang ia terima, tanpa menyaring dan menjelaskan kualitas hadis-hadis tersebut. Lihat Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis (Jakarta: Bulan Bintang, 1987), hlm. 104. Dalam pengertian lain, kitab yang disusun berdasarkan nama-nama sahabat yang lebih dahulu masuk Islam atau berdasarkan nasab. Lihat Subh}i as-Sa>lih}, Ulu>m al-H}adi>s| wa Mus}t|alah}uh (Beirut: Da>r al-‘Ilm wa al-Malayin, 1988), hlm. 123.
[6]Hadis marfu>’ adalah hadis yang dihubungkan kepada Nabi saw, baik berupa perkataan, perbuatan maupun taqri>r. Hadis itu disebut marfu>’ karena mempunyai derajat yang tinggi karena dihubungkan dengan Nabi saw, baik dengan menggunakan sanad yang mutta}sil (bersambung) atau tidak. Sedangkan hadis mauqu>f adalah hadis yang dihubungkan kepada sahabat. Lihat ‘Ajja>j al-Khat}i>b, Us}u>l al-H}adi>s| ‘Ulu>muh wa Mus}t|alah}uh (Beirut: Da>r al-Fikr, 1989), hlm. 355.
[7]al|-Z|ahabi>, Op.Cit, hal. 252. Lihat juga as-Suyu>t}i>, Op.Cit,  hlm. 14.
[8]Abdul Mustaqim, Madzahibut Tafsir; Peta Metodologi Penafsiran al-Qur’an Periode Klasik hingga Kontemporer (Yogyakarta: Nun Pustaka, 2003), hlm. 67.
[9]al-Suyu>t}i, al-Tahbi>r fi ‘Ilm al-Tafsi>r, hlm. 29-31
[10]al-Z|ahabi>,Op.Cit,, hlm. 254.
[11]Metode tah}li>li analitis adalah menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan memaparkan segala aspek yang terkandung dalam ayat-ayat yang ditafsirkan itu serta menerangkan makna-makna yang tercakup di dalamnya sesuai dengan keahlian dan kecenderungan mufassir yang menafsirkan ayat-ayat tersebut. lihat Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur’an (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 32. Sementara tafsir bil-ma’s|u>r merupakan salah satu jenis penafsiran yang muncul petama kali dalam sejarah khazanah intelektual Islam. Praktik penafsirannya adalah ayat-ayat yang terdapat dalam al-Qur’an ditafsirkan dengan ayat-ayat yang lain atau dengan riwayat dari Nabi saw, para sahabat dan juga para tabi’in. mengenai riwayat tabi’in terdapat perbedaan pendapat. Lihat Alfatih Suryadilaga, Metodologi Ilmu Tafsir (Yogyakarta: Teras, 2005) hlm. 42.
[12]Pendekatan ini sering disebut sebagai pendekatan normatif-historis yang berbazis riwayat. Lihat A. Rofiq (ed.), Studi Kitab Tafsir (Yogyakarta: Teras. 2004), hlm 132.

[13]Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutika (Jakarta: Yayasan Paramadina, 1996), hlm. 141.
[14]Al-H}a>fiz| Ibn Kas}i>r, Tafsi>r al-Qur’a>n al-Az}i>m (Beirut: Maktabah an-Nu>r al-‘Ilmiyyah, 1991), Jilid I, hlm. 37-38.
[15]Jala>l al-Di>n al-Suyu>t}i, al-Adurr al-Mans|u>r, Jilid I, hlm. 57.
[16]Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi (Jakarta: Bulan Bintang, 2007),  hlm. 115.
[17]Suryadi (dkk.), Metodologi Penelitian Hadis (Yogyakarta: Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga, 2006), hlm. 5.